MAKALAH
CYBER SEKS
Disusun
Oleh:
009810062016 Haerani
001310062016 Cici Pratiwi
016210062016 Fitriany. Hm
007310062016 Sitti Husaidah
002210062016 Hera Febriyanti
006510062016 Nur Adnin
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
menganugerahkan rahmat, karunia serta ridha-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah tentang ”CYBERSEX”.
Sebagai insan sosial, dimana kelengkapan hidup masih tergantung dari
kehidupan orang lain maka dalam penulisan makalah ini telah melibatkan
berbagai pihak yang tulus ikhlas meluangkan waktu dan tenaganya dalam
menyumbangkan buah pikiran, motivasi serta petunjuk.
Rekan-rekan serta semua pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan satu
per satu yang telah membantu penyusun dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, olehnya dengan kerendahan hati mengharapkan saran dan kritik
yang sifatnya membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penyusun berharap makalah ini dapat berguna dan dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya. Penyusun mengharapkan kritik dan saran
untuk kemajuan di masa-masa mendatang. Atas perhatiannya penyusun ucapkan
terima kasih
Penyusun
Kelompok II
2
DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR.............................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................3
BAB I........................................................................................................4
A. Latar belakang.............................................................................4
B. Rumusan Masalah.......................................................................7
C. Tujuan ..........................................................................................7
D. Sistematika penulisan .................................................................8
BAB II.......................................................................................................9
A. Pengertian cyber sex....................................................................9
B. Jenis-jenis cyber sex....................................................................12
C. Kriterian mamasukkan suatu gambar tulisan atau apapun yang
disebut porno................................................................................15
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyber sex...........21
E. Tanda-tanda bahaya yang bisa dikenali dalam melihat apakah
seseorang kecanduan cyber sex atau tidak................................22
F. Cyber sex di hubungkan dengan agama....................................22
G. Per UU yang berkaitan dengan kesusilaan...............................23
BAB III....................................................................................................27
A. Kesimpulan...................................................................................27
B. Saran.............................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu teknologi yang popular digunakan saat ini adalah internet,
yaitu jaringan komputer yang terhubung satu sama lain dan mampu
dioperasikan hampir di semua tempat, baik di sekolah-sekolah, universitas,
warung internet (warnet), perkantoran, ataupun di rumah-rumah. Internet
merupakan sarana untuk menyelesaikan tugas sehari–hari, mendapatkan
informasi dan sumber hiburan bagi setiap penggunanya. Ketertarikan remaja
terhadap materi porno di internet berkaitan dengan masa transisi yang sedang
dialami remaja. Secara kronologis yang tergolong remaja ini berkisar antara
usia 13-21 tahun menurut Yulia & Singgih D.Gunarsa (dalam Dariyo Agoes,
2004).
Hurlock (1993) menyatakan bahwa remaja sedang mengalami berbagai
macam perubahan (baik pada aspek fisik , seksual, emosional, religi, moral,
sosial, maupun intelektual) yang menyebabkan dorongan seksual anak
meningkat. Remaja menjadi makin sadar terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan seks dan berusaha mencari lebih banyak informasi mengenai seks,
termasuk informasi tentang seks melalui akses internet, hal lain yang
membuat remaja tertarik dengan materi seks, selain faktor usia karena sudah
terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. Oleh karena itu,
remaja menjadi salah satu segmen yang rentan terhadap keberadaan
pornografi, terutama situs porno.
Menurut jurnal yang berjudul Cybersex (dalam Ermida, 2004) hampir
80% gambar di internet adalah gambar porno. Menurut Nielsen netratings
pada Oktober 2003, 30% pengunjung situs porno adalah wanita. Menurut
jurnal yang berjudul Perbedaan Sikap Terhadap Seks Dunia Maya Pada
Mahasiswa ditinjau dari Jenis Kelamin (dalam satria, 2009) dimana sikap
mahasiswa terhadap cybersex lebih positif dibandingkan mahasiswi. Menurut
4
penelitian Hurlock 2003) menyebutkan bahwa remaja lebih tertarik kepada
materi seks yang berbau porno dibandingkan dengan materi seks yang
dikemas dalam bentuk pendidikan, dikarenakan mahasiswa lebih mau
membuka materi seks lewat internet dengan alasan sebagai pengetahuan yang
juga bisa sebagai hiburan yang kapan dan dimana saja di akses dari pada
harus membaca buku walaupun buku tersebut berisikan materi seks (hasil
wawancara pada 3 orang mahasiswa terdiri dari 2 laki-laki dan 1 perempuan
pada tanggal 22 Maret 2010).
Akses terhadap situs porno telah memberikan dampak negatif yang
sangat mendasar. Mahasiswa di Yogyakarta misalnya, seperti yang ditulis
dalam Jurnal Balairung edisi 38, bahwa mahasiswa adalah pengguna terbesar
situs porno (defickry.wordpress.com). Satu kelebihan berinteraksi di internet
adalah tidak adanya batasan jarak, waktu, dan wilayah sehingga hal ini
melahirkan sebuah “dunia baru “ di luar dunia nyata yang ada pada saat ini.
Dunia baru yang hadir secara maya ini lebih dikenal dengan istilah
cyberspace. Berbicara mengenai cyberspace (dunia maya) maka cybersex
adalah salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan
cyberspace (Ermida, 2004)
Data dari Pornography Statistic menunjukkan bahwa sebanyak 30% dari
situs yang ada di internet berisi konten pornografi. Total pencarian “Teen
Porn” melalui Google, mencapai 500.000 per hari, jumlah ini meningkat tiga
kali lipat semenjak 2005 hingga 2013. Setiap detiknya, ada 28.258 orang
melihat situs porno dan dari semua jenis data yang diunduh di internet 35%
nya mengunduh konten yang mengandung pornografi. Data usia pengakses
situs porno usia 18 -24 tahun sebanyak 13,61%, usia 25 -34 tahun sebanyak
19,90%, usia 35 -44 tahun sebanyak 25,50%, usia 45 -54 tahun sebanyak
20,67% dan usia 55 tahun ke atas sebanyak 20,32%, serta usia rata-rata anak-
anak yang pertama kali mengakses situs situs porno adalah 11 tahun.
