Anda di halaman 1dari 42

PEDOMAN DIAGNOSTIK DAN TATALAKSANA INFEKSI DENGUE DAN

DEMAM BERDARAH DENGUE MENURUT PEDOMAN WHO 2011


Franciscus Ginting, Josia Ginting, Tambar Kembaren, Armon Rahimi, Endang Sembiring, Restuti Saragih,
Guntur Mulia Jendry Ginting

Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Manifestasi klinis
Infeksi virus dengue dapat terjadi tanpa disertai adanya gejala (asimtomatik), namun
dapat pula menyebabkan demam tidak terdiferensiasi (sindroma viral), demam dengue (DD),
ataupun demam berdarah berdarah dengue (DBD) termasuk sindroma syok dengue (SSD).
Infeksi yang terjadi oleh satu serotipe dengue dapat memberikan imunitas seumur hidup
terhadap serotipe tersebut, namun imunitas silang terhadap serotipe lainnya hanya
berlangsung dalam jangka yang singkat. Manifestasi klinis yang terjadi bergantung dari strain
virus dan faktor penjamu seperti usia, status imunitas, dll. (kotak 5)

Kotak 5 : Manifestasi infeksi virus dengue

Infeksi virus dengue

Asimtomatik Simtomatik

Demam yang Demam dengue Demam berdarah Sindroma dengue expanded


tidak khas dengue (DBD) Organopati terisolasi
(sindroma viral) (Dengan kebocoran plasma) (manifestasi tidak lazim)

Tanpa perdarahan Dengan perdarahan DBD tanpa syok DBD dengan syok
yang tidak biasa Sindroma syok dengue
(SSD)

Penjelasan lebih rinci mengenai infeksi virus dengue dapat dilihat di bawah

Demam yang tidak terdiferensiasi


Demam yang tidak terdiferensiasi merupakan demam pada bayi, anak-anak maupun
dewasa yang disebabkan oleh infeksi virus dengue, khususnya bila infeksi adalah yang
pertama kali terjadi (infeksi dengue primer) dimana demam ini tidak dapat dibedakan dengan

Universitas Sumatera Utara


demam akibat infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular dapat muncul menyertai demam
ataupun pada saat demam berangsur normal. Gejala lain yang sering menyertai adalah gejala
yang melibatkan sistem respirasi dan gastrointestinal.
Demam dengue
Demam dengue adalah demam yang paling sering dijumpai pada kelompok usia anak-
anak, remaja dan dewasa. Secara umum demam dengue merupakan suatu kondisi demam
akut, yang kadang-kadang memiliki pola bifasik dan disertai sakit kepala hebat, mialgia,
athralgia, ruam di kulit, leukopenia dan trombositopenia. Meskipun sebenarnya demam
dengue merupakan suatu kondisi yang tidak berbahaya, namun hal ini dapat menyebabkan
penderita tidak dapat beraktivitas akibat sakit kepala yang hebat, nyeri otot, persendian dan
tulang (break-bone fever), khususnya pada orang dewasa. Kadang-kadang muncul perdarahan
yang tidak khas seperti perdarahan gastrointestinal, hipermenore, serta epistaksis masif. Pada
daerah yang mengalami epidemis demam dengue, penularan demam dengue jarang terjadi
antara sesama penduduk lokal.
Demam berdarah dengue
Demam berdarah dengue (DBD) lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 15
tahun pada area hiperendemik, dan hal ini berkaitan dengan infeki dengue berulang. Namun
demikian insidensinya pada orang dewasa juga meningkat. DBD memiliki ciri berupa demam
tinggi dengan onset akut dengan gejala dan tanda yang mirip dengan gejala dan tanda demam
dengue di fase awal. Pada DBD dapat dijumpai adanya kelainan dalam perdarahan misalnya,
uji tourniquet (rumple leed) positif, petekiae, lebam-lebam serta perdarahan saluran cerna
pada kasus yang lebih berat. Di akhir fase demam, terdapat ancaman terjadinya syok
hipovolemik (sindroma syok dengue) akibat adanya kebocoran plasma.
Munculnya tanda-tanda peringatan (warning signs) seperti muntah persisten, nyeri
abdomen, letargi, gelisah, mudah marah, serta oliguria merupakan hal yang penting untuk
segera ditindaklanjuti dalam rangka mencegah syok. Gangguan hemostasis dan kebocoran
plasma merupakan proses patofosiologis yang utama pada pada DBD. Trombositopenia serta
peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi merupakan gambaran yang selalu ditemui sebelum
turunnya demam/onset dari syok. DBD kebanyakan terjadi pada anak-anak yang mendapat
infeksi kedua dari virus dengue. Terdapat pula laporan kasus DBD yang terjadi pada infeksi
pertama oleh virus DENV-1 dan DENV-3 serta infeksi pada bayi.

Universitas Sumatera Utara


Sindroma dengue expanded
Merupakan suatu manifestasi yang tidak biasa yang semakin sering dilaporkan pada
kasus demam berdarah dengue maupun demam dengue dimana terdapat keterlibatan organ-
organ seperti hati, ginjal, otak dan jantung yang memiliki kaitan dengan infeksi dengue,
namun tidak terdapat bukti adanya kebocoran plasma. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
koinfeksi, komorbiditas, ataupun komplikasi dari syok yang berkepanjangan. Studi yang
lebih mendalam perlu dilakukan untuk kasus ini.
Kebanyakan pasien demam berdarah dengue yang mengalami manifestasi yang tidak
lazim ini disebabkan oleh syok berkepanjangan yang disertai gagal organ ataupun pasien-
pasien dengan komorbid ataupun koinfeksi
Gambaran klinis
Demam dengue
Setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari (rentang 3-16 hari), berbagai
gejala konstitusional yang tidak spesifik serta sakit kepala, nyeri punggung dan malaise mulai
muncul. Onset demam dengue memiliki kekhasan yakni demam yang naik secara tiba-tiba
dengan peningkatan suhu yang tajam serta sering disertai dengan wajah kemerahan dan sakit
kepala. Kadang-kadang, dijumpai menggigil yang menyertai kenaikan suhu yang terjadi
secara mendadak. Setelah itu, dapat muncul nyeri retro orbital yang terutama dirasakan saat
menggerakkan bola mata atau jika dilakukan penekanan pada bola mata, fotofobia, nyeri
punggung, nyeri otot dan nyeri tulang/persendian. Gejala lainnya yang sering muncul adalah
anoreksia dan perubahan sensasi rasa lidah, konstipasi, nyeri kolik abdomen. Nyeri area
inguinal, nyeri tenggorokan serta depresi. Gejala-gejala ini biasanya menetap selama
beberapa hari hingga beberapa minggu. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala pada
demam dengue ini sangat bervariasi dalam hal frekuensi maupun keparahannya.
Demam : suhu tubuh biasanya berkisar 39 oC - 40 oC, demam memiliki pola bifasik,
dan berlangsung selama 5-7 hari pada kebanyakan kasus.
Ruam kulit : ruam kemerahan yang difus/menyeluruh dan berdurasi singkat muncul
pada muka, leher, serta dada dalam dua hingga tida hari pertama, selanjutnya, ruam yang
nyata akan muncul berupa lesi makulopapular atau rubelliformis pada hari ketiga dan
keempat. Di akhir periode demam, atau segera setelah suhu tubuh mulai menurun, ruam yang
difus tersebut akan menghilang, dan kelompok-kelompok petekie lokal akan muncul di
lokasi-lokasi seperti punggung kaki, kaki, telapak tangan serta lengan. Ruam penyembuhan
ini memiliki karakteristik yakni, petechiae yang tersebar diantara area sekelilingnya yang
pucat, dan kulit sekitar yang normal. Rasa gatal pada ruam tersebut dapat dijumpai.

Universitas Sumatera Utara


Manifestasi perdarahan: perdarahan kulit dapat dijumpai sebagai uji tourniquet
positif dan/atau petechiae. Pendarahan lain seperti epistaksis masif, hipermenorrhea dan
perdarahan gastrointestinal jarang terjadi di DD yang diperberat dengan trombositopenia.
Perjalanan penyakit: durasi dan keparahan DD bervariasi antara tiap individu dalam
tiap daerah epidemi. Fase pemulihan mungkin akan tercapai dalam waktu singkat dan tanpa
masalah serius namun kadang-kadang juga sering berkelanjutan. Pada orang dewasa, kadang-
kadang berlangsung selama beberapa minggu dan bisa disertai oleh asthenia dan depresi.
Bradikardia sering terjadi selama selama fase penyembuhan. Perdarahan akibat komplikasi
DD, seperti epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan gastrointestinal, hematuria dan
hipermenorrhoea, jarang terjadi. Namun demikian, perdarahan berat (DD dengan perdarahan
yang tidak lazim) merupakan penyebab penting kematian di DD.
Demam berdarah dengan manifestasi perdarahan harus dibedakan dari demam
berdarah dengue
Temuan laboratorium klinis
Di daerah endemis demam berdarah, uji tourniquet positif dan leukopenia (WBC ≤5000 sel /
mm3) dapat membantu dalam membuat diagnosis awal infeksi dengue dengan nilai prediksi
positif 70% -80%.
Temuan laboratorium pada DD episode akut adalah sebagai berikut:
 Jumlah leukosit biasanya normal pada awal demam; kemudian leukopenia terjadi
dengan menurunnya neutrofil dan berlangsung selama periode demam.
 Jumlah trombosit biasanya normal, demikian pula komponen lain dari sistem
koagulasi. Trombositopenia ringan (100 000-150 000 sel / mm3) sering terjadi.
Sekitar setengah dari pasien DD akan mengalami penurunan jumlah trombosit
hingga < 100.000 sel/mm3 ; namun trombositopenia berat (<50 000 sel / mm3)
jarang terjadi.
 Peningkatan hematokrit (≈10%) dapat ditemukan sebagai konsekuensi dari
dehidrasi terkait dengan demam tinggi, muntah, anoreksia dan asupan oral yang
buruk.
 Biokimia Serum biasanya normal namun nilai enzim-enzim hati dan SGOT dapat
meningkat.
 Perlu dicatat bahwa penggunaan obat-obatan seperti analgesik, antipiretik,
antiemetik dan antibiotik dapat menyebabkan interpretasi yang tumpang tindih
pada fungsi hati dan pembekuan darah

Universitas Sumatera Utara


Diagnosa banding
Diagnosa banding demam dengue mencakup banyak penyakit yang kemungkinan
juga tinggi prevalensinya di suatu daerah tertentu (kotak 6)

Kotak 6. Diagnosa banding demam dengue


 Arbovirus : virus chikungunya (sering salah diagnosa di kawasan Asia Tenggara
 Penyakit akibat virus lainnya : Measles ; rubella dan kelainan kulit akibat virus lainnya ; virus
Epstein-Barr ; enterovirus ; influenza ; hepatitis A ; hantavirus
 Penyakit akibat bakteri : meningokoksemia, leptospirosis, tifoid, melioidosis, rickesttsia, demam
skarlet
 Penyakit akibat parasit : Malaria

Demam berdarah dengue dan Sindroma Syok Dengue


Ciri khas DBD ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali,
dan sering pula gangguan sirkulasi serta syok. Trombositopenia sedang hingga berat
bersamaan dengan hemokonsentrasi / peningkatan hematokrit merupakan temuan
laboratorium yang sering dan khas. Perubahan patofisiologi utama yang menentukan
keparahan DBD dan membedakannya dari DD dan demam berdarah akibat virus lainnya
adalah adanya gangguan hemostasis dan kebocoran plasma yang elektif dalam rongga pleura
abdomen.
Perjalanan klinis DBD diawali dengan kenaikan suhu yang mendadak disertai
kemerahan pada wajah serta gejala lain yang khas pada demam dengue, seperti anoreksia,
muntah, sakit kepala, nyeri otot dan nyeri sendi (Tabel 3). Beberapa pasien DBD mengeluh
sakit tenggorokan yang sejalan dengan ditemukannya injeksi faringeal pada pemeriksaan.
Rasa tidak nyaman di epigastrium, nyeri pada area sub-kosta kanan, nyeri pada seluruh area
abdomen. Suhu biasanya tinggi dan berlanjut selama 2-7 hari sebelum kembali ke suhu
normal atau di bawah normal. Kadang-kadang suhu bisa mencapai 40 ° C, dan kejang demam
dapat pula terjadi. Pola demam bifasik dapat diamati

