Anda di halaman 1dari 2

Budi si Cilik

Adalah Budi, seorang remaja yang hidup pada zaman kolonial Belanda. Bukan tak mungkin ia
menjadi saksi sejarah pada masa itu, bahkan ayahnya-lah salah satu orang yang dipaksa untuk
melakukan kerja rodi. Manipulasi kerja yang dilakukan Deandels atas wewenang dari Gubernur Jendral
Weise pada tahun 1808 dalam rangka mempertahankan Tanah Jawa dari serangan Inggris yang telah
lebih dahulu menguasai Sumatera, Ambon dan Banda. Pekerjaan tanpa upah, tanpa istirahat.

Keluarga Budi juga dituntut untuk contingenten bukan verplichte leverantie yang notabenenya bakal
menghasilkan uang meski sedikit. Usianya baru empat belas, tapi ia terlampau mengerti akan situasi
janggal nan mencekam ini. Tubuhnya sangat kecil untuk anak ukuran normal, namun amat berisi jika
dibanding dengan anak seusiannya pada zaman itu. Hidupnya hanya mencari kayu dan bersih-bersih
rumah. Ibunya bekerja sampingan sebagai pembantu di rumah salah satu petinggi Belanda di daerah
mereka. Berangkat bersih, pulang lebam. Begitu keadaan ibunya setiap hari.

Suatu hari, saat Budi pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Tak cukup kayu yang ia dapat di
tepian hutan, mengharuskan ia lebih masuk ke jantung hutan. Tak sengaja Budi mendengar para
pemuda berkumpul untuk merencanakan pemberontakan cukup besar. Adrenalinnya tertantang untuk
bergabung. Awalnya, mayoritas pemuda yang ada menentang adanya Budi dalam barisan. Namun apa
daya, inilah perjuangan. Para pemuda akhirnya setuju setelah Budi meyakinkan untuk kesekian kali, ada
keseriusan di mata Budi saat itu.

Memang, ia remaja paling kecil dalam kelompok tersebut, tapi jiwa juangnya melebihi TNI zaman
sekarang. Pemberontakan dilaksanakan dua hari kemudian di markas sementara Petinggi Pemerintahan
Belanda saat berkunjung di kota sekitar Budi tinggal. Tinggal menyusuri sungai yang pembatas desa,
masuk lebih dalam ke hutan menuju arah selatan, tibalah sudah mereka.

“Mak, Budi mau ikut pemuda lain nggerebek Petinggi Belanda balik hutan bagian selatan,” mata
Amak membesar. Amak telah menduga pernyataan ini akan akan muncul dari Budi.

“Nak, kau masih kecil. Mungkin saat kau besar kelak, negara kita kan merdeka. Kau bisa ceritakan pada
anak-cucu-mu. Tentang perjuangan Amak dan Abah,” bujuk Amak.

“Mungkin? Masih mungkin, Jika Tidak? Anak-cucu? Jika aku menikah, jika tidak diizinkan para bedebah
itu?” Pikiran Budi langsung tertuju pada Abah yang masih banting tulang tak berpenghasilan di Anyer-
Panarukan. Entah bagaimana nasib Abah saat ini.

Niat budi kokoh tak tergoyahkan. Amak berkali-kali melarang, namun alasan logis selalu dilontarkan
Budi. Ia keras kepala, Amak tak kuasa melarang. Akhirnya dengan tangis yang tertahan Amak merelakan
anaknya untuk berjuang membela negara.

Dengan restu Amak meski tak rela, Budi akhirnya pergi. Dengan dibalut setelan pinjaman warna
hitam lengkap dengan penutup kepala dan pisau milik Amak di ikat pinggang, Budi dan belasan kawanya
berjalan mengendap-ngendap di tepi sungai. Dua jam berlalu, gemericik air sungai beranjak pergi diganti
dengan suasana belantara hutan tengah malam. Semakin jauh budi dan kawan-kawannya berjalan,
semakin dekat mereka sampai di markas sementara Petinggi Pemerintahan. Namun kejanggalan terjadi,
perlahan tanpa mereka sadari satu-persatu kawanan mereka hilang. Menyisakan segelintir orang saja,
termasuk Budi.

Kepanikan melanda. Prajurit Belanda yang telah mecium gerak-gerik mereka, muncul tiba-tiba
dangan pistol dan mayat kawan mereka yang baru ditembak. Dan di tengah hutan inilah nasib laskar
kecil ini ditentukan. Perang tak imbang terjadi. Pistol dangan pisau dapur, sudah jelas mana yang kalah.
Satu per satu dari laskar kacil itu ditembak dan ditikam, sampai pada akhirnya si kecil Budi yang terakhir.

“Dasar, anak kecil tak tahu terima kasih. Sudah dibantu urus negara, malah kalian berontak,” hardik
komandan prajurit dengan aksen Belanda yang amat-sangat kental sesaat sebelum menarik pelatuk
pistolnya. Badan mungilnya perlahan melemas dan jatuh ke bumi pertiwi. Mimpi dan harapan Budi
pupus sudah. Tubuh kaku laskar kecil ini tak pernah dicari, bahkan ditemukan. Hingga para keluarga,
termasuk Amak, kebingungan karena keluarga mereka tak kunjung pulang. Mereka menyusuri hutan
untuk mencari, hasilnya nol. Mayat budi dan kawan-kawannya berada di luar batas aman warga.

Pembaca yang budiman, mengertikah anda sebagai genersi muda yang berbudi dan beriman bahwa
perjuangan kalian sebagai remaja tidaklah seberat perjuangan Budi membela negara. Kalian hanya
menerima instan dan tinggal meneruskan, sedangkan Budi? Akan tetapi keluhan kalian melebihi keluhan
Budi. Lantas apa yang harus dilakukan? Wujudkan harapan Budi untuk benar-benar merdeka, lanjutkan
perjuangnya, kurangi keluhan dan selalu percaya bahwa Allah tidak akan memberi cobaan melebihi
kemampuan hamba-hambanya.

Tamat

Anda mungkin juga menyukai