Anda di halaman 1dari 67

Konsep Dasar Pajak Penghasilan (PPh)

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS KULIAH
Perpajakan
Yang diampu oleh ibu
Dr. Makaryanawati,SE.,Msi.,Ak.,CA.,CSRS.
Disusun oleh:

Meida Ayu Rosmalina 180421621531


Nova Safitri 180421621576
Nurul Maulidyah Karina 180421621508
Rafita Wulandari 180421621593

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS EKONOMI
S1 PENDIDIKAN AKUNTANSI
FEBRUARI 2020
BAB 3
PAJAK PENGHASILAN (UMUM)

Definisi
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.

Dasar Hukum
Peraturan perundangan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia adalah UU
Nomor 7 Tahum 1983 yang telah disempurnakan dengan UU Nomor 7 Tahun 1991,
UU Nomor 10 Tahun 1994, UU Nomor 17 Tahun 2000, UU Nomor 36 Tahun 2008,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan
Direktur Jendral Pajak, dan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak.

Subjek Pajak
Subjek Pajak Penghasila adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk
memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan.
Undang-Undang Pajak Penghasilan di Indonesia mengatur pengenaan Pajak
Penghasilan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam Tahun Pajak. Subjek Pajak akan dikenakan Pajak Penghasilan
apabila menerima atau memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Jika Subjek Penghasilan telah memenuhi kewajiban pajak secara
objektif maupun subjektif maka disebut Wajib Pajak. Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun
2007 tentang KUP menyebutkan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak dan pemotong pajak
tertentu.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008, Subjek Pajak dikelompokan
sebagai berikut.
1. Subjek Pajak orang pribadi
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia atau di luar Indonesia
2. Subek Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan
yang berhakWarisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan
Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris,
Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak Pengganti
dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan
tersebut tetap dapat dilaksanakan.
3. Subjek Pajak badan
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan,
baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.
4. Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. Tempat kedudukan manajemen;
b. Cabang perusahaan;
c. Kantor perwakilan;
d. Gedung kantor;
e. Pabrik;
f. Bengkel;
g. Gudang
h. Ruang untuk promosi dan penjualan;
i. Pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu dua belas bulan;
n. Orang tau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;
o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia;
p. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,
atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.

Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri


Subjek pajak penghasilan juga dikelompokkan menjadi Subjek Pajak dalam negeri
dan Subjek Pajak Luar Negeri. Pengelompokan tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (2)
UU Nomor 36 Tahun 2008.
1. Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan,
atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan pembukuannya diperiksa oleh aparat
pengawasan fungsional negara;
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
2. Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalu bentuk
usaha tetap di Indonesia;
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.

Kewajiban Pajak Subjektif


Kewajiban pajak subjektif berarti kewajiban pajak yang melekat pada subjeknya dan
tidak dapat dilimpahkan pada orang atau pihak lain. Pada umumnya, setiap orang
yang bertempat tinggal di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subjektif. Sementara
untuk orang yang bertempat tinggal di Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya ada
jika mempunyai hubungan ekonomi dengan Indonesia.
Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif untuk setiap Subjek Pajak
diuraikan dalam tabel berikut ini:

Apabila kewajiban pajak subjektif orang priadi yang bertempat tinggal atauyang
berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak maka bagian tersebut
menggantikan tahun pajak.

Tidak Termasuk Subjek Pajak


Tidak termasuk subjek pajak berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 36 Tahun 2008 adalah:

1. Kantor perwakilan negara asing


2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan tempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga
Negara Indonesia dan di indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan
diluar jabatan atau pekerjaanya tersebut serta negara bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik.
3. Oragnisasi-organisasi internasioanl dengan syarat Indonesia menjadi anggota
organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada
Nomor 3. Organisasi Internasional yang tidak termasuk subjek pajak
sebagaimana dimaksud Nomor 3 ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
5. Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerja sama teknik dan/atau
kebudayaan dengan syarat kerja sama teknik tersebut memberi manfaat pada
negara/pemerintah Indonesia dan tidak menjalankan usaha/kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
6. Jika terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian internasional
berbeda dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam UU PPh, perlakuan
perpajakan didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut telah sesuai
dengan Undang-Undang Perjanjian Internasional.

Nama-nama organisasi dan pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang


tidak termasuk Subjek Pajak penghasilan diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 disempurnakan dengan PMK
No.15/PMK.03/2010 dan PMK No.142/PMK.03/2012.

Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri


Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban
subjektif dan objektif. Sehubung dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dibawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
1. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar
negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan
di Indonesia;
2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan
tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan
penghasilan bruto dengan tarif pajak sepdan;
3. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahuan
Pajak Penghasilan sebgai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam
suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya
dipenuhi malalui pemotongan pajak yang bersifat final.
4. Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya
dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan
dalam negeri sebagaimana diatur dalam UU PPh dan undang-undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Objek Pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau keadaan)
yang dikenakan pajak. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apapun.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,
penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya.
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan
3. Penghasilan dari modal yang berupa aset gerak ataupun aset tak gerak seperti
bunga, dividen, royalty, sewa, dan keuntungan penjualan aset atau hak yang
tidak dipergunakan untuk usaha; dan
4. Pengasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

A. Penghasilan yang Termasuk Objek Pajak


Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008, penghasilan yang
termasuk Objek Pajak adalah:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pension, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini;
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3. Laba usaha;
4. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan aset termasuk:
a) Keuntungan karena penghasilan aset kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b) Keuntungan karena penghasilan aset kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
c) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentu apa pun;
d) Keuntungan karena pengalihan aset berupa berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus datu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan
e) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6. Bunga termasuk premium, diskonto, imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembangian
sisa hasil usaha koperasi;
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan aset;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih kurs mata uang asing;
14. Premi asuransi;
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri atas Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau
pekerjaan
bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. Imbalan bunga sebagimana dimaksud dalam undang-undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
19. Surplus Bank Indonesia

B. Penghasilan yang PPh-nya Bersifat Final


Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, penghasilan berikut ini termasuk
penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final;
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga
obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
2. Penghasilan berupa hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi
derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham
atau penagihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang
diterima oleh perusahaan model ventural;
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan aset berupa tanah dan/ atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estat, dan persewaan tanah
dan/ atau bangunan; dan
5. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah,
Keputusan Menteri Keuangan, dan peraturan perundang-undangan
perpajakan lainnya.

C. Penghasilan Tidak Termasuk Objek Pajak


Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
terhadap penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan (bukan merupakan
Objek Pajak). Penghasilan yang tidak termasuka Objek Pajak menurut
ketentuan tersebut adalah:
1. a. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang berhak atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan
yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;
b. aset hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan;
2. warisan;
3. aset termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal;
4. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari
Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib
Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh;
5. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa;
6. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara,
atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan saldo laba; dan
b. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha
milik daerah yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.
7. iuran yang diterima atau diperoleh dana pension yang pendiriannya telah
disahkan menteri keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kinerja
maupun pegawai;
8. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension sebagimana
dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Kuangan;
9. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif;
10. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut:
a. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
11. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
12. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama empat tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan
13. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan
sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota
masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau
tertimpa musibah.

OBJEK PAJAK PENGHASILAN BENTUK USAHA TETAP


Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Objek Pajak Bentuk
Usaha Tetap adalah:
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan
dari aset yang dimiliki atau dikuasai oleh Bentuk Usaha Tetap.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang,
dan pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan
atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh oleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara
Bentuk Usaha Tetap dan aset atau kegiatan yang memberikan
penghasilan tersebut.

A. Penentuan Laba Bentuk Usaha Tetap


Dalam menentukan besarnya laba suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu
diperhatikan hal-hal berikut.
1. Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan kantor pusat dari usaha
atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang
sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia, serta biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor
pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bnetuk Usaha Tetap
dan aset atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut,
diperbolehkan untuk dibebankan sebagai biaya bagi Bentuk Usaha Tetap.
2. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan
adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan Bentuk Usaha
Tetap, yang besarnya ditetapkan oleh direktur jenderal pajak.
3. Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan
sebagai biaya adalah:
a. royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan aset,
paten, atau hak-hak lainnya;
b. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
c. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
4. Pembayaran sebagaimana tersebut pada nomor 3 yang diterima atau
diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali
bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Penghasilan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang Ditanamkan Kembali Di


Indonesia
Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia, akan dikenakan PPh Pasal 21 ayat (4) sebesar 20% (dua puluh
persen). Apabila atas Penghasian Kena Pajak dikurangi pajak penghasilan Pasal 26
ayat (4) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, atas penghasilan tersebut tidak
dipotong pajak, dengan syarat ;
1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh Penghasilan Kena Pajak setelah
dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan
yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau
peserta pendir;.
2. Penanaman kembali dilakukan pada Tahun Pajak berjalan atau selambat-
lambatnya Tahun Pajak berikutnya dari Tahun Pajak diterima atau
diperolehnya penghasilan tersebut;
3. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman
dilakukan diproduksi secara komersial.
Contoh
Foodz-Indonesia yang merupakan bentuk usaha tetap mempunyai penghasilan kena
pajak dalam tahun 2012 sebesar Rp 17.500.000.000.
Penghasilan kena pajak bentuk usaha:
Tetap di Indonesia tahun 2012 Rp 17.500.000.000
Pajak penghasilan; 25% Rp 17.500.000.000 Rp 4.375.000.000 (-)
Penghasilan kena pajak setelah dikurangi pajak Rp 13.125.000.000
Pajak penghasilan yang dipotong 20% Rp 13.125.000.000 = Rp
2.625.000.000
Namun apabila penghasilan kena pajak Badan Usaha Tetap sesudah dikurangi pajak
penghasilan tersebut (Rp 13.125.000.000), ditanamkan kembali di Indonesia, maka
atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak. Jadi tidak ada pemotongan pajak
penghasilan sebesar 20%.

PENGURANGAN PENGHASILAN
Pajak penghasilan dihitung dari tarif dikalikan dengan penghasilan kena pajak.
Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi dengan pengurangan atau
pengeluaran tetentu. Pengeluaran tersebut dinamakan juga biaya atau beban.
Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangi dari penghasilan bruto dapat dibagi
dalam 2 (dua) golongan, yaitu :
1. Pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai masa mafaat tidak lebih dari satu
tahun yang merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji,
biaya administrasi, dan bunga, biaya rutin pengelolaan limbah, dan
sebagainya;
2. Pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun
yang pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi, misalnya
aset tetap atau aset berwujud, aset tak berwujud, dan sebagainya.
Pengeluaran/beban/biaya dalam perpajakan tidak sepenuhnya sama dengan akuntansi
komersial. Dalam perpajakan, pengeluaran/beban/biaya dibedakan menjadi 2
(dua).yaitu:
1. Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangi dari penghasilan bruto
(deductible expenses), adalah pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai
hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang
pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa
manfaat atas pengeluaran tersebut.
2. Pengeluaran/beban/biaya yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-
deductible expense), adalah pengeluaran/beban/biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak
atau pengeluaran dilakukan tidak dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan
adat kebiasaan pedagang yang baik. Oleh karena itu, pengeluaran yang
melampaui batas kewajiban yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa tidak
boleh dikurangi dari penghasilan bruto.

Biaya yang Diperkenankan sebagai Pengurang (Deductible Expense)


Pasal 6 ayat 1 (satu) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa
besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan termasuk ;
1. Biaya yang secara langsung dan tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain :
a. Biaya pembelian bahan;
b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang;
c. Bunga, sewa, dan royalty;
d. Biaya perjalanan;
e. Biaya pengolahan limbah;
f. Premi asuransi;
g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
h. Biaya administrasi; dan
i. Pajak kecuali Pajak Penghasilan.

Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus


mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan
Objek Pajak. Pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, memelihara
penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak tidak boleh dibebankan sebagai
biaya.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang digunakan untuk membeli saham tidak
dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterima tidak merupakan
Objek Pajak. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan ini dapat dikapitalisasi
sebagai penambah harga perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk
mendapatkan, menagih, dan meminjamkan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk
keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang
digunakan untuk keperluan pribadi peminjam, serta pembayaran premi asuransi untuk
keperluan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pembayaran premi asuransi
oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya
perusahaan, tetapi untuk pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan
penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran untuk pekerjaan yang harus dikurangkan dari kata-kata
bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk
natura atau kenikmatan, misalnya fasilita menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak
boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati
bukan merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau
kenikmatan tertentu boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima
atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak
Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak
Hotel, dan Pajak Restoran dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang dan biaya yang pada hakikatnya
merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi, dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto. Besarnya biaya promosi dan penjualan yang
diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh aset berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun;
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri
keuangan;
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan aset yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8. Piutang yang nyata tidak dapat ditagih, dengan persyaratan:
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. Telah diserahkan perkara pengadilan kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani pitang negara; atau adanya perjanjian
tertulis tentang penghapusan piutang / pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau telah publikasi dalam penerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah hutang tertentu;
d. Persyaratan pada huruf c tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak
tertagih debitur kecil yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang diatur
dengan peraturan pemerintah;
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur oleh Peraturan Pemerintah;
11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah;
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah;

Kompensasi Kerugian.
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan tersebut didapat kerugian, kerugian
tersebut dikompensasikan dengan pajak mulai tahun pajak berikutnya, berturut-turut
sampai dengan lima tahun.

Penghasilan Tidak Kena Pajak.


Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) merupakan jumlahpenghasilan tertentu yang
tidak dikenakan pajak. Untuk Menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah
Penghasilan Tidak Kena Pajak. PTKP yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan ekonomi dan moneter
serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahun. Penyesuaian besarnya
PTKP terakhir diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 101 / PMK.010 / 2016
yang diberlakukan efektif tahun pajak 2016.
Wajib pajak yang mempunyai nggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua,
anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak
untuk paling banyak tiga orang. Anggota keluarnya tersebut dapat menjadi
tanggungan sepenuhnya apabila tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya
hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi Wanita. Terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam menentukan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak
Wanita.
1. Jika Wajib Pajak adalah wanita kawin dan diterima menerima, menerima
PTKP, setuju untuk meminta sendiri, yaitu Rp54.000.000:
Contoh: Wajib Pajak Olivia berstatus kawin, penghasilan anak, anak kandung
2. Besarnya PTKP untuk Olivia adalah Rp54.000.000 (untuk diri Wajib
Pajak).
2. Jika Wajib Pajak adalah wanita kawin yang menunjukkan pernyataan tertulis
dari pemerintah daerah (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya
tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP setahun di
samping untuk dirinya sendiri (senilai Rp54.000.000) juga ditambah PTKP
untuk status kawin dan anggota keluarga yang menjadi tanggungan
sepenuhnya paling banyak tiga orang masing-masing sebesar Rp4.500.000
Contoh:
Wajib Pajak Anita, suami tidak berpenghasilan, anak 3. Besarnya PTKP untuk
Anita adalah Rp72.000.000, yang terdiri atas:
 Rp54.000.000 untulk diri Wajib Pajak,
 Rp4.500.000 tambahan untuk Wajib Pajak kawin,
 3x Rp4.500.000 tambahan untuk tanggungan maksimal 3.
3. Jlika Wajib Pajak tidak kawin, maka jumlah PTKP yang ditentukan di
samping untuk miliknya sendiri (sebesar Rp54.000.000 ditambah) ditambah
PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak
tiga orang masing-masing sebesar Rp4.500.000 setahun.
Contoh:
Wajib Pajak Agustina,berstatus kawin dengan tanggungan 2 orang tua
kandung
Besar PTKP untuk Agustina adalah Rp63.000.000, terdiri atas
• Rp54.000.000 untuk diri Wajib Pajak.
• 2x Rp4.500.000 tambahan untuk tanggungan.

Contoh penghitungan PTKP untuk beberapa status atau persyaratan Wajib Pajak dapat
dilihat pada tabel berikut ini:

Sistem pengenaan pajak berdasarkan undang-undang ini menempatkan keluarga


sebagai suatu kesatuan ekonomis, artinya penghasil atau kerugian dari seluruh
anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan
pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam hal-
hal tertentu, pemenuhan pembayaran pajak ini dilakukan secara terpisah.
Penghasilan atau kerugian bagi perempuan yang telah kawin pada awal tahun pajak
atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian bagi
suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak
dilakukan apabila penghasilan istri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang
telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
1. Penghasilon istri tersebut semata-mata yang diperoleh dari satu pemberi kerja,
2. Penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber pendapatnya dan apa
pun sifat pekerjaannya digabung dengan orang tua dalam pajak yang sama. Dalam
perpajakan, anak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah menikah. Jika seorang anak belum dewasa, orang
tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, maka pengenaan
pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya yang berdasarkan
keadaan sebenarnya.
Penyusutan (Depresiasi). Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh aset
berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun harus dibebankan sebagai
biaya unruk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara
mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat asset yang bersangkutan
melalui penyusutan (depresiasi). Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah
hak milik dan tanah hak guna usaha, maka hak guna usaha dan pakai tidak boleh
disusutkan, kecuali jika tanah tersebut berkurang karena digunakan untuk
memperoleh penghasilan seperti perusahaan genting, perusahaan keramik, dan
perusahaan batu bara.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan besarnya biaya penyusutan
adalah saat dimulainya penyusutan, metode penyusutan, kelompok masa manfaat dan
tarif penyusutan, dan harga perolehan. Penentuan besarnya harga perolehan akan
dibahas dalam penentuan perolehan / penjualan alau nilai perolehan / penjualan.
1. Penyusutan Aset berwujud dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau
pada bulan selesainya pengerjaan suatu aset sehingga penyusutan pada tahun
pertama dihitung secara prorata. Namun, berdasarkan persetujuan Direktur
Jenderal Pajak, saat dimulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan aset
yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
atau pada bulan aset tersebut mulai menghasilkan (saat mulai berproduksi dan
tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan).
2. Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperoleh untuk dikelompok aset berwujud
dikelompokkan menjadi dua, yaitu penyusutan aset berwujud bangunan dan
aset berwujud selian (bukan) bangunan. Untuk aset berwujud selain (bukan)
bangunan, Wajib Pajak diperbolehkan memilih metode penyusutan, yaitu
dilakukan di bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat atau
dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang
dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan
pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat
dilakukan secara taat asas. Dengan kata lain, metode yang diperbolehkan
adalah metode garis lurus (Straight Line Method) atau saldo menurun
(Declining Balance Method) yang mana pada akhir masa nilai manfaat nilai
sisa buku disusutkan sekaligus (Closed Ended). Untuk aset berwujud
bangunan, Wajib Pajak hanya dapat menggunakan metode garis lurus.
Penghitungan penyusutan setiap tahun untuk metode garis lurus adalah harga
perolehan dibagi masa manfaat. Jika ada nilai residu maka tidak boleh
dikurangkan dari harga perolehan. Penghitungan penyusutan setiap tahun
untuk metode saldo menurun adalah tarif penyusutan dikalikan nilai sisa buku,
3. Kelompok Masa Manfaat Aset dan Tarif Penyusutan
Besarnya penyusutan suatu periode dipengaruhi oleh metode yang digunakan,
besarnya harga perolehan aset berwujud, dan masa manfaat dari aset berwujud
tersebut. Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam
melakukan penyusutan atas pengeluaran aset berwujud, Pasal 11 UU Nomor
36 Tahun 2008 mengatur masa manfaat aset berwujud dan penyusutan tarif,
baik berdasarkan metode garis lurus maupun saldo menurun. Jenis aset yang
termasuk dalam kelompok aset berwujud bukan bangunan untuk keperluan
penyusutan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 96 / PMK.03 /
2009. Masa Manfaat dan tarif penyusutan aset berwujud pengaturan sebagai
berikut.

Bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan


terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-
pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun, seperti barak atau
asrama yang dibuat dari kayu.
Dalam hal terjadi penjualan atau pengalihan aset berwujud, jumlah nilai sisa
buku dibebankan sebagai kerugian, sedangkan jumlah harga jual atau
penggantian asuransi dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya
pengalihan atau penarikan aset. Kerugian sebesar nilai sisa buku karena
penggantian asuransi yang jumlahnya baru diketahui di masa kemudian,
dibukukan sebagai beban masa kemudian dengan persetujuan dirjen pajak.
Jika pengalihan aset berwujud digunakan sebagai bantuan atau sumbangan,
aset hibahan atau warisan, jumlah nilai sisa buku tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
4. Penyusutan Aset Berwujud Tertentu
Terhadap aset berwujud tertentu berikut ini, peanyusuntnya diatur secara
khusus.
a. Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan
digunakan oleh perusahaan untuk pegawai stertentu karena jabatan atau
pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui
penyusutan asset tetap kelompok I. sementara biaya pelanggan atau
pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler yang dimiliki dan
digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaan dapat dikenakan biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah biaya elanggan atau pengisian ulang pulsa dan
perbaikan dalam tahun pajak bersangkutan.
b. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus,
minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk
antar-jemput para pegawai dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya
perusahaan melalui penyusutan aset tetap kelompok II. Sementara atas
biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau
yang sejenis yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk antar-jemput
para pegawai dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan
dalam tahun pajak yang bersangkutan.
c. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan
sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk
pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya dapat dibebankan
sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar melalui penyusutan
aset tetap kelompok II. Sementara atas biaya pemeliharaan atau perbaikan
rutin kendaraan (jenis kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis) yang
dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan
atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar
50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan
rutin dalam tahun pajak yang bersangkutan.
5. Penyusutan/Amortisasi untuk Penanaman Modal Bidang Tertentu
Untuk penanaman modal dalam bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-
daerah tertentu diberikan fasilitas terhadap percepatan penyusutan dan
amortisasi. Sesuai PP No. 1/2007 (Amandemen PP No. 148/2000), jenis
usaha, tarif penyusutan, dan amortisasi yang dipercepat adalah:
1. Jenis industri terdiri atas industri makanan lainnya; tekstil dan pakaian
jadi; bubur kertas, kertas, dan karton; bahan kimia industri; barang kimia
lain, karet, dan barang dari karet; barang kimia lain; barang dari porselen;
logam dasar besi dan baja; kelompok industri logam dasar bukan besi;
mesin dan perlengkapannya; industri motor listrik, generator, dan
transformator; elektronika dan telematika: alat angkut darat; pembuatan
dan perbaikan kapal dan perahu; pembuatan logam dasar bukan besi;
sembilan kelompok usaha di daerah tertentu meliputi industry pengolahan
makanan; pengelolaan sumber daya alam berbasis agro; kemasan dan
kotak dari kertas dan karton; barang dari plastik; kelompok industri semen
kapur dan gips; furnitur; penangkapan ikan laut dan pengolahannya dalam
usaha terpadu: dan penangkapan crustacea laut dan pengolahannya dalam
usaha terpadu. Fasilitas tersebut hanya akan diberikan kepada Wajib Pajak
dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi.
2. Tarif penyusutan dan amortisasi dipercepat, dapat dilihat pada tabel
berikut:
Amortisasi. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh aset tak
berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk perpanjangan hak-hak atas
tanah yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi
dengan metode garis lurus (straight-line method) maupun metode saldo
menurun (declining balanced method). Dalam metode saldo menurun,
nilai buku aset tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus
pada akhir masa manfaatnya.
Pengelompokan aset tak berwujud, masa manfaat, dan tarif amortisasi
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Gambar belum
Pengeluaran-pengeluaran berikut ini juga akan diamortisasi sesuai dengan ketentuan
kelompok aset tak berwujud, masa manfaat, dan tarif amortisasi seperti tabel di atas.
• Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu
perusahaan yang dibebankan dalam tahun terjadinya pengeluaran.
• Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun seperti biaya studi kelayakan dan biaya
produksi percobaan, sedangkan biaya operasional yang bersifat rutin seperti
rekening listrik dan telepon, gaji pegawai, dan biaya kantor lainnya tidak boleh
dikapitalisasi tapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran (tidak
diamortisasi).
Seperti halnya dalam penyusutan, amortisasi aset tak berwujud dan pengeluaran
tersebut jika menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada tahun terakhir
masa manfaat akan diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Untuk aset tak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa
manfaat yang ada, Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya,
masa manfaat yang sebenarnya enam tahun, maka dapat menggunakan kelompok
masa manfaat delapan tahun atau empat tahun. Sementara jika masa manfaat asset tak
berwujud sebenarnya adalah lima tahun, aset tak berwujud tersebut diamortisasi
dengan menggunakan masa manfaat empat tahun. Amortisasi dimulai pada bulan
dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan.
Amortisasi di Bidang Penambangan Minyak dan Gas Bumi. Pengeluaran untuk
memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi diamortisasi dengan metode
satuan produksi. Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase
amortisasi. Besarnya persentase amortisasi setiap tahun sama dengan persentase
perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang
bersangkutan dan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi yang
dapat diproduksi di lokasi tersebut. Apabila jumlah produksi yang sebenarnya lebih
kecil dari yang diperkirakan maka masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh
hak atau pengeluaran lain, sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus
dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Amortisasi di Bidang Penambangan Selain Minyak dan Gas Bumi. Pengeluaran
untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan
hutan, atau hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak
pengusahaan hasil laut yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun
diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20%
(dua puluh persen) setahun. Jika dalam suatu tahun ternyata jumlah produksi
mencapai lebih 20% (dua puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya
amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun
tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran untuk memperoleh hak-hak
tersebut.
Amortisasi atas Pengalihan Aset Tak Berwujud/Hak. Dalam hal terdapat
pengalihan aset tak berwujud/hak, nilai sisa buku aset atau hak tersebut dibebankan
sebagai kerugian,sedangkan jumlah penggantian dibukukan sebagai penghasilan pada
tahun terjadinya pengalihan. Jika pengalihan aset tersebut digunakan sebagai bantuan
atau sumbangan, aset hibahan atau warisan, maka jumlah nilai sisa buku tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
Penentuan Nilai Perolehan. Penghitungan penyusutan atau amortisasi dipengaruhi
oleh metode, masa manfaat (umur ekonomis), dan jumlah yang disusutkan
(depreciable amount) atau harga perolehan. Dalam hal perolehan aset secara umum,
harga perolehan dihitung dari harga beli ditambah dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan sampai aset tersebut siap untuk digunakan. Demikian juga jika aset
berwujud dibangun/dibuat sendiri, maka harga perolehan merupakan akumulasi
pembelian material, tenaga kerja dan overhead pabrik.
Jika perolehan aset dipengaruhi oleh hubungan istimewa maka nilai atau harga
perolehan aset tersebut ditentukan secara berbeda. Penilaian dalam hubungan
istimewa tersebut meliputi jika terjadi jual beli aset; tukar-menukar; likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan; persediaan dan
pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok; pengalihan aset hibahan,
bantuan atau sumbangan, dan warisan yang memenuhi persyaratan Pasal 4 ayat (3)
huruf a dan b UU PPh; pengalihan aset yang tidak memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3)
huruf a UU PPh; pengalihan aset sebagai pengganti saham atau pengganti penyertaan
modal.
1. Penilaian dalam Hal Jual Beli Aset
Dalam jual beli secara umum, harga perolehan aset bagi pihak pembeli adalah
harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual
adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan
adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh aset
tersebut seperti bea masuk, biaya pengangkutan, dan biaya pemasangan.
Apabila jual beli aset dipengaruhi hubungan istimewa, bagi pihak pembeli
nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak
penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang scharusnya diterima. Adanya
hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga
perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan jika jual beli
tersebut tidak dipengaruhi hubungan istimewa. Oleh karena itu, nilai
perolehan atau nilai penjualan aset bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah
jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.
2. Penilaian dalam Hal Tukar Menukar
Apabila terdapat aset yang diperoleh melalui transaksi tukar menukar dengan
aset lain, nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang
scharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
3. Pengalihan Aset dalam Rangka Pengembangan Usaha Berupa Likuidasi,
Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Pemecahan, dan Pengambilalihan
Usaha
Apabila terjadi pengalihan aset seperti di atas, nilai perolehan atau
pengalihannya
dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga
pasar. Selisih antara harga pasar dan nilai sisa buku aset yang dialihkan
merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
b. Penggunaan Nilai Buku. Menurut akuntansi komersial, penggabungan,
peleburan, pemekaran usaha akan melibatkan pihak yang mengalihkan aset
dan pihak yang memperoleh aset, sesuai metode yang digunakan dalam
konsolidasi, yaitu:
1) penyatuan kepentingan (pooling of interest).
2) pembelian (purchase).
Dalam perpajakan digunakan metode pembelian (purchase method)
atau berdasarkan harga pasar, sedang metode penyatuan kepentingan
dapat digunakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Aset
dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha.
Wajib Pajak dapat menggunakan nilai buku pada saat melakukan
merger. Pengertian atau batasan merger tersebut meliputi
penggabungan usaha atau peleburan usaha. Hal yang perlu dipahami
terhadap Wajib Pajak yang melakukan merger atau pemekaran usaha
dalam hal menggunakan nilai buku sebagai dasar pengalihan aset
adalah:
1) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat
menggunakan nilai buku, yaitu:
• Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan
penawaran umum perdana (initial public offering); atau
• Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan
usaha hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana
(initial public offering).
2) Bagi Wajib Pajak yang melakukan merger atau pemekaran usaha
dalam menggunakan nilai buku wajib memenuhi syarat:
• mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak
dengas
• melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger dan
pemekaran usaha
• melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait;
dan
• memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).
3) Wajib Pajak yang melakukan merger dengan menggunakan nilai
buku tidat boleh mengompensasikan kerugian atau sisa kerugian
dari Wajib Pajak yang menggabungkan diri/Wajib Pajak yang
dilebur.
4) Wajib Pajak yang menerima pengalihan aset mencatat nilai
perolehan asset tersebut sesuai dengan nilai sisa buku
sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak
pihak yang mengalihkan.
5) Penyusutan atas aset yang diterima pada nomor 4 dilakukan
berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana tercantum
dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan.
6) Apabila merger atau pemekaran usaha dilakukan dalam Tahun
Pajak berjalan maka jumlah angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
dari pihak atau pihak-pihak yang menerima pengalihan tidak
boleh lebih kecil dari jumlah angsuran yang wajib dibayar oleh
pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan.
7) Pembayaran, pemungutan, dan pemotongan Pajak Penghasilan
yang telah dilakukan oleh pihak atau pihak-pihak yang
mengalihkan sebelum dilakukannya merger atau pemekaran
usaha dapat dipindahbukukan menjadi pembayaran, pemungutan,
atau pemotongan Pajak Penghasilan dari Wajib Pajak yang
menerima pengalihan.
8) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang akan
menjual sahamnya di bursa efek, selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun setelah memperoleh persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemekaran usaha
dengan menggunakan nilai buku, harus telah mengajukan
pernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar Modal
(BPPM) Lembaga Keuangan dalam rangka penawaran perdana
(initial public offering) dan pernyataan pendaftaran tersebut telah
menjadi efektif.
4. Penilaian karena Hibah, Bantuan, dan Sumbangan
Dalam hal terjadi penyerahan aset karena sumbangan atau bantuan, hibah yang
diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi sepanjang tidak ada hubungannya dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan. Atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan, atau warisan, nilai perolehan bagi pihak yang menerima aset
adalah nilai sisa buku aset pihak yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib
Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak
diketahui, nilai perolehan atas aset ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Jika
penyerahan aset tersebut tidak sesuai dengan syarat yang ada maka nilai
perolehan bagi pihak yang menerima aset adalah harga pasar.
5. Pengalihan Aset sebagai Pengganti Saham
Permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan
asset. Jika permodalan tersebut dipenuhi dengan pengalihan aset, nilai aset
yang diserahkan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal dinilai
berdasarkan nilai pasar asset yang dialihkan tersebut.
Penilaian Persediaan dan Harga Pokok Penjualan. Harga pokok penjualan
merupakan salah satu biaya langsung yang berkaitan dengan usaha terutama
usaha dagang dan manufaktur. Pada usaha dagang terdapat persediaan barang
dagang, sedangkan pada usaha manufaktur terdapat tiga jenis persediaan, yaitu
persediaan bahan baku dan bahan penolong, persediaan barang jadi, dan
persediaan barang dalam proses produksi. Persediaan perlengkapan atau bahan
habis pakai tidak termasuk dalam pembahasan ini. Penilaian persediaan barang
didasarkan pada harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk
penghitungan harga pokok penjualan hanya boleh dilakukan dua cara, yaitu:
• metode rata-rata (average), atau
• metode masuk pertama keluar pertama (first in first out-FIFO)
Wajib Pajak diperbolehkan memilih salah satu metode tersebut sepanjang
dilakukan secara taat asas, artinya sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara
penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok penjualan,
maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama.

Biaya yang Tidak Diperkenankan sebagai Pengurang (Non-Deductible Expense)


Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dapat dibedakan antara
pengeluaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expenses) dan
yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya (non-deductible expenses). Pada
prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang
mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Pembebanan
tersebut dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat
pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto (non-deductible expenses) meliputi pengeluaran yang sifatnya sebagai
pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran. Pengeluaran yang
diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU
PPh, dan telah dibahas pada bagian sebelumnya. Berikut ini pengeluaran-pengeluaran
yang tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap, sesuai Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008.
1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan príbadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali (PMK No.
81/PMK.03/2009 dan PMK No. 219/PMK.011/2012):
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang
b. Cadangan untuk usaha asuransi meliputi cadangan premi tanggungan
sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi kegiatan
dan cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa.
c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjaminan Simpanan, yaitu
cadangan penjaminan untuklembaga yang berfungsi menjamin simpanan
nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem
perbankan sesuai kewenangannya. Besarnya cadangan penjaminan untuk
Lembaga Penjaminan Simpanan adalah 80% dari surplus yang diperoleh
Lembaga Penjaminan Simpanan sesuai peraturan perundang-undangan
mengenai Lembaga Penjaminan Simpanan.
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yaitu cadangan
biaya untuk kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan
lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar
dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Besarnya
cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha
pertambangan sebenarnya dibebankan pada perkiraan cadangan biaya
reklamasi.
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, yaitu
cadangan biaya penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan
melakukan penanaman kembali atas hutan yang telah dieksploitasi untuk
usaha yang terkait dengan system pengurusan yang bersangkut paut
dengan hutan, kawasan hutan, dan haşil hutan yang diselenggarakan
secara terpadu. Besarnya cadangan biaya penanaman kembali untuk
perusahaan yang melakukan usaha kehutanan adalah sebenarnya
dibebankan pada perkiraan cadangan biaya penanaman kembali.
f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industry untuk usaha pengolahan limbah industri, yaitu cadangan biaya
penutupan dan pemeliharaan bagi perusahaan yang mengolah limbah
industri yang mencak kegiatan penyimpanan, pengumpulan,
pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah, dan penimbunan hasil
pengolahan limbah industri.
Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat
pembuanga limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri
adalah yang sebenarma dibebankan pada perkiraan cadangan biaya
penutupan dan pemeliharaan tempa pembuangan limbah.
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atas kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
7. Aset yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh, kecuali
sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) hurufi sampai
dengan huruf m UU PPh serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui
di Indonesia, yang diterima oleh Lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
8. Pajak penghasilan
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.

Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan


Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan mengatur pula
mengenai pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung
besarnya. Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha
Tetap termasuk:
1. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan Objek Pajak;
2. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat fina
3. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan
Norma Penghitungan Khusus (perhatikan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-
Undang PPh);
4. pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak
atas penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan tapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan
tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak; dan
5. kerugian dari aset atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan
dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Demikian halnya yang berkaitan dengan pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPNBM), selanjutnya Peraturan
Pemerintah mengatur bahwa Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan (Pasal 9
ayat (8) Undang-Undang PPN dan PPNBM) dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto tapi terdapat unsur pengecualian.
Pengecualian yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, meliputi:
1. Pajak Masukan (Pasal 9 ayat (8) huruff dan huruf g) sepanjang tidak dapat
dibuktikan bahwa Pajak Masukan tersebut benar-benar telah dibayar.
2. Pajak Masukan berkenaan dengan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan
dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak (Pasal 9 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan). Terhadap Pajak Masukan, walaupun
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, tetapi perlu diperhatikan apabila hal
tersebut schubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh aset berwujud
dan/atau aset tak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun (Pasal 11 dan Pasal 11A Undang- Undang Pajak
Penghasilan) terlebih dahulu harus dikapitalisasi dengan pengeluaran biaya
tersebut dan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi.

MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN


Dalam menghitung pajak penghasilan terutang dihitung dengan mengalikan
tarif tertentu terhadap dasar pengenaan pajak. Yang menjadi dasar dalam menentukan
besaarnya PPh yang terutang adalah Penghasilan Kena Pajak (PKP).
PPh dapat dipungut degan self assesment system, official assesment system,
dan withholding system. Dengan self assesment system, wajib pajak menghitung
sendiri pajak penghasilan terutang menyetor, dan melaporkannya dalam suatu tahun
dengan ,mengisi surat pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh wajib Pajak (orang pribadi
atau badan). Jika terdapat penghasilan yang telah dipotong pajaknya oleh pihak lain,
pada akhir tahun pajak, seluruh penghasilan tersebut diperhitungkan kembali untuk
menentukan PPh terutang. Pajak – pajak yang telah dipotong oleh pihak lain
sepanjang bersifat tidak final, dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang. Dengan
withholding system, pajak penghasilan dihitung oleh pihak lain, yaitu pihak yang
membayarkan penghasilan. Pihak tersebut dinamakan pemotong/pemungut pajak.
Selanjutnya, pemotong/pemungut pajak memotong, menyetor, dan melaporkan pajak
penghasilan yang telah di potong/dipungutnya. Wajib pajak mempunyai kewajiban
menghitung pajak atas penghasilan sendiri dan atau memotong / memungut pajak atas
penghasilan pihak lain yang dibayarkannya.
Seperti yang dikatakan diawal bahwa penghasilan kena pajak merupakan dasar
penghitungan untuk menentukan besarnya PPh, rumus secara umum dalam
menghitung pajak penghasilan yang terutang sebagai berikut :
PPh Terutang = Tarif Pajak x Penghasilan Kena Pajak

A. Tarif pajak
Tarif pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan utnuk menghitung
besarnya PPh. Tarif PPh yang berlaku di Indonesia dikelompokkan menjadi
dua yaitu tarif umum dan tarif Khusus.

Tarif umum
Diatur dalam pasal 17 UU PPh yang terutang dalam UU No 7 Tahun 1983.
Sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir adalah dalam UU No. 36
Tahun 2008. Sistem penerapan tarif pajak penghasilan sesuai dengan pasal 17
UU PPh dibag menjadi dua yaitu Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan
wajib pajak dalam negeri badan dan bentuk usaha tetap.
1. Tarif PPh untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri (pasal 17 ayat
(1) huruf a UU PPh), yaitu:

Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak


Sampai dengan Rp50.000.000 (lima puluh 5% (lima persen)
juta rupiah)
Di atas Rp50.000.000 (lima puluh juta 15% (lima persen)
rupiah) sampai dengan Rp250.000.000
(dua ratus lima puluh juta rupiah )
Diatas Rp250.000.000 (dua ratus lima 25% (dua puluh lima
puluh juta rupiah) sampai dengan persen)
Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah)
Diatas Rp500.000.000 (lima ratus juta 30% (tiga puluh
rupiah) persen)

Contoh :
a. Jumlah penghasilan kena pajak tuan akbar pada 2016 adalah
Rp45.000.000. pajak penghasilan yang terutang :
5% x Rp45.000.000 Rp2.250.000
b. Jumlah penghasilan kena pajak tuan chika pada 2016 adalah
Rp200.000.000 pajak penghasilan yang terutang:
5% x Rp 50.000.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp150.000.000 Rp.22.500.000 (+)
Rp.25.000.000
c. Jumlah penghasilan kena pajak tuan dedy pada 2016 adalah
Rp500.000.000 pajak penghasilan yang terutang:
5% x Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000
15%x Rp200.000.000 Rp 30.000.000
25%x Rp250.000.000 Rp 62.500.000
(+)
Rp 95.000.000
d. Jumlah penghasilan kena pajak tuan hakim pada 2016 adalah
Rp600.000.000. pajak penghasilan yang terutang:
5% x Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000
15%xRp.200.000.000 Rp.30.000.000
25%xRp.250.000.000 Rp.62.500.000
30%xRp.100.000.000 Rp.30.000.000(+)
Rp125.000.000
Untuk menghitung penerapan tarif pajak tersebut, jumlah penghasilan
kena pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
Contoh :
a) Penghasilan kena pajak sebesar Rp. 25.650.990 maka untuk keprluan
penerpaan tarif pajak penghasilan,penghasilan kena pajak tersebut
dibulatkan ke bawah menjadi Rp 25.650.000
b) Penghasilan kena pajak sebesar Rp225.990.499 maka untuk keperluan
penerapan tarif pajak penghasilan, penghasilan kena pajak tersebut
dibulatkan ke bawah menjadi Rp 225.990.000
Besarnya pajak yang terutang bagi wajib pajak orang prbadi dalam negeri
dalam bagian tahun pajak, dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun
pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang
terutang untuk 1 (satu) tahun pajak. Tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga
puluh) hari.

Contoh :
Penghasilan kena pajak setahun sebesar Rp584.160.000.
Pajak penghasilan setahun:
5% x Rp 50.000.000 Rp. 2.500.000
15%x Rp200.000.000 Rp.30.000.000
25%x Rp250.000.000 Rp.62.500.000
30%x Rp 84.160.000 Rp.25.248.000 (+)
Rp.120.248.000
Pajak penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan):
[(3x30):360] x Rp 120.248.000 = Rp 30.062.000

2. Tarif PPh untuk wajib badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
(pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh) adalah 28% dua puluh delapan
persen). Tarif tersebut menjadi 25% (dua puluh lima persen). Tarif
tersebut menjadi 25% (dua puluh lima persen) berlaku mulai tahun
pajak 2010 (pasal 17 ayat (2a) UU PPh).
tarif pajak untuk wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk
perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari
jumlah keseluruhan saham disetor diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat
memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif
untuk wajib pajak badan pada umumnya (pasal 17 ayat (2b) UU PPh)
berdasarkan surat edaran No. SE-66/PJ/2010 tentang penegasan Pasal
31E ayat (1) UU No. 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan
sebagaimana telah diubah beberapa kali dan diubah terakhir dengan
UU No. 36 Tahun 2008, bahwa:
a) Wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto
sampai dengan Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
mendapat fasilitas berupa pengurangan taris sebesar 50 persen
dari tarif sebagaimana dijelaskan ada nomor 2 paragraf pertama
(pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas
penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai
dengan Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah)
b) Fasilitas pengurangan tersebut dilaksanakan secara self
assesment pada saat penyampaian SPT Tahunan PPh Wajib
pajak badan, tidak perlu menyampaikan permohonan untuk
dapat memperoleh fasilitas tersebut.
c) Peredaran bruto terebut adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bank
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi:
1) penghasilan yang dikenal pajak penghasilan bersifat final
2) penghasilan yang dikenai pajak penghasilan tidak bersifat
Final
3) penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak
d) Fasilitas pengurangan tersebut bukan merupakan pilihan
Berdasarkan SE No.SE-66/PJ/2010, penerapan tarif umum bagi wajib
pajak bdan selanjutnya dibedakan menjadi 3, yaitu:
1) tarif 12,5% (dua belas koma lima persen) bagi wajib pajak badan
dengan peredaran bruto tidak melebihi jumlah Rp 4.800.000 (empat
juta delapan ratus ribu rupiah). Seluruh penghasilan kena pajak
dikaliakan dengan tarif 12,5 % (dua belas koma lima persen).
Misalnya, peredaran bruto Rp 2.400.000.000 total penghasilan kena
pajak Rp 240.000.000. seluruh penghasilan kena pajak
(Rp240.000.000) dikalikan dengan tarif 12,5% .
Contoh 1:
Peredaran bruto PT X selama tahun pajak 2016 sebesaar
Rp4.500.000.000 dengan penghasilan kena pajak sebesar
Rp500.000.000 dengan rincian sebagai berikut.
a. peredaran bruto dari penghasilan yang :
- dikenai PPh bersifat final Rp 1.500.000.000
- bukan objek pajak Rp 500.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final Rp 2.500.000.000
Jumlah Rp4.500.000.000
b. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan usaha yang:
- Dikenai PPh bersifat final (Rp 450.000.000)
- Bukan objek pajak (Rp 200.000.000)
- Dikenai PPh tidak bersifat final (Rp1.350.000.000)
Jumlah (Rp2.000.000.000)
c. laba usaha (penghasilan neto usaha) RP2.500.000.000
d. penghasilan dari luar usaha yang :
- dikenai PPh bersifat final Rp 50.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final Rp 100.000.000
e. biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan usaha yang:
- Dikenai PPh bersifat final (Rp 25.000.000)
- Dikenai PPh tidak bersifat final (Rp 50.000.000)
Penghasilan neto dari luar usaha Rp 75.000.000
f. jumlah seluruh penghasilan neto Rp. 2.575.000.000

g. koreksi fiskal:
- peredaran bruto dari penghasilan
Yang dikenai PPh bersifat final (Rp.1.500.000.000)
- peredaran bruto dari penghasilan
Yang bukan objek pajak (Rp. 500.000.000)
- biaya untuk mendapatkan, menagih
Dan memelihara penghasilan usaha
Yang dikenai PPh bersifat final Rp. 450.000.000
- biaya untuk mendapatkan, menagih
Dan memelihara penghasilan usaha
Yang bukan objek pajak Rp. 200.000.000
- peredaran dari luas usaha yang
Dikenai PPh bersifat final (Rp. 50.000.000)
- biaya untuk mendapatkan, menagih
Dan memelihara penghasilan dari
Luar usaha yang dikenai PPh bersifat
Final Rp. 25.000.000
Jumlah (Rp1.375.000.000)
h. jumlah seluruh penghasilan neto setelah
koreksi fiskal Rp.1.200.000.000
i. kompensasi kerugian (Rp. 700.000.000)
j. penghasilan kena pajak Rp. 500.000.000

seluruh penghasilan kena pajak dikenai tarif 50% dari tarif pajak
penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT X (hanya
Rp4.500.000.000) tidak melebihi Rp4.800.000.000.