Berdasarkan hasil survey toptenreview.com seperti yang dikutip oleh
Soebagijo (2008), Indonesia masuk kedalam peringkat 7 dari 10 peringkat
dunia Negara pengakses pornografi. Dari hasil survey tersebut juga
5
ditemukan pada tahun 2006 berkembang 100.000 situs yang bermaterikan
pornografi anak yakni usia 18 tahun ke bawah dan 89% chatting remaja
bermaterikan seksual.
Remaja yang memiliki rasa keingin tahuan yang tinggi, membuat mereka
sering mencoba sesuatu yang baru. Dengan melakukan cybersex, remaja
dapat memiliki keinginan meniru apa yang mereka lihat seperti berperilaku
seksual. Teori Cooper dkk (1998) mengatakan bahwa seseorang yang sering
mengakses situs porno akan membuat orang tersebut kesulitan dalam
menanggapi dan mengontrol perilaku seksualnya.
Berdasarkan data BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional) tahun 2013, di Indonesia jumlah remaja berusia 10 -24
tahun sudah mencapai sekitar 64 juta atau 27,6 persen dari total penduduk
Indonesia. Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
yang dikutip oleh BKKBN, perilaku seksual sebelum menikah usia 15-24
tahun meningkat 8,3% dari total remaja dilihat sejak 2007 sampai 2012. Hal
tersebut dipengaruhi oleh media massa, media cetak, TV dan radio, web on
line, media sosial dan teman sebaya yang melakukan.
Hubungan seksual yang dilakukan oleh remaja merupakan salah satu dari
perilaku seksual yang memiliki dampak negatif yaitu terjadinya kehamilan
yang tidak diinginkan. Berdasarkan Hasil survei Badan Pusat Statistik tahun
2012 dikutip dari BKKBN 2014, angka kehamilan remaja pada usia 15-19
tahun mencapai 48 dari 1000 kehamilan. Tingginya angka kehamilan remaja
ini menjadi salah satu penyumbang jumlah kematian ibu dan bayi di Tanah
air. Kehamilan ini memaksa remaja memilih meneruskan atau mengakhiri
kehamilannya. Tidak sedikit remaja yang memilih untuk mengakhiri
kehamilannya dikarenakan malu atau belum sanggup untuk memiliki anak.
Direktur Pusat Unggulan Asuhan Terpadu Kesehatan Ibu dan Bayi, Prof
Biran Affandi mengungkapkan, sekitar 2,1-2.4 juta perempuan setiap tahun
diperkirakan melakukan aborsi, sebanyak 30 persen di antaranya oleh remaja.
Selain kehamilan, dampak perilaku seksual adalah IMS (Infeksi Menular
Seksual). Di Indonesia, dilihat dari berbagai laporan menunjukkan bahwa
6
kelompok umur yang paling banyak menderita IMS adalah kelompok umur
muda. Dari data Kemenkes 2003, terdapat orang dengan HIV/AIDS remaja
berusia 15-19 tahun berjumlah 147 orang, terdiri atas 79 orang HIVdan 68
orang dengan AIDS.
Berdasarkan data tersebut, maka penting dilakukan penelitian tentang
adanya hubungan antara cybersex dengan perilaku seksual pada remaja.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan cyber sex ?
2. Bagaimana jenis-jenis cyber sex ?
3. Kriterian mamasukkan suatu gambar tulisan atau apapun yang disebut
porno
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyber sex
5. Tanda-tanda bahaya yang bisa dikenali dalam melihat apakah seseorang
kecanduan cyber sex atau tidak
6. Bagaimana hubungan cyber sex dangan agama ?
7. Undang-undang apa saja yang berkaitan denan cyber sex ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui segalas sesuatu yang berkaitan dengan cyber sex
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan cyber sex ?
b. Untuk mengetahui jenis-jenis cyber sex ?
c. Mengetahui kriterian mamasukkan suatu gambar tulisan atau apapun
yang disebut porno
d. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyber
sex
e. Untuk mengetahui tanda-tanda bahaya yang bisa dikenali dalam
melihat apakah seseorang kecanduan cyber sex atau tidak
f. Untuk mengetahui bagaimana hubungan cyber sex dangan agama ?
g. Untuk mengetahui Undang-undang apa saja yang berkaitan dengan
cyber sex ?
7
D. Sistematika Penulisan
Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Sistematika penulisan
BAB II : PEMBAHASAN
BAB III : PENUTUP
8
BAB II
PEMBAHASAN
9
melakukan cybersex mungkin hanya mengetik di atas keyboard atau
mengamati suatu media perantara yaitu layar komputer, namun melakukan
perilaku seksual. Misalnya perilaku seorang mahasiswa perguruan tinggi di
Jakarta sedang asik melihat gambar-gambar porno di internet menggunakan
laptop pribadinya. Berdasarkan penelitian cybersex, maka jenis–jenis
cybersex dapat digolongkan sebagai berikut:
(1) Surfing / download gambar–gambar porno,
(2) Chatting erotik dibagi 2:
(a) Computer mediated interactive masturbation dan
(b) Computer mediated telling of interaction sexsual stories,
(3) Virtual sex player (Hamman, 1996 ).
Menurut Sarlito (2002), sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk
bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu. Sikap ini dapat bersifat
positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan
tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu,
sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi,
menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu. Misalnya perilaku
seorang mahasiswa perguruan tinggi di Jakarta sedang asik melihat gambar-
gambar porno di internet menggunakan laptop pribadinya ( 27 Maret 2009 ),
di lain tempat dan waktu yang berbeda mahasiswa lain sedang melihat video
porno di warnet sekitar kampusnya yang di lihat oleh peneliti. Tindakan
mahasiswa-mahasiswa di atas merupakan sikap positif terhadap gambar
porno ataupun video porno. Jadi mahasiswa yang mempunyai sikap positif
terhadap situs porno ataupun video porno maka mahasiswa tersebut
mengakses situs porno ataupun video porno.
Berbeda dengan mahasiswa yang mempunyai sikap negatif, mahasiswa
tersebut tidak akan mengakses situs porno ataupun video porno. Secara
teoretis sikap seringkali diungkapkan sebagai predisposisi (penentu) yang
memunculkan adanya perilaku yang sesuai dengan sikapnya, yang mencakup
komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Predisposisi tersebut menurut Prof. Dr.
