Anda di halaman 1dari 7

Bulan Separuh di Mata Oliver

Saat itu aku mendengar suara Pak Jun bernyanyi. Ia salah satu pekerja di bagian pendederan ikan kerapu.
Ia suka sekali bernyanyi. Lirik lagunya sering berisi tentang kerinduan pada istrinya yang tinggal jauh.
Tetapi, ia pernah ketahuan mengunjungi wanita lain lalu mengatakan pada kawan-kawannya bahwa ia
melakukan itu karena kesepian. Sangat kesepian.

“Asyik juga ya di sini.” Oliver menghampiriku.

“Oliver!” Aku berseru takjub. “Kau tidak ikut minum?”

“Ya Tuhan! Coba kau hitung berapa gelas kopi yang kuhabiskan bersama begundal-begundal itu.” Oliver
menunjuk ke arah meja yang paling dekat dengan dermaga. Di sana ada pekerja-pekerja lain yang sedang
asyik mengobrol sambil berseru ria saling melemparkan kulit kacang. Sesekali terdengar seloroh cabul di
antara mereka yang segera disusul sumpah serapah lalu ditutupi dengan tawa yang membahana. O! Lihat
di antara mereka. Salah seorang yang terkena sorot cahaya mercusuar. Si rambut kuning! Ia sedang
tersedak karena mengunyah kacang sambil tertawa. Aku benar-benar benci melihatnya.

“Mengapa kau suka sekali menyendiri?” Oliver menepuk bahuku. Aku diam. Sisa setengah gelas kopi di
hadapanku sudah dingin.

“Kau tahu si Deong? Bodoh sekali dia! Ia pergi ke gili membawa perlengkapan selamnya. Kau tahu ia
pergi menggunakan boat siapa?” Oliver menatapku lekat-lekat. “Boat milik balai! Astaga. Benar-benar
tidak tahu malu. Aku menunggunya di dermaga tapi ia tidak juga kembali. Bayangkan pada saat itu aku
sudah memikul empat keranjang Gracilaria, tapi boatnya tidak ada di sana! Bagaimana aku akan
memberi pakan untuk abalonabalon itu?” Oliver menarik napas. “Lalu kau tahu apa yang terjadi? Deong
meneleponku. Tanpa rasa bersalah ia memberitahu kalau boatnya terdampar. Ia memang tidak bisa
mengemudi dengan baik. Celakanya, ia tidak sendiri. Ia pergi bersama anak-anak dari Kota itu.”

“Anak-anak dari Kota? Bukankah mereka baru datang kemarin?”

“Ya. Deong mengajak mereka berkeliling ke gili.”

“Pantas kau katakan ia tidak tahu malu.”

Oliver meneguk kopiku. Ia mengatur napasnya dan masih nampak antusias melanjutkan ceritanya.

“Dengan santainya Deong mengatakan padaku kalau besok aku masih punya waktu untuk memberikan
pakan. Apa aku tidak salah dengar? Ketika ia kembali, aku langsung memukulnya!”

“Kau pukul dia?”

“Ya! Tepat di kepalanya!”

Aku tidak percaya. Aku menoleh ke arah Deong, si rambut kuning. Ia terlihat baik-baik saja. Ia bahkan
kini terlihat sedang menyiapkan ancang-ancang untuk melompat ke laut. Dengan hanya mengenakan
celana pendek, tubuhnya terlihat berputar di udara sebelum akhirnya terdengar suara berdebum di air.
Orang-orang berseru gembira sambil bertepuk tangan. Lalu terdengar suara hempasan tubuh-tubuh yang
lain menyusul masuk ke dalam air. Suasana sangat riuh.

“Kau tidak mungkin memukulnya, Oliver.” Aku menatap Oliver dengan mata yang dipicingkan.

Oliver tertawa. “Aku tahu kau tidak suka padanya. Tapi, sebenarnya ia sangat menyenangkan.”
“Aku tidak pernah suka padanya. Pokoknya tidak suka.” Aku menatap para pekerja yang sedang
berenang. Di langit, terlihat bulan separuh menyembul di balik gugusan awan.