pajak penghasilan yang terutang (50% x 25%) x Rp500.000.000 =


Rp62.500.000.
Dengan berlakuya PP No 46 tahun 2013, ketentuan/ hitungan ini tidak boleh
untuk usaha-usaha tertentu selain pekerjaan bebas.
2) tarif 12,5% untuk sebagian penghasilan kena pajak dan 25% untuk
sebagian penghasilan kena pajak lainnya bagi wajib pajak dengan
peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000 dan tidak melebihi Rp.
50.000.000.000 dengan ketentuan sebagai berikut.
a) sebagian penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif 12,5%
(mendapat fasilitas pengurangan tarif). Besarnya penghasilan kena
pajak yang dikenakan tarif 12,5 % sama dengan (Rp4.800.000.000 :
peredaran bruto) x total penghasilan kena pajak. Misalnya, peredaran
bruto Rp.8.000.000.000, total penghasilan kena pajak
Rp.8.000.000.000. penghasilan kena pajak sebesar
(Rp4.800.000.000 : Rp8.000.000.000) x Rp800.000.000 saama
dengan Rp480.000.000 dikalikan dengan tarif 12,5%
b) sebagian penghasilan kena pajak lainnya dikalikan dengan tarif 25%
(tidak mendapatkan fasilitas pengurangan tarif) besarnya penghasilan
kena pajak yang dikenakan tarif 25% adakah total penghasilan kena
pajak dikurangi sebagian penghasilan kena pajak yang memperoleh
fasilitas pengurangan tarif sebagaimana pada perhitungan a). pada
contoh a, penghasilan kena pajak sebesar Rp480.000.000 telah
dikenakan tarif 12,5% sehingga sisanya sebesar Rp800.000.000
dikurangi Ro480.000.000 atau sama dengan Rp320.000.000
dikarenakan tarif 25% secara lengkap, penerapan tarif ini dapat dilihat
pada contoh 2.
Contoh 2:
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2016 sebesar
Rp.30.000.000.000
dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp3.000.000.000 dengan rincian
sebagai berikut.
a. peredaran bruto dari penghasilan yang :
- dikenai PPh bersifat final Rp 7.000.000.000
- bukan objek pajak Rp 3.000.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final Rp 20.00.000.000
Jumlah Rp 30.00.000.000
b. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan usaha yang:
- Dikenai PPh bersifat final (Rp 4.000.000.000)
- Bukan objek pajak (Rp 2.000.000.000)
- Dikenai PPh tidak bersifat final (Rp18.000.000.000)
Jumlah (Rp24.000.000.000)
c. laba usaha (penghasilan neto usaha) RP 6.000.000.000
d. penghasilan dari luar usaha yang :
- dikenai PPh bersifat final Rp 50.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final Rp 2.500.000.000
e. biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan usaha yang:
- Dikenai PPh bersifat final (Rp 25.000.000)
- Dikenai PPh tidak bersifat final (Rp1.000.000.000)
Penghasilan neto dari luar usaha Rp 1.525.000.000
f. jumlah seluruh penghasilan neto Rp. 7.525.000.000
g. koreksi fiskal:
- peredaran bruto dari penghasilan
Yang dikenai PPh bersifat final (Rp.7.000.000.000)
- peredaran bruto dari penghasilan
Yang bukan objek pajak (Rp. 3.000.000.000)
- biaya untuk mendapatkan, menagih
Dan memelihara penghasilan usaha
Yang dikenai PPh bersifat final Rp. 4.000.000.000
- biaya untuk mendapatkan, menagih
Dan memelihara penghasilan usaha
Yang bukan objek pajak Rp. 2.000.000.000
- peredaran dari luas usaha yang
Dikenai PPh bersifat final (Rp. 50.000.000)
- biaya untuk mendapatkan, menagih
Dan memelihara penghasilan dari
Luar usaha yang dikenai PPh bersifat
Final Rp. 25.000.000
Jumlah (Rp4.025.000.000)
h. jumlah seluruh penghasilan neto setelah
koreksi fiskal Rp.3.500.000.000
i. kompensasi kerugian (Rp. 500.000.000)
j. penghasilan kena pajak Rp.3.000.000.000
penghitungan pajak penghasilan terutang:
a. jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas: (Rp4.800.000.000 : Rp.30.000.000.000) x Rp
3.000.000.000 = Rp480.000.000
b. jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran usaha yang tidak
memperoleh fasilitas:
Rp3.000.000.000 – Rp480.000.000 = Rp2.520.000.000
Pajak penghasilan yang terutang:
- (50%x 25%) x Rp480.000.000 Rp 60.000.000
- 25% x Rp2.520.000.000 Rp 630.000.000
Rp 690.000.000
3) Tarif 25% bagi wajib pajak badan dengan peredaran bruto melebihi
jumlah Rp50.000.000.000. seluruh penghasilan kena pajak dikalikan
dengan tarif 25%. Misalnya, peredaran bruto Rp60.000.000.000
sehingga total penghasilan kena pajak Rp6.000.000.000. seluruh
penghasilan kena pajak (Rp6.000.000.000) dikalikan dengan tarif
25%
Secara lengkap, penerapan tarif ini dapat dilihat pada contoh 3
Contoh 3
Peredaran bruto PT Z tahun 2016 adalah:
- terkena PPh bersifat final Rp30.000.000.000
- bukan objek pajak Rp10.000.000.000
- terkena PPh tidak bersifat final Rp20.000.000.000
Jumlah peredaran bruto Rp60.000.000.000

Penghasilan kena pajak Rp 6.000.000.000


Penghitungan pajak penghasilan terutang:
Seluruh penghasilan kena pajak dikenai tarif berdasar pasal 17 ayat (1)
huruf b UU PPh karena jumlah peredaran bruto PT Z sebesar
Rp60.000.000.000 telah melebihi batas maksimal peredaran bruto yang
mendapat fasilitas pengurangan (Rp50.000.000.000)
pajak penghasilan terutang 25% x Rp 6.000.000.000 = Rp1.500.000.000
B. Tarif khusus PPh terutang sebesar 1% dari peredaran bruto usaha bagi wajib
pajak orang pribadi dan badan kecuali bentuk usaha tetap yang memiliki
penghasilan dari peredaran bruto usaha tertentu yang dimaksud adalah sebesar
Rp4.800.000.000 setahun. Ketentuan ini diatur dalam peraturan pemerintah
nomor 46 tahun 2013. Tarif khusus juga berlaku bagi usaha bidang tertentu
seperti jasa konstruksi, jasa penerbangan dan pelayaran dan sebagainya.

PENGHASILAN KENA PAJAK (PKP)


Penghasilan kena pajak adalah penghasilan wajib pajak yang menjadi dasar untuk
menghitung pajak penghasilan.
Penentuan penghasilan kena pajak dikelompokkan menjadi:
1. wajib pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran usaha tertentu
2. wajib pajak orang pribadi menggunakan nomor penghitungan
3. wajib pajak orang pribadi menyelenggarakan pembukuan
4. wajib pajak badan dalam negeri menyelenggarakan pembukuan
5. wajib pajak bentuk usaha tetap
Wajib pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran usaha tertentu
1. Tarif yang dikenakan adalah 0,5%
2. penghasilan kena pajak yang dimaksud dalah peredaran bruto sebulan
3. PPh terutang dihitung dari tarif dikalikan penghasilan kena pajak
PPh terutang = Tarif x PKP
= 1% X peredaran bruto sebulan

Perhitungan tersebut diperuntukkan bagi wajib pajak dengan syarat sebagai berikut:
1. wajib pajak dalam negeri orang pribadi dan badan selain bentuk usaha tetap
2. memperoleh peredaran bruto dari penghasilan usaha dengan jumah tidak melebihi
Rp4.800.000.000 dalam satu tahun pajak
3. penghasilan usaha yang dimaksud tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas, penghasilan yang diperoleh/diterima dari luar negeri,
penghasilan yang PPh-nya bersifat final, dan penghasilan yang bukan objek pajak

wajib pajak orang pribadi menggunakan norma perhitungan


1. tarif yang dikenakan adalah tarif pasal 17 UU PPh ayat (1) huruf a UU PPh
2. penghasilan kena pajak digitung sebagai berikut.
PKP = Penghasilan neto – PTKP
= (peredaran bruto x % NPPN) – PTKP

3. PPh terutang dihitung dari tarif dikalikan penghasilan kena pajak:


PPh terutang = tarif x PKP
= Tarif x (Peredaran bruto x % NPN) – PTKP

Keterangan:
PTKP : Penghasilan Tidak Kena pajak
NPPN : Norma Perhitungan Penghasilan Neto
Jika wajib pajak orang pribadi adalah muslim yang membayarkan zakat atas
penghasilan kepada badan amil zakat (BAZIZ), jumlah zakat dibayarkan tersebut
dapat dikurangkan dari penghasilan neto. Selanjutnyaa, penghitungan PKP dan PPh
terutang di formulasikan sebagai berikut.
PKP = Penghasilan neto – Zakat atas penghasilan - PTKP
= (peredaran bruto x % NPPN) – zakat atas penghasilan - PTKP

PPh terutang = tarif x PKP


= Tarif x (Peredaran bruto x % NPN) – Zakat atas penghasilan -
PTKP

Penghitungan ini diperuntukkan bagi Wjib pajak dengan syarat sebagai berikut:
1. Wajib pajak dalam negeri orang pribadi
2. memperoleh peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 salam satu tahun
pajak
3. penghasilan tersebut berasal dari pekerjaan bebas
4. wajib pajak harus memberitahukan kepada direktur jendral peajak dalam jangka
Waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan
5. wajib pajak wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya
sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur ketentuan umum dan tata
cara perpajakan

contoh
Tuan Hakim (K/2) mempunyai Kantor Konsultan Pajak. Peredaran bruto dari
pekerjaan bebas selama setahun sebesar Rp2.000.000.000. biaya/pengeluaran yang
tercatat selama setahun terdiri atas gaji sebesar Rp600.000.000, biaya/pengeluaran
lain diantaranya sewa kantor, biaya transportasi, dan lainnya sebesar Rp500.000.000.
penghasilan neto dari pekerjaan sebagai pegawai tetap di Universitas Pancasila
sebesar Rp 120.000.000 setahun. Penjelasan WP Hakim adalah WP orang pribadi
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp4.800.000.000, tetapi memperoleh
penghasilan dari pekerjaan bebas.
Penghitungan PKP dan PPh terutang:
Peredaran bruto pekerjaan bebas Rp2.000.000.000
Penghasilan neto (norma jasa tersebut 35%): Rp 700.000.000
35% x Rp2.000.000.000
Penghasilan neto dari pekerjaan Rp 120.000.000 (+)
Total penghasilan neto Rp 820.000.000
Penghasilan tidak kena pajak (K/2)
- diri wajib pajak Rp54.000.000
- tambahan kawin Rp 4.500.000
- tanggungan 2 Rp 9.000.000 (+)
Rp 67.500.000 (-)
Penghasilan kena pajak Rp 752.500.000

PPh yang terutang:


5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp 200.000.000 Rp.30.000.000
25% x Rp 250.000.000 Rp.62.500.000
30% x Rp 252.500.000 Rp.75.750.000
Total PPh yang terutang Rp 170.750.000
Jika pada contoh tersebut wajib pajak hakim membayar zakat atas penghasilan ke
badan amil zakat (BAZIS) disertai bukti yang memenuhi persyaratan sebesar
Rp20.500.000, besarnya penghasilan kena pajak:
Total panghasilan neto Rp752.500.000
Zakat atas penghasilan Rp 20.500.000 (-)
Rp732.000.000
Penghasilan tidak ekna pajak (K/2)
- diri wajib pajak Rp54.000.000
- tambahan kawin Rp 4.500.000
- tanggungan 2 Rp 9.000.000 (+)
Rp 67.500.000 (-)
Penghasilan kena pajak Rp664.500.000
PPh yang terutang:
5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp 200.000.000 Rp.30.000.000
25% x Rp 250.000.000 Rp.62.500.000
30% x Rp 252.500.000 Rp.49.350.000
Total PPh yang terutang Rp 144.350.000

Wajib pajak orang pribadi menyelenggarakan pembukuan


1. tarif yang dikenakan adalah tarif pasal 17 UU PPh ayat (1) huruf a UU PPh
2. penghasilan kena pajak digitung sebagai berikut.