Mar’at adalah sesuatu yang telah dimiliki seseorang semenjak kecil sebagai
10
hasil pembentukan dirinya sendiri. Bertumbuhnya sikap, diawali dari
pengetahuan yang dipersepsikan sebagai suatu hal yang baik (positif) maupun
tidak baik (negatif), kemudian diinternalisasikan ke dalam dirinya. Kalau apa
yang dipersepsikan tersebut bersifat positif, maka seseorang cenderung
berperilaku sesuai dengan persepsinya, ia setuju dengan perilaku yang
diketahuinya. Namun sebaliknya, kalau ia mempersepsikan secara negatif,
maka ia pun cenderung menghindari atau tidak melakukan hal itu dalam
perilakunya. Faktor–faktor lain yang mempengaruhi perilaku seseorang,
misalnya lingkungan sosial, situasi, atau kesempatan, sehingga apa yang
diketahui seringkali tidak konsisten dengan apa yang muncul dalam
perilakunya.
Remaja adalah mereka yang berada pada tahap transisi antara masa
kanak-kanak dan dewasa. Menurut WHO (World Health Organization)
batasan usia remaja adalah 10 sampai 19 tahun. Profil remaja di Indonesia
tidak ada yang seragam dan berlaku secara nasional, oleh karena itu sebagai
pedoman umum dapat digunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum
menikah untuk remaja dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Masa
remaja ditandai dengan perubahan - perubahan fisik pubertas dan emosional
yang kompleks, dramatis serta penyesuaian sosial yang penting untuk
menjadi dewasa. Kondisi demikian membuat remaja belum memiliki
kematangan mental oleh karena masih mencari identitas atau jati dirinya
sehingga sangat rentan terhadap berbagai pengaruh dalam lingkungan
pergaulan termasuk dalam perilaku seksualnya.
Perilaku seksual adalah perilaku yang timbul karena adanya dorongan
seksual atau kegiatan untuk mendapatkan kesenangan organ seksual melalui
berbagai perilaku seperti berfantasi, pegangan tangan, berciuman, berpelukan
sampai dengan melakukan hubungan seksual. Perubahan-perubahan hormonal
dalam tubuh remaja membuat hasrat seksual (libido seksual) meningkat.
Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk
tingkah laku tertentu. Salah satu yang menyebabkan peningkatan ini adalah
karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media
11
massa yang mudah diakses oleh para remaja. Media yangsering digunakan
oleh remaja seperti situs porno (internet), majalah porno, video, film porno,
serta smartphone.
Di era globalisasi ini, makin derasnya arus informasi mengakibatkan
remaja mudah mengakses situs-situs porno yang ada di internet untuk
menyalurkan rasa penasaran yang ada. Perilaku ini dapat disebut dengan
cybersex. Cybersex adalah penggunaan internet untuk aktivitas kesenangan
seksual, seperti melihat gambar-gambar erotis, berpartisipasi dalam chatting
tentang seks, saling tukar-menukar gambar atau email tentang seks, dan lain
sebagainya, dengan atau tanpa disertai masturbasi.
Menurut Undang-Undang (UU) Republik Indonesia nomor 44 tahun
2008 tentang pornografi pasal 1 ayat 1, pengertian pornografi adalah gambar,
sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk
media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
B. Menurut Robin Hamman dalam risetnya mengenai Cybersex yang
berlangsung di ruang-ruang ngobrol (chat room) Amerika on line terdapat
dua jenis Cybersex : “(1) computer mediated interactive masturbation
in real time, (2) computer mediated telling of interactive sexual stories
(in real time) with the intent of arousal.” Ringkasnya chating yang bertujuan
membangkitkan rasangan seksual sehingga mencapai kepuasaan dengan cara
masturbasi. Pada jenis pertama, para pelaku saling mengetikkan instruksi
dan deskripsi dengan satu tangan dan bermasturbasi dengan tangan lainnya.
Pada jenis kedua, para pelaku saling berbagi kisah erotis sehingga
membangkitkan syahwat mereka sendiri maupun para user lainnya. Banyak
kegiatan demikian itu yang kemudian berlanjut ke “hubungan seks”
melalui telephon (phone sex) atau bahkan bila saling cocok, kehubungan
seks tiga dimensi alias persetubuhan di dunia nyata.
12
Menurut Slouka Cybersex adalah masturbasi sambil mempertukarkan
fantasi seks melalui jaringan komputer antara dua orang yang saling
tersambung pada saat yang bersamaan. Pada umumnya dua individu yang
berpura - pura menjadi seseorang atau apapun yang diinginkannya,
menggambarkan hubungan seksual diantara masing - masing individu.
Bahwa layanan Cybersex merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang
dilakukan oleh penjual jasa kepada konsumen yang berupa bantuan
program-program yang terdapat dalam jaringan internet, sehingga
konsumen dapat melakukan aktivitas seksual yang dimotivasi oleh suara
dan gambar yang seksi yang terdapat jarak antara satu dengan yang lain
dengan proses virtual reality interactive.
Namun, sejalan dengan perkembangan teknologi audio-visual,
dominasi teks mesum itu dalam kancah pornografi lantas tersisihkan oleh
membanjirnya kaset-kaset video porno, yang kemudian diikuti oleh video
compact disc (VCD) porno yang popularitasnya masih bertahan hingga
sekarang dan begitu mudah diperoleh di tempat-tempat penyewaan VCD,
baik di kota besar maupun dusun-dusun pinggiran, dengan sejumlah kategori
dari yang biasa-biasa saja hingga yang terasa menjijikkan, dari yang hardcore
hingga softcore, dari perilaku seksual yang dianggap “normal” hingga yang
“menyimpang”. Kehadiran media audio-visual mesum ternyata tak
menghapus sama sekali keberadaan pornografi dalam bentuk teks, meskipun
media penyebaran teks yang tak senonoh itu telah mengalami perubahan yang
sungguh revolusioner.