Oliver tertawa lagi. Ia kembali meneguk kopiku. “Mengapa kau tidak ikut berenang? Ayolah, kau sudah
satu bulan di sini. Aku tidak pernah sekali pun melihatmu mandi di laut.”

Aku menghembuskan napas berat. “Mengapa kau tidak memukulnya, Oliver?”

“Apa?” Oliver menatapku.

“Mengapa kau tidak memukul si Deong itu? Atau mungkin sebenarnya kau berniat memukulnya tapi kau
tidak jadi melakukannya?”

Oliver menatap tajam padaku. Tiba-tiba ia tertawa lagi. “Aku tidak mungkin memukulnya. Sudah
kukatakan ia sebenarnya orang yang menyenangkan. Kau tahu? Sore tadi ia membawakanku tiga botol
tuak! Aku tidak mungkin menolaknya. Sangat enak. Ia tidak mengaku bersalah. Tapi, aku tahu ia
meminta maaf padaku dengan cara membawakan tuak untukku.”

“Ya Tuhan. Tapi, pekerjaan kau tertunda hanya karena kelakuannya yang seenaknya itu. Bagaimana
kalau abalon-abalon itu mati?”

“Abalon-abalon itu tidak akan mati!” kata Oliver sambil memukul meja. “Sebenarnya siang tadi saat akan
memberikan pakan, cuaca buruk benar. Hujan turun tapi tidak terlalu deras. Kau tahu? Aku selalu malas
pergi ke tengah laut di saat cuaca tidak bersahabat. Dengan tidak adanya boat di dermaga tadi, aku jadi
memiliki alasan untuk tidak pergi ke tengah laut. Ini keuntungan yang kudapatkan dari Deong! Dan kau
tahu?” Oliver merendahkan suaranya hingga terdengar seperti berbisik. “Bos tidak masuk kerja siang tadi.
Ia pergi ke kota. Jadi, tidak ada yang mengawasiku apakah aku sudah memberikan pakan untuk abalon itu
atau tidak.” Oliver terkekeh-kekeh.

Aku tidak dapat menyembunyikan kekecewaanku. “Jika kau memukulnya, aku yakin sekarang Deong
pasti sudah remuk,” kataku sambil menoleh ke arah Deong yang sedang berenang menuju tiang
mercusuar. “Aku mendengar kau pandai bertarung, Oliver.”

“Ya. Aku suka bertarung ketika masih tinggal di Kampung. Kau mau aku melakukannya sekarang?”

“Apa?”

“Kau mau aku memukul, Deong? Aku bisa melakukannya untukmu.”

Oliver berdiri dari tempat duduknya. Ia berteriak ke arah Deong dan para pekerja lainnya yang sedang
berendam di laut. Mereka berjongkok sehingga hanya kepala mereka yang tampak menyembul di
permukaan air. Tidak ada yang mempedulikan teriakan Oliver meski ia memanggil Deong berkali-kali.

Aku sangat ketakutan. Aku langsung berdiri menghampiri Oliver, menarik lengannya untuk kembali
duduk bersamaku. “Hentikan Oliver!”

“Pengecut. Kau ini pengecut.”

“Sudah kukatakan kau tidak mungkin memukulnya.”

“Hei? Mengapa tidak kau lakukan sendiri saja? Ayo, pukul dia!” Oliver mendorongku. “Katakan kau
tidak suka padanya!” Oliver mendorongku terus.

“Aku bilang hentikan!” Aku berkata dengan gemetar.


Oliver sangat terkejut melihat reaksiku. Orang-orang kini naik kembali ke atas dan melihat ke arah kami.
Beberapa ada yang mencoba mendekat sambil mengeringkan tubuh mereka. Oliver kemudian menepuk
bahuku, memintaku untuk duduk kembali. Ia lalu mengusir orang-orang yang mendekat ke arah kami.

“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud…”

“Kupikir kau kawan yang baik, Oliver. Kau sama saja.”

“Aku hanya ingin menghiburmu. Mengapa kau membencinya? Kupikir tidak ada yang salah dengan…”

Aku diam. Aku menundukkan kepalaku. Aku benarbenar merasa malu.

“Kau ini laki-laki penyendiri. Bagaimana mungkin kau bisa bertahan kalau terus seperti ini. Kau ingin
berhenti bekerja?”

Aku mengangkat wajahku, menatap Oliver. “Aku hanya berkawan baik dengan kau, Oliver.”

Oliver memicingkan matanya. “Tentu. Tapi, kau seharusnya punya banyak kawan. Kau tidak mungkin
lama bertahan bekerja di sini kalau kau hanya berkawan baik denganku.”

Aku terdiam. Aku memandangi sisa kopiku. Oliver masih menatapku sambil mengetukkan jari-jarinya di
atas meja.

“Apa kau membencinya karena persoalan wanita?”

“Bukan hanya itu!”

Oliver terkejut. Aku sendiri tiba-tiba tersadar dari ucapanku, sekonyong-konyong aku menutup mulutku
dengan tangan.

“Jadi benar karena wanita?”

Aku memandang ke arah laut. Bagaimana aku mengatakannya pada Oliver? Aku tidak menyukai Deong
bukan karena persoalan wanita. Tentu bukan itu yang menjadi pokok utamanya. Aku dan Deong bekerja
di laboratorium yang sama, tempat pembuatan kultur fitoplankton dikerjakan setiap hari. Deong selalu
berlagak mengetahui segalanya. Ia juga berpikir, anak-anak yang mengikuti magang di laboratorium kami
sudah menguasai cara kerja kultur hanya dengan satu penjelasan yang singkat. “Sterilkan peralatan
dengan alkohol!”, “Beri pupuk dan campurkan silikat!”, “Nyalakan aerasi!”  Ia berkata dengan suara yang
ditegas-tegaskan. Menyebut kata ‘steril’, ‘plankton’, seolah-olah kata-kata itu mewakilkan kesan bekerja
di laboratorium sebagai sesuatu pekerjaan yang teramat sukar. Padahal prosedurnya sederhana jika kau
memperhatikan dengan baik.

Deong selalu merasa penjelasannya yang singkat itu dapat langsung membuat anak-anak yang mengikuti
magang mengerti prosedur kerjanya sehingga ia menyerahkan sepenuhnya pekerjaan itu pada mereka
tanpa melakukan pengawasan lagi. Ketika ada pekerjaan yang tidak beres, ia akan langsung meluapkan
kemarahannya. “Matamu!” Ia akan memaki dengan menyebut kata itu berulangkali. Kata makian itu lebih
sering ia tujukan kepada anak-anak yang berasal dari Timur. Inilah yang membuatku geram. Sikap Deong
justru lebih lunak jika pelanggaran dilakukan oleh anakanak yang datang dari Barat. Bahkan jika mereka
datang terlambat bekerja dan istirahat lebih awal dari waktu yang ditentukan.

Aku tidak mengatakan semua ini pada Oliver karena aku takut ia tidak memahamiku atau menganggap
hal ini sebagai sesuatu yang biasa saja sehingga mungkin ia akan menuduhku bersikap berlebihan.

“Wanita itu racun! Kau bodoh jika membenci Deong hanya karena persoalan wanita.”
Aku ingin membantah kata-kata Oliver, tapi urung kulakukan. Aku takut pembicaraan kami semakin
melebar sementara aku sendiri sedang merasa tidak nyaman membahasnya. Aku menimbang-nimbang
bahan pembicaraan yang sekiranya dapat mengalihkan obrolan kami soal Deong. Sekonyong-konyong
aku berkata, “Tadi pagi aku mengantarkan bon ke toko Ulva. Kantor kita masih berutang dua galon air.”

“Bagaimana kabar wanita itu? Ia selalu berlagak tidak mengenalku.”

“Sepertinya dia sedang hamil. Aku perhatikan perutnya membuncit.”

Oliver terdiam. Wajahnya tiba-tiba saja berubah. Ia meneguk lagi sisa kopiku hingga tandas. Ia bahkan
mencoba menelan ampas kopi. Ia melakukannya dengan terburu-buru. Mulutnya belepotan ampas kopi.
Tingkahnya menjadi aneh.

“Kuberitahu, wanita itu racun. Jadi, jika kau membenci Deong hanya karena persoalan wanita, kau
benarbenar bodoh. Wanita hanya akan memanfaatkan perasaanmu yang tergila-gila padanya, lalu setelah
kau hanyut, kau akan ditinggalkan begitu saja.”

Aku tidak menanggapi kata-kata Oliver. Aku melihat orang-orang mulai bergegas meninggalkan meja
bundar. Cahaya mercusuar terlihat berputar-putar. Suara Pak Jun yang masih bernyanyi kini terdengar
sayup-sayup.

“Kau dengar aku? Besok kau bantu aku mengumpulkan Ulva. Stok Gracilaria kita hampir habis.
Sepertinya sampai dua hari ke depan, tidak ada pasokan Gracilaria dari petambak.”

“Apa? Kau ingin bertemu Ulva?”

“Jangan sebut namanya!” Oliver membentakku.

Aku terkejut. “Maaf Oliver. Tadi kau menyebut nama Ulva?”

“Dari tadi kau tidak mendengarku? Maksudku, rumput laut Ulva! Bantu aku mengumpulkannya besok.
Apa kau ingin melihat abalon-abalon itu mati?”

Aku hampir tertawa. Tetapi, kutahan saja. Kami memang terbiasa mengumpulkan Ulva, jenis rumput laut
dengan bentuk daun menyerupai kipas yang terdampar sepanjang pantai ketika air laut surut sambil tetap
menunggu pasokan Gracilaria__pakan utama abalon__dari para petambak.

“Aku kangen istriku. Aku ingin kembali ke Kampung.” Oliver menggosokkan kedua telapak tangannya.
Ia terlihat kedinginan.

“Apa kau berniat mengambil cuti, Oliver?”

Oliver terdiam. Tiba-tiba ia menatap tajam padaku. “Jadi, sekarang dia hamil?” Suaranya terdengar berat
dan dingin. “Ulva?” Aku mengangguk dengan ragu. Oliver memandang ke arah laut. Aku tiba-tiba
menyesal menyebut nama Ulva lagi.

Oliver bertanya lagi padaku. “Kau punya rokok? Rasanya sedari tadi mulutku tidak enak.” Ketika
pandangan kami bertemu, aku melihat bayangan bulan separuh di matanya.
Pantai Keberuntungan
Tono adalah salah satu manusia yang baru saja kehilangan keberuntungannya. Karir yang hancur karena
kantornya baru saja mengadakan program PHK besar-besaran, pacarnya yang meninggalkannya gara-gara
tak kunjung dilamar dan masih banyak kesialan yang datang kepadanya. Semua kesialan menimpa
dirinya.

Rasa putus asa tentu datang menghantui Tono. Ia bosan hidup menderita seperti ini. Niatan untuk
mengakhiri hidup terus ada dipikirannya. Tapi nasihat teman-temannya membuat Tono harus berfikir dua
kali untuk melakukan hal tersebut. Parto, teman Tono, tidak bosan-bosan menasehati Tono. Walaupun
mereka  saling mengenal pada saat bekerja di tempat kerja yang baru saja mem-PHK Tono, hubungan
mereka sudah seperti teman sedari kecil. Mereka berdua saling berbaik hati jika salah satu dari mereka
mengalami kesusahan.

“Daripada kau jenuh dan menyesali nasib, ayo ikut aku, kita berlibur ke pantai. Semua ongkos atau
penginapan aku yang bayar,” ucap Parto kepada Tono.

