Anda di halaman 1dari 8

PRO KONTRA EUTHANASIA

Euthanasia masih menjadi pro kontra pada beberapa negara. Berikut contoh
negara yang melegalkan euthanasia:
1) Euthanasia di Belanda, euthanasia diizinkan dalam kondisi tertentu sesuai
dengan Pengakhiran Kehidupan berdasarkan Permintaan dan Tindakan
Bunuh Diri yang Dibantu (Prosedur Tinjauan) 2002. Undang-undang ini
menciptakan pembebasan dari penuntutan pidana untuk dokter yang "telah
menyusun persyaratan kehati-hatian disebutkan dalam UU "serta
melaporkan kasus ini. Euthanasia dapat dilakukan pada orang dewasa dan
pada anak-anak yang lebih dari dua belas tahun.1 Pelaksanaannya harus
diikuti dengan syarat-syarat tertentu, seperti : orang yang meminta agar
hidupnya diakhiri adalah orang yang sedang menderita sakir yang tidak
dapat disembuhkan atau sudah terminal, serta tidak ada obat lain yang
dapat menguragi rasa sakit pasien, dan kalau pasien tidak diberikan morfin,
pasien tidak mungkin dapat menanggung penderitaannya.2
2) Euthanasia di Belgia, Euthanasia sukarela aktif adalah legal di bawah
Undang-Undang Mengenai Euthanasia yang mulai berlaku pada tahun
2002. Euthanasia hanya dapat diberikan kepada mereka yang
penderitaannya melibatkan "gangguan serius dan tidak dapat disembuhkan
yang disebabkan oleh penyakit atau kecelakaan". Peraturan tersebut
memberlakukan batasan usia delapan belas tahun. Tindakan ini tidak
menyebutkan tentang bunuh diri yang dibantu atau bunuh diri yang dibantu
dokter.1
3) Di Luxembourg, Euthanasia legal menurut Paliatif Care / Euthanasia Act
2009, di mana diatur oleh kehendak hidup atau arahan lanjutan. Dokter
perlu berkonsultasi dengan kolega untuk menilai apakah pasien sakit parah
dan menderita "kondisi serius & tidak dapat disembuhkan", dan telah
berulang kali meminta untuk mati.1
Sedangkan di beberapa negara seperti di Swiss, Australia, Inggris, dan USA
tindakan euthanasia dianggap ilegal.1
Kasus Euthanasia di Indonesia muncul ketika ada dua permohonan
penetapan euthanasia, yaitu kasus pasangan Ny. Agian Isna Nauli Siregar dan
Hasan Kusuma (tahun 2004), dan Ny. Siti Zulaeha dan Rudi Hartono (tahun
2005), yang kedua-duanya mengalami koma selama tiga bulan dan hidupnya
membutuhkan alat bantu pernafasan (respirator), karena alasan kasih sayang,
tidak tega melihat istrinya lebih lama menderita, ditambah dengan biaya yang
kian membengkak, baik Hasan Kusuma maupun Rudi Hartono memberanikan
diri untuk meminta penetapan izin euthanasia dari PN Jakarta Pusat.3
Berdasarkan contoh kasus di atas, dapat dipahami bahwa selain alasan karena
tidak tega melihat pasangan mereka lebih lama menderita, alasan lain karena
pertimbangan ekonomis dan finansial. Apakah dalam keadaan tertentu euthanasia
diperolehkan dan bagaimana kaitannya dengan aspek etika moral, kedokteran dan
dari segi hukum di Indonesia?