PKP = Penghasilan neto – PTKP


= (peredaran bruto - pengeluara/biaya yang boleh dikurangkan) – PTKP

3. PPh terutang dihitung dari tarif dikalikan penghasilan kena pajak:


PPh terutang = tarif x PKP
= Tarif x {(Peredaran bruto – pengeluaran/biaya yang boleh dikurangkan )
– PTKP}

Jika wajib pajak orang pribadi adalah muslim yang membayarkan zakat atas
penghasilan kepada badan amil zakat (BAZIZ), jumlah zakat dibayarkan tersebut
dapat dikurangkan dari penghasilan neto. Demikian pula dalam hal wajib pajak orang
pribadi menyelenggarakan pembukuan dan pada tahun – tahun sebelumnya
mengalami kerugian, kerugian tersebut dapat dikompensasikan/dikurangkan dari
penghasilan neto dalam jangka waktu 5 tahun dimulai dari tahun pajak berikutnya
setelah terjadinya kerugian usaha. Penghitungan PKP dan PPh terutang
diformulasikan sebagai berikut.

PKP = Penghasilan neto – Zakat atas penghasilan - PTKP


= (peredaran bruto – pengeluaran/biaya yang boleh dikurangkan) – zakat atas
penghasilan – sisa rugi dikompensasikan - PTKP

PPh terutang = tarif x PKP


= Tarif x {(Peredaran bruto – pengeluaran/biaya yang boleh dikurangkan) – Zakat
atas penghasilan – sisa rugi dikompensasikan – PTKP}
PTKP
Contoh
Tuan Akbar (K/0) memiliki usaha perdagangan betik yang diberi nama perdana batik.
Berikut adalah data penghasilan, biaya/ pengeluaran yang boleh dikurangkan, dan
perhitunga PKP dan PPh yang terutang.
Peredaran usaha Rp5.000.000.000
Biaya untuk mendapatkan,menagih dan
Memelihara penghasilan Rp4.500.000.000 (-)
Penghasilan neto dari usaha Rp500.000.000
Penghasilan dari pkerjaan Rp 120.000.000
Biaya untuk mendapatkan,menagih dan
Memelihara penghasilan Rp 7.296.000 (-) Rp112.704.000
Penghasilan dari luar usaha Rp 50.000.000 (+)
Total penghasilan neto Rp662.704.000
PTKP (K/0):
- diri wajib pajak Rp 54.000.000
- tambahan kawin Rp. 4.500.000
- tanggungan Rp. - (+)
Rp 58.500.000 (-)
Penghasilan kena pajak Rp 604.204.000
PPh yang terutang :
5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp 200.000.000 Rp.30.000.000
25% x Rp 250.000.000 Rp.62.500.000
30% x Rp 252.500.000 Rp.31.261.200
Total PPh yang terutang Rp 126.261.000

Apabila wajib pajak akbar membayarkan zakat atas penghasilan kepada badan amal
zakat (BAZIS) sebesar Rp 16.250.000, terdapat sisa kerugian tida tahun lalu yang
belum di kompensasikan sebesar Rp25.000.000, PKP dan PPh yang terutang dihitung
sebagai berikut

Total penghasilan neto Rp. 604.204.000


Zakat atas penghasilan Rp. 16.250.000 (-)
Sisa rugi dikompensasikan Rp. 25.000.000 (-)
Rp 562.954.000

PTKP (K/0)
- diri wajib pajak Rp 54.000.000
- tambahan kawin Rp. 4.500.000
- tanggungan Rp. - (+)
Rp 58.500.000 (-)
Penghasilan kena pajak Rp 504.454.000
PPh yang terutang :
5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp 200.000.000 Rp.30.000.000
25% x Rp 250.000.000 Rp.62.500.000
30% x Rp 252.500.000 Rp. 1.336.200
Total PPh yang terutang Rp 96.336.200
Perhitungan ini diperuntukkan bagi wajib pajak dengan syarat sebagai berikut.
1. wajib pajak dalam negeri orang pribadi
2. memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000 dalam satu tahun pajak
3. penghasilan tersebut berasal dari usaha dan atas pekerjaan bebas

Wajib pajak badan dalam negeri menyelenggarakan pembukuan


1. tarif yang dikenakan adalah tarif pasal 31E UU PPh
2. penghasilan kena pajak digitung sebagai berikut.

PKP = Penghasilan neto


= (peredaran bruto - pengeluara/biaya yang boleh dikurangkan)

3. PPh terutang dihitung dari tarif dikalikan penghasilan kena pajak:


PPh terutang = tarif x PKP
= Tarif x (Peredaran bruto – pengeluaran/biaya yang boleh dikurangkan )

Tarif pajak yang diberlakukan adalah sesuai dengan pasal 31E UU PPh. Pada
peredaran bruto usaha dalam jumlah tertentu, wajib pajak badan wajib
menyelenggarakan pembukuan. Dalam hal Wajib pajak badan mengalami kerugian
pada tahun sebelumnya, kerugian tersebut dapat dikompensasikan/dikurangkan dari
penghasilan neto dalam jangka waktu lima tahun dimulai dari tahun ajak berikutnya
setelah terjadinya kerugian usaha.penghitungan PKP dan PPh terutang diformulasikan
sebagai berikut.

PKP = Penghasilan neto – sisa rugi dikompensasikan


= (peredaran bruto – pengeluaran/biaya yang boleh dikurangkan) - sisa rugi
dikompensasikan

PPh terutang = tarif x PKP


Contoh
= Tarif x {(Peredaran bruto – pengeluaran/biaya yang boleh dikurangkan)
Berikut adalah penghasilan dan pengeluaran/biaya yang dimiliki oleh PT Perdana
sisa rugi dikompensasikan }
tahun 2016 beserta erhitungan PKP dan PPh yang terutang.
PTKP
Penjualan Rp7.000.000.000
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
Penghasilan Rp6.400.000.000 (-)
Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp. 600.000.000
Penghasilan dari luar usaha Rp 100.000.000 (+)
Total penghasilan neto Rp 700.000.000
Penghasilan kena pajak Rp 700.000.000
Penghitungan penghasilan kena pajak sebagai dar penentuan tarif:
a. jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas pengurangan tarif adalah:
(Rp4.800.000.000 ; Rp7.000.000.000) x Rp700.000.000 = Rp480.000.000
b. jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran usaha yang tidak
memperoleh fasilitas pengurangan tarif adalah:
Rp700.000.000 – Rp480.000.000 = Rp220.000.000
PPh yang terutang:
- (50% x 25%) x Rp480.000.000 Rp. 60.000.000
- 25% x Rp220.000.000 Rp. 55.000.000
Rp 115.000.000

Jika terdapat sisa rugi tahun 2012 yang belum dikompensasikan sebesar
Rp70.000.000 penghitungan penghasilan kena pajak dan PPh yang terutang adalah:
Penjualan Rp7.000.000.000
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
Penghasilan Rp6.400.000.000 (-)
Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp. 600.000.000
Penghasilan dari luar usaha Rp 100.000.000 (+)
Total penghasilan neto Rp 700.000.000
Sisa rugi dikompensasikan Rp 70.000.000 (-)
Penghasilan kena pajak Rp 630.000.000
Penghitungan penghasilan kena pajak sebagai dasar penentuan tarif:
a. jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas pengurangan tarif adalah:
(Rp4.800.000.000 ; Rp7.000.000.000) x Rp630.000.000 = Rp432.000.000
b. jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran usaha yang tidak
memperoleh fasilitas pengurangan tarif adalah:
Rp630.000.000 – Rp432.000.000 = Rp198.000.000
PPh yang terutang:
- (50% x 25%) x Rp432.000.000 Rp. 54.000.000
- 25% x Rp198.000.000 Rp. 49.500.000
Rp 103.500.000
Apabila sisa rugi tersebut berasal dari kerugian sebelum tahun 2011, tidak bisa
dikompensasikan karena telah melebihi jangka waktu lima tahun. Perhitungan ini
diperuntukkan bagi wajib pajak dengan syarat sebagai berikut.
1. wajib pajak badan dalam negeri
2. memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000 dalam satu tahun pajak
3. penghasilan tersebut berasal dari usaha

Wajib pajak bentuk usaha tetap


Bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha ata melakukan kegiatan melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara perhitungan penghasilan kena pajak dan
PPh yang terutang dasarnya sama dengan cara penghitungan penghasilan kena pajak
bagi wajib pajak bdan dalam negeri karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk
menyelenggarakan pembukuan
1. tarif yang dikenakan adalah tarif pasal 17 (1) huruf b UU PPh
2. penghasilan kena pajak dihitung sebagai berikut.

PKP = Penghasilan neto


= (peredaran bruto - pengeluara/biaya yang boleh dikurangkan)

3. PPh terutang dihitung dari tarif dikalikan penghasilan kena pajak:


PPh terutang = tarif x PKP
= Tarif x (Peredaran bruto – pengeluaran/biaya yang boleh dikurangkan )
Contoh :
Peredaran bruto Rp10.000.000.000
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
Penghasilan Rp 8.000.000.000 (-)
Penghasilan neto Rp. 2.000.000.000
Penghsilan bunga Rp. 50.000.000
Pengjualan langsung barang yang sejenis dengan barang
Yang dijual bentuk usaha tetap oleh kantor pusat Rp. 2.000.000.000
Biaya unttik mendapatkan, menagih, dan memelihara
Penghasilan Rp 1.500.000.000 (-)
Rp. 500.000.000
Dividen yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang
Mempunyai hubungan efektif degan bentuk usaha tetap Rp 1.000.000.000(+)
Rp 3.550.000.000
Biaya – biaya menurut pasal 5 ayat (3) Rp 450.000.000(-)
Penghasilan kena pajak Rp 3.100.000.000
PPh yang terutang 25% x Rp3.100.000.000= Rp775.000.000

PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN


Pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu pelunasan pajak melalui ihak lain dan oleh wajib pajak sendiri. Pelunasan pajak
penghasilan dalam tahun berjalan diatur dalam peraturan pemerintah nomor 138 tahun
2000. Jika pelunasan pajak dilakukan oleh pihak lain, maka perhitungan, pemotongan,
penyetoran, dan pelaporan dilakukan oleh pihak yang memberikan/membayarkan
penghasilan. Pelunasan pajak juga bisa dilakukan tidak dalam tahun berjalan (sesusah
tahun pajak berakhir).

Pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pihak lain


Pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pihak lain (pemberi
penghasilan/pemotong pajak) dikelompokkan sebagai berikut.
1. Pemotongan pajak enghasilan oleh pihak lain atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dana kegiatan yang
dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21 ayat (1) Undang-Undang pajak penghasilan terutang pada akhir
bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan
yang bersangkutan tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu
2. Pemungutan pajak penghasilan oleh pihak bdan pemerintah berkenaan dengan
pembayaran atas penyerahan barang; dan badan – badan tertentu baik badan
pemerintahan maupun swasta berkenan dengan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang pajak penghasilan, terutang pada saat pembayaran, kecuali
ditetapkan lain oleh menteri keuangan.
3. Pemotonga pajak penghasilan oelh pihak lain ats penghasilan berupa deviden,
bungan, royalti, penghargaan, hadiah, bonus, dan lain-lain yang diterima oelh
wajib pajak daalam negeri atau bentuk usaha tetap, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 23 Undang-Undang Pajak penghasilan, terutang pada akhir bulan
dilakukanya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang
bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
4. Pemotongan pajak tas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak luar negrri
selain bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-undang pajak penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya
pembayarana tau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkuatan,
tergantung peristwa yang terjadi terlebih dahulu
5. Pelunasan pajak atsa penghasilan-penghasilan tertentu (bunga deposito dan
simpanan lain di bank, hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lain, dan
sebagainya) yang diatur tersendiri dengan peraturan pemerintah, sebagaiamana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak.

Pelunasan pajak dalam tahun berjalan oleh wajib pajak sendiri


Disamping melalui pihak lain, peunasan pajak dapat dilakukan sendiri oelh wajib
pajak dengan cara sebagai berikut.
1. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan,
penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, wajib memiliki NPWP dan melaksanakan
sendiri penghitungan dan pembayaran pajak penghasilan yang terutang dalam
tahun berjalan serta melaporkannya dalam suta pemberitahuan tahunan.
2. Wajib pajak membayar sendiri pajak tas penghasilan yang diperoleh atau diterima
melalui angsusran [ajak penghasilan dalam tahun pajak berjalan (PPh Pasal 25)

Pelunasan pajak saat sesudah akhir tahun pajak


Pelunasan pajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan dengan:
1. Membayar pajak yang kurang disetor dengan menghitung sendiri jumlah PPh yang
terutang untuk satu tahun pajak dikurangi dengan jumlah kredit pajak tahunan yang
bersangkutan sebagaimana diatur dalam pasa 29 UU PPh.
2. Membayar pajak yang kurang disetor karena menerima surat ketetapan pajak
(SKPKB ATAU SKPKBT) ataupun surat tagihan pajak yang diterbitkan oelh
dirjen pajak .
BAB 4
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG
DITERIMA/DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN
BRUTO TERTENTU.

Pengertian
Pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha bagi Wajib Pajak dengan peredaran
nruto tertentu bersifat final dimaksudkan untuk memberi kemudahan bagi Wajib
Pajak yang menerima/memperoleh penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto
tertentu dapat melakukan penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan
yang terutang. Ketentuan pengenaan PPh ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2018 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018.
Ketentuan ini dalam uraian selanjutnya disebut PPh bersifat ginal 0,5%.

Objek Pajak
Objek pajak atas PPh bersifat final 0,5% adalah penghasilan dari usaha yang diterima
atas diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dengan penghasilan tertentu. Penghasilan
tertentu yang dimaksud adalah peredaran bruto usaha tidak melebihi Rp4,8 miliar
dalam setahun.

Bukan Objek Pajak


Penghasilan berikut ini tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai PPh
bersifat final 0,5%:
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas seperti pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari.
c. Olahragawan
d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
f. Agen iklan
g. Pengawas atau pengelola proyek
h. Perantara
i. Petugas penjaja barang dagangan
j. Agen asuransi
k. Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multi level marketing) atau
penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Contoh
Wajib Pajak A pada tahun 2019 menerima peredaran bruto sebesar Rp1.200.000
dari usaha perdagangan dan Rp5.000.000.000 dari jasa konsultan pajak.
Penghasilan Wajib Pajak A dari pekerjaan sebagai konsultan pajak tidak dikenakan
PPh bersifat final 0,5% karena termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang pajaknya terutang
atau telah dibayar diluar negeri.
3. Penghasilan yang telah dikenai PPh bersifat final.
4. Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

Wajib Pajak
Wajib Pajak dengan peredaran bruto usaha tertentu yang dikenakan PPh bersifat final
0,5% adalah:

1. Wajib Pajak orang pribadi;


2. Wajib Pajak berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan
terbatas yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto
tidak melebihi Rp4.800.000.000 dalam satu tahun pajak.

Bukan Wajib Pajak


Wajib Pajak dengan kriteria di atas yang dikecualikan dari pengenaan PPh Final 0,5%
adalah:
1. Wajib Pajak memilih untuk dikenai PPh secara umum (dikenai pajak berdasarkan
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a (tarif pajak umum untuk Wajib Pajak orang pribadi),
Pasal 17 ayat (2a) (tarif pajak umum untuk Wajib Pajak badan dan bentuk usaha
tetap) atau Pasal 31E UU PPh (tarif pajak umum Wajib Pajak badan). Wajib Pajak
kategori ini wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jnederal
Pajak.
Contoh
Wajib Pajak X selama tahun 2019 memiliki peredaran bruto usaha farmasi
sebesar Rp3.500.000.000. Wajib Pajak X memilih dikenai PPh secara umum
dengan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak. Peredaran
bruto usaha Wajib Pajak X kurang dari Rp4.800.000.000, tetapi tidak
termasuk Wajib Pajak yang dikenai PPh bersifat final 0,5% karena memilih
dikenai PPh secara umum.
2. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk
oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus
menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas
3. Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas PPh berdasarkan:
a. Pasal 31A UU PPh (Wajib Pajak melakukan penanaman modal di bidang
usaha atau daerah tertentu);
b. Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2010 (penghitungan penghasilan kena
pajak dan pelunasan PPh dalam tahun berjalan).
4. Wajib Pajak berbentuk usaha tetap.
Jangka Waktu Pengenaan PPh Bersifat Final 0,5%
Jangka waktu pengenaan PPh bersifat final 0,5% ditetapkan sebagai berikut

Jangka waktu tersebut terhitung sejak:


1. Tahun pajak saat Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar pada
tahun 2018.
Contoh
Tuan X terdaftar sebagai Wajib Pajak pada bulan November 2018, maka jangka
waktu 7 tahun dihitung sejak tahun 2018.
2. Tahun pajak 2018 bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum tahun 2018
Contoh
Tuan A terdaftar sebagai Wajib Pajak pada tahun 2015, maka jangka waktu 7
tahun dihitung sejak tahun 2018. Setelah jangka waktu tersebut berakhir, maka
Wajib Pajak wajib dikenai PPh berdasar ketentuan PPh secara umum, yaitu
menggunakan tarif yang diatur dalam pasal 17 ayat (1) huruf a atau Pasal 17
ayat (2a) atau Pasal 3IE UU PPh dikalikan penghasilan kena pajak.

Peredaran Bruto Usaha


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pengenaan PPh bersifat final 0,5%
didasarkan pada jumlah peredaran bruto usaha, yaitu tidak melebihi Rp4.800.000.000
dalam satu tahun pajak. Jumlah tersebut memiliki ketentuan sebagai berikut.
1. Jumlah peredaran bruto dari tahun terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan
2. Jumlah peredaran bruto merupakan penjualan bruto semua cabang
3. Jumlah peredaran bruto merupakan penggabungan peredaran bruto usaha suami
dan istri apabila suami-istri menghendaki perjanjian pemisahan harga dan
penghasilan secara tertulis maupun istrinya menghendaki perjanjian pemisahan
harga dan penghasilan secara tertulis maupun istrinya menghendaki memilih
untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan sendiri.
4. Jumlah peredaran bruto tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas.
5. Jumlah peredaran bruto tidak termasuk penghasilan diterima atau diperoleh di luar
negeri yang pajaknya telah dibayar atau terutang di luar negeri.
6. Jumlah peredaran bruto tidak termasuk penghasilan yang telah dikenai PPh bersifat
final.
7. Jumlah peredaran bruto tidak termasuk penghasilan yang dikecualikan sebagai
objek pajak.
8. Jumlah peredaran bruto usaha tahun ini digunakan untuk menentukan pengenaan
PPh bersifat final 0,5% tahun berikutnya.

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak

Tarif Pajak
Besarnya tarif pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah
0,5%.
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh bersifat final 0,5%
adalah peredaran bruto usaha setiap bulan. Penghasilan bruto yang dimaksud
merupakan imbalan atau nilai berupa uang atau nilai uang yang diterima atau
diperoleh dari usaha sebulan sebelum dikurangi potongan penjualan, ptongan tunai,
dan/atau potongan sejenis.
Menghitung PPh Bersifat Final 0,5%
PPh bersifat final 0,5% dihitung secara bulanan dengan rumus berikut ini.
PPh terutang sebulan = Tarif x dasar pengenaan pajak sebu;an
= 0,5% x peredaran bruto usaha sebulan

TATA CARA PENYETORAN DAN PELAPORAN


Penyetoran PPh bersifat final 0,5% dapat dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak atau
melalui pemotongan/pemungutan oleh Pemotong/Pemungut ditunjuk sebagai
Pemotong/Pemungut.

Penyetoran dan Pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak Sendiri


1. Penyetoran/pelunasan/pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dilakukan
setiap bulan sebesar 0,5% x peredaran bruto sebulan.

Contoh:
Wajib Pajak A memenuhi syarat dikenai PPh bersifat final 0,5% Pada bulan
Januari 2019 ia memiliki peredaran bruto usaha sebesr Rp100.000.000.
PPh = 0,5% x Rp100.000.000
= Rp500.000
2. Penyetoran dilakukan pada setiap tempat usaha
Contoh
Wajib Pajak memenuhi syarat dikenai PPh bersifat final 0,5%. Pada Februari
2019 memiliki peredaran bruto sebai berikut.
- Di pasar X (KPP Sleman) sebesar Rp90.000.000
- Di pasar Y (KPP Yogyakarta) sebesar Rp70.000.000
- Di pasar Z (KPP Bantul) sebesar Rp50.000.000
Nilai PPh disetor adalah:
- 0,5% x Rp90.000.000 = Rp450.000 (untuk pasar X KPP Sleman)
- 0,5% x Rp70.000.000 = Rp350.000 (untuk pasar Y KPP Yogyakarta)
- 0,5% x Rp50.000.000 = Rp250.000 (untuk pasar Z KPP Bantul)
3. Penyetoran dilakukan setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir. Penyetoran pajak dilakukan melalui kantor pos atau
bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP) atau dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN)
4. Pelaporan pajak dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh paling lambat 20
hari setelah masa pajak berakhir.
a. Wajib Pajak yang menyetor pajak dianggap telah menyampaikan SPT Masa
PPh sesuai tanggal validasi NTPN yang tercantum dalam SSP atau sarana
administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP;
b. Wajib Pajak yang telah menyetor pajak, tetapi di dalam SSP tidak mendapat
validasi NTPN wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ke
Kantor Pelayanan Pajak sesuai tempat kegiatan usaha terdaftar. Adapun
dalam SPT tersebut kolom uraian diisi dengan ‘Penghasilan usaha WP yang
memiliki peredaran bruto tertentu”.
5. Wajib Paja orang pribadi atau badan akan melaporjan PPh tahunan pada setiap
tahun
dengan menyampaikan SPT Tahunan PPh ke Kantor Pelayanan Pajak. Atas
penghasilan dari usaha yang dikenai PPh bersifat final 0,5% dilaporkan sebagai
berikut.
a. Bagi Wajib Pajak orang pribadi, dimasukkan pada Formulir 1770-III
(lampiran III) Bagian A Nomor 16 (“penghasilan lain yang dikenakan pajak
final/bersifat final”).
b. Bagi Wajib Pajak badan, dimasukkan pada formulir 1771-IV (lampiran IV)
Bagian A Nomor 14… dengan menuliskan “Penghasilan usaha Wajib Pajak
dengan peredaran bruto tertentu.

Penyetoran dan Pelaporan Pajak Melalui Pemotongan/Pemungutan oleh


Pemungut/Pemotong
1. Penyetoran/pelunasan/pembayaran PPh bersifat final 0,5% dapat dilakukan
melalui pemotongan/pemungutan oleh Pemotong/Pemungut Pajak.
2. Besarnya pajak yang dipotong adalah 0,5% dikalikan peredaran bruto setiap
transaksi.
3. Pemotong/Pemungut tidak melakukan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 22
terhadap Wajib Pajak yang memiliki Surat Keterangan yang melakukan
transaksi impor atau pembelian barang selama Wajib Pajak yang bersangkutan
menyerahkan fotokopi Surat Keterangan.
Contoh
Wajib Pajak A memenuhi syarat dikenai PPh bersifat final 0,5%. Pada Maret
2019 melakukan penyerahan barang senilai Rp200.000.000. Dari jumlah
tersebut senilai Rp120.000.000 diserahkan kepada Dinas Pertanian Kab. X,
sedangkan senilai Rp80.000.000 kepada pembeli pribadi.
Atas penjualan tersebut dipotong pajak sebagai berikut.
a. PPh dibayar sendiri atas penjualan kepada orang pribadi sebesar:
0,5% x Rp80.000.000 Rp400.000
b. PPh dipungut oleh Bendaharawan Dinas Pertanian Kab. X sebesar:
0,5% x Rp120.000.000 Rp600.000 dengan catatan Wajib Pajak A
menunjukkan surat keterangan Wajib Pajak dikenakan PPh final 0,5%.
Apabila Wajib Pajak A tidak menunjukkan Surat Keterangan, besarnya PPh
pasal 22 yang dipungut oleh Bendaharawan Dinas Pertanian Kab. X adalah
Rp1.800.000, yaitu 1,5% x Rp1 20.000.000.
4. Penyetoran pajak yang telah dipotong atau dipungut dilakukan paling lambat
pada tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dengan
menggunakan SSP atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan
SSP. SSP diisi atas nama Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut serta
ditandatangani oleh Pemotong atau Pemungut Pajak.
5. SSP yang dimaksud pada nomor 4 merupakan bukti pemotongan atau
pemungutan PPh dan diberikan oleh Pemotong/Pemungut kepada Wajib Pajak
yang bersangkutan.
6. Pelaporan pajak dilakukan oleh Pemotong/Pemungut dengan menyampaikan
SPT Masa PPh ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong/Pemungut Pajak
terdaftar paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir

PAJAK PENGHASILAN BERSIFAT FINAL PASAL 15


Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan menyebutkan tentang penetapan Norma
Penghitungan Khusus guna menghitung penghasilan neto bagi Wajib Pajak tertentu
yang tidak dapat dihitung dengan ketentuan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 16
UU PPh. Penetapan norma tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan dan
ketentuan perpajakan lainnya. Pasal 16 UU PPh mengatur cara penghitungan PPh
secara umum sebagaimana dijelaskan pada Bab 3 buku ini.
Norma penghitungan khusus untuk Wajib Pajak tertentu yang dimaksud dalam
penjelasan Pasal 15 UU PPh adalah:
1. perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional;
2. perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas, dan
panas bumi; perusahaan dagang asing:
3. perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah
(build, operate, and transfer).
Pelaporan PPh Pasal 15 dalam Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 15 meliputi:
1. imbalan yang dibayarkan/terutang kepada perusahaan pelayaran dalam negeri;
2. imbalan yang diterima/diperoleh sehubungan dengan pengangkutan orang
dan/atau barang termasuk penyewaan kapal laut oleh perusahaan pelayaran
dalam negeri;
3. imbalan carter (sewa) kapal laut dan/atau pesawat udara yang
dibayarkan/terutang kepada perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar
negeri;
4. imbalan yang diterima/diperoleh sehubungan dengan pengangkutan orang
danjata barang termasuk carter (sewa) kapal laut dan/atau udara oleh
perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri;
5. imbalan carter (sewa) pesawat udara yang dibayarkan/terutang kepada
perusahaan penerbangan dalam negeri.
PPh sehubungan dengan penghasilan perusahaan pelayaran dalam negeri dan
perusahaan penerbangan dan pelayaran luar negeri bersifat final. PPh sehubungan
dengan penghasilan perusahaan penerbangan dalam negeri dikenakan berdasarkan
ketentuan perpajakan secara umum.

Pajak Penghasilan atas Imbalan yang Dibayarkan/ Terutang kepada


Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

Pajak penghasilan atas imbalan yang dibayarkan/terutang kepada perusahaan


pelayaran dalam negeri diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
416/KMK.04/1996 dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-29/PJ.4/1996.

1. Wajib Pajak dan Objek Pajak


Wajib Pajak ini adalah orang yang bertempat tinggal atau badan yang didirikan
dan berkedudukan di Indonesia yang melakukan usaha pelayaran dengan kapal
yang didaftarkan baik di Indonesia maupun di luar negeri atau dengan kapal
pihak lain. Objek Pajak ini adalah penghasilan berupa imbalan yang diterima atau
diperoleh perusahaan pelayaran dalam negeri, baik dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia, baik dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk
penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari:
a. pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia;
b. pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia;
c. pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia;
d. pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.
2. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
Tarif PPh ini adalah 1,2% (satu koma dua persen).
Dasar pengenaan pajak ini adalah peredaran bruto. Peredaran bruto merupakan
semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana diuraikan dalam objek pajak. PPh
terutang bersifat final dihitung dari tarif dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.
3. Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan
Pelunasan PPh yang terutang dilakukan sebagai berikut,
a. Jika penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau carter denga
pemotong pajak, pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib:
1) memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya
imbalan atau nilai pengganti;
2) memberikan bukti pemotongan PPh atas penghasilan perusahaan pelayaran
dalam negeri (final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh
penghasilan dengan menggunakan bukti pemotongan PPh yang tersedia;
3) menyetor PPh yang dipotong tersebut ke kas negara melalui kantor pos
atau bank persepsi selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari bulan berikutnya
setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan
SSP.
4) melaporkan pajak yang telah dipotong dan disetor ke Kantor Pelayanan
Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan
pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 15 dilampiri SSP dan Bukti Pemegang
PPh pelayaran dalam negeri (final).
b. Jika penghasilan diperoleh selain dari huruf a, Wajib Pajak perusahaan
pelayaran dalam negeri wajib:
1) menyetor PPh terutang ke kas negara melalui kantor pos atau bank
persepsi selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari bulan berikutnya setelah
bulan pembayaran atau terutangnya imbalan dengan menggunakan SSP;
2) melaporkan pajak yang disetor ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-
lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan diterima atau
diperolehnya penghasilan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh
Pasal 15 dilampiri SSP.
Wajib Pajak membayar pajak di luar negeri atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya di luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang
termasuk penyewaan kapal (PPh Pasal 24). Pajak yang dibayar di luar negeri
tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang berdasarkan untuk
masing-masing negara setinggi-tingginya 1,2% (satu koma dua persen) dari
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri tersebut.

Wajib Pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan lain. Atas


penghasilan lain tersebut dikenakan PPh berdasarkan ketentuan perpajakan
yang berlaku. PPh atas imbalan jasa angkutan orang dan/atau barang termasuk
penyewaan kapal bersifat final. Oleh karena itu, dalam pembukuan Wajib
Pajak, penghasilan dan biaya yang terjadi harus dipisahkan dari penghasilan
dan biaya lainnya.

Pajak Penghasilan atas Imbalan yang Dibayarkan/ Terutang kepada


Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri
Pajak penghasilan atas imbalan yang dibayarkan/terutang kepada perusahaan
pelayaran dan penerbangan luar negeri diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 417/ KMK.04/1996 dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor
SE-32/PJ.4/1996.
1. Wajib Pajak dan Objek Pajak
Wajib Pajak ini adalah perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan yang
berkedudukan di luar negeri dan melakukan usaha melalui Bentuk Usaha
Tetap (BUT) di Indonesia.
Objek pajak ini adalah penghasilan berupa imbalan yang diterima atau
diperoleh perusahaan pelayaran dan penerbangan luar negeri terkait
pengangkutan orang dan atau barang termasuk carter kapal laut dan/atau
udara.
2. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
Tarif PPh ini adalah 2,64% (dua koma enam puluh empat persen).
Dasar pengenaan pajak ini adalah peredaran bruto. Peredaran bruto
merupakan semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai
uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran
dan/atau penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang
yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau
dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri. Tidak termasuk
dalam penggantian atau imbalan ini adalah imbalan pengangkutan orang
dan/atau barang dari luar negeri ke pelabuhan di Indonesia.
PPh terutang bersifat final dihitung dari tarif pajak dikalikan dengan dasar
pengenaan pajak.
3. Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan
Pelunasan PPh yang terutang dilakukan sebagai berikut.
a. Penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian carter, pihak yang
membayar atau pihak yang mencarter wajib:
1) memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau
terutangnya imbalan/ nilai pengganti;
2) memberikan bukti pemotongan PPh atas penghasilan perusahaan
pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri (final) kepada pihak
yang menerima atau memperoleh penghasilan;
3) menyetor PPh yang terutang ke kas negara melalui kantor pos atau
bank persepsi selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya
setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan
menggunakan SSP;
4) melaporkan PPh yang telah dipotong dan disetor ke Kantor
Pelayanan Pajak selambat lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya
setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 15, dilampiri
dengan SSP dan bukti pemotongan PPh atas penghasilan
perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri (final).
b. Penghasilan diperoleh selain dari perjanjian carter, Wajib Pajak
perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri wajib:
1) menyetor PPh yang terutang ke kas negara melalui kantor pos atau
bank persepsi selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya
setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan
menggunakan SSP;
2) melaporkan PPh yang telah disetor tersebut ke Kantor Pelayanan
Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 setelah bulan diterima atau
diperolehnya penghasilarn, dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 15, dilampiri SSP.
Jika Wajib Pajak juga menerima atau menmperoleh penghasilan
lain, atas penghasilan lain tersebut dikenakan PPh berdasarkan
ketentuan perpajakan yang berlaku.
Pajak Penghasilan atas Imbalan yang Dibayarkan/Terutang kepada Perusahaan
Penerbangan Dalam Negeri

Pajak penghasilan atas imbalan yang dibayarkan/terutang kepada perusahaan


penerbangan dalam negeri diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
475/KMK.04/1996 dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-35/PJ.4/1996.

1. Wajib Pajak dan Objek Pajak


Wajib Pajak ini adalah perusahaan penerbangan yang berkedudukan di
Indonesia yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian carter.
Objek Pajak ini adalah penghasilan berupa imbalan yang diterima atau
Diperoleh perusahaan penerbangan dalam negeri berdasarkan perjanjian
carter.
2. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
Tarif PPh ini adalah 1,8% (satu koma delapan persen).
Dasar pengenaan pajak ini adalah peredaran bruto. Peredaran bruto merupakan
semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri dari
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke
pelabuhan lain di Indonesia dan/ atau dari pelabuhan di Indonesia ke
pelabuhan di luar negeri.
PPh terutang dihitung dari tarif dikalikan dengan dasar pengenaan pajak. PPh
yang telah dibayarkan merupakan pembayaran PPh Pasal 23 yang dapat
dikreditkan dari total PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak yang
bersangkutan.
3. Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan
Pembayaran PPh yang terutang dilakukan melalui pemotongan oleh pencarter
sepanjang pencarter adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri.
Atas pemotongan tersebut pencarter wajib:
a. memberikan bukti pemotongan PPh kepada pihak yang menerima atau
memperoleh penghasilan dengan menggunakan Bukti Pemotongan PPh
atas penghasilan yang terutang kepada perusahaan penerbangan dalam
negeri;
b. menyetor PPh yang telah dipotong ke kas negara melalui Kantor Pos atau
bank persepsi selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah
bulan pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai penggantian dengan
menggunakan SSP;
c. melaporkan PPh yang telah dipotong dan disetor ke Kantor Pelayanan
Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan
pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai pengganti dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 15.

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERSIFAT FINAL PASAL 4


AYAT (2) UU PPh
Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
meliputi:
1. penghasilan bunga deposito/tabungan yang ditempatkan di dalam negeri dan yang
ditempatkan di luar negeri, diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan jasa
giro;
2. transaksi penjualan saham pendiri dan bukan saham pendiri;
3. bunga/diskonto obligasi dan surat berharga negara;
4. hadiah undian;
5. persewaan tanah dan/atau bangunan;
6. jasa konstruksi, meliputi perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi, dan
pengawasan konstruksi;
7. Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan;
8. bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota Wajib Pajak
orang pribadi;
9. dividen yang diterima/diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
A. Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto
SBI
Pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto
sertifikat Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131
Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan nomor 51/KMK.04/2001.

1. Pengertian
Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan “deposit in call”, baik dalam
mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing (valuta asing), yang
ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank.
2. Wajib Pajak dan Objek Pajak
Wajib Pajak untuk PPh ini adalah orang pribadi atau badan dalam negeri dan
luar negeri serta bