Disusun Oleh :
Aflah Chaesara Suwarno 1906452523
Syamaidzar 1906452675
Uwin Sofyani 1906413182
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 2
Bab II TEORI (PEMBAHASAN) .............................................................................. 4
2.1 Perkembangan Katalis .......................................................................................... 4
2.1.1 Menentukan Proses yang Dibutuhkan .................................................. 4
2.1.2 Menentukan Permasalahan dan Tujuan .............................................. 4
2.1.3 Penelitian ................................................................................................. 5
2.1.4 Desain Katalis .......................................................................................... 6
2.1.5. Uji Katalis ............................................................................................... 6
2.1.6. Pembuatan Katalis dan Pemeliharaan................................................. 7
2.2 Proses Katalisi ...................................................................................................... 7
2.2.1 Pengaruh Energi Aktivasi ....................................................................... 8
2.2.2 Siklus Katalis ........................................................................................... 9
2.2.3 Adsorpsi ................................................................................................ 10
2.2.4 Adsorpsi Fisik dan Isoterm BET ......................................................... 12
2.2.5 Adsorpsi Kimia...................................................................................... 14
2.2.6 Area Permukaan Logam yang Selektif terhadap Adsorpsi Kimia .. 15
2.2.7 Stoikiometri Adsorpsi Kimia ............................................................... 18
2.2.8 Kompleksitas Katalis ............................................................................ 19
BAB III KESIMPULAN............................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 21
i
BAB I
PENDAHULUAN
2
semakin banyak sehingga laju reaksi dapat semakin cepat. Oleh sebab itu, dalam suatu reaksi
penting untuk mengetahui luas permukaan termasuk luas permukaan katalis.
Semua katalis logam aktif terhadap adsorpsi hidrogen secara, dimana ukuran jumlah
hidrogen yang teradsopsi pada logam dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk
menentukan luas permukaan katalis. Hal ini sering dinyatakan sebagai dispersi katalis yang
memiliki definisi sebagai jumlah atom di permukaan dibagi dengan jumlah total atom logam,
dimana jika hal tersebut dikali dengan seratus sehingga memberikan nilai yang disebut sebagai
presentasi yang terpapar.
Metode yang paling sering digunakaan dalam menentukan luas permukaan katalis
adalah menggunakan BET (Brunaur, Emmett and Teller) dimana metode ini menggunakan
prinsip adsorpsi fisik. Selain dengan menggunakan adsorpsi fisik, penentuaan luas permukaan
katalis dapat dilakukaan dengan adsorpsi kimia. Metode - metode yang digunakan dalam
adsorpsi kimia untuk penentuaan luas permukaan katalis diantaranya dengan mode statis,
sistem pulse dan teknik titrasi hidrogen – oksigen.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai proses perkembangan katalis, detail dari
tahapan-tahapan dalam siklus katalis dan proses adsorpsi baik secara fisik maupun kimia dan
juga penentuan luas permukaan katalis logam melalui proses adsorpsi kimia.
3
BAB II
TEORI (PEMBAHASAN)
4
biaya bahan baku katalis yang terlalu tinggi maupun ketersediaan bahan baku katalis.
Permasalahan-permasalahan tersebut sangat penting untuk dilakukan perbaikan, baik melalui
modifikasi metode yang telah digunakan maupun menggunakan metode yang baru. Setelah
penentuan permasalahan dilakukan, penelitian perlu dilakukan untuk mengonfirmasi sifat
katalis dan mekanisme yang terjadi pada proses katalitik. Hal ini akan mempengaruhi proses
modifikasi dan desain yang akan dilakukan selannnjutnya.
2.1.3. Penelitian
Penelitian katalis dapat dilakukan oleh berbagai bidang ahli, karena katalis merupakan
bidang yang sangat luas. Berbagai bidang dapat meneliti hal yang berkaitan dengan katalis,
seperti peneliti bidang fisika permukaan, teori kimia, maupun kimia fisik. Pada proses
penelitian dapat menggunakan cara komputasional, yakni dengan proses pemodelan untuk
mengetahui sifat dan tingkah laku dari molekul sesungguhnya pada permukaan yang telah
dikarakterisasi dengan baik.