Euthanasia dalam Kode Etik Kedokteran


Beauchamp and Childress (1994) mengemukakan bahwa untuk mencapai
suatu keputusan etik diperlukan empat kaidah dasar moral dan beberapa aturan di
bawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah : 4
(1) Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien. Dalam hal ini, seorang dokter wajib
menghormati martabat dan hak manusia,
(2) Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan
yang ditujukan demi kebaikan pasien.
(3) Prinsip non-malficience, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan
yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini terkenal sebagai primum
non nocere atau “above all do no harm”. Non-malficience ialah suatu
prinsip dimana seorang dokter tidak melakukan perbuatan yang
memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang berisiko paling
kecil bagi pasien yang dirawat atau diobati olehnya,
(4) Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan
keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.
Keadilan (justice) merupakan suatu prinsip di-mana seorang dokter
wajib memberikan perlakuan sama rata serta adil untuk kebahagiaan
dan kenyamanan pasien tersebut.
Berdasarkan kaidah dasar moral tersebut, praktek euthanasia jelas
melanggar kaidah tersebut terutama kaidah nomor 2. Pasal 11 dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia tahun 2012 menyebutkan, "Setiap dokter wajib senantiasa
mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup makhluk insani". Poin kedua
cakupan pasal 11 menyebutkan bahwa “Seorang dokter dilarang terlibat atau
melibatkan diri ke dalam abortus, eutanasia, maupun hukuman mati yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan moralitasnya”. Usaha untuk memelihara dan
mempertahankan hidup makhluk insani merupakan tugas seorang dokter. Selain
itu dalam etika kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan menggugurkan
kandungan dan mengakhiri hidup seorang penderita yang menurut ilmu dan
pengalamannya tidak mungkin akan sembuh lagi. Jadi sangat tegas, para dokter di
Indonesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu tersirat suatu
pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan
kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup
manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.

Euthanasia ditinjau dari Aspek Yuridis Indonesia


Peraturan yang dapat dihubungkan dengan euthanasia dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) dapat ditemukan dalam Bab XIX pasal 338
sampai dengan pasal 350 tentang kejahatan terhadap jiwa orang. Kejahatan
terhadap jiwa manusia terdiri atas 5 jenis yaitu: (1) Pembunuhan dengan sengaja
(doodslag), pasal 338 KUHP, (2) Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu
(moord), pasal 340 KUHP, (3) Pembunuhan dalam bentuk yang dapat
memperberat hukuman (gequalificeerde doodslag), pasal 339 KUHP, (4)
Pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan yang sangat dan tegas oleh
korban, pasal 344 KUHP, (5) Euthanasia ditinjau dari Aspek Yuridis Indonesia.5
Peraturan yang dapat dihubungkan dengan euthanasia dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) dapat ditemukan dalam Bab XIX pasal 338
sampai dengan pasal 350 tentang kejahatan terhadap jiwa orang. Kejahatan
terhadap jiwa manusia terdiri atas 5 jenis yaitu: (1) Pembunuhan dengan sengaja
(doodslag), pasal 338 KUHP, (2) Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu
(moord), pasal 340 KUHP, (3) Pembunuhan dalam bentuk yang dapat
memperberat hukuman (gequalificeerde doodslag), pasal 339 KUHP, (4)
Pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan yang sangat dan tegas oleh
korban, pasal 344 KUHP, (5) Tindakan seseorang yang dengan sengaja
menganjurkan atau membantu atau memberi daya upaya kepada orang lain untuk
melakukan bunuh diri, pasal 345 KUHP.5
Dalam KUHP tidak diketemukan pasal yang secara eksplisit mengatur
tentang eutahanasia. Akan tetapi jika dicermati maka pasal yang digunakan untuk
menunjukkan pelarangan terhadap euthanasia adalah pasal 344 KUHP yaitu
mengenai pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan sangat dan tegas oleh
korban[4,20]. Pasal 344 KUHP menyebutkan bahwa:6
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, di
hukum penjara selama-lamanya 12 tahun”.
Pada rumusan pasal ini disyaratkan bahwa permintaan untuk membunuh
harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh (ernstig), jika syarat ini
tidak terpenuhi maka pelaku akan dikenakan pasal 338 KUHP yaitu pembunuhan
biasa. Pasal-pasal lain yang bisa dihubungkan dengan euthanasia adalah sebagai
berikut: (1) Pasal 304 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau
menbiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya
atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara selama-lamanya 2 tahun 8
bulan”. Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana
penjara maksimal 9 tahun. Pasal ini sesuai dengan rumusan euthanasia pasif yang
sering terjadi di Indonesia, (2) Pasal 340 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja
dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum karena pembunuhan direncanakan, dengan hukuman mati atau penjara
seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun”, (3) Pasal 345 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja mengahasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberikan daya upaya kepadanya untuk
itu, maka jika orang itu jadi membunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya 4
bulan”.
Keberadaan pasal-pasal tersebut diatas mengingatkan kepada setiap
orang untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia. Walaupun secara khusus
kasus euthanasia tidak dijelaskan dalam KUHP, namun mengingat euthanasia
dapat menghilangkan nyawa seseorang secara disengaja maka tindakan euthanasia
adalah perbuatan yang dilarang dilakukan oleh siapaun termasuk oleh para dokter
atau tenaga medis.6
Berikut perkembangan pokok-pokok pikiran tentang euthanasia yang
menjadi ukuran medis normatif dan bahan-bahan pertimbangan di pengadilan :
Hasil konggres Hukum Kedokteran “World Congress on Medical Law” dan
pandangan para ahli hukum kesehatan diperoleh petunjuk tentang euthanasia
sebagai berikut :7
a) Bahwa euthanasia terdiri atas euthanasia sukarela aktif, euthanasia
sukarela pasif, euthanasia tidak sukarela aktif dan euthanasia tidak
sukarela pasif.
b) Bahwa pada dasarnya euthanasia sukarela pasif diterima, tetapi dalam
kenyataannya terdapat keraguan batasannya dengan euthanasia aktif yang
pelanggaran norma hukum namun dalam hal tertentu dikecualikan sebagai
alasan penghapusan.
c) Bahwa pranata hukum mengenai perilaku dalam keadaan darurat yang
meliputi overmacht (daya paksa) pasal 48 KUHP yang dapat dinilai dari
pandangan objektif profesi medis dan etika medika, maka akan menjadi
alasan penghapus pidana.
Perkembangan 1986, pengadilan mengembangkan dasar ukuran medis normatif
untuk menghukum atau tidak menghukum seorang dokter yang melakukan
euthanasia, dengan ukuran sebagai berikut : 7
1) Menyangkut orang yang menderita penyakit yang sudah tidak dapat
disembuhkan lagi.
2) Penderitaannya semakin hebat, sehingga perasaan sakit tidak
tertahankan lagi.
3) Pelakunya dokter yang mengobati.
4) Pasien sudah masuk pada periode akhir hidup.
5) Pasien sendiri telah berkali – kali mengajukan permintaan dengan
sangat untuk mengakhiri hidupnya.
6) Harus ada konsultasi dengan dokter ahli lainnya.
Perkembangan ilmu hukum setelah tahun 1987, muncul pemikiran baru
sebagai standart penegakan hukum yang bersifat komplementer, yaitu:7
a. Dapat dilepaskan dari tuntutan hukum apabila dokter telah menjalankan
tugas sesuai dengan etika medis dan bertindak secara profesional medis.
b. Dapat dilepaskan dari tuntutan hukum apabila dalam bentuk pseudo
euthanasia, dalam arti :
1) Mengakhiri perawatan pasien karena gejala mati batang otak;
2) Mengakhiri hidup seseorang dalam keadaan darurat (emergency)
3) Memberikan perawatan medis yang tidak berguna lagi dan dokter
menolak perawatan medis berupa auto euthanasia mengingat tanpa
ijin pasien dokter tidak diperkenankan melakukan tindakan medis
klarena bertentangan dengan asas keperdataan.

Bahaya Dari Legalisasi Euthanasia

Efek dari dilegalisasikannya euthanasia sangat buruk, selain mencederai tugas


mulia seorang dokter, terdapat beberapa efek yang akan timbul dari legalisasi
euthanasia tersebut. Hal tersebut seperti :8

a) Kesalahan dalam Diagnosis Kedokteran dan Prognosis.

Diagnosa medis, walaupun dengan hati-hati dibuat dan didukung oleh banyak tes,
akan selalu mengandung unsur adanya falibilitas. Sebuah rekomendasi untuk
euthanasia harus didasarkan pada diagnosis penyakit fisik atau mental tidak dapat
diubah. Kesalahan akan pasti terbuat. Prognosis terbuka untuk kesalahan yang
sama seperti diagnosis; tidak mungkin menjadi mutlak tertentu apa hasil masa
mendatang suatu penyakit akan ada. Untuk alasan ini, kesalahan ireversibel bisa
dibuat kapan saja euthanasia dipraktekkan. Ini akan merasa keberatan bahwa tidak
ada tindakan manusia bebas dari kesalahan dan ditangguhkan hukuman atas
bahwa setiap keputusan klinis yang bertanggung jawab harus dihindari. Namun
keputusan klinis ditujukan untuk benfit pasien; bisa keputusan untuk melakukan
euthanasia menjadi begitu penting?
b) Kesalahan pertimbangan dalam pengobatan kuratif yang inevetable
namun sebagian besar ini dimungkinkan dan dikoreksi.
Kesalahan pertimbangan akan terjadi dalam identifikasi kondisi medis yang
dianggap saat ini dan berpikir untuk membenarkan euthanasia. Kesalahan tersebut
tidak bisa diperbaiki.
c) Kesalahan dalam Menilai tahap terminal penyakit.
Ia telah mengemukakan bahwa eutanasia seharusnya dibatasi ke tahap terminal
penyakit fisik. Hal ini tidak mungkin untuk menentukan penyakit terminal secara
tepat. Ini harus selalu menjadi keputusan klinis ketika menganggap kematian
sebagai yang utama. Bahkan pada tahap ini beberapa pasien membuat pemulihan
yang tak terduga.
d) Kesalahan dalam keabsahan permohonan euthanasia.
Jelas, permintaan untuk euthanasia harus dilakukan secara bebas oleh orang yang
memahami sifat permintaan ini, dan yang tidak terpengaruh oleh penyakit mental
atau kesan keliru bahwa ia harus menyetujui euthanasia untuk meluangkan waktu,
uang , kesabaran dan penderitaan orang lain. Keputusan pasien, baik yang
dilakukan sebelum suatu penyakit atau selama periode penderitaan yang intens,
akan bergantung pada Pengkajian subjektif dari situasi dan yang akan, oleh karena
itu, menjadi tersangka. Seperti sudah dibahas dan mengungkapkan keinginannya
untuk mati mungkin tanda penyakit mental, yang akan membuat tidak valid
aplikasi untuk euthanasia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Profile SEE. Euthanasia -Ethical and Legal Perspectives Euthanasia - Ethical
and Legal Perspectives. 2016;(February).
2. Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju,
2001), h. 107.
3. Detik News Online,
http://news.detik.com/read/2004/09/07/092925/204040/10/pernah-mintaistri
disuntik-mati?nd771104bcj, diakses Maret 2020.
4. Purwadianto, A. (2003) Kaidah dasar moral dan teori etika dalam membingkai
tanggung jawab profesi kedokteran. Jakarta: FKUI.
5. Noor Tri Hastuti, Ratna Winahayu, Lestari Dewi (2005). Euthanasia dalam
perspektif hukum pidana, etika profesi kedokteran dan hak asasi manusia.
Jurnal Perspektif, Vol. X (2).
6. Prihastuti I. Euthanasia Dalam Pandangan Etika Secara Agama Islam, Medis
Dan Aspek Yuridis Di Indonesia. J Filsafat Indones. 2018;1(2):85.
7. Bambang Poernomo, Hukum Kesehatan, Pascasarjana Fakultas Kedokteran
Magister Manajemen Rumah sakit UGM, h. 258.
8. Hugh Trowell, The Unfinished Debate On Euthansia, (London: SCM Press
LTD, 1973), h. 155.

Anda mungkin juga menyukai