Pornografi tekstual yang semula beredar melalui media cetakan secara
terbatas dan bergerilya kini membanjiri kita tanpa hambatan melalui jaringan
internet, dalam bentuk kisah-kisah cabul yang diedarkan melalui mailing-list
maupun yang tersedia di situs-situs porno sehingga siap dibaca atau di-
download oleh siapapun, dan yang tentu saja berjalan seiring dengan
peredaran rekaman video, foto-foto dan kartun porno yang tak terbilang
jumlahnya di dunia cyber yang begitu mudah diakses oleh para netters dari
seluruh pelosok bumi.
13
Teknologi internet telah menyediakan kemudahan luar biasa untuk
menyebarluaskan apapun, termasuk pornografi, yang dikarenakan medium
penyebarannya lantas popular dengan sebutan cyberporn, digital porn, atau
cybersmoth. Joseph Nechvatal mengatakan “Electronic, computer-mediated,
and post-biological systems are now a fundamental part of our daily sex life
and are playing a significant role in the transformation and globalization of
cyberculture.”45 Senada dengan Nechvatal, Julian Dibbel mengatakan “And
with every new digital innovation, porn is being reshaped, transformed into
something that ... in many ways represents a far more significant break with
the past.”46 Situs-situs seks banyak ragam jumlahnya, bahkan telah
diklasifikasikan dengan jelas berdasarkan jenis kepentingan dan dapat
memperoleh secara spesifik gambar erotica dan informasi porno. Ada yang
free namun adapula yang harus membayar atau ikut member di web tersebut
seperti www.//playboy.com, www.//sex.com, www.//whithouse. com,
www.//asiasex.com, www.//xxx.com . dari web-web itu bisa masuk situs
kemana saja, karena biasanya ada link akses yang dibuat untuk
mempermudah netter menelusuri situs-situs yang diperlukan. Tinggal
memilih gambar erotik seperti orang asia, Jepang, Hongkong, Malaysia,
China, Philipina, Indonesia, Thailand atau gambar erotica orang barat seperti
Amerika, Inggris, Prancis bahkan gambar erotica selebritis dunia dan
Indonesia.
Bagaimanapun juga, cybersex pada hakikatnya adalah pornografi
sebagai komoditas, yang di-upload ke jaringan internet sehingga menjangkau
konsumen seluas-luasnya, dan memberikan kemungkinan lebih besar untuk
menangguk laba bagi mereka yang telah menginvestasikan kapital ke dalam
“bisnis fantasi erotis” itu. Dengan demikian, motif yang ada di balik
fenomena cyberporn sebetulnya cukup klasik, ialah logika kapitalisme yang
tak lain adalah akumulasi modal, kendatipun pemanfaatan internet sebagai
medium diseminasi komoditas mesum itu bisa menimbulkan kejutan yang
sama sekali tidak klasik dan mungkin belum pernah terjadi sebelumnya,
14
terutama dikarenakan sifat internet yang sangat aksesibel dan tak mempan
sensor.
C. Lesmana dalam Marzuki Umar memberikan beberapa kriteria untuk
memasukkan suatu gambar tulisan atau apapun yang disebut porno.
a. Terdapat unsur kesengajaan untuk membangkitkan nafsu birahi orang lain
b. Bertujuan atau mengandung maksud untuk merangsang nafsu birahi
(artinya sejak semula memang sudah ada rencana atau maksud dibenak
pembuat untuk merangsang birahi khalayak atau setidaknya ia mestinya
tahu kalau hasil karyanya dapat menimbulkan rangsangan birahi pihak
lain.
c. Produk tersebut tidak mempunyai nilai atau (merit) lain kecuali sebagai
sexual stimulant semata-mata
d. Berdasarkan standar kontemporer masyarakat setempat termasuk sesuatu
yang tidak pantas diperlihatkan atau diperagakan secara umum
Tak beda dengan gejala-gejala kultural lainnya, pornografi
kontemporer adalah salah satu pengejawantahan dari pertarungan
terusmenerus antara apa yang diistilahkan Sigmund Freud sebagai Eros dan
Thanatos, Naluri Kehidupan dan Naluri Kematian, Prinsip Kesenangan dan
Prinsip Kenyataan-dorongan-dorongan fundamental dalam psike manusia
yang lantas dengan cerdasnya ditangkap, dikendalikan, dan dimanfaatkan
oleh para penggembira ekonomi pasar, dengan didukung oleh teknologi
digital dan diberi landasan nilai-nilai oleh para cyberphilosophers dan cyber-
religionists. Masyarakat (kapitalisme) global, menurut Jean Baudrillard dalam
Simulations, adalah sebuah masyarakat yang di dalamnya segala sesuatu
berkembang menuju titik yang melampaui (beyond), menuju titik hyper,50
sehingga seksualitas pun berkembang menuju hypersexuality, menuju
penghancuran diri dan strategi fatal. Kapitalisme kontemporer, ekonomi
rasional yang tengah melakukan eksodus menuju ekonomi mimpi,
ketidakwarasan, dan hysteria massa.
Di sini yang ditemukan adalah sebuah subkultur terbesar yang pernah
terekam dalam sejarah, sebuah negeri elektronik maya. Terdiri atas komunitas
15
swadaya, dunia bayangan ini tak memiliki ruang, tak tercatat dalam sensus,
namun dihuni oleh orang dari seluruh penjuru dunia. Setiap hari jutaan orang
pulang dari sekolah atau tempat kerja, menyalakan komputer mereka, dan
berduyun-duyun menghilang ke dalam realitas lain.
Sebagai temuan teknologi mutakhir, jaringan komunikasi global itu
telah menciptakan sebuah negeri surealis, tanah antah-berantah, republic
imajiner dengan nilai-nilai dan hukum-hukumnya sendiri, sebuah ruang maya
yang terlepas dari kenyataan fisik, yang tak tercerap oleh pancaindera namun
bisa dialami. Internet telah meleburkan sekat antara fakta dan fantasi,
membobol dinding pembatas antara realitas dan imajinasi.
Dalam kata-kata John Perry Barlow, dalam hujatannya terhadap
pemerintah AS yang berniat memberlakukan The Telecom “Reform” Act of
1996, cyberspace adalah sebuah dunia yang ada di mana-mana sekaligus tak
ada di mana-mana, dan bukan tempat di mana jasad-jasad berada.
