Disusun Oleh :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
JURUSAN MANAJEMEN
LATAR BELAKANG
1. Diferensiasi Inflasi
Suku bunga, inflasi dan nilai mata uang sangat memiliki korelasi yang
tinggi. Dengan mengatur suku bunga, bank sentral mencoba mengatur
pengaruh dari inflasi dan nilai mata uang, dan perubahan suku bunga akan
berimbas pada inflasi dan nilai mata uang. Suku bunga yang lebih tinggi
menawarkan para kreditur dalam ekonomi sebuah imbal hasil yang lebih tinggi
relatif terhadap negara lain. Karena itu, suku bunga yang lebih tinggi akan
menari modal asing dan menyebabkan nilai mata uang akan meningkat. Imbas
dari suku bunga yang lebih tinggi akan berkurang jika inflasi sebuah negara
lebih tinggi dibanding dengan negara lain, atau jika faktor tambahan menarik
turun nilai mata uang. Dan begitu juga dalam kondisi sebaliknya, yang karena
itu suku bunga lebih rendah cenderung menurunkan nilai mata uang.
4. Hutang Publik
5. Ketentuan Perdagangan
Investor asing pastinya akan mencari negara yang stabil dengan kinerja
ekonomi yang baik dimana mereka akan menginvestasikan uangnya. Sebuah
negara dengan atribut positif seperti itu akan menarik dana investasi dari
negara lain yang memiliki tingkat resiko politik dan ekonomi yang lebih tinggi.
Kekacauan politik, contohnya, bisa menyebabkan hilangnya keyakinan pada
mata uang dan adanya perpindahan modal menuju mata uang dari negara yang
lebih stabil.
4. Peramalan Kurs
Kebutuhan sebuah perusahaan untuk memprediksi masa depan nilai tukar
variasi menimbulkan masalah apakah itu bermanfaat bagi perusahaan untuk
berinvestasi dalam layanan tingkat peramalan tukar untuk membantu
pengambilan keputusan.
PENDEKATAN PERAMALAN
a) Analisis Fundamental
Peramalan ini didasarkan pada hubungan fundamental antara
variable ekonomi dan tingkat kurs. Dengan pemberian nilai tertentu pada
variabel – variable nilai, maka perusahaan dapat mengembangkan proyeksi
tingkat kurs di masa yang akan datang. Peramalan dilakukan dengan cara
memberikan penilaian subjektif pada tingkat di mana pergerakan variable
ekonomi secara umum akan mempengaruhi tingkat kurs.
b) Peramalan Teknis.
Peramalan ini menggunakan data tingkat kurs historis dan kadang
kala peramalan ini dilakukan hanya dengan pengamatan data tanpa
menggunakan perhitungan statistik. Namun tidak jarang pula perhitungan
statistik disertakan dalam peramalan. Selain itu, juga ada beberapa model
time series yang digunakan untuk pengujian moving average sehingga para
peramal dapat melakukan interpretasi yang berdasarkan pada hasil
pengujian tersebut.
Model peramalan teknis ini telah banyak dibuktikan kegunaannya di
berbagai pasar valuta asing. Namun model yang cocok untuk satu pasar
belum tentu cocok bila diterapkan di pasar yang lain, dan walaupun model
peramalan teknis ini sangat beragam namun hasil pengujian membuktikan
bahwa tidak ada satupun model yang sangat menghasilkan keuntungan
yang konsisten.
Konversi antar mata uang asing adalah pertukaran dari satu mata uang ke
mata uang lain secara fisik dan memungkinkan adanya pertukaran fisik yang
terjadi dan ada transaksi terkait yang terjadi. Setiap negara memiliki mata uang
di mana harga barang dan jasa yang dikutip. Di Amerika Serikat, itu adalah
dolar ($); di Inggris, pound (£); di Perancis, Jerman, dan anggota lain dari zona
euro itu adalah euro (€); di Jepang, yen (¥); dan seterusnya.