Pada tahap ini, preparasi harus dapat dilakukan dengan sangat terkontrol, sifat-sifat
katalis secara depat diukur, dan dilakukan percobaan kinetik untuk mengetahui kebenaran yang
terdapat pada sifat katalis dan mekanisme katalitik yang terjadi. Dilakukan pemodelan partikel
dan permukaan katalis jika telah mencapai tahap pada skema reaksi kompleks dan proses
deaktivasi dapat ditangani dengan baik sehingga dilanjutkan dengan penelitian yang lebih
dalam. Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara sifat–sifat
katalis dengan mekanisme katalitik antar katalis.
Desainer katalis mencari solusi terhadap permasalahan yang terjadi, tidak melebar pada
hal–hal lainnya. Para desainer akan mencari literatur secara komprehensif hingga pada paten
dan laporan penelitian dari para peneliti terdahulu untuk menemukan data yang cocok dengan
permasalahan yang dihadapi sehingga dapat melakukan pembuatan desain katalis yang telah
jelas permasalahannya. Penentuan sisi aktif, jenis penyangga/ support, promotor, dan metode
preparasi harus sejalan dengan mekanisme katalitik, kinetic, daya adsorpsi, maupun transfer
massa meskipun data yang diperoleh masih belum lengkap dan spekulatif. Hubungan sifat
katalis dengan mekanisme katalitik harus dilakukan berdasarkan teori empiris dengan
pembuktian dari eksperimen. Penelitian katalis memiliki tingkat kesulitan yang beraneka
ragam. Tahap penelitian akan diakhiri ketika telah memperoleh kelayakan katalis dengan
keberadaan bahan baku serta biaya yang rendah. Berdasarkan informasi interpretasi yang lebih
lengkap, dapat ditentukan katalis-katalis yang dapat dilanjutkan pada tahap desain katalis.
5
2.1.4. Desain Katalis
Desain katalis membutuhkan katalis-katalis yang telah lolos pada tahap sebelumnya
untuk dilakukan pengujian dan optimasi. Pada proses ini, akan menjadikan katalis semakin
berpeluang dilakukan produksi jika berdasarkan katalis yang telah terbukti sebelumnya. Sejak
bertahun-tahun lalu, proses desain katalis telah berjalan sistematis dan menggunakan metode
saintifik. Proses katalis dilakukan melalui beberapa tahapan yakni menentukan target reaksi,
melakukan analisis stoikiometri, analisis termodinamika, melakukan percobaan mekanisme
molekuler dan permukaan, mengatur arah reaksi, menguji sifat katalitik, dan proses pembuatan
katalis. Pada makalah ini tidak dijelaskan mengenai proses desain katalis karena hanya terbatas
pada prose perkembangan katalis.
Katalis-katalis yang baru membuat para desainer katalis memiliki pilihan untuk
menjadikan katalis tersebut diproduksi secara massal. Namun, untuk komersialisasi masih
membutuhkan waktu yang panjang dikarenakan diperlukan uji katalis yang harus dilalui
sebelum katalis dinyatakan layak dan didemonstrasikan. Lebih mudah jika memodifikasi
katalis yang telah terbukti kegunaannya sehingga katalis lebih siap untuk dilakukan pengujian
yang terpercaya. Katalis dengan tujuan komersialisasi akan dilakukan beberapa kali modifikasi
hingga menghasilkan katalis yang sangat baik untuk diproduksi pada skala besar.
Setelah mendesain, untuk dapat mengetahui sifat katalis lebih dalam dapat dilakukan
pengujian. Meskipun dilakukan pada skala kecil menggunakan prosedur laboratorium,
pelaksanaan harus tetap sesuai standar prosedur agar nantinya dapat digunakan sebagai paten
serta produksi katalis dalam skala besar. Hal penting pada proses desain adalah optimasi sifat-
sifat katalis yang spesifik pada sisi aktif, penyangga, dan promotor. Tidak diperlukan
penyertaan parameter-parameter kimia seperti konsentrasi, metode preparasi, maupun
temperatur kalsinasi.