Sebagaimana yang terjadi dalam dunia sehari-hari, dan sebagaimana makhluk
hidup dalam dunia nyata di mana seks merupakan salah satu topik dan
aktivitas sentral kehidupan, manusia-manusia yang bermigrasi dan menghuni
republik maya-para avatar atau cyborg-pun berupaya menerjemahkan
syahwat mereka ke dalam ruang-lingkup baru, negeri imajiner itu: seks tanpa
melalui kontak tubuh, hubungan kelamin di mana gejolak birahi, ereksi, dan
penetrasi disalurkan melalui kata-kata di layar kaca, percintaan tanpa
kepastian identitas antara “aku” dan “dia”, mode kanalisasi libido
kontemporer, senggama dunia ilusi, technosex, cybersex.
Menurut Yayan Sofyan bahwa cybersex tidak ada kontak fisik
langsung dalam cybersex, semuanya berlangsung lewat teks. Apabila melihat
monitor orang yang sedang melakukan cybersex maka yang terbaca disitu
obrolan jorok, gambar-gambar erotik dan cerita erotik yang mungkin bisa
membangkitkan dorongan seksual diantara mereka yang terlibat didalamnya.
Orang-orang yang terlibat dalam cybersex saling memandu lawan bicaranya
ke fantasi seksual didalam pikirannya sesuai dengan apa yang mereka
inginkan.
16
Berdasarkan sejumlah pertimbangan, seks 3-D tidak selalu menjadi
pilihan yang tepat. Seks 2-D lebih disukai justru karena kegiatan itu lebih
aman dan mengasyikkan, dalam arti para pelakunya bisa menyembunyikan
identitas-diri di balik anonimitas komputer sehingga privacy lebih terjaga dan
terbebas dari rasa malu, bisa bereksperimen dengan berbagai macam jati-diri
dan pencitraan-diri, bebas berganti-ganti pasangan, bisa merakit idealisasi dan
fantasinya sendiri mengenai raut tubuh pasangannya, terhindar dari ancaman
penyakit kelamin, dan sebagainya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Gloria G. Brame : “Cybersex is better
than porn because it’s free, it’s there 24 hours a day, 7 days a week, and it’s
interactive, with a real person on the other end. Plus it’s a lot safer than a one-
night stand in today’s world of AIDS.” Daya tarik cybersex yang aman inilah
yang kemudian ditangkap sebagai peluang oleh industri-industri pornografi
terkemuka untuk memproduksi berbagai aksesoris-yang disebut oleh Howard
Rheingold sebagai teledildonics-yang konon mampu meningkatkan
kenikmatan dalam cybersex seakan-akan semuanya terjadi dalam kenyataan.
Berikut ini ringkasan pengalaman dari tiga responden dalam penelitian
Robin Hamman yang dapat penulis sampaikan:
Bagi Rebecca real sex memang jauh lebih indah dan memuaskan
ketimbang cybersex, namun toh cybersex tetap lebih menyenangkan
ketimbang bermasturbasi sendirian, karena cybersex bersifat interaktif,
timbal-balik, sehingga dengan cybersex ia bisa mencapai orgasme lebih
cepat. Dikarenakan keyakinan-keyakinan moralnya, dan karena ia
khawatir terjangkit virus HIV, real sex bukanlah pilihan yang tepat
baginya. Cybersex-lah alternatif yang aman dan nyaman. Cybersex
memungkinkan dia bereksperimen dengan aktivitas-aktivitas seksual yang
baru, yang tak bisa dia lakukan dalam kehidupan nyata; memungkinkan
dia untuk mengeksplorasi dan merasa nyaman dengan tubuh dan
seksualitasnya sendiri, yang tak pernah ia rasakan sebelum ia melakukan
cybersex. Bagi Rebecca, medium komputer telah membukakan ruang bagi
penemuan-diri dan transformasi-diri.
17
Rob melakukan cybersex dengan niat main-main. Di ruang maya, ia kerap
mengaku sebagai wanita dan berhubungan intim dengan para pria, dan
hanya sesaat sebelum pasangan prianya itu mencapai orgasme, tiba-tiba
Rob mengaku bahwa dirinya pria juga, sehingga pasangannya akan merasa
sangat terguncang, malu, dan tertipu. Tindakan Rob ini bisa menimbulkan
efek yang berjangka panjang kepada para korbannya. Mereka bisa
kehilangan kepercayaan kepada orang lain yang tak betul-betul mereka
kenal dan merasa tak nyaman dengan aktivitas seksualnya sendiri. Rob
juga kerap melakukan cybersex dengan para wanita, menyimpan transkrip
“percakapan” mereka dalam bentuk file, dan mengirimkannya ke banyak
orang yang nama keluarganya (surname) sama dengan si wanita atau yang
kota asalnya sama dengan si wanita. Rob kadang dihadiahi foto telanjang
dari para wanita pasangan mainnya, dan ia segera mengirimkannya kepada
keluarga si wanita atau banyak orang lain. Para korban tindakan Rob bisa
kehilangan privacy seksual mereka. Apa yang dilakukan Rob serupa
dengan perkosaan atau pelecehan seksual. Rob merasa senang dengan
tindakannya, seperti ketika ia mempermainkan tokoh-tokoh dalam video
game, padahal orang-orang yang ia permainkan itu adalah manusia nyata.
Dalam hal ini Robin Hamman menyimpulkan, jika perkosaan adalah
kejahatan terhadap “diri”, maka perkosaan di dunia maya pun merupakan
perkosaan yang sesungguhnya, yang tidak kurang serius dibandingkan
kejahatan yang terjadi di dunia nyata. Jatuh cinta, patah hati, cyber
romance, cybersex, cyberorgy, pelecehan seksual, perkosaan dan
pengkhianatan adalah pengalaman yang agaknya akan semakin
memeriahkan komunitas republic imajiner itu, menghangatkan ruang-
ruang chatting yang setiap harinya riuh-rendah oleh jutaan orang dari
berbagai penjuru bumi. Tak berbeda dengan berbagai aspek lain dalam
komunikasi yang dijembatani komputer, relasi di ruang-ruang chatting itu
sepenuhnya bertumpu pada kepercayaan bersama terhadap fantasi.
Sebagaimana dipaparkan Allucquere Rosanne Stone, para netters
beranggapan bahwa komputer bukanlah sekadar alat, melainkan semacam
18
“medan pengalaman sosial.” Komputer memungkinkan para penggunanya
berkomunikasi dengan orang-orang lain serupa dengan telepon, yang oleh
Stone disebut sebagai narrow-bandwidth medium.
Berbeda dengan interaksi tatap-muka di dunia nyata yang bersifat
wide-bandwidth, di mana postur tubuh, gerak-gerik anggota badan, ekspresi
wajah, sorot mata, tinggi-rendah suara, dan sebagainya menjadi bagian
integral dari komunikasi dan bisa tersampaikan secara jelas, dalam narrow-
bandwidth medium informasi-informasi visual itu tak dapat tersampaikan.
Efek dari penyempitan bandwidth itu dengan demikian adalah dilibatkannya
“fasilitas-fasilitas interpretasi” atau “kemampuan imajinatif” dari para
partisipan komunikasi, dalam takaran lebih besar dibandingkan dengan yang
terjadi pada interaksi tatap-muka.
Untuk mengatasi kesenjangan yang diakibatkan oleh keterbatasan
medium komunikasi dan untuk menggantikan berbagai ekspresi nonverbal
yang hilang dalam interaksi di dunia maya, maka diciptakanlah simbol-simbol
tertentu-yakni emoticons-yang mampu mewakili ekspresi tubuh dan ungkapan
emosi, seperti tersenyum, tertawa, cemberut, menjulurkan lidah, mengedipkan
mata, dan sebagainya, sehingga komunikasi menjadi lebih hidup. Peran fantasi
yang begitu menentukan inilah yang kemudian memudahkan idealisasi.
Merupakan hal yang lazim bagi para cybersexers untuk menampilkan dirinya
secara berbeda, potret diri yang lebih ideal di tengah komunitas maya, atau
membayangkan partnernya dalam sosok yang sesuai dengan idealisasinya
sendiri. Komunikasi yang tak terganggu oleh penampilan fisik ini jugalah
yang mempercepat keakraban emosional di antara para chatters.
Di samping itu, menurut Sherry Turkle, relasi online mampu
mencapai keakraban sedemikian cepat karena para partisipan merasa sendirian
di tengah hamparan dunia maya yang tampak ganjil dan terpencil itu.
Anonimitas di dunia maya pun mendorong para pengguna internet untuk
merasa aman menyalurkan hasrat seksualnya, mewujudkan impian dan
fantasinya, yang sebaliknya tak dapat mereka lakukan di dunia nyata. Gender,
umpamanya, dalam kehidupan nyata merupakan salah satu institusi yang
19
“disakralkan”, yang diatur dalam ritual agama dan undang-undang negara,
memicu debat feminisme yang tiada habis-habisnya.
Penampilan fisik pun, kendati terbuka bagi dilakukannya manipulasi
kosmetika, pada dasarnya sulit diubah dan merupakan faktor penting yang
turut menentukan identitas kita dalam kehidupan nyata. Namun di dunia maya,
sebaliknya, setiap orang bisa memilih identitasnya sendiri, gambaran fisiknya
sendiri, bergonta-ganti jenis kelamin (gender-switching atau gender-surfing)
semudah mengganti nama; mengganti usia, kebangsaan, daerah asal, warna
kulit dan sebagainya semudah mengetikkan kata-kata. Teknologi internet
dengan demikian mampu merongrong berbagai kepastian yang dikhususkan di
dunia nyata, dan menyediakan ruang kemungkinan bagi setiap orang untuk
mengkompensasikan nasibnya yang absurd, yang tak mungkin diubah sejak ia
terlempar ke dunia ini tanpa berdasarkan kesepakatannya sendiri.
Teknologi internet telah mengubah pandangan kita tentang makna
komunitas dan pola relasi, pengertian kita tentang diri sendiri dan orang lain.
Dan berhadapan dengan terbukanya beraneka kemungkinan itu, seperti
diungkapkan oleh Joseph Nechvatal, cybersex bisa berarti bangkitnya daya
psikis kita yang terpendam, kemampuan kita untuk terbebas dari penjara
tubuh, dan mewujudkan simbiosis ruh dengan ruh, aurat dengan aurat,
bersama semua orang lain dari segala penjuru dunia. Interaktivitas seksual
adalah kualitas yang kian dicari oleh banyak orang dalam semua aspek
komunikasi, yang lazim diistilahkan sebagai ‘intercourse’. Interaktivitas
fantasi seksual mendorong setiap orang untuk berpartisipasi di dalam
bekerjanya sistem imajiner, baik sistem itu beroperasi dalam tataran
konseptual, perilaku, maupun lingkungan, dan baik ia bersifat utilitarian,
artistik, atau seksual. Publik menjadi kian sadar akan nilai ruang elektronik
sebagai ruang transformasi seks pribadi, komunikasi, permainan, kegiatan
belajar, dan informasi. Anggapan kultural lama mengenai realitas tak bisa lagi
menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan akan fantasi yang dituntut oleh seks
baru yang bersifat pasca-biologis, elektronik, dan online.
20
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cybersex
1. Anonimitas
Transaksi-transaksi elektronik yang anonim membantu para
pengguna merasa memiliki kendali lebih besar terhadap isi, corak dan sifat
dari pengalaman seksual online.Dalam kontek anonim dunia cyber, pesan-
pesan seksual konvensional telah ditiadakan, sehingga para pengguna
dapat mewujudkn fantasi-fantasi seksual mereka yang terpendam tanpa di
ketahui orang lain dan sex dunia cyber menawarkan cara yang aman,
pribadi dan anonim.
2. Kemudahan
Menjamurnya ruang-ruang chatting yang berorientasi sexsual, telah
menyediakan suatu sarana yang mendorong seseorang melakukan
eksplorasi. Kemudahan fasilitas ini juga telah membantu mempromosikan
eksperimen seksual di kalangan mereka yang dalam keadaan normal tidak
akan terlibat dalam perilaku seksual tersebut.
3. Pelarian.
Banyak yang percaya bahwa alasan utama seseorang melakukan
tindakan seksual online adalah untuk pemuasan hasrat seksual. Namun
sejumlah penelitian telah memperlihatkan bahwa rangsangan seksual
mungkin pada awalnya merupakan alasan seseorang untuk terlibat seks
cyber, namun seiring berjalannya waktu, pengalaman tersebut kemudian
berubah menjadi tempat pelarian dari ketegangan mental emosional
maupun keterbatasan diri.Pengalaman bukan hanya memberikan pemuasan
hasrat seksual, melainkan juga telah menjadi tempat pelarian yang
subyektif, yang di peroleh melalui perkembangan kehidupan fantasi online
dimana seseorang mengadopsi sebuah kepribadian dan identitas baru.
4. Gender
Gender secara signifikan juga mempengaruhi cara seseorang
memandang cybersex. Para wanita seringkali memilih cybersex karena
cara ini dapat membantu menyembunyikan penampilan fisik dan
21
menghilangkan stigma sosial bahwa wanita tidak boleh menikmati seks,
serta memungkinkan mereka dengan cara-cara yang baru, aman, tanpa
batasan. Para pria umumnya memilih cybersex karena cara ini dapat
menghilangkan kegelisahan akan kemampuan seksual mereka yang
mungkin menjadi penyebab ejakulasi prematur atau impotensi,serta
membantu pria-pria menyembunyikan penampilan fisik pria-pria yang
merasa tidak percaya diri.
Meski menurut International Data Corporation, seperti ditulis dalam harian
Bisnis Indonesia, tingkat adopsi Internet di Indonesia masih rendah (0,11% dari
populasi), tapi tidak ada salahnya mencermati fenomena cybersex ini.
E. tanda-tanda bahaya yang bisa dikenali dalam melihat apakah seseorang
kecanduan cybersex atau tidak, yaitu :
1. Begitu tersambung ke Internet, hanya ada seks dalam pikirannya;
2. Selagi berselancar, ia merasa bergairah dan mencurigakan. Pada beberapa
orang bahkan bisa mengalami orgasme;
3. Ia cenderung tidak ingat waktu ketika menjelajahi situs seks;
4. Bila tidak dapat mengakses Internet, ia menjadi lekas marah dan
menggerutu;
5. Ia kehilangan minat bergaul, tidak sabar, dan lekas marah, baik dengan
teman-teman maupun anggota keluarganya
6. Kegiatan seksual yang sesungguhnya yang dia lakukan membuat ia
merasa bersalah dan jijik
7. Dia mungkin ingin berhenti mengakses situs seks atau rubrik kenalan
tetapi merasa tidak dapat menahan untuk tidak melakukan hal itu.
F. Cyber seks dihubungkan dengan agama
Peliharalah farji (kemaluan)mu dari segla perbuatan yang diharamkan oleh
Allah SWT seperti zina, liwath, lesbian, mengeluarkan mani dengan tangan
(onani), menggauli istri di waktu haidh dan bersetubuh dengan hewan. Allah
SWT berfirman: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka
22
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (QS. Al-Mu’minun : 5-
6)100
Tidaklah anda berhasil menjaga farjimu, melainkan terlebih dahulu harus
menjaga mata dari memandang hal-hal yang menimbulkan naiknya nafsu
syahwat. Menjaga hati dari memikirkan hal-hal yang merangsang. Hal yang
demikian mudah menimbulkan nafsu syahwat dan membuat farj’imu
mengikuti kemauanmu
G. Per-UU-An Saat Ini Yang Terkait Delik Kesusilaan
1. KUHP
KUHP (Yang berkaitan dg. sex, pelanggaran susila, porno, cabul)
“kejahatan kesusilaan”
a. melanggar kesusilaan di muka umum (Pasal 281);
b. menyiarkan, mempertunjukkan, membuat, menawarkan dsb. tulisan,
gambar, benda yang melanggar kesusilaan/bersifat porno (Psl. 282-
283);
c. melakukan zina, perkosaan dan lain-lain yang berhubungan dengan
melakukan atau menghubungkan/ memudahkan perbuatan cabul dan
hubungan seksual (Pasal 284-296)
“pelanggaran kesusilaan”
a. mengungkapkan/mempertunjukkan sesuatu yang bersifat
pornoPasal 532-535);
Pasal 282 KUHP
23
d. menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh (tanpa
unsur di muka umum);
a. Psl. 57 jo. 36 (5) mengancam pidana terhadap SIARAN yang (antara lain)
menonjolkan unsur cabul.
b. Psl. 57 jo. 36 (6) mengancam pidana terhadap SIARAN yang
memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-
nilai agama, martabat manusia Indonesia.
c. Psl. 58 jo. 46 (3) mengancam pidana terhadap SIARAN IKLAN NIAGA
yang di dalamnya memuat (antara lain) :
o hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan
nilai-nilai agama; dan/atau eksploitasi anak di bawah umur 18
tahun.
24
UU Pers (UU NO 40/1999)
a. Pasal 13 : Perusahaan pers dilarang memuat iklan, a.l. : (a) yang
berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu
kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan
rasa kesusilaan masyarakat;
b. Pasal 18 (2) : Perusahaan pers yang melanggar Pasal 13 dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah). à BNA : KURANG EFEKTIF.
25
New York Agency melalui komputer (putusan Mahkamah Agung RI
1988)
5) Dalam sumber artikel di internet dinyatakan, bahwa cyber sex merupakan
“adultery” (zinah).
dari sudut pandang agama Islam, cybersex itu merupakan zina (a.l. menurut Dr.
Muzammil H. Siddiqi, mantan President of the Islamic Society of North America)
26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu teknologi yang popular digunakan saat ini adalah internet, yaitu
jaringan komputer yang terhubung satu sama lain dan mampu dioperasikan
hampir di semua tempat, baik di sekolah-sekolah, universitas, warung internet
(warnet), perkantoran, ataupun di rumah-rumah.
Secara harfiah Cybersex berasal dari kata cyber dan seks. Menurut
Sudarmo kata cyber berarti serat-serat optic yang berupa kabel-kabel dari
alat atau media, komunikasi dan informasi seperti telephon, radio, TV,
komputer dan internet yang dapat difungsikan untuk mengirimkan suara,
gambar dan atau tenaga untuk menggerakkan alat atau barang. Sedangkan
kata seks mempunyai dua pengertian pertama seks berarti jenis kelamin
atau proses reproduksi yang kedua seks adalah segala hal yang berkenaan
dengan kesenangan atau kepuasan organ digabung dengan rangsangan-
rangsangan organ kemaluan atau terkait dengan percumbuhan serta
hubungan badan.
Cybersex dapat diterjemahkan sebagai aktivitas seksual, tayangan seksual
atau perbincangan yang mengarah pada hal–hal yang berbau seksual dengan
menggunakan media komputer khususnya internet. Pada dasarnya belum ada
definisi yang tegas dari ahli–ahli perilaku manusia tentang aktivitas cybersex.
Hal ini mengingat bahwa seks tidak dilakukan langsung dari orang lain
melainkan adanya media perantara. Seseorang yang melakukan cybersex
mungkin hanya mengetik di atas keyboard atau mengamati suatu media
perantara yaitu layar komputer, namun melakukan perilaku seksual. Misalnya
perilaku seorang mahasiswa perguruan tinggi di Jakarta sedang asik melihat
gambar-gambar porno di internet menggunakan laptop pribadinya.
Berdasarkan penelitian cybersex, maka jenis–jenis cybersex dapat
digolongkan sebagai berikut:
(1) Surfing / download gambar–gambar porno,
27
(2) Chatting erotik dibagi 2:
(a) Computer mediated interactive masturbation dan
(b) Computer mediated telling of interaction sexsual stories,
(3) Virtual sex player (Hamman, 1996 ).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cybersex
1. Anonimitas
2. Kemudahan
3. Pelarian.
4. Gender
B. Saran
1. Diharapkan adanya kerjasama anatara masyarakat dengan pihak aparat
penegak hukum khususnya membantu sosialisasi tentang bahaya
kejahatan cybersex dan cyberporn terhadap masyarakat khususnya anak
dibawah umur.
2. Segera meningkatkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan terkait
proses penyidikan dan pembuktian terhadap kejahatan cybersex dan
cyberporn;
3. Untuk para orang tua, pendidik dan tokoh-tokoh agama agar lebih
memberikan contoh yang baik serta perhatian yang lebih kepada anak-
anak, agar mereka lebih terkontrol khususnya didalam penggunaan
sarana teknologi dan sarana ITE
28
DAFTAR PUSTAKA
29
S. Nasution, op.cit.,hlm. 91.
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 14.
Agus Sujanto, Psikologi Umum, (Surabaya : Aksara Baru, 1985), hlm. 31.
Sumadi Suryabrata, op.cit., hlm. 40.
Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hlm. 50.
Sumadi Suryabrata, op.cit., hlm. 52.
Chalidjah Hasan, Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: Al-
Ikhlas, 1994), hlm. 40.
Ahmad Fauzi, op.cit., hlm. 60.
Wahana Komputer Semarang, loc.cit.
Suparman, Komputer Pribadi Menyonsong Abad XXI, (Jakarta :
Dinastindo, 1997), hlm. 261
S. Zubaidah, et,all, “Studi tentang Perilaku Seksual pada Pengguna
Layanan Cybersex, Fenomena Jurnal Psikologi,” vol. VI, No. 01. tt.p : Agustus
2001, hlm. 20
37 Ninan Surtiretna, Bimbingan Seks Bagi Remaja, (Bandung : Remaja
Rosdakarya,
2001), hlm. 2
Marzuki Umar Sa’abah, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas
Kontemporer, (Yogyakarta : UII Press, 2001), hlm. 1
S. Djubaidah, op.cit., hlm, 20
Robin Haman, Cyborgasms : Cybersex amongst multiply selves and
cyborgs in the narrow–Bandwidth Space of America Online Chat Room.
http://www. Members. aol.com/ cibersoc/issue 1. html atau dalam
http://www.socio.demon.co.uk/cyber orgasms. html, hlm. 1. tanggal akses, 16
Pebruari 2006
Mark Slouka, Ruang yang Hilang : Pandangan Humanis tentang Budaya
Cyberspace yang Merisaukan, terj. Zulfahmi Andri (Bandung : Mizan, 1999),
hlm.34
30
Joseph Nechvatal, Cybersex Technologies of an Artist Called Matta and of
His Sex Drawing from the Early 1940’s, dalam
http://www.plexus.org/nechvatal/matta.html.hlm.1, Tanggal akses, 16 Pebruari
2006. Julian Dibbell, The Body Electric dalam
http://www.time.com/time/digital/reports/entertainment/ body_electric.html, hlm.
2. tanggal akses, 27 Juli 2005
Burhan Bungin, Pornomedia, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hlm. 72
John Perry Barlow, A Declaration of the Independence of Cyberspace, dalam
http://www.eff.org/~barlow, hlm. 1. tanggal akses, 18 Agustus 2005.
Yayan Sofyan, Romansa Cyber, (Jakarta : Gagas Media, 2003), hlm. 70
Gloria G. Brame, How to Have Cybersex: Boot Up and Turn On, dalam
http://gloriabrame. com/glory/journ7.htm, hlm. 4. tanggal akses, 24 Agustus 2005.
Joel Stein, Will Cybersex Be Better than Real Sex? dalam
http://www.time.com/time/ magazine /articles/ 0, 3266, 47160, 00. html dan
Julian Dibbell, The Body Electric dalam
http://www.time.com/time/digital/reports/entertainment/body_electric.html, hlm.
1, tanggal 16 Pebruari 2006.
Robin Hamman, The Role of Fantasy in the Construction of the On-line
Other: A Selection of Interviews and Participant Observations from
Cyberspace,",dalam http//www.socio.demon.co.uk/fantasy.html. hlm. 3. Tanggal
Akses, 24 Agustus 2005.
Elizabeth M. Reid, Electropolis: Communication and Community On
Internet Relay Chat, text adapted from an Honours thesis written at the University
of Melbourne (Australia) in 1991. Dalam
www.skepticfiles.org/cowtext/comput_1/electrop.htm., hlm 8, tanggal akses, 24
Agustus 2005.
Sherry Turkle, Constructions and Reconstructions of Self in Virtual
Reality: Playing in the MUDs dalam http://www.mit.edu/sturkle/www. hlm. 2,
tanggal akses 16 Pebruari 2006.
31
32