Secara umum, dalam batas-batas suatu negara tertentu, salah satu harus
menggunakan Rency skr nasional. Seorang turis AS tidak bisa berjalan ke
sebuah toko yang berada di skotlandia dan menggunakan dolar AS untuk
membeli sesuatu disana. Dolar tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah
di Skotlandia, turi stersebut harus menggunakan poundsterling Inggris.
Untungnya, turis bisa pergi ke bank dan pertukaran dolar nya menjadi pound.
Lalu ia bisa membeli barang yang dibeli. Ketika turis melakukan perubahan
satu mata uang ke mata uang yang lain, dia berpartisipasi dalam pasar valuta
asing.
Sampai titik ini kita telah asumsikan bahwa mata uang dari berbagai
negara yang bebas dikonversi ke mata uang lainnya. Karena
pembatasanpemerintah, sejumlah besar mata uang tidak bebas dikonversi ke
mata uang lainnya. Sebuah Rency skr negara dikatakan bebas dikonversi ketika
pemerintah negara itu memungkinkan untuk membeli jumlah yang tidak
terbatas dari mata uang asing dengan itu. Mata uang dikatakan eksternal
convertible ketika hanya bukan penduduk dapat mengubahnya menjadi mata
uang asing tanpa ada pembatasan.
Banyak negara menempatkan beberapa pembatasan pada kemampuan
warga mereka untuk mengkonversi mata uang domestik ke mata uang asing
(kebijakan konvertibilitas eksternal). Pembatasan berkisar dari yang relatif
kecil ke besar. Pembatasan konvertibilitas eksternal dapat membatasi
kemampuan perusahaan dalam negeri untuk berinvestasi di luar negeri.
6. Studi Kasus Kolaps Thailand Baht
Krisis keuangan Asia adalah periode krisis keuangan yang menerpa
hampir seluruh Asia Timur pada Juli 1997 dan menimbulkan kepanikan bahkan
ekonomi dunia akan runtuh akibat penularan keuangan. Krisis ini bermula
di Thailand seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand
terpaksa mengambangkan baht karena sedikitnya valuta asing yang dapat
mempertahankan jangkarnya ke dolar Amerika Serikat.Waktu itu, Thailand
menanggung beban utang luar negeri yang besar sampai-sampai negara ini
dapat dinyatakan bangkrut sebelum nilai mata uangnya jatuh.[1] Saat krisis ini
menyebar, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara dan Jepang ikut
turun,[2] bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh, dan utang swastanya naik
drastis. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang
terkena dampak krisis terparah. Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Filipina juga
terdampak oleh turunnya nilai mata uang. Brunei, Cina, Singapura, Taiwan,
dan Vietnam tidak kentara dampaknya, namun sama-sama merasakan turunnya
permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia.
Rasio utang luar negeri terhadap PDB naik dari 100% menjadi 167% di
empat negara besar ASEAN pada tahun 1993–96, lalu melonjak hingga 180%
pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Di Korea Selatan, rasionya naik dari
13% menjadi 21%, lalu memuncak di angka 40%. Negara industri baru lainnya
masih lebih baik. Kenaikan rasio pembayaran utang ekspor hanya dialami oleh
Thailand dan Korea Selatan.
Dari 1985 sampai 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada
tanggal 14-15 Mei 1997, mata uang baht, terpukul oleh serangan spekulasi
besar. Pada tanggal 30 Juni, Perdana Mentri Chavalit Yonchaiyudh berkata
bahwa dia tidak akan mendevaluasi baht, tetapi pemerintah Thailand yang tak
memiliki cukup cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar tetap
dengan dolar AS akhirnya mengambangkan mata uang lokal tersebut pada 2
Juli.
Pada 1996, "dana hedge" Amerika telah menjual US$400 juta dalam bentuk
mata uang Thailand. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok pada 25
kepada dolar AS. Baht jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Baht jatuh ke
titik terendah di 56 ke dolar AS pada Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh
75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan Thailand
terbesar bangkrut. Pada 11 Agustus, IMF membuka paket penyelamatan
dengan lebih dari US$16 miliar (kira-kira Rp160 triliun). Pada 20 Agustus IMF
menyetujui, paket "bailout" sebesar US$3,9 miliar.
DAFTAR PUSTAKA