Universitas Sumatera Utara


Tabel 3. Gejala konstitusional non-spesifik yang dijumpai pada pasien yang mengalami
perdarahan dengan infeksi virus dengue dan chikungunya

Tes tourniquet positif (≥10 petekie / inci persegi), merupakan fenomena perdarahan
yang paling sering dan dapat dijumpai pada awal fase demam. Mudah memar dan pendarahan
di titik pungsi vena sering dijumpai pada banyak kasus. Petekiae halus tersebar di
ekstremitas, aksila, wajah serta palatum lunak dapat dilihat selama fase awal demam. Ruam
petechial konfluen ukuran kecil, bulat dapat terlihat di area kulit yang normal pada fase
pemulihan, seperti juga dalam demam dengue. Ruam makulopapular atau rubelliformi dapat
dijumpai di awal atau di akhir perjalanan penyakit. Epistaksis dan perdarahan gusi tidak
begitu sering dijumpai. Perdarahan gastrointestinal ringan kadang-kadang dapat dijumpai,
namun, hal ini bisa menjadi semakin berat jika pasien sebelumnya menderita ulkus peptikum.
Hematuria jarang terjadi.
Hati biasanya teraba di awal fase demam, bervariasi mulai dari 2-4 cm di bawah
margin kosta kanan. Ukuran hati tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit, tetapi
hepatomegali merupakan tanda yang lebih sering muncul pada kasus syok. Nyeri pada hepar
dapat muncul namun jaundice tidak selalu dijumpai. Perlu diketahui bahwa temuan
hepatomegali sangat bergantung pada pemeriksa. Splenomegali dapat terjadi pada
pemeriksaan bayi di bawah dua belas bulan dan dengan pemeriksaan radiologi. Foto X-ray
lateral dekubitus dada dapat menunjukkan efusi pleura, terutama di sisi kanan, merupakan
temuan yang sring dijumpai. Tingkat efusi pleura berkorelasi positif dengan tingkat

Universitas Sumatera Utara


keparahan penyakit. USG dapat digunakan untuk mendeteksi efusi pleura dan asites. Edema
kandung empedu sering ditemukan sebelum terjadi kebocoran plasma.
Fase kritis DBD, yaitu periode kebocoran plasma, dimulai saat transisi dari fase febris
ke fase afebris. Bukti kebocoran plasma, efusi pleura dan ascites dapat ditemui, namun,
sering tidak terdeteksi dengan pemeriksaan fisik terutama pada fase awal kebocoran plasma
atau jika kasusnya ringan. Peningkatan hematokrit, misalnya 10% sampai 15% di atas
baseline, adalah bukti paling awal.
Bahaya yang paling signifikan dari kebocoran plasma adalah syok hipovolemik.
Bahkan dalam kondisi syok sekalipun, efusi pleura dan ascites mungkin tidak terdeteksi
secara klinis sebelum terapi cairan intravena diberikan. Kebocoran plasma akan semakin
terdeteksi sejalan dengan progresivitas penyakit atau setelah terapi cairan. Pemeriksaan
radiologis dan bukti plasma kebocoran melalui USG sering mendahului deteksi klinis.
Sebuah foto torak lateralis dekubitus kanan dapat meningkatkan sensitivitas untuk
mendeteksi efusi pleura. Edema dinding kandung empedu berhubungan dengan kebocoran
plasma dan mungkin mendahului deteksi klinis. Penurunan albumin serum > 0,5 g / dl dari
Baseline atau < 3,5 g% adalah bukti tidak langsung dari kebocoran plasma
Pada DBD yang ringan, seluruh gejala dan tanda klinis akan berkurang setelah
demam turun. Hilangnya demam akan diikuti oleh berkeringat serta sedikit perubahan pada
kecepatan nadi dan tekanan darah. Perubahan ini mencerminkan adanya gangguan sirkulasi
yang bersifat sementara sebagai akibat dari kebocoran plasma yang relatif ringan. Pasien
biasanya akan sembuh secara spontan ataupun setelah pemberian terapi cairan dan elektrolit.
Sementara itu pada kasus yang sedang hingga berat, kondisi pasien akan semakin
memburuk beberapa hari setelah munculnnya demam. Ada beberapa warning sign seperti
muntah persisten, nyeri abdomen, anoreksia, letargi atau gelisah atau mudah marah, hipotensi
postural dan oliguria. Saat mendekati akhir dari fase demam, atau begitu demam hilang atau
beberapa saat setelah suhu tubuh turun, atau biasanya antara hari ketiga hingga ketujuh
setelah onset demam, akan muncul tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Kulit menjadi dingin,
sianosis kulit sekitar mulut, nadi cepat dan lemah, perubahan kesadaran dimana pasien
terlihat letargi dan gelisah, hal ini dapat berpindah secara cepat kepada kondisi syok. Nyeri
abdomen akut adalah keluhan yang paling sering sesaat sebelum pasien syok.
Ciri dari syok adalah jarak tekanan darah yang sempit yakni < 20 mmHg dengan
peningkatan TD diastolik misalnya 100/90, atau hipotensi. Tanda-tanda berkurangnya perfusi
jaringan : waktu pengisian kapiler yang memanjang (> 3 detik), kulit dingin dan basah serta
gelisah. Pasien syok memiliki resiko dekat dengan kematian jika tidak ada penanganan yang

Universitas Sumatera Utara


cepat dan tepat. Selanjutnya pasien bisa jatuh pada kondisi syok yang sebenarnya dimana
tekanan darah dan atau pols tidak dapat diperiksa (DBD derajat IV). Yang paling penting
diketahui adalah pasien DBD dapat tetap sadar hingga di ujung mendekati derajat akhir
(derajat IV). Syok masih bersifat reversibel pada durasi waktu yang singkat jika pasien segera
mendapat penanganan cairan yang adekuat. Tanpa penanganan pasien akan meniggal dalam
12-24 jam. Kondisi syok akan semakin parah seiring berjalannya waktu dimana akan terjadi
kondisi-kondisi yang akan semakin memberatkan yakni asidosis metabolik, gangguan
elektrolit, kegagalan multiorgan dan perdarahan masif dari beberapa organ. Gagal ginjal dan
hati serta ensefalopati sering terlihat pada syok. perdarahan intrakranial jarang dijumpai dan
bisa terjadi di akhir perjalanan penyakit. Pasien dengan syok yang berlama-lama dan tidak
tetangani memiliki prognosis buruk dan mortalitas yang tinggi.
Penyembuhan pada DBD
Adanya diuresis dan kembalinya selera makan merupakan tanda dari kesembuhan dan
merupakan indikator untuk menghentikan terapi pengganti cairan. Temuan yang sering pada
fase penyembuhan adalah sinus bradikardia atau aritmia serta ruam petekiae khas dengue.
Fase penyembuhan pada pasien yang mengalami syok ataupun tidak biasanya berlangsung
singkat. Namun jika pasien terlanjur mengalami kegagalan organ, maka selanjutnya pasien
perlu mendapat penanganan yang lebih khusus sehingga masa penyembuhan menajdi lebih
panjang. Perlu diketahui bahwa mortalitas pada kelompok yang mengalami gagal organ
cukup tinggi, meski dengan penanganan yang spesifik.
Patogenesis dan patofisiologi
DBD dapat terjadi pada sebagian kecil pasien demam dengue. Meskipun DBD dapat terjadi
pada pasien mengalami infeksi virus dengue untuk pertama kalinya, sebagian besar kasus
DBD terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder. Hubungan antara terjadinya DBD / SSD
dan dengue pada infeksi sekunder berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh dalam
patogenesis DBD. Baik imunitas bawaan seperti sistem komplemen dan sel NK serta
imunitas didapat termasuk humoral dan imunitas yang dimediasi sel terlibat dalam proses ini
Peningkatan aktivasi imunologi, khususnya pada infeksi sekunder, menyebabkan respon
sitokin yang berlebihan mengakibatkan perubahan permeabilitas vaskular. Selain itu, produk
virus seperti NS1 mungkin memainkan peran dalam regulasi aktivasi komplemen dan
permeability vaskular.
Ciri dari DBD adalah adanya lpeningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga
menyebabkan kebocoran plasma, berkurangnya volume intravaskular, dan syok pada kasus
yang berat. Kebocoran yang terjadi bersifat unik karena hanya selektif pada rongga pleura
8

Universitas Sumatera Utara


dan peritoneal dengan periode kebocoran yang singkat (24-48 jam). Pemulihan syok yang
cepat tanpa gejala sisa dan tidak adanya peradangan pada pleura dan peritoneum
menunjukkan bahwa mekanisme yang mendasari kecoran plasma adalah akibat perubahan
fungsional pada pembuluh darah da bukan kerusakan struktural dari endotelium.
Berbagai sitokin yang memiliki efek penigkatan permeabilitas memiliki peran dalam
patogenesis DBD. Namun demikian, kepentingan sitokin-sitokin ini pada DBD masih belum
jelas diketahui. Beberapa studi menyebutkan bahwa pola respon sitokin memiliki hubungan
dengan pola pengenalan silang sel T spesifik dengue. Fungsi reaksi silang sel T nampaknya
berkurang dalam hal aktifitas sitolitik namun justru meningkatkan produksi sitokin-sitokin
seperti TNF-alfa, IFN-g dan kemokin. TNF –alfa dalam suatu studi pada hewan percobaan
memiliki peran dalam terjadinya perdarahan, sementara peningkatan permeabilitas pembuluh
darah dapat terjadi akibat aktifasi sistem komplemen (C3 dan C5). Studi terakhir
menunjukkan bahwa antigen NS1 dari virus dengue memiliki peran dalam meregulasi aktifasi
komplemen dan kemungkinan memiliki peran dalam patogenesis DBD. Jumlah viral load
dan tingkat dari protein virus (NS1) pada DBD diketahui lebih tinggi daripada kasus DD.
Viral load diketahui juga meiliki korelasi langsung dengan tingkat keparahan penyakit
misalnya efusi pleura, trombositopenia.
Nilai laboratorium yang ditemukan pada DBD
 Sel darah putih (WBC) bisa dijumpai normal atau dengan dominasi neutrofil di
fase demam awal. Setelah itu, ada penurunan jumlah darah putih sel dan neutrofil,
mencapai titik nadir menjelang akhir fase demam. Perubahan total jumlah sel
darah putih (≤5000 sel / mm3) dan rasio neutrofil ke limfosit (Neutrofil <limfosit)
berguna untuk memprediksi masa kritis kebocoran plasma. Ini merupkan temuan
yang mendahului trombositopenia atau peningkatan hematokrit. Limfositosis
relatif dengan peningkatan limfosit atipikal umumnya diamati pada akhir fase
demam dan dalam masa pemulihan. Perubahan ini juga terlihat di DD.\
 Hitung jumlah trombosit normal selama fase demam awal. Penurunan ringan bisa
diamati sesudahnya. Penurunan tiba-tiba trombosit di bawah 100 000 terjadi pada
akhir dari fase demam sebelum timbulnya syok atau penurunan demam. Jumlah
hitung trombosit berkorelasi dengan keparahan DBD. Selain itu terdapat pula
gangguan fungsi trombosit. Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali
normal selama masa pemulihan.

Universitas Sumatera Utara


 Hematokrit dijumpai normal pada fase demam awal. Sedikit peningkatan mungkin
karena demam tinggi, anoreksia dan muntah. Kenaikan mendadak hematokrit
diamati secara bersamaan atau segera setelah penurunan jumlah trombosit.
Hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit 20% dari awal, misalnya dari
hematokrit 35% sampai ≥42% adalah bukti obyektif kebocoran plasma.
 Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan temuan yang sering pada DBD.
Penurunan trombosit di bawah 100 000 sel / mm3 biasanya ditemukan antara 3
dan ke-10 hari sakit. Kenaikan hematokrit terjadi pada semua kasus DBD,
terutama dalam kasus-kasus syok. Hemokonsentrasi dengan hematokrit meningkat
sebesar 20% atau lebih adalah bukti obyektif kebocoran plasma. Perlu dicatat
bahwa tingkat hematokrit dapat dipengaruhi oleh Penggantian volume di awal
pengobatan dan pendarahan.
 Temuan umum lainnya adalah hypoproteinemia / albuminaemia (sebagai
konsekuensi dari kebocoran plasma, hiponatremia, dan peningkatan SGOT ringan
(≤200 U / L) dengan rasio AST: ALT> 2.
 Albuminuria ringan dan temporer kadang-kadang bisa dijumpai
 Perdarahan tersembunyi sering ditemukan dalam tinja.
 Dalam kebanyakan kasus, pemeriksaan koagulasi dan faktor fibrinolitik
menunjukkan penurunan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan
antitrombin III. Penurunan antiplasmin (plasmin inhibitor) telah dicatat dalam
beberapa kasus. Dalam kasus yang parah ditandai dengan disfungsi hati.
Penurunan juga terjadi pada kofaktor protrombin yang bergantung vitamin K
seperti faktor V, VII, IX dan X.
 Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin juga memanjang pada sekitar
setengah dan sepertiga kasus DBD. Waktu trombin juga berkepanjangan pada
kasus yang berat.
 Hiponatremia sering diamati pada DBD dan lebih berat pada keadaan syok.
 Hipokalsemia (dikoreksi untuk hipoalbuminemia) telah diamati pada semua kasus
DBD pada tingkat lebih rendah derajat III dan IV.
 Asidosis metabolik sering ditemukan dalam kasus-kasus dengan syok
berkepanjangan. BUN meningkat pada syok yang berkepanjangan

10

Universitas Sumatera Utara


Kriteria Diagnosa Klinis DBD/SSD
Manifestasi klinis
 Demam : dengan onset akut, demam tinggi dan berlangsung terus menerus,
lamanya demam kebanyakan dua hingga tujuh hari.
 Terdapat satu dari manifestasi perdarahan berikut : uji torniquet positif (paling
sering), petekie, purpura (pada area pengambilan sampel darah vena) , ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan/atau melena
 Hepatomegali dapat dijumpai pada 90-98% anak-anak.
 Syok, dengan manifestasi takikardia, perfusi jaringan yang buruk dengan pols
yang lemah serta tekanan nadi yang sempit ( < 20 mmHg ) atau hipotensi yang
disertai dengan akral dingin dan lembab dan atau gelisah.
Laboratorium
 Trombositopenia ( < 100.000 / mm3 )
 Hemokonsentrasi : hematokrit meningkat > 20% dari baseline pasien tersebut atau
populasi dengan usia sama.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau
peningkatan nilai hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosa DBD. Jika terdapat
hepatomegali selain dua kriteria klinis diatas, maka DBD dapat disangkakan sebelum
munculnya tanda-tanda kebocoran plasma.
Munculnya efusi pleura (yang ditemukan berdasarkan rontgen torak maupun
sonografi) merupakan bukti yang paling objektif terhadap adanya kebocoran plasma, dengan
hipoalbuminemia sebagai bukti pendukungnya. Hal ini bermanfaat untuk mendiagnosa DBD
pada kondisi :
 Anemia
 Perdarahan hebat
 Tidak ada nilai baseline hematokrit
 Peningkatan hematokrit < 20 % dikarenakan pemberian terapi intravena dini.
Pada keadaan syok, nilai hematokrit yang tinggi disertai trombositopenia dapat
menyokong diagnosis SSD. Nilai laju endap darah (LED) yang rendah yakni < 10 mm/1 jam
pertama dapat membedakan antara syok akibat SSD dan syok akibat sepsis
Temuan klinis dan laboratorium yang berkaitan dengan berbagai tingkat/grade DBD
dapat dilihat pada kotak 7.

11

Universitas Sumatera Utara


Kotak 7. Manifestasi/perubahan patofisiologis utama pada DBD
Infeksi Dengue

Demam Manifestasi Hepatomegali Trombositopeni Derajat


Anoreksia perdarahan ; a keparahan
Muntah paling sering uji DBD
torniquet (+), Peningkatan
petekie permeabilitas vaskular

Hemokonsentrasi
Dehidrasi Hipoproteinemia Kebocoran Plasma I

Efusi Pleura/Ascites Koagulopati


II
Hipovolemia
Koagulasi
Intravaskular III
Diseminata
Syok (KID)

Perdarahan masif : IV
perdarahan saluran
cerna (tersembunyi),
Kematian perdarahan otak, dll

DBD/SSD

Demam Dengue

Pembagian Tingkat Keparahan DBD


Keparahan DBD dapat dibagi menjadi 4 derajat (tabel 4). Munculnya trombositopenia
bersamaan dengan hemokonsentrasi merukan petanda yang membedakan DBD derajat I dan
II dengan demam dengue. Pembagian derajat keparahan pada DBD telah terbukti bermanfaat
secara klinis maupun epidemiologis pada populasi anak-anak berdasarkan studi yang
dilakukan oleh WHO pada daerah endemis di Asia Tenggara, Pasifik Barat, serta daerah
Amerika. Sementara itu, pengalaman klinis yang didapat di Kuba, Puerto Rico dan Venezuela
menyebutkan bahwa klasifikasi ini juga bermanfaat pada pasien-pasien dewasa.
Diagnosa Banding DBD
Pada awal fase demam, diagnosa banding meliputi spektrum yang luas dari infeksi
virus, bakteri serta protzoa yang menyerupai DD. Manifestasi perdarahan yang muncul,
misalnya uji torniquet positif serta leukopenia (< 5000 sel/mm3) dapat diduga suatu kasus
dengue. Munculnya trombositopenia bersamaan dengan hemokonsentrasi dapat membedakan

12

Universitas Sumatera Utara


DBD/SSD dari penyakit lainnya. Pada pasien yang tidak mengalami kenaikan nilai
hematokrit akibat adanya perdarahan hebat dan/atau penatalaksanaan cairan intravena yang
lebih cepat, adanya efusi pleura/ascites menandakan adanya suatu kebocoran plasma.
Hipoproteinemia/hipoalbuminemia dapat juga menjadi penanda adanya kebocoran plasma,
Nilai laju endap darah (LED) yang normal merupakan penanda untuk membedakan infeksi
dengue dari infeksi bakterial dan syok septik. Hal yang perlu dicatat adalah, selama periode
syok, LED bernilai < 10 mm/jam
Tabel 4. Klasifikasi infeksi dengue serta pembagian derajat keparahan DBD menurut WHO
DD/DBD DERAJAT GEJALA DAN TANDA LABORATORIUM
DD Demam yang disertai dengan salah satu :  Leukopenia (< 5000 sel/mm3)
 Sakit kepala  Trombositopenia (hitung
 Nyeri retroorbital platelet < 150.000 sel/mm3)
 Mialgia  Peningkatan hematokrit(5-10%)
 Atralgia/nyeri tulang  Tidak ada bukti kebocoran
 Ruam kulit plasma
 Manifestasi perdarahan
 Tidak ada bukti kebocoran plasma
DHF I Demam dan manifestasi perdarahan (uji Trombositopenia (hitung platelet <
torniquet positif) serta 100.000 sel/mm3) ; Peningkatan
Adanya bukti kebocoran plasma hematokrit > 20%
DHF II Seperti pada derajat I ditambah Trombositopenia (hitung platelet <
perdarahan spontan 100.000 sel/mm3) ; Peningkatan
hematokrit > 20%
DHF III Seperti pada derajat I dan II ditambah Trombositopenia (hitung platelet <
kegagalan sirkulasi 100.000 sel/mm3) ; Peningkatan
(nadi lemah, tekanan darah menyempit [< hematokrit > 20%
20 mmHg), hipotensi, gelisah
DHF IV Seperti pada derajat III ditambah syok Trombositopenia (hitung platelet <
yang nyata dimana tekanan darah dan nadi 100.000 sel/mm3) ; Peningkatan
tidak dapat terdeteksi hematokrit > 20%

Komplikasi
Komplikasi Demam Dengue
Demam dengue dengan perdarahan dapat terjadi sebagai akibat adanya penyakit lain
yang mendasari seperti ulkus peptikum, trombositopenia dan trauma. DBD bukan merupakan
kesatuan dari DD.
Komplikasi DBD
Komplikasi DBD yang terjadi biasanya dikaitkan dengan syok yang
nyata/berlangsung lama sehingga menyebabkan asisdosis metabolik dan perdarahan hebat
sebagai akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID) dan kegagalan multiorgan
seperti disfungsi hati dan ginjal. Hal yang lebih penting diperhatikan adalah bahwa
pemberian cairan yang berlebihan selama periode kebocoran plasma dapat menyebabkan
efusi yang masif dan gangguan pernafasan, bendungan paru akut dan/atau gagal jantung.

13

Universitas Sumatera Utara


Cairan yang terus diberikan setelah berakhirnya periode kebocoran plasma dapat berakibat
edema paru akut ataupun gagal jantung, khususnya dengan adanya reabsorbsi cairan yang
sebelumnya mengalami ekstravasasi. Selain itu, syok yang nyata/berlama-lama serta
pemberian cairan yang tidak tepat dapat menyebabkan gangguan metabolik/elektrolit.
Gangguan metabolik yang paling sering ditemukan adalah hipoglikemia, hiponatremia,
hipokalemia dan kadang-kadang hiperglikemia. Hal ini dapat berakibat munculnya berbagai
manifestasi yang jarang, misalnya ensefalopati.
Sindroma Dengue Expanded
Dalam beberapa tahun terakhir, dengan penyebaran geografis dari infeksi dengue dan
meningkatnya kejadian pada dewasa, semakin banyak laporan yang muncul mengenai adanya
manifestasi-manifestasi yang tidak lazim pada DD dan DBD. Hal ini meliputi keterlibatan
neurologis, hati, ginjal dan keterlibatan organ tunggal lainnya. Hal ini bisa saja merupakan
akibat dari syok yang berat atau berkaitan dengan kondisi/penyakit dasar pasien atau
koinfeksi.
Manifestasi neurologis yang dapat dijumpa misalnya kejang, spastisitas, perubahan
kesadaran, serta paresis sementara. Manifestasi yang muncul bergantung dari etiologi yang
mendasarinya serta waktu/saat terjadinya apakah pada waktu viremia, kebocoran plasma atau
pada saat penyembuhan.
Kasus ensefalopati yang fatal pernah dilaporkan di Indonesia, Malaysia, Myanmar,
India dan Puerto Rico. Namun kebanyakan dari kasus-kasus tersebut tidak menjalani otopsi
untuk menyingkirkan penyebab lain seperti perdarahan ataupun penyumbatan pembuluh
darah. Meskipun terbatas, terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pada beberapa
kejadian yang jarang, virus dengue dapat melewati sawar darah otak dan menyebabkan
ensefalitis. Perlu diketahui bahwa upaya untuk menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi
lain yang mungkin terjadi secara bersamaan belum dilakukan secara lebih mendalam. Tabel 5
memberikan gambaran manifestasi dengue yang tidak lazim/atipikal secara detail
Manifestasi yang tidak lazim/atipikal yang telah disebutkan diatas mungkin saja tidak
dilaporkan dengan baik atau, mungkin pula tidak berkaitan dengan dengue. Namun demikian,
penilaian klinis secara tepat sangat diperlukan untuk manajemen yang tepat pula, dan studi
untuk menentikan kausa harus dilakukan.
Pasien dengan resiko tinggi
Faktor-faktor yang terdapat pada penjamu (host) dibawah ini berperan dalam
perburukan penyakit dan munculnya komplikasi :
 Bayi dan orang tua
14

Universitas Sumatera Utara


 Obesitas
 Wanita hamil
 Penyakit ulkus peptikum
 Perempuan yang sedang haid ataupun mengalami perdarahan pervagina abnormal
 Penyakit-penyakit hemolitik misalnya defisiensi G6PD, talasemia, serta
hemoglobinopati lainnnya.
 Penyakit jantung bawaan
 Penyakit-penyakit kronis seperti : diabetes melitus, hipertensi, asma, penyakit
antung iskemik, gagal ginjal kronik, sirosis hati
 Pasien yang mendapat pengobatan steroid ataupun OAINS
 Dan lain-lain

Tabel 5. Sindroma dengue expanded (manifestasi yang tidak lazim/atipikal dari dengue)
Sistem Manifestasi yang tidak khas/atipikal
Neurologis Kejang demam pada anak-anak
Ensefalopati
Ensefalitis/meningitis aseptik
Perdarahan intrakranial/trombosis
Efusi subdural
Mononeuropati/polineuropati/sindroma Guillane-Barre
Mielitis transversal
Gastrointestinal/hepatik Hepatitis/gagal hati fulminan
Kolesistitis akalkulus
Pankreatitis akut
Hiperplasia Peyer’s patch
Parotitis akut
Renal Gagal ginjal akut
Sindroma hemolitik uremik
Kardiak Gangguan konduksi
Miokarditis
Perikarditis
Respiratory Acute respiratory distress syndrome
Perdarahan paru
Muskuloskletal Miositis dengan peningkatan kreatinin fosfokinase (CPK)
Rhabdomiolisis
Limforetikular/Sumsum tulang Infeksi terkait sindroma hemofagositik
IAHS atau Hemofagositik limfohistiositosis (HLH), idiopathic
thrombocytopenic purpura (ITP)
Ruptur spontan lien
Infark nodus limfatikus
Mata Perdarahan makular
Gangguan ketajaman penglihatan
Neuritis optik
Lain-lain Sindroma fatique paska infeksi, depresi, halusinasi, psikosis, alopesia

15

Universitas Sumatera Utara


Manifestasi klinis DD/DBD pada pasien dewasa
Bila dibandingkan dengan pada anak-anak, orang dewasa yang terserang dengue
mengalami manifestasi gejal yang lebih berat, sakit kepala, otot, persendian dan tulang yang
menyebabkan pasien menjadi tidak berdaya. Depresi, insomnia dan sindroma fatique paska
infeksi dapat menyebabkan proses penyembuhan menjadi semakin lama. Sinus bradikardi
dan aritmia selama fase penyembuhan lebih sering terjadi pada orang dewasa dibanding pada
anak-anak.
Secara umum, persentase kejadian DBD lebih tinggi pada anak-anak dibanding
dewasa. Perjalanan penyakit DBD pada dewasa sama dengan yang terjadi pada anak-anak.
Namun, beberapa studi menyebutkan bahwa kejadian kebocoran plasma yang berat lebih
jarang terjadi pada dewasa. Terdapat beberapa negara dimana kematian akibat dengue
terbanyak terjadi pada orang dewasa, dimana hal ini disebabkan akibat keterlambatan
diagnosis DBD/syok serta tingginya insidensi perdarahan dengan keterlambatan transfusi
darah. Pasien yang mengalami syok tersebut dilaporkan masih mampu untuk bekerja hingga
syok menjadi semakin dalam.
Selain itu, upaya pasien untuk mengobati diri sendiri seperti mengkonsumsi
parasetamol, OAINS, anti emetik, dan obat-obatan lain yang mungkin memperburuk fungsi
hati dan trombosit. Kadang-kadang demam yang muncul pada dewasa tidak disadari oleh
pasien sendiri. Kondisi-kondisi di atas beresiko lebih tinggi untuk mengalami ulkus peptikum
dan kondisi-kondisi lain seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Ringkasan kriteria
diagnosis DD/DBD dapat dilihat pada kotak 8a-8c

Kotak 8a : Diagnosis DD dan DHF


Demam dengue
Kemungkinan diagnosis jika :
Demam akut yang disertai dua atau lebih hal berikut :
 Sakit kepala
 Nyeri retro-orbital
 Mialgia
 Atralgia/nyeri tulang
 Ruam kulit
 Manifestasi perdarahan
 Leukopenia ( < 5.000 sel/mm3)
 Trombositopenia ( < 150.000 sel/mm3)
 Hematokrit meningkat (5-10%)
Dan setidaknya terdapat satu dari dibawah ini :
 Pemeriksaan serologi serum dalam sekali pemeriksaan : titer > 1280 dengan tes hemaglutinasi inhibisi,
IgG pada ELISA, serta tes IgM antibodi
 Terjadi pada waktu dan tempat yang sama terhadap kasus yang dikonfirmasi sebagai demam dengue
Konfirmasi diagnosis jika:
Sangkaan kasus dengan setidaknya satu dari kriteria dibawah :

16

Universitas Sumatera Utara


 Isolasi virus dengue dari serum, CSF ataupun dari otopsi
 Peningkatan IgG sebesar empat kali lipat atau lebih (dengan pemeriksaan hemagutinin inhibisi tes) atau
peningkatan IgM antibodi terhadap virus dengue
 Deteksi virus dengue atau antigennya di jaringan, serum, ataupun cairan serebrospial dengan
pemeriksaan imunohistokimia, imunofluoresensi ataupun ELISA
 Dijumpainya urutan genom virus dengue dengan pemeriksaan rt-PCR

Kotak 8b : Demam berdarah dengue


Semua kriteria dibawah ini :
 Demam onset akut durasi 2-7 hari .
 Manifestasi perdarahan , yang ditunjukkan oleh salah satu dari berikut : tes tourniquet positif, petechiae ,
ekimosis atau purpura , atau perdarahan dari mukosa , saluran pencernaan , area penyuntikan dan lain-
lain
 Ttrombosit ≤100 000 sel / mm3
 Bukti objektif kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang ditunjukkan
oleh salah satu dari berikut ini:
o Meningkatnya hematokrit / hemokonsentrasi ≥20 % dari baseline atau penurunan hematokrit pada
masa pemulihan, atau bukti kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemia /
hipoalbuminaemia

Kotak 8c : Sindroma Syok Dengue


Kriteria untuk DBD seperti di atas dengan tanda-tanda syok termasuk :
 Takikardia, ekstremitas dingin, waktu pengisian kapiler memanjang, nadi lemah, lesu atau gelisah, yang
mungkin merupakan tanda dari penurunan perfusi otak .
 Tekanan nadi ≤20 mmHg dengan peningkatan tekanan diastolik , misalnya 100/80 mmHg .
 Hipotensi yang disesuaikan dengan usia, yakni tekanan sistolik < 80 mmHg untuk mereka yang berusia <
5 tahun atau 80 - 90 mmHg untuk anak-anak dan orang dewasa .

Diagnosis Laboratorium
Mendiagnosis Diagnosis dengue secara cepat dan akurat sangat penting untuk : (1)
pengawasan epidemiologi ; (2) manajemen klinis ; (3) penelitian; dan (4) uji vaksin.
Pengawasan secara epidemiologi membutuhkan penentuan secara dini infeksi virus dengue
selama perode wabah untuk segera menentukan sikap dari bidang kesehatan masyarakat
termasuk mengontrol serta mendeteksi serotipe / genotipe yang beredar selama periode antar
- epidemi untuk digunakan untuk memperkirakan kemungkinan wabah selanjutnya.
Manajemen klinis memerlukan diagnosis yang cepat, konfirmasi diagnosis klinis serta
diagnosis banding dari flaviviruses / agen infeksi yang lain.
Tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mendiagnosis demam berdarah dan
DBD antara lain:
 Isolasi Virus - Serotipe / karakterisasi genotipe
 Deteksi asam nukleat Viral
 Deteksi antigen virus

17

Universitas Sumatera Utara


 Tes respon imunologi berdasarkan tes antibodi IgM dan IgG
 Analisis parameter hematologi
Uji Diagnostik dan Fase dari Infeksi Dengue
Viremia akibat dengue biasanya berlangsung singkat, biasanya terjadi 2-3 hari
sebelum timbulnya demam kemudian masa penyakit berlangsung selama empat sampai tujuh
hari. Selama periode ini virus dengue, asam nukleat dan beredar antigen virus dapat dideteksi
(Gambar 5).
Respon antibodi terhadap infeksi terdiri dari kemunculan berbagai jenis
imunoglobulin; dan IgM dan IgG merupakan imunoglobulin memiliki nilai diagnostik pada
dengue. Antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari 3-5 setelah mulai sakit, naik cepat sekitar
dua minggu dan selanjutnya menurun hingga tingkat yang tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan.
Antibodi IgG dapat dijumpai pada kadar yang rendah hingga akhir minggu pertama,
kemudian meningkatk secara tetap bertahap dan dapat bertahan untuk jangka yang panjang
(selama bertahun-tahun). Karena munculnya antibodi IgM ini cukup lambat, yaitu setelah
lima hari sejak timbulnya demam, uji serologis ini biasanya memberikan hasil negatif selama
lima hari pertama sejak pasien mulai sakit.
Pada infeksi dengue sekunder (ketika host sebelumnya telah terinfeksi virus DBD),
titer antibodi meningkat pesat. Antibodi IgG dapat terdeteksi dengan kadar yang tinggi,
bahkan di fase awal, dan bertahan beberapa bulan sampai seumur hidup. Tingkat antibodi
IgM secara signifikan lebih rendah dalam kasus-kasus infeksi sekunder. Oleh karena itu, rasio
IgM / IgG biasanya digunakan untuk membedakan antara infeksi dengue primer dan
sekunder. Trombositopenia biasanya diamati antara ketiga dan hari kedelapan penyakit
diikuti oleh perubahan hematokrit.
Gambar 5 menunjukkan alur perjalanan infeksi virus dengue primer dan sekunder dan
metode diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi pada waktu tertentu.

18

Universitas Sumatera Utara


Gambar 5. Alur perjalanan infeksi virus dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik yang dapat
digunakan untuk mendeteksi infeksi pada waktu tertentu

Spesimen : Pengambilan, Penyimpanan dan Pengiriman


Aspek yang penting dari diagnosis laboratorium dengue adalah tepat pengumpulan,
pengolahan, penyimpanan dan pengiriman spesimen klinis. Jenis spesimen serta hal yang
diperlukan dalam penyimpanan serta pengirimannya dapat dilihat pada tabel 6

Tabel 6. Hal-hal yang diperlukan dan pengambilan, penyimpanan dan pengiriman spesimen
Jenis Bahan Waktu Retraksi klot Penyimpanan Pengiriman
Pengambilan
Darah fase akut (S1) 0-5 hari setelah 2-6 jam, 4oC Serum – 70oC Es Kering
onset gejala
Darah fase 14-21 hari setelah 2-24 jam, suhu Serum – 20oC Suhu beku atau
penyembuhan (S2+S3) onset gejala lingkungan lingkungan
Jaringan Sesegera mungkin 70oC atau dalam Es kering atau
setelah kematian formalin lingkungan

Pemilihan metode pemeriksaan serologis tertentu berdasarkan identifikasi perubahan


di tingkat antibodi spesifik dilakukan dalam spesimen yang berpasangan. Oleh karena
pemeriksaan secara serial diperlukan untuk mengkonfirmasi atau membantah diagnosis
infeksi flavivirus akut atau infeksi dengue .
Pengumpulan spesimen dilakukan pada interval waktu yang berbeda seperti yang
disebutkan di bawah ini :
 Kumpulkan spesimen sesegera mungkin setelah onset penyakit , kedatangan ke
rumah sakit atau klinik ( ini disebut spesimen fase akut , S1 )

19

Universitas Sumatera Utara


 Kumpulkan spesimen sesaat sebelum keluar dari rumah sakit atau, dalam kasus
yang fatal, pada saat kematian ( spesimen fase penyembuhan , S2 ) .
 Kumpulkan spesimen ketiga, dalam hal pasien dipulangkan dalam waktu 1-2 hari
setelah penurunan demam, 7-21 hari setelah serum saat fase akut diambil
(spesimen fase penyembuhan akhir , S3 ) .
Interval waktu yang optimal diantara spesimen yang berpasangan misalnya, spesimen
darah akut (S1) dan spesimen fase penyembuhan (S2 atau S3) adalah 10-14 hari.
 Formulir permintaan sampel dan pelaporan untuk pemeriksaan laboratorium
dengue disediakan dalam Lampiran 1. Darah sebaiknya dikumpulkan dalam
tabung atau botol, tapi kertas filter dapat digunakan jika ini adalah satu-satunya
pilihan . Sampel kertas filter tidak cocok untuk isolasi virus
Metode diagnostik untuk mendeteksi infeksi dengue
Selama fase awal (hingga hari ke VI sejak onset), isolasi virus, asam nukleat virus,
atau antigen dapat digunakan untuk mendiagnosa infeksi. Di akhir fase akut infeksi,
pemeriksaan imunologis merupakan metode terpilih untuk mendiagnosa infeksi.
Isolasi virus : isolasi virus dengue dari spesimen klinis mungkin dilakukan pada
sampel yang diambil dalam 6 hari pertama sejak sakit dan segera diproses tanpa penundaan.
Spesimen yang cocok untuk isolasi virus termasuk : serum fase akut, jaringan otopsi pada
kasus yang fatal. (khusunya hati, limpa, kelenjar limfe dan timus), serta dari nyamuk yang
diambil dari area yang endemis.
Deteksi asam nukleat virus : terdiri dari reverse transcriptase-polymerase chain
reaction (RT-PCR), Nested PCR, one-step multiplex PCR, real-time RT-PCR, metode
amplitudo isotermal
Deteksi antigen virus : merupakan glikoprotein yamg diproduksi oleh semua
flavivirus (NS1). Antigen NS1 muncul di hari pertama gejala penyakit dan menghilang di
hari ke 5-6. Oleh karena itu, tes NS1 bisa dijadikan sarana untuk diagnostik yang lebih cepat.
Respon imunologis dan uji serologis
Metode ini terdiri dari : IgM-capture enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-
ELISA), IgG-ELISA, IgM/IgG ratio, Haemagglutination inhibition test, Complement fixation
test, Neutralization test,
Uji diagnostik cepat
Pemeriksaan ini menggunakan perangkat sederhana untuk mendeteksi adanya anibodi
dengue IgM dan IgG secara cepat (15 menit). Namun tingkat akurasinya masih belum

20

Universitas Sumatera Utara


tervalidasi. Kemungkinan positif palsu dapat terjadi akibat reaksi silang dengan antigen
flavivirus lain, malaria, leptospira, ataupun kelainan imun seperti SLE.
Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan standar trombosit dan hematokrit sangat penting untuk mendiagnosa
infeksi dengue. Oleh karena itu, pemeriksaan hematologi harus dilakukan secara ketat pada
infeksi dengue.
Trombositopenia ( < 100.000 sel/mm3) dapat terlihat sesekali pada demam dengue,
namun pada DBD hal ini hampir selalu terjadi. Hal ini terjadi di hari ketiga hingga kedelapan
sejak onset, seringnya terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan pada hematokrit.
Hemokonsentrasi dengan kenaikan hematokrit > 20% merupakan dasar untuk
mempertimbangkan diagnosa definitf adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
kebocoran plasma.

Manajemen Klinis Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue


Spektrum klinis infeksi dengue mencakup infeksi asimtomatik, DD dan DBD, yang
ditandai dengan kebocoran plasma dan manifestasi perdarahan . Pada akhir masa inkubasi,
penyakit dimulai secara tiba-tiba dan diikuti oleh tiga tahap, demam, kritis dan fase
pemulihan, seperti yang digambarkan dalam skema di bawah ini (Gambar 7) :

Gambar 7. Alur perjalanan infeksi dengue

21

Universitas Sumatera Utara


Alur triase pasien yang dicurigai dengue di unit rawat jalan
Selama epidemi, semua rumah sakit termasuk di tingkat tersier, menerima pasien-
pasien dengue dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu, pihak berwenang rumah sakit harus
mengatur “meja khusus dengue” untuk menskrining dan memilah pasien yang diduga demam
berdarah. Jalur triase yang dianjurkan dapat dilihat di kotak 9 dan kotak 10.

Kotak 9 : Langkah-langkah skrining pasien di rawat jalan dalam periode endemik

REGISTRASI

Skrining : Anamnesis Tanda vital Darah Emergensi : Tampilan


dan warning sign Lengkap klinis yang berat

Pemeriksan medis dan


manajemen awal

Edukasi keluarga Observasi Rawat inap

Peresepan

Follow up
Jalur emergensi

22

Universitas Sumatera Utara


Kotak 10 : Jalur triase untuk infeksi dengue

Demam dengan dugaan manifestasi perdarahan akibat dengue, sakit kepala, nyeri retro
orbital, mialgia, atralgia/nyeri tulang, ruam kulit

Uji torniquet

Demam < 3 hari Demam > 3 hari

Darah lengkap
Dengan warning Tanpa warning
sign sign
Leukopenia dan atau Tanpa leukopenia
trombositopenia atau trombositopenia
 Darah lengkap  Darah lengkap
 Gula darah sebagai baseline
 Pertimbangkan  Edukasi keluarga Warning Warning Warning Warning
resusitasi cairan (kotak 12) sign (-) sign (+) sign (+) sign (-)
IV/atasi dehidrasi  Pulang berobat jalan
 DD kondisi lain  Follow up tiap hari
 Observasi jangka jika memungkinkan
pendek/panjang
tergantung dx
Obeservasi/rawat
Beresiko
Pertimbangakan cairan IV
tinggi Monitoring dengue

Triase Primer
Triase harus dilakukan oleh orang yang terlatih dan kompeten.
 Jika pasien tiba di rumah sakit dalam kondisi parah / kritis, kirim pasien langsung
kepada perawat / asisten medis terlatih (lihat nomor 3 di bawah).
 Untuk pasien lain, lanjutkan sebagai berikut:
1. Riwayat durasi (jumlah hari) demam dan warning sign (Kotak 11) pada pasien
berisiko tinggi yang akan dinilai oleh perawat atau staf terlatih, tidak selalu
berasal dari medis.
2. Uji tourniquet harus dilakukan oleh tenaga terlatih (jika jumlah tenaga terlatih
tidak memadai, cukup berikan tekanan 80 mmHg untuk> 12 tahun dan 60
mmHg untuk anak-anak usia 5 sampai 12 tahun selama lima menit).
3. Tanda-tanda vital, termasuk suhu, tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan
dan perfusi perifer, mesti diperiksa oleh perawat terlatih atau asisten medis.
Perfusi perifer dinilai dengan palpasi tekanan volume nadi, suhu dan warna
ekstremitas, serta waktu pengisian kapiler. Prosedur ini merupakan keharusan

23

Universitas Sumatera Utara


bagi semua pasien, terutama ketika monitor tekanan darah digital dan
peralatan-peralatan medis lainnya tersedia. Perhatian khusus harus diberikan
kepada pasien yang tidak demam namun dengan takikardia. Pasien-pasien
seperti ini dan yang mengalami penurunan perfusi perifer harus dirujuk segera
untuk mendapatkan setidaknya perhatian medis khusus, pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan kadar gula darah secepatnya.
4. Rekomendasi pemeriksaan darah lengkap :
 Semua pasien demam pada kunjungan pertama harus diperiksa baseline
hematokrit, leukosit dan trombosit.
 Semua pasien dengan warning sign.
 Semua pasien dengan demam > 3 hari.
 Semua pasien dengan gangguan sirkulasi/syok (pasien ini harus menjalani
cek glukosa).
Hasil pemeriksaan darah lengkap : Jika terdapat leukopenia dan / atau
trombositopenia, maka pada pasien dengan warning sign harus dikirim untuk
konsultasi medis segera.
5. Konsultasi medis : direkomedasikan untuk Konsultasi medis sesegera
mungkin pada keadaan berikut :
 Syok
 Pasien dengan warning sign khususnya bagi pasien dengan lama penyakit
> 4 hari
6. Keputusan untuk observasi dan penatalaksanaan :
 Syok : resusitasi dan rawat inap
 Pasien dengan hipoglikemia tanpa leukopenia dan/atau trombositopenia
harus diberikan infus glukosa sesegera mungkin kemudian dilanjutkan
dengan pemberian cairan intravena pemeliharaan yang mengandung
glukosa. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan untuk menentukan
kemungkinan penyebab penyakit. Pasien-pasien ini harus diobservasi
dalam jangka waktu 8-24 jam. Pastikan telah terjadi perbaikan klinis
sebelum pasien dipulangkan, dan pasien tersebut harus dipantau setiap
hari.
 Pasien-pasien dengan warning sign.
 Pasien berisiko tinggi dengan leukopenia dan trombositopenia

24

Universitas Sumatera Utara


7. Edukasi kepada Pasien dan keluarganya harus disampaikan dengan cermat
sebelum pasien dipulangkan (Kotak 12). Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk
kelompok yang berjumlah 5 hingga 20 pasien yang dilakukan oleh staf yang
terlatih yang bisa saja bukan perawat / dokter. Nasehat harus mencakup
istirahat total/bed rest, intake cairan oral atau diet lunak, spon hangat dapat
digunakan untuk menurunkan dema selain dengan parasetamol. Informasi
tentang warning sign harus ditekankan, dan harus dijelaskan kapan pasien
harus diperiksa secara medis secepatnya, bahkan jika jadwal kunjungan
berikutnya masih belum tiba.
8. Follow-up : Pasien harus mengerti bahwa masa kritis jusrtu terjadi pada saat
tidak demam dan tindak lanjutnya adalah dengan pemeriksaan darah lengkap
untuk mendeteksi tanda-tanda bahaya dini, seperti leukopenia,
trombositopenia, dan / atau kenaikan hematokrit. Pemantauan harian
diperlukan, kecuali mereka yang telah kembali aktivitas normal atau jika suhu
sudah mulai kembali turun

Kotak 11 : Warning sign


 Tidak ada perbaikan klinis/perburukan keadaan sesaat sebelum atau selama transisi ke fase afebris.
 Muntah persisten, tidak bisa minum .
 Nyeri abdomen yang berat
 Lesu dan / atau gelisah, perubahan perilaku mendadak .
 Perdarahan: epistaksis, tinja hitam, hematemesis, perdarahan menstruasi yang berlebihan, urin
berwarna gelap (hemoglobinuria) atau hematuria.
 Hoyong
 Pucat, tangan dan kaki dingin serta berkeringat.
 Kurang / tidak ada produksi urine selama 4-6 jam .

Kotak 12: Panduan untuk perawatan di rumah pada pasien demam berdarah (informasi yang akan
diberikan kepada pasien dan / atau anggota keluarganya di bagian rawat jalan)
A. Perawatan di rumah (edukasi keluarga) untuk pasien:
 Pasien harus cukup beristirahat.
 Asupan cairan yang cukup (jangan air putih) seperti susu, jus buah, cairan elektrolit isotonik, larutan
rehidrasi oral (oralit) dan air tajin. Waspadalah terhadap kelebihan cairan pada bayi dan anak-anak.
 Jaga suhu tubuh teteap di bawah 39°C. Jika suhu melebihi 39°C, berikan parasetamol tablet dengan
dosis 500 mg atau sirup 120 mg per 5 ml. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg/kg/dosis dan diberikan
dalam frekuensi tidak kurang interval enam jam.
 Dosis maksimum untuk orang dewasa adalah 4 gram / hari. Hindari menggunakan terlalu banyak
parasetamol. Aspirin atau OAINS tidak dianjurkan.
 Berikan spon hangat di dahi, ketiak dan kaki. Mandi air hangat direkomendasikan untuk orang
dewasa.
B. Perhatikan kemunculan warning sign (seperti dalam Kotak 11):
 Tidak ada perbaikan klinis/perburukan keadaan sesaat sebelum atau selama transisi ke fase afebris.
 Muntah persisten, tidak bisa minum .
 Nyeri abdomen yang berat
 Lesu dan / atau gelisah, perubahan perilaku mendadak .

25

Universitas Sumatera Utara


 Perdarahan: epistaksis, tinja hitam, hematemesis, perdarahan menstruasi yang berlebihan, urin
berwarna gelap (hemoglobinuria) atau hematuria.
 Hoyong
 Pucat, tangan dan kaki dingin serta berkeringat.
 Kurang / tidak ada produksi urine selama 4-6 jam

Manajemen kasus DD/DBD di ruang observasi rumah sakit/saat pasien masuk


Rincian pengelolaan kasus DD/DBD di ruang observasi rumah sakit/saat pasien masuk
dijelaskan di bawah ini:
Pemantauan pasien DBD/DHF selama fase krisis (trombositopenia sekitar 100.000 sel /
mm3)
Fase kritis DBD merupakan periode terjadinya kebocoran plasma yang dimulai sekitar
waktu dari penurunan suhu badan hingga normal atau transisi dari demam ke tidak demam.
Trombositopenia adalah indikator yang sensitif pada kebocoran plasma, tetapi juga dapat
diamati pada pasien dengan DD. Peningkatan hematokrit > 10% dari baseline merupakan
indikator objektif awal kebocoran plasma. Pemberian cairan intravena harus dimulai jika
asupan oral buruk atau peningkatan hematokrit terus berlanjut serta jika terdapat warning
sign.
Parameter-parameter berikut harus dipantau:
 Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan serta tanda dan gejala lainnya.
 Perfusi perifer dapat dilakukan sesering mungkin sesuai indikasi karena hal
tersebut merupakan petanda awal syok dan mudah/cepat untuk dilakukan.
 Tanda-tanda vital seperti suhu, denyut nadi, laju pernapasan dan tekanan darah
harus diperiksa setidaknya setiap 2-4 jam pada pasien non-syok dan 1-2 jam pada
pasien syok.
 Hematokrit serial harus dilakukan setidaknya setiap empat sampai enam jam
dalam kasus yang stabil dan harus lebih sering pada pasien yang tidak stabil atau
dicurigai mengalami perdarahan. Harus dicatat bahwa hematokrit harus dilakukan
sebelum resusitasi cairan. Jika hal ini tidak dilakukan, maka pemeriksaan
hematokrit harus dilakukan setelah bolus cairan dan jangan saat pemberian bolus
cairan sedang berjalan.
 Jumlah urine harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jam pada kasus tidak
berat, per jam pada pasien dengan syok atau dengan kelebihan cairan. Selama
periode ini jumlah output urine harus sekitar 0,5 ml/kg/ jam (harus didasarkan
pada berat badan ideal).

26

Universitas Sumatera Utara


Pemeriksaan laboratorium tambahan
Pada pasien-pasien dewasa atau mereka yang mengalami obesitas atau penderita diabetes
melitus harus menjalani pemeriksaan kadar gula darah. Sementara itu, pasien yang
mengalami syok dan atau dengan komplikasi harus menjalani pemeriksaan laboratorium
seperti diperlihatkan di kotak 13
Perbaikan terhadap nilai laboratorium yang tidak normal harus dilakukan seperti
misalnya: hipoglikemia, hipokalsemia serta asidosis metabolik yang tidak respon dengan
resusitasi cairan. Pemberian vitamin K1 intravena dapat diberikan jika terdapat pemanjangan
waktu protrombin. Perlu dicatat bahwa pada tempat-tempat dimana fasilitas laboratorium
tidak memadai, kalsium glukonat dan vitamin K1 harus diberikan sebagai bagian dari terapi
intravena. Pada keadaan syok dan tidak respon dengan cairan resusitasi intravena, asidosis
mesti dikoreksi dengan NaHCO3 jika pH < 7,3 dan bikarbonat serum < 15 mEq/L

Kotak 13 : pemeriksaan laboratorium tambahan


 Hitung darah lengkap (DL)
 Kadar glukosa darah
 Analisis gas darah, laktat, jika tersedia
 Elektrolit serum dan BUN, kreatinin.
 Kalsium serum.
 Tes fungsi hati
 Profil koagulasi, jika tersedia
 Foto rontgen torak lateral decubitus kanan (opsional).
 Cross match jika nantinya dibutuhkan darah segar atau seluruh produk sel merah segar.
 Enzim jantung atau EKG jika ada indikasi, terutama pada orang dewasa
 Amilase serum dan USG jika nyeri perut tidak menyelesaikan dengan cairan terapi
 Pemeriksaan lainnya, jika ada diindikasikan.

Terapi cairan intravena pada DBD selama periode kritis


Indikasi cairan IV:
 Jika pasien tidak bisa diberi asupan oral yang memadai atau muntah.
 Jika HCT terus meningkat 10% -20% meskipun rehidrasi oral sudah diberikan.
 Adanya ancaman munculnya yok
Prinsip-prinsip umum terapi cairan pada DHF meliputi berikut ini:
 Larutan kristaloid isotonik harus diberikan selama fase kritis kecuali bayi usia < 6
bulan lebih tepat menggunakan natrium klorida 0,45%.
 Larutan koloid Hiper-onkotik (osmolaritas > 300 mOsm / l) seperti dekstran 40 atau
larutan starch dapat digunakan jika kebocoran plasma masif, dan tidak ada respon
dengan pemberian kristaloid dalam jumlah yang optimal (seperti yang

27

Universitas Sumatera Utara


direkomendasikan). Larutan koloid iso-onkotik seperti plasma dan hemaccel
kemungkinan tidak efektif.
 Pemberian cairan untuk pemeliharaan +5% dehidrasi harus diberikan untuk sekedar
mempertahankan volume intravaskular dan sirkulasi.
 Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 hingga 48 jam bagi
mereka dengan syok. Namun, bagi pasien yang tidak syok, durasi terapi cairan
intravena bisa lebih lama namun tidak lebih dari 60 sampai 72 jam. Hal ini karena
pasien yang tidak syok baru saja memasuki fase kebocoran plasma sementara pasien
yang sudah syok, kebocoran plasma berlangsung dalam durasi yang lebih panjang
hingga terapi intravena dimulai.
 Pada pasien obesitas, yang digunakan sebagai panduan untuk menghitung volume
cairan adalah berat badan ideal (tabel 9).

Tabel 9. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal


Berat Pemeliharaan M + 5% defisit Berat Badan Pemeliharaan M + 5% defisit
Badan Ideal (ml) (ml) Ideal (Kg) (ml) (ml)
(Kg)
5 500 750 35 1800 3550
10 1000 1500 40 1900 3800
15 1250 2000 45 2000 4250
20 1500 2500 50 2100 4600
25 1600 2850 55 2200 4950
30 1700 3200 60 2300 5300

 Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan kondisi klinis. Kecepatan infus
berbeda antara pasien dewasa dan anak-anak. Tabel 10 menunjukkan perbandingan
kecepatan pemberian infus pada anak-anak dan dewasa dengan memperhatikan
kebutuhan cairan pemeliharaan.

Tabel 10. Kecepatan pemberian cairan intravena pada dewasa dan anak-anak
Kondisi Kecepatan pada anak Kecepatan pada dewasa
(ml/kg/jam) (ml/jam)
Setengah dari kebutuhan pemeliharaan (M/2) 1,5 40-50
Pemeliharaan (M) 3 80-100
M + 5% defisit 5 100-120
M + 7% defisit 7 120-150
M + 10% defisit 10 300-500

 Transfusi trombosit tidak direkomendasikan dalam penanganan trombositopenia


(tidak boleh ada transfusi trombosit profilaksis). Namun pemberian transfusi

28

Universitas Sumatera Utara


trombosit dapat dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat hipertensi dengan
trombositopenia yang sangat berat (<`10.000 sel.mm3)
Penanganan Pasien dengan Warning Sign
Hal yang perlu dipastikan dari warning sign adalah apakah warning sign tersebut
bukan suatu gastroenteritis akut, refleks vasovagal, hipoglikemia, dan sebagainya.
Munculnya trombositopenia yang dibarengi dengan bukti kebocoran plasma seperti kenaikan
haemotokrit dan efusi pleura dapat membedakan antara DBD/SSD dari penyebab yang lain.
Pemeriksaan kadar gula darah dan tes laboratorium dapat dilakukan untuk menemukan
menyebabkan. Untuk masalah-masalah lainnya, pemberian cairan intravena, terapi suportif
dan simtomatik harus diberikan sementara pasien tetap berada di bawah pengawan di rumah
sakit. Pasien dapat dipulangkan ke rumah dalam waktu 8 sampai 24 jam jika menunjukkan
repon pemulihan yang cepat dan tidak dalam fase kritis (platelet > 100 000 sel / mm3).
Manajemen DBD derajat I, II (kasus non-syok)
Secara umum, masukan cairan (oral + IV) bertujuan untuk pemeliharaan (untuk
sehari) + 5% defisit (oral dan cairan IV bersama-sama), yang diberikan dalam 48 jam.
Misalnya, pada anak dengan berat badan 20 kg, defisit dari 5% adalah 50 ml / kg x 20 = 1000
ml. Pemeliharaan adalah 1500 ml untuk satu hari. Oleh karena itu, total M + 5% adalah 2.500
ml (Gambar 8). Pada pasien non-syok, jmlah cairan ini akan diberikan dalam 48 jam
pertama. Kecepatan infus cairan 2.500 ml ini dapat diberikan sesuai Gambar 8 di bawah.
[harap dicatat bahwa tingkat kebocoran plasma TIDAK selalu sama] . Kecepatan pemberian
cairan IV harus disesuaikan dengan tingkat kehilangan plasma , dan disesuaikan dengan
kondisi klinis, tanda-tanda vital, produksi urin dan nilai hematokrit .

29

Universitas Sumatera Utara


Gambar 8 : Kecepatan pemberian infus pada kasus non-syok

Manajemen syok : DBD derajat III


SSD merupakan syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran plasma dan ditandai
dengan meningkatnya resistensi vaskuler sistemik, dengan manifestasi tekanan nadi yang
menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan peningkatan tekanan diastolik, misalnya
100/90 mmHg ) . Ketika hipotensi muncul, selain kebocoran plasma, kita harus menduga
bahwa mungkin telah terjadi pendarahan yang masif, dimana yang paling sering adalah
perdarahan saluran cerna yang bisa saja tidak tampak/tersembunyi.
Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan dari SSD berbeda dari syok yang lain misalnya
syok septik . Sebagian besar kasus SSD akan memberikan respon terhadap pemberian cairan
10 ml/kg (pada anak-anak) atau 300-500 ml (pada orang dewasa) dalam 1 jam atau bila perlu
secara bolus. Selanjutnya, pemberian cairan harus mengikuti grafik seperti pada gambar 9.
Namun, sebelum memutuskan untuk mengurangi jumlah cairan IV yang diberikan, kondisi
klinis, tanda-tanda vital , produksi urin dan nilai hematokrit harus diperiksa terlebih dahulu
untuk memastikan perbaikan klinis.