Dari sekian kesialan yang terjadi, mungkin ini adalah salah satu keberuntungan yang baru saja
menghampiri Tono. Diajak berlibur tanpa biaya tentu merupakan keberuntungan. Tono tidak mau
menolaknya ajakan itu. Menolak ajakan itu sama saja menolak rejeki, menurutnya. Lagipula kata orang
tua dulu, menolak rejeki haram hukumnya.

Singkat cerita, dengan modal dengkul dan beberapa stel pakaian, Tono pergi ke pantai bersama Parto dan
pacar Parto menggunakan mobil sewaan. Jika Tono tahu dari awal tidak pergi berduaan saja dengan
Parto, mungkin ia akan pikir-pikir lagi. Tono merasa rikuh, merasa menjadi pengganggu kemesraan Parto
dan pacarnya.

“Kalau tahu seperti ini, aku tak ikut dengan kalian,” ucapnya yang duduk sendirian di jok belakang.

“Aaah sudah lah. Tak usah sungkan-sungkan. Nikmati saja liburan ini. Bila perlu kalau ada apa-apa
bilang saja ke aku.”

Kebaikan Parto membuat Tono menjadi tambah rikuh. Ia bukan saudaranya tapi kebaikannya melebih
saudara. Ingin rasanya Tono membalas semua kebaikan Parto, tapi ia merasa belum bisa. Untuk hidup
saat ini saja kesulitan, apalagi harus berbaik hati kepada orang lain, tentu saja tak bisa.

“Akhirnya sampai juga,” mobil Parto terhenti di parkiran. Mereka segera turun dari mobil. Dengan kaki
yang masih terselimuti sepatu, mereka menuju pasir putih yang terhampar luas itu. Mata Tono
memandang lepas ujung pantai yang jauh, sambil menghirup udara segar yang melayang bebas.

“Aku ingin ke warung. Kalian ikut tidak?” tanya Parto ke pacarnya dan Tono. Pacar Parto tentu saja ikut
dengannya. Sebagai pacar yang baik pasti akan selalu mengikuti kemana ia pergi. Tapi, tidak dengan
temannya itu. Jika Tono mengikuti ajakan Parto, kemungkinan besar pasti ia akan ditraktir olehnya.
Sudah cukup kebaikan Parto yang diterimanya. Tono tidak mau selalu merepotkan temannya itu.

Parto dan pacarnya pergi ke warung yang tidak jauh dari pantai. Sedangkan Tono masih berada di tempat
yang sama, melihat ombak dan orang-orang yang bermain di sekitarnya. Pantai ramai ini membuatnya
sedikit lupa akan kesialan dan keberuntungan. Ia tidak mau ambil pusing dengan takdir itu. Hal yang
sekarang perlu dilakukan adalah menghibur diri dan bersenang-senang.

Matahari yang sedang tertutup awan mendukung suasana pada hari ini. Pasir pantai yang tidak terlalu
panas nampaknya enak jika direbahi. Tono menidurkan tubuhnya dengan posisi miring sambil
menghadapkan wajah ke laut melihat ombak yang saling berkejaran. Sudah lama ia tak melakukan hal
nikmat ini. Terakhir kali mungkin saat ia masih bersekolah dan diajak ibunya ke pantai.

Nikmatnya rebahan di pasir putih membuat mata Tono berat. Ia hampir saja terlelap. Akan tetapi sesuatu
benda mengenai kepalanya, “aduh,” bola voli mengenainya disusul oleh empunya bola datang
menghampiri Tono.

“Aduh maaf ya mas. Aku benar-benar gak sengaja,” ucap seorang wanita.

“Ya tak apa-apa kok. Lagipula hanya bola ini bukan batu,” tawa Tono ringan.

Kejadian itu mengantarkan mereka pada perkenalan. Tono akhirnya tahu nama wanita itu, Bunga. Umur
Bunga tak berjarak jauh di bawah umur Tono. Rumahnya pun masih berada di sekitar pantai ini, dan
masih banyak lain yang Tono ketahui dari perkenalan itu.

“Sebagai tanda permintaan maaf, mari ikut aku makan. Aku yang traktir,” ajak Bunga.

Tono sempat menolaknya karena gengsi, tapi hasrat mencari keberuntungannya tak terelakkan. Ia
akhirnya menerimanya dan menganggap ini adalah suatu keberuntungan yang akan membuka
keberuntungan yang lain.

Sebuah warung nasi kecil menjadi persinggahan mereka. Perbincangan mereka berlanjut lebih dalam.
Mereka menjadi lebih kenal dan akrab. Entah mengapa tiba-tiba rasa itu datang ke hati Tono. Bukan
karena fisiknya yang berambut panjang, berkulit putih bahkan berwajah cantik, tapi hati dan sikapnya
yang perhatian menarik hatinya.

Usai makan siang mereka kembali ke tepian pantai. Duduk di atas pasir bersama menikmati pemandangan
ombak dan tentu saja melanjutkan perbincangan. Tak ada menit yang tak buang tanpa berbincang. Dalam
waktu setengah hari itu, mereka layaknya sudah saling mengenal beberapa tahun. Mereka berdua saling
terbuka dan mengobrol asik. Saking asiknya, langit mulai berubah kekuningan. Matahari nampaknya akan
tenggelam tak sampai setengah jam lagi.

“Kamu mau tidur dimana?” tanya Bunga kepada Tono.

“Aku kesini bersama temanku. Paling tidak ya aku akan istirahat bersamanya.”

“Kalau kamu mau, kamu tinggal di rumah aku saja,” tawar Bunga. “Tapi aku pulang dulu sebentar mau
minta izin ke orang rumah. Aku janji akan kembali lagi.”

Tono sempat berpikir-pikir terlebih dahulu. Ia takut merepotkan orang yang baru ia kenal ini. Tapi jika
disuruh memilih, ia akan lebih suka merepotkan Bunga daripada temannya, Parno. Ia tidak mau lagi
merepotkan Parno dengan memesannya kamar untuk dirinya. Lagipula dengan bermalam di rumah
Bunga, siapa tahu Tono bisa mengenal orang tua dan lebih dekat dengan Bunga.

“Baiklah aku akan istirahat di rumahmu saja.”

Setelah memperoleh jawaban dari Tono, Bunga pergi meninggalkannya. Tapi beberapa menit kemudian
Parno datang menghampiri Tono. Menawarkan sebuah penginapan yang telah ia pesan untuk kawannya
beristirahat.

“Kamu batalkan saja. Aku akan bermalam di rumah temanku.”

“Teman? Beneran?” Parno sempat ragu dengan ucapan Tono. Namun penjelasan yang Tono berikan
membuat Parno menjadi lebih percaya. “Baiklah kalau itu maumu.”
Tono kembali sendirian. Kawannya pergi kembali ke tempat istirahatnya. Tono masih menunggu Dewi.
Ia takut jika beranjak dari tempatnya Dewi akan kembali dan tak mendapati dirinya. Lebih baik terus
menunggu hingga matahari tenggelam daripada pergi.

“Maaf ya membuatmu menunggu lama,” nafas Bunga masih terengah-engah, seperti habis berlari-lari.

“Tak apa kok.”

Bunga mengajak Tono ke rumahnya. Mereka meninggalkan tempat tadi dan mulai menyusuri bibir pantai
yang mulai sepi. Mereka berjalan cukup jauh hingga terhenti di bagian pantai yang sangat sepi. Bunga
menunjukkan rumahnya yang berada di tengah laut.

“Itu rumah kamu beneran?” Tono keheranan.

“Ya benar. Ayo ikut,” Bunga mengandeng tangan Tono. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Tono
mengikuti Bunga menuju ke tengah laut. Perlahan tapi pasti, mereka berjalan ke laut hingga sedikit demi
sedikit tubuh mereka basah dan akhirnya tak terlihat lagi.

Anda mungkin juga menyukai