6
preparasi, dan uji katalis harus diperlakukan sebagai satu-kesatuan yang berkelanjutan hingga
diperoleh kondisi optimum dari parameter katalis.
Uji katalis menggunakan simulasi kondisi dengan metode komputasi (pilot unit test)
bertujuan untuk menguji formulasi katalis yang digunakan agar sesuai yang diinginkan,
mengoptimasi variabel-variabel operasional (temperatur, kecepatan, dan tekanan), menguji
ketahanan katalis, meningkatkan data untuk tujuan komersialisasi, menyediakan contoh produk
yang terbentuk, dan untuk melatih operator serta teknisi yang akan menangani penggunaan
katalis dalam skala pabrik.
Ukuran pilot unit menjadi faktor yang krusial dalam biaya pembuatan dan pengoprasian
katalis. Menguji formulasi untuk komersialisasi merupakan hal yang penting, yakni ukuran
unit reaktor harus disesuaikan untuk simulasi akhir pada desain namun dengan beberapa
batasan. Terkadang untuk simulasi performa katalis pada skala besar diperlukan. Penggunaan
katalis harus dilakukan dengan prosedur komersil, skala besar, dan jumlah katalis yang
konsisten. Proses pilot unit yang berjalan otomatis dapat meningkatkan jumlah produksi
dengan menurunkan biaya operasi. Namun, jika terdapat kesalahan kecil akan terlihat sangat
jelas karena mungkin saja terjadi kesalahan yang tidak terpikirkan sebelumnya.
7
produk. Reaksi katalisis secara umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu reaksi katalisis
homogen dan reaksi katalilisis heterogen. Pada reaksi katalisis homogen, reaktan dan katalis
berada dalam fasa yang sama dan reaksi terjadi di seluruh fasa. Sedangkan pada katalis
heterogen, reaktan dan katalis berada dalam fasa yang berbeda. Dalam katalisis heterogen, zat
padat yang bertindak sebagai katalis dapat mengikat sejumlah gas atau cairan pada
permukaannya berdasarkan adsorspsi.
Dalam suatu reaksi, sebenarnya katalis ikut terlibat dengan cara bereaksi dengan
reaktan. Akan tetapi, pada akhir reaksi terbentuk kembali seperti bentuknya semula. Dengan
demikian, katalis tidak memberikan tambahan energi pada sistem dan secara termodinamika
tidak dapat mempengaruhi keseimbangan. Katalis hanya mempengaruhi faktor kinetik seperti
laju reaksi, energi aktivasi, sifat keadaan transisi dan lain sebagainya.
150 - 200 0C
CH3CH2OH CH3CHO + CH2 2.2
Cu
300 0C
CH3CH2OH H2C=CH2 + H2O 2.3
Al2O3
Temperatur tinggi yang butuhkan pada reaksi tanpa katalis menandakan bahwa energi
aktivasi pada reaksi ini sangat tinggi. Pada reaksi 2.2 katalis Cu bereaksi dengan etanol, dengan
energi aktivasi yang lebih rendah dibandingakn dengan reaksi tanpa katalis, menghasilkan
asetaldehide. Pada reaksi ini pasangan elektron pada oksigen bereaksi dengan permukaan
logam untuk menghasilkan zat antara yaitu ikatan C-H dekat dengan logam. Reaksi selanjutnya
yaitu lepasnya ikatan C-H dan O-H membentuk aldehid yang teradsorpsi pada tembaga dihidro.
Pada akhir reaksi, aldehid mendesorpsi dan bereaksi dengan oksigen untuk melepaskan
hidrogen. Pada reaksi ini, katalis Cu berfungsi untuk memudahkan pelepasan ikatan C – H,
8
sehingga mempercepat dehidrogenasi. Pada reaksi 2.3, katalis Al2O3 memiliki sifat asam
sehingga akan menghasilkan produk alkena.
Katalis dapat meningkatkan laju reaksi dengan cara mempengaruhi energi pengaktifan
suatu reaksi kimia. Keberadaan katalis akan menurunkan energi pengaktifan, sehingga reaksi
dapat berjalan dengan cepat. Terlihat pada kurva energi aktivasi bahwa reaksi tanpa katalis
membutuhkan energi aktivasi lebih tinggi dibandingan reaksi menggunakan katalis Cu dan
Al2O3.
Gambar 1. a) Energi aktivasi dehidrogenasi etanol tanpa katalis dan menggunakan katalis Cu; b) Energi
aktivasi dehidrogenasi etanol tanpa katalis dan menggunakan katalis Al2O3.
9
3. Reaksi adsorbat dipermukaan katalis untuk menghasilkan produk
4. Desorpsi produk dari permukaan katalis
5. Transport produk menjauh dari katalis.
Inti dari kelima tahap diatas terjadi pada tahap ketiga, akan tetapi tahap kedua dan
keempat termasuk dalam perubahan kimia, sehingga data kecepatan reaksi yang diamati
meliputi data dari ketiga tahap tersebut. Pengukuran energi aktivasi merupakan aplikasi dari
kombinasi ketiga tahap tersebut. Tahap kedua, ketiga dan keempat merupakan penentu laju
reaksi dengan ciri-ciri:
a. Laju reaksi sebanding dengan massa katalis atau konsentrasi komponen aktif
b. Laju reaksi tidak dipengaruhi oleh pengadukan
c. Energi pengaktifan biasanya lebih besar dari 25 kJ.mol-1
Penentuan laju reaksi tentu akan berbeda jika reaksi pada tahap 1 dan 5 hanya
melibatkan transportasi fisik. Jika hal ini terjadi, maka satu tahap akan membatasi seluruh
tahapan dalam proses katalisis. Karena kompleksitas ini, penentuan energi aktivasi pada
katalisis heterogen tidak spesifik di tahap 3 akan tetapi pada semua tahapan katalisis. Jika
energi aktivasi lebih besar dari 10 kkal/mol (40 kJ/Mole) maka proses kimia menjadi laju
pembatas. Sedangkan jika energi aktivasi 3 – 4 kkal/mol (12-15 kJ/Mole) atau lebih rendah
maka proses transportasi mengasumsikan tingkat kontrol yang lebih besar pada reaksi.
2.2.3. Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses penyerapan partikel suatu fluida (cairan maupun gas) oleh
suatu padatan hingga terbentuk suatu film (lapisan tipis) pada permukaan adsorben. Adsorpsi
umumnya terjadi pada katalis heterogen. Adsorpsi pada permukaan katalis harus
menguntungkan secara energi yakni memiliki energi aktivasi yang relatif rendah dan
menyebabkan pembentukaan permukaan reaktif. Contoh proses adsorpsi yakni kompleksasi
alkena pada kompleks logam transisi seperti yang digambarkan pada model Chatt-Dewar-
Duncanson. Pada model ini, elektron π disumbangkan ke orbital kosong dari ion logam di
permukaan katalis. Proses ini disertai dengan pengikatan kembali dari orbital d yang terisi pada
permukaan katalis ke orbital π* pada alkena. Kedua proses ini menyebakan ikatan π pada
alkena menjadi lemah. Untuk lebih jelas, perhatikan gambar 2 berikut ini.
10
Gambar 2. Model Chatt-Dewar-Duncanson untuk adsorpsi alkena pada sisi aktif logam.
Dalam sebuah proses adsorpsi, adsorpsi reaktan pada situs aktif katalis akan
melepaskan energi dalam bentuk panas, sehingga akan mempermudah molekul reaktan
melewati energi aktivasi. Panas yang dilepaskan pada proses adsorpsi tergantung pada
kekuatan adsorpsi. Jika adsorpsi yang terjadi sangat lemah, energi yang dilepaskan juga kecil,
sehingga hanya sebagian kecil fraksi permukaan yang ditempati oleh reaktan, dan pada
akhirnya reaksi berjalan dengan lambat. Kekuatan adsorpsi reaktan pada permukaan katalis
sangat menentukan aktivitas suatu katalis.
• Ketika adsorpsi terlalu lemah, jumlah spesies teradsorpsi terlalu rendah untuk
mempertahankan reaksi.
• Ketika adsorpsi kuat, substrat tidak bisa meninggalkan permukaan dan katalis menjadi
teracuni pada reaksi selanjutnya.
Aktivitas suatu katalis dapat digambarkan ada gambar 3.
Suatu proses adsorpsi dapat terjadi karena adanya interaksi gaya permukaan padatan
dengan molekul - molekul adsorbat. Energi adsorpsi yang dihasilkan bergantung pada adsorpsi
11
yang terjadi. Adsorpsi dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu adsorpsi fisik
(Physisorption) dan adsorpsi kimia (Chemisorption).
Gambar 4. Plot BET ideal untuk menetukan luas permukaan katalis dan support.
12
Gambar 5. Salah satu kurva hasil pengamatan untuk menentuan luas permukaan katalis dan support.
𝑃 1 𝐶 −1 𝑃𝑜
= + x
𝑉𝑎𝑑𝑠(𝑃𝑜 −𝑃) 𝑉𝑚𝐶 𝑉𝑚𝐶 𝑃
Ket :
Vads : volume gas teradsorpsi pada tekanan P
Po : tekanan uap jenuh
Vm : kapasitas volume monolayer
C : konstanta
Dimana:
𝐶 −1
Slope =S=
𝑉𝑚𝐶
1
Intersep = I =
𝑉𝑚𝐶
1
Vm =
𝑆+𝐼
SA = Vm x N x Am x 10-20
13
Ket :
SA : area permukaan
N : bilangan Avogadro
Am : luas penampang molekul adsorbat.
Pada awal reaksi terjadi adsorpsi fisika hidrogen pada nikel, energi minimum dari kurva P
(physisorption) menunjukan jumlah radii Van der Wal’s dari hidrogen dan nikel (z). Adsorpsi fisika ini
membawa molekul hidrogen mendekati nikel sehingga orbital elektron atom pada permukaan dapat
14
berinteraksi dengan orbital 𝜎 dan 𝜎* hidrogen. Karena kekuatan interaksi ini, molekul hidrogen lebih
dekat dengan permukaan nikel dan energi potensial meningkat perlahan yang diikuti oleh kurva P
hingga bersinggungan dengan kurva C (chemisorption). Hasil dari adsorspsi fisika yaitu terjadi
pemendekkan jarak ni – H yang disertai pelemahan dan pemutusan ikatan H – H. Energi minimum pada
C menunjukkan jumlah radii atom Ni dan H (z) yang merupakan hasil pembentukan ikatan Ni – H.
Gambar 7. Puncak Hasil Pengukuran Kromatografi Gas Menunjukkan Tingkat Adsorpsi Hidrogen
Secara Kimia yang Ditentukan oleh Teknik Pulse
Hasil kromatografi gas menunjukkan bahwa daerah di bawah masing – masing puncak
berukuran konstan, hal ini berarti ukuran pulse hidrogen sama atau konstan. Perbedaan tinggi
15
puncak kromatogram (a sampai g) menunjukkan jumlah dari hidrogen yang teradsorpsi secara
kimia, dimana tinggi puncak a berarti jumlah hidrogen yang teradsorpsi banyak dan berkurang
(b sampai g) hingga tidak ada lagi hidrogen yang teradsorpsi. Ketinggian puncak h dan i sudah
terlihat bahwa konstant, hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya adsorpsi hidrogen yang
terjadi lagi,
Teknik pulse merupakan metode yang lebih disukai untuk menentukan luas permukaan,
dikarenakan prosesnya sederhana dan hamper tidak mendapatkan gangguan dari adsorpsi fisik.
Namun, terdapat beberapa masalah yang dapat puncul dari teknik pulse yaitu teknik adsorpsi
pulse dapat memberikan nilai yang rendah jika hanya sebagian hidrogen yang teradsorpsi
secara lemah sehingga dapat terbawa oleh gas pembawa yaitu argon maupun nitrogen. Masalah
tersebut dapat diminimalisir dengan menggunakan laju yang terendah ataupun tetap dengan
analisa kromatografi gas dengan cara mengatur jarak pulse sedekat mungkin dengan tetap
meiliki pemisahan kromatografi yang lengkap. Cara lainnya dapat menggunakan sampel
katalis yang sedikit dengan demikian pulse hidrogen yang dihasilkan pendek sehingga dapat
memaksimalkan adsorpsi hidrogen dan menminimalisir masalah kromatografi,
Metode lain yang digunakan untuk menentukan area permukaan logam dengan
menggunakan teknik titrasi hidrogen – oksigen. Dalam prosedur ini, pulse hidrogen dengan
ukuran yang diketahui dilewatkan melalui katalis bed untuk menutupi permukaan logam. Hal
ini diikuti oleh pulse oksigen untuk bereaksi dengan hidrogen membentuk air dan beberapa
oksigen yang lain akan teradsorpsi ke dalam logam. Pulse hidrogen selanjutnya akan bereaksi
dengan oksigen yang telah teradsorpsi pada logam. Siklusi hidrogen – oksigen akan terus
diulangi dan air yang terbentuk dari proses ini dapat diserap oleh bahan pendukung (support
katalis). Jumlah setiap pulse gas yang tersisa setelah adsorpsi atau reaksi ini ditentukan dengan
menggunakan kromatografi gas dimana hasil penggambaran kromatogram sama dengan
teknsik pulse. Reaksi yang terjadi dalam metode titrasi hidrogen – oksigen sebagai berikut :
2 Pt + H2 2 Pt – H
4 Pt – H + 3 O2 4 Pt – O + 2 H2O
2 Pt – O + 3 H2 2 Pt – H + 2 H2O
16
Persamaan reaksi diatas menggunakan platinum sebagai contoh, tetapi metode titrasi
hidrogen – oksigen dalam penentuan luas permukaan logam katalis dapan diterapkan juga
pada palladium dan rhodium.
Pada katalis palladium, hidrogen disolusi terjadi untuk pembentukkan α dan β fase pada
palladium hidrida dimana hal ini dapat diasumsikan menjadi masalah dalam menentukan luas
permukaan katalis palladium dengan cara adsorpsi hidrogen secara kimia, tetapi dalam kondisi
normal adsorpsi kimia bukannya menjadi masalah. Masalah potensial lainnya yang dapat
terjadi akibat kelebihan hidrogen yang teradsorpsi ke dalam pendukung katalis, seperti yang
digambarkan dibawah ini:
Gambar 8. Kelebihaan Hidrogen dari Bahan Pendukung pada Permukaan Logam ke Volume Interstital
Bahan Pendukung
17
monoksida sering digunakan pada logam palladium dalam menentukan luas permukaan logam.
Penggunaan karbon monoksida dapat menimbulkan interpretasi data adsorpsi CO sebagai
akibat dari banyaknya spesies permuakaan yang berbeda sebagai akibat dari interaksi dengan
logam.
18
partikel adalah bentuk partikel – partikel logam umunya tidak mudah terlihat sementara ukuran
partikel atau distribusi ukuran dapat diperoleh,
Lebih detail perbandingan data TEM dan adsorpsi hidrogen secara kimia dibuktikan
stoikiometri memiliki data perbandingan 1:1 (H:M) untuk partikel yang lebih besar dari 5.0 nm
sedangkan untuk partikel yang lebih kecil hubungan perbandingan tersebut tidak dapat berlaku.
Untuk partikel yang lebih kecil dari 5.0 nm memiliki perbandingan yang lebih tinggi
dikarenakan adanya kemampuan terbentuknya MH2 sehingga stoikiometri M : H mengarah
lebih dari 1. Oleh sebab itu, dibuatlah kesepakatan bahwa stoikiometri H : M (1:1) dapat
digunakan secara umum dalam penentuan dispersi katalis dengan cara adsorpsi hidrogen secara
kimia. Stoikiometri ini juga dapat digunakan untuk hidrogen dan oksigen dalam metode titrasi
permukaan Boudrat (metode titrasi hidrogen – oksigen).
Gambar 10. Kurva TPD untuk Desorpsi Hidrogen dari Katalis Platinum. I) Kurva TPD; II) Kurva
setelah Desorption Sebagian, Pendinginan dan Pemanasan Kembali
19
Kemungkinan bahwa puncak desorpsi yang berbeda ini adalah hasil desorpsi hidrogen
dari berbagai jenis situs permukaan logaam Pertama, TPD dijalankan pada suhu 200 OC,
kemudian berhenti dan reaktor didinginkan pada suhu kamar. TPD kedua kemudian dijalankan
dengan katalis ini tanpa adanya lebih banyak hidrogen. Pada kurva pertama TPD, terjadinya
penyerapaan hidrogen pada pemanasaan sampai suhu 200OC yang merupakan tanda hidrogen
bertanggung jawab atas hidrogenasi alkena. Kurva kedua TPD, terjadi kemampuan untuk
memulai kembali proses TPD parsial yang kemudian didinginkan dan dilanjutkan dengan
proses desorpsi dari hidrogen, hal ini terlihat tidak munculnya puncak pada suhu 200OC.
Kehadiran puncak TPD yang berbeda dalam kurva TPD ini mendukung tidak adanya migrasi
secara terbuka pada situs permukaan yang dilakukan oleh hidrogen. Jika terjadinya migrasi
permukaan secra bebas maka hanya aka nada satu puncak tajam dalam kurva TPD yang
dihasilkan sebagai akibat dari migrasi hidrogen ke situs – situs pada permukaan dengan cara
penyerapaan.
20
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan teori pada makalah ini tentang perkembangan katalis dan proses katalitik,
dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Proses perkembangan katalis dilakukan melalui beberapa tahap, yakni menentukan
proses yang dibutuhkan, menetapkan permasalahan pada penggunaan katalis yang
telah ada, melakukan penelitian awal katalis untuk mengetahui sifat katalis dan
hubungannya dengan mekanisme katalitik, mendesain katalis, melakukan pengujian
baik secara konvensional maupun komputasional, hingga proses pembuatan katalis
dan perawatannya.
2. Proses desain, preparasi, dan uji katalis menjadi hal yang paling krusial dalam
pembuatan katalis serta menjadi satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan jika
proses pembuatan katalis belum mencapai kondisi optimum.
3. Dalam suatu reaksi, katalis memiliki peranan yang sangat penting yaitu dapat
mempercepat laju reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasinya. Katalis tidak
mengalami perubahan kimia secara permanen.
4. Interaksi katalis dengan reaktan dapat terjadi secara homogen (mempunyai fasa yang
sama) maupun heterogen (mempunyai fasa yang berbeda). Dikarenakan fasa yang
berbeda, pada katalisis heterogen terdapat siklus katalis dimana salah satu tahapannya
yaitu adsorpsi. Adsorspi bisa terjadi secara fisik (gaya Var der Wal’s) dan kimia
(ikatan kovalen).
5. Dalam penentuan luas permukaan katalis logam dapat melalui proses adsorpsi kimia
dengan berbagai cara seperti mode statis, teknik pulse, dan teknik titrasi hidrogen –
oksigen dimana pada metode tersebut digunakan gas hidrogen dalam proses
21
DAFTAR PUSTAKA
Augustine, Robert L. 1995. Heterogeneous Catalysis for The Synthetic Chemist. New York:
Marcel Dekker, Inc.
Richardson, James T. 1992. Principles of Catalyst Development. Texas: Springer Science.
22
23