30

Universitas Sumatera Utara


Gambar 9. Kecepatan infus pada kasus SSD

Pemeriksaan laboratorium ( ABCS ) harus dilakukan pada kasus syok dan non-syok.
Bila terlihat tidak ada perbaikan meskipun penggantian volume sudah memadai (Kotak 14),

Kotak 14. Pemeriksaan laboratorium (ABCS) untuk pasien dengan kondisi syok atau dengan
komplikasi, dan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis meski telah diberi terapi cairan yang
adekuat
Singkatan Pemeriksaan Laboratorium Kepentingan
A-Asidosis Analisa gas darah (kapiler dan Menandakan syok yang sedang berlangsung. Keterlibatan
vena) organ juga harus dievaluasi ; fungsi hati, BUN dan
kreatinin
B-Bleeding Hematokrit Jika terjadi penurunan nilai HCT dibandingkan dengan
nilai sebelumnya atau jika tidak berubah, lakukan cross-
match untuk transfusi darah secepatnya
C-Calsium Elektrolit, Ca++ Hipokalsemia terjadi pada kebanyakan DBD namun tanpa
gejala. Pemberian suplementasi kalsium pada kondisi yang
lebih berat/kompleks dapat diindikasikan. Dosis yang
dianjurkan 1 ml/kg maksimal 10cc kalsium glukonas,
dilarutkan dengan perbandingan 1:2, diberikan secara IV
perlahan (dapat diulang tiap 6 jam jika diperlukan)
S-Blood Sugar Kadar gula darah (fingerstick) Kebanyakan kasus DBD disertai penurunan selera makan
dan muntah. Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien
dengan gangguan fungsi hati, namun pada kondisi lain
dapat terjadi hiperglikemia

Penting diketahui bahwa kecepatan cairan IV dapat dikurangi jika telah terjadi perbaikan
perfusi perifer ; tetapi harus tetap diteruskan sampai minimum 24 jam dan dapat dihentikan
setelah 36-48 jam. Pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan efusi masif karena

31

Universitas Sumatera Utara


peningkatan permeabilitas kapiler. Algoritme pemberian cairan untuk pasien dengan SSD
dapat dilihat pada kotak 15.
Kotak 15. Algoritme pemberian cairan pada pasien SSD

Manajemen Syok : DBD derajat IV


Resusitasi cairan awal pada DBD derajat IV harus lebih agresif agar cepat
mengembalikan tekanan darah. Pemantauan laboratorium harus dilakukan sesegera mungkin
untuk menilai ABCS dan keterlibatan organ. Bahkan hipotensi yang ringan pun harus segera
ditangani secara agresif. 10 ml/kg cairan bolus harus diberikan secepat mungkin, idealnya
dihabiskan dalam waktu 10 sampai 15 menit. Jika tekanan darah berhasil diperbaiki, cairan
intravena lebih lanjut dapat diberikan sebagaimana penanganan pada derajat III. Jika syok
tidak tertangani setelah pemberian 10 ml/kg pertama, ulangi bolus 10 ml/kg kedua sementara
hasil laboratorium harus dikejar dan dikoreksi segera mungkin. Transfusi darah merupakan
langkah berikutnya harus segera dikerjakan (setelah menilai HCT praresusitasi) diikuti
dengan monitoring ketat, misalnya kateterisasi kandung kemih terus menerus, kateterisasi
vena sentral atau intraarterial.

32

Universitas Sumatera Utara


Perlu dicatat bahwa perbaikan pada tekanan darah sangat penting untuk keberhasilan
penanganan dan jika ini tidak dapat dicapai dengan cepat maka prognosis bisa menjadi buruk.
Obat inotropik dapat digunakan untuk menaikkan tekanan darah, jika pemberian cairan
dianggap cukup adekuat seperti misalnya, tekanan vena sentral tinggi (CVP), kardiomegali,
atau diketahui memiliki fungsi/kontraktilitas jantung yang buruk.
Jika tekanan darah berhasil dikoreksi setelah pemberian resusitasi cairan dengan atau
tanpa transfusi darah, dan dijumpai adanya gangguan fungsi organ, maka pasien harus
mendapat penanganan suportif yang sesuai. Contoh penanganan suportif terhadap fungsi
organ adalah dialisis peritoneal, contiuous renal replacement therapy (CRRT) serta ventilasi
mekanik.
Jika akses intravena tidak bisa didapat dengan segera, maka dapat dicobakan larutan
elektrolit oral jika pasien sadar atau cara lain adalah jalur intraosseous. Akses intraosseous
merupakan suatu bagian dari upaya untuk menyelamatkan nyawa dan harus bisa dicapai
dalam 2-5 menit atau jika telah dua kali mengalami kegagalan dalam mencapai akses vena
perifer atau jika jalur oral juga gagal.
Manajemen perdarahan masif
 Jika sumber perdarahan dapat diidentifikasi, upaya harus dilakukan untuk
menghentikan pendarahan jika mungkin. Epistaksis berat, misalnya, dapat
dikontrol dengan nasal packing. Transfusi darah harus segera dilakukan dan tidak
boleh ditunda sampai nilai HCT mengalami penurunan. Jika jumlah darah yang
hilang dapat diukur, maka jumlah tersebut harus digantikan. Namun, jika
pengukuran tidak mungkin dilakukan, berikan 10 ml/kg whole blood atau 5 ml/kg
packed red cell dan evaluasi respon terapi. Pasien mungkin memerlukan
pengulangan satu kali atau lebih.
 Pada perdarahan saluran cerna, antagonis H-2 dan penghambat pompa proton bisa
digunakan, namun belum ada studi yang tepat untuk menunjukkan efikasinya.
 Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti trombosit
konsentrat, fresh frozen plasma (FFP) atau kriopresipitat. Penggunaannya dapat
memberikan meningkatkan resiko kelebihan cairan.
 Rekombinan factor VII diketahui bisa bermanfaat pada beberapa pasien yang
belum mengalami kegagalan organ, namun harganya sangat mahal dan umumnya
tidak tersedia.

33

Universitas Sumatera Utara


Manajemen pasien berisiko tinggi
 Pasien obesitas memiliki cadangan pernapasan yang lebih kecil, sehingga perlu
mendapat perhatian agar pemberian infus cairan intravena tidak berlebih.
Menghitung pemberian cairan resusitasi harus berdasarkan berat badan ideal.
Pemberian koloid harus lebih dipertimbangkan pada tahap awal terapi cairan.
Setelah stabil, furosemide dapat diberikan untuk menginduksi diuresis.
 Bayi juga memiliki cadangan kurang pernapasan dan lebih rentan terhadap
kerusakan hati dan ketidakseimbangan elektrolit. durasi kebocoran plasma lebih
singkat pada bayi, oleh karena itu biasanya cepat memberikan respon dengan
resusitasi cairan. Oleh karena itu, bayi harus lebih sering dievaluasi untuk upaya
pemberian cairan melalui oral dan juga pemantauan produksi urin.
 Insulin intravena biasanya diperlukan untuk mengontrol kadar gula darah pada
pasien demam berdarah dengan diabetes mellitus. Dalam hal ini kristaloid yang
digunakan hendaknya yang tidak mengandung glukosa
 Wanita hamil dengan demam berdarah harus dirawat segera untuk memantau
perjalanan penyakit lebih intens. Perawatan bersama dengan dokter kebidanan,
serta spesialisasi anak juga sangat penting. Pada keadaan yang berat, keluarga
pasien harus diberikan inform concern. Jumlah dan kecepatan pemberian cairan IV
untuk wanita hamil sama dengan wanita tidak hamil yakni menggunakan berat
badan pra-hamil untuk menghitung kebutuhan cairan.
 Respon kardiovaskular terhadap terapi pada DBD dapat menjadi kabur pada pasien
penderita hipertensi yang mungkin sedang mengkonsumsi obat anti-hipertensi
yang. Baseline tekanan darah pasien perlu diketahui untuk dijadikan acuan
penilaian. Tekanan darah yang dianggap normal oleh dokter mungkin saja
sebenarnya rendah bagi pasien ini.
 Terapi anti-koagulan sebaiknya dihentikan sementara waktu selama fase kritis.
 Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati: Pasien-pasien ini beresiko mengalami
hemolisis dan kemungkinan akan membutuhkan transfusi darah. Perhatian khusus
harus diberikan terhadap terapi hiperhidrasi dan alkalinisasi, dimana prosedur ini
dapat menyebabkan kelebihan cairan dan hipokalsemia.
 Penyakit jantung bawaan dan iskemik: Terapi cairan harus lebih berhati-hati sebab
pasien kemungkinan memiliki kapasitas jantung yang lebih rendah

34

Universitas Sumatera Utara


 Untuk pasien yang sebelumnya mendapat terapi steroid, pengobatan steroid terus
dianjurkan tapi jalur pemberian sebaiknya dapat diubah.
Manajemen fase pemulihan
 Pemulihan dapat dikenali oleh perbaikan dalam parameter klinis, nafsu makan
dan keadaan umum.
 Status hemodinamik seperti perfusi perifer yang baik dan kestabilan tanda-tanda
vital harus diperhatikan.
 Penurunan HCT kembali ke baseline atau lebih rendah serta diuresis yang
berangsur normal.
 Cairan intravena harus dihentikan.
 Pada pasien dengan efusi masif dan ascites, hypervolemia dapat terjadi dan terapi
diuretik dapat dipertimbang untuk mencegah edema paru.
 Hipokalemia dapat terjadi karena adanya stres dan upaya diuresis harus diimbangi
dengan asupan buah-buahan atau suplemen yang kaya akan kalium.
 Bradikardia cukup sering ditemukan dan pemantauan intensif perlu dilakukan
untuk kemungkinan komplikasi yang jarang seperti blok irama jantung atau
kontraksi prematur ventrikel (VPC).
 Pulihnya ruam kulit ditemukan pada 20% -30% dari pasien.
Tanda-tanda pemulihan
 Nadi, tekanan darah dan laju pernapasan stabil
 Suhu normal.
 Tidak ada bukti perdarahan eksternal atau internal.
 Nafsu makan membaik.
 Tidak ada muntah, tidak ada sakit perut
 produksi urin baik.
 Hematokrit yang stabil pada nilai baseline.
 Ruam petekie yang muncul pada fase penyembuhan bisa disertai rasa gatal,
terutama pada ekstremitas.
Kriteria untuk pemulangan pasien
 Tidak adanya demam selama setidaknya 24 jam tanpa menggunakan terapi anti-
demam.
 Nafsu makan membaik.
 Perbaikan klinis Terlihat.

35

Universitas Sumatera Utara


 Jumlah produksi urine memuaskan.
 Minimal 2-3 hari telah berlalu setelah sembuh dari shock
 Tidak ada gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan tidak ada ascites.
 Jumlah trombosit lebih dari 50 000 / mm3. Jika tidak, pasien dapat dianjurkan
untuk menghindari kegiatan traumatis setidaknya 1-2 minggu hingga trombosit
menjadi normal. Pada kebanyakan kasus yang kompleks, trombosit meningkat
normal dalam waktu 3-5 hari.
Manajemen komplikasi
Komplikasi yang paling umum adalah kelebihan cairan
Mendeteksi kelebihan cairan pada pasien
 Tanda dan gejala awal termasuk kelopak mata bengkak, perut buncit (ascites),
takipnea, dyspnoea ringan.
 Tanda-tanda dan gejala lebih lanjut mencakup semua hal di atas, bersama
dengan distress pernafasan sedang-berat, sesak napas dan mengi (bukan karena
asma) yang juga merupakan tanda awal edema paru interstitial dan krepitasi.
Gelisah / agitasi dan kebingungan yang tanda-tanda hipoksia dan kegagalan
pernafasan yang mengancam.
Manajemen overload cairan
Tinjau kembali total terapi cairan intravena serta perjalanan klinis, lalu periksa dan perbaiki
ABCS (Kotak 14). Semua cairan hipotonik harus dihentikan.
Pada tahap awal overload cairan, ganti penggunaan kristaloid menjadi koloid
sebagai cairan bolus. Dekstran 40 cukup efektif dengan dosis 10 ml/kg infus bolus, namun
dosis dibatasi untuk 30 ml/kg/hari karena efeknya ke ginjal. Dekstran 40 diekskresikan dalam
urin dan akan mempengaruhi osmolaritas urine. Pasien mungkin akan mengalami urin yang
karena sifat hiperonkotic dari molekul dekstran 40 (osmolaritas sekitar dua kali lipat dari
plasma). Voluven kemungkinan lebih efektif (osmolaritas = 308 mosmole) dan memiliki
batas atas dosis adalah 50ml/kg/hari. Namun, tidak ada penelitian telah dilakukan untuk
membuktikan efektivitas dalam kasus DBD/SSD. Pada tahap lanjut dari kelebihan cairan atau
pasien dengan edema paru nyata, furosemide dapat saja diberikan jika pasien memiliki tanda-
tanda vital stabil. Jika dijumpai kondisi syok bersama-sama dengan kelebihan cairan, maka
dapat diberikan 10 ml/kg/jam koloid (dekstran). Begitu tekanan darah stabil, biasanya dalam
waktu 10 sampai 30 menit infus, dapat diberikan dan lanjutkan dengan infus dekstran sampai
selesai. Cairan intravena harus dikurangi ke level 1 ml/kg/jam sampai akhirnya dihentikan

36

Universitas Sumatera Utara


saat hematokrit menurun hingga atau di bawah baseline atau dengan perbaikan klinis. Poin-
poin berikut harus diperhatikan dalam manajemen overload cairan:
 Kateter harus terpasang untuk memantau pengeluaran urin per jam.
 Furosemide harus diberikan selama infus dekstran karena sifat dekstran yang
hiperonkotik sehingga akan mempertahankan volume intravaskular sementara
furosemide akan menguras cairan yang berada di kompartemen intravaskular.
 Setelah pemberian furosemide, tanda-tanda vital harus dipantau setiap 15
menit selama satu jam untuk dicatat dampaknya.
 Jika tidak ada produksi urin sebagai repon pemberian furosemide, periksa status
volume intravaskular (CVP atau laktat). Jika hasilnya cukup baik, gagal ginjal
pra-renal dapat dieksklusikan, mengisyatkan bahwa pasien dalam keadaan gagal
ginjal akut. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan dukungan ventilasi sesegera
mungkin. Jika volume intravaskular tidak mencukupi atau tekanan darah tidak
stabil, periksa ABCS (Kotak 14) dan ketidakseimbangan elektrolit lainnya.
 Pada keadaan dimana tidak ada respon dari pemberian furosemide (tidak ada
urin yang diperoleh), ulangi furosemide dengan dosis dua kali lipat dari dosis
sebelumnya. Jika diagnosa gagal ginjal oliguri dapat ditegakkan, maka terapi
penggantian ginjal harus dilakukan sesegera mungkin. Kasus-kasus seperti ini
memiliki prognosis buruk.
 Pungsi pleura dan/atau asites dapat diindikasikan dan merupakan prosedur
untuk menyelamatkan nyawa pada kondisi distress pernapasan berat serta
kegagalan penanganan. Hal ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena
perdarahan traumatik bisa menjadi komplikasi yang paling serius dan mengarah
pada kematian. Inform concern tentang komplikasi dan prognosis dengan
keluarga yang wajib dilakukan sebelum melakukan prosedur ini.
Manajemen ensefalopati
Beberapa pasien DD/DBD dapat muncul dengan manifestasi yang tidak lazim dimana
terdapat tanda-tanda dan gejala keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), seperti kejang dan/atau
koma. Secara umum hal ini lebih terlihat sebagai ensefalopati (bukan ensefalitis) yang dapat
terjadi akibat perdarahan intrakranial atau penyumbatan pembuluh darah intrakranial terkait
KID ataupun hiponatremia. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak laporan kasus
adanya infeksi SSP yang dibuktikan dengan isolasi virus dari cairan serebrospinal

37

Universitas Sumatera Utara


Sebagian besar pasien penderita ensefalopati yang dilaporkan merupakan
ensefalopati hepatikum. Penanganan utama ensefalopati hepatikum adalah mencegah
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Pencitraan radiologi otak (CT scan atau MRI)
dianjurkan untuk menyingkirkan perdarahan intrakranial. Berikut ini merupakan rekomendasi
perawatan suportif untuk kondisi ensefalopati heatikum:
 Pertahankan jalan napas dan oksigenasi yang cukup dengan terapi oksigen.
Mencegah / mengurangi TIK dengan langkah-langkah berikut:
 Cairan IV diberikan dalam jumlah yang seminimal mungkin untuk
mempertahankan volume intravaskular yang adekuat; idealnya total cairan
tidak boleh > 80% pemeliharaan cairan.
 Segera beralih ke cairan koloid secepatnya jika hematokrit terus meningkat
dan jika dibutuhkan jumlah kristaloid yang besar dalam menangani
kebocoran plasma yang berat.
 Berikan diuretik sesuai indikasi pada kasus dengan tanda-tanda dan gejala
kelebihan cairan.
 Pasien sebaiknya berbaring dengan posisi semifowler (30 derajat)
 Intubasi lebih awal dapat diindikasikan untuk menghindari hiperkarbia dan
untuk melindungi jalan napas.
 Peggunaan steroid dapat dipertmbangkan untuk mengurangi TIK 
Dexametasone 0,15 mg/kg/dosis IV menjadi diberikan setiap 6-8 jam.
 Produksi amonia diturunkan dengan langkah-langkah berikut:
 Berikan laktulosa 5-10 ml setiap enam jam untuk menginduksi diare
osmotik.
 Antibiotik lokal menghilangkan flora usus; antibiotik sistemik tidak perlu
diberikan.
 Menjaga kadar gula darah pada nilai 80-100 mg/dL. Jika diperlukan, pemberian
glukosa dapat dilakukan dengan dosis 4-6 mg/kg/jam.
 Koreksi asam-basa dan gangguan keseimbangan elektrolit, misalnya koreksi
hipo / hipernatremia, hipo / hiperkalemia, hipokalsemia dan asidosis.
 Berikan suntikan vitamin K1 IV; 3 mg untuk <1 tahun, 5 mg untuk <5 tahun dan
10 mg untuk pasien> 5 tahun dan dewasa.
 Antikonvulsan harus diberikan untuk mengendalikan kejang: fenobarbital,
dilantin dan diazepam IV sesuai indikasi.

38

Universitas Sumatera Utara


 Transfusi darah, sebaiknya packed red cell sesuai indikasi. Komponen darah
lainnya seperti trombosit konsentrat dan FFP sebaiknya tidak diberikan karena
dapat menyebabkan kelebihan cairan peningkatan ICP.
 Terapi antibiotik empiris dapat diindikasikan jika ada dugaan infeksi bakteri
sekunder
 Penghambat reseptor H-2 atau penghambat pompa proton dapat diberikan untuk
mengatasi perdarahan gastrointestinal
 Hindari obat yang tidak perlu karena kebanyakan obat harus dimetabolisme oleh
hati.
 Pertimbangkan plasmapheresis atau hemodialisis atau terapi pengganti ginjal
jika terjadi perburukan klinis.
Proses perujukan dan transportasi
Kondisi yang lebih parah/kasus rumit harus ditangani di rumah sakit di mana hampir semua
pemeriksaan laboratorium, peralatan medis, obat-obatan dan fasilitas bank darah tersedia.
Para tenaga medis dan keperawatan mungkin lebih berpengalaman dalam perawatan pasien
demam berdarah kritis. Pasien-pasien berikut harus dirujuk untuk pemantauan lebih ketat dan
memerlukan penanganan khusus di fasilitas perawatan di rumah sakit yang lebih lengkap:
 Bayi < 1 tahun.
 Pasien obesitas.
 Wanita hamil.
 Syok yang terus menerus
 Perdarahan yang signifikan.
 Syok yang berulang 2-3 kali selama pengobatan.
 Pasien yang tampaknya tidak memberikan respon terhadap terapi cairan
konvensional.
 Pasien yang terus mengalami kenaikan hematokrit dan tidak tersedia cairan
koloid.
 Pasien dengan penyakit dasar yang telah diketahui seperti diabetes mellitus (DM),
hipertensi, penyakit jantung atau penyakit hemolitik.
 Pasien dengan tanda dan gejala kelebihan cairan.
 Pasien dengan keterlibatan satu organ / multipel.
 Pasien dengan manifestasi neurologis seperti perubahan kesadaran, semi-koma,
koma, kejang, dll

39

Universitas Sumatera Utara


Prosedur rujukan
 Diskusi dan sesi konseling dengan keluarga.
 Terlebih dahulu hubungi RS tujuan rujukan; berkomunikasi dengan dokter dan
perawat yang bertanggung jawab.
 Stabilisasi pasien sebelum dirujuk.
 Pastikan bahwa surat rujukan harus berisi informasi tentang kondisi klinis,
parameter pemantauan (hematokrit, tanda-tanda vital, asupan/output), dan
perkembangan penyakit termasuk semua temuan laboratorium penting.
 Perawatan selama transportasi. Kecepatan dan jumlah cairan IV sangat penting
selama periode ini. Cairan sebaiknya diberikan pada kecepatan relatif lambat
yakni sekitar 5 ml/kg/jam untuk mencegah overload cairan. Setidaknya ssatu
orang perawat harus menemani pasien di perjalanan.
 Pasien sudah harus diperiksa oleh dokter spesialis segera setelah mereka tiba di
rumah sakit rujukan.
Kesiapan manajemen klinis dalam mengahadapi wabah infeksi dengue
Saat ini terdapat peningkatan kejadian wabah demam berdarah di banyak negara di seluruh
dunia. Berikut ini elemen yang direkomendasikan untuk kesiapan manajemen klinis dengue:
 Pengorganisasian tim reaksi cepat yang dikoordinir oleh program nasional:
 Pelayanan kesehatan garis terdepan.
 Gawat darurat.
 Tim medis.
 Tim laboratorium.
 Tim epidemiologi.
 Personil (yang akan direkrut, dilatih dan ditugaskan tugas yang sesuai):
 Dokter.
 Perawat.
 Petugas kesehatan.
 Personil administrasi
 Panduan Praktik Klinis (PPK) (personil yang disebutkan di atas harus menjalani
pelatihan singkat dalam pelaksanaan PPK).
 Obat-obatan dan cairan:
 Parasetamol.

40

Universitas Sumatera Utara


 Cairan rehidrasi oral.
 Cairan IV
 Kristaloid: dan Dextrose 5% dalam larutan isotonik normal salin 0,9% (D/
NSS), Dextrose Aectated Ringer (DAR) 5%, Dextrose Lactated Ringer
(DLR) 5%
 Cairan koloid-hiperonkotic (plasma expander): dekstran-40 dalam
NSS10%.
 Glukosa 20% atau 50%.
 Vitamin K1.
 Kalsium glukonat.
 Larutan kalium klorida (KCl).
 Natrium bikarbonat.
 Peralatan dan perlengkapan:
 Cairan IV dan akses vaskular, termasuk vena kulit kepala, gunting, kapas,
kain kasa dan alkohol 70%.
 Oksigen dan transpor tabung oksigen.
 Sphygmomanometer dengan tiga ukuran manset yang berbeda.
 Mesin pemeriksaan darah lengkap otomatis
 Sentrifugator Mikro (untuk penentuan hematokrit).
 Mikroskop (untuk estimasi jumlah trombosit).
 Glukometer (untuk kadar gula darah).
 Laktatemeter.
 Dukungan Laboratorium:
 Dasar
 Hitung darah lengkap (CBC): hematokrit, sel darah putih (WBC), hitung
trombosit dan diferensial darah.
 Kasus yang lebih kompleks:
 Gula darah
 Pemeriksaan fungsi hati.
 Pemeriksaan fungsi ginjal (BUN, kreatinin)
 Elektrolit, kalsium.
 Analisa gas darah

41

Universitas Sumatera Utara


 Koagulogram: waktu tromboplastin parsial (PTT), waktu protrombin
(PT), waktu trombin (TT).
 Foto torak X-ray
 Ultrasonografi.
 Bank Darah:
 Fresh whole blood, packed red scell serta trombosit konsentrat.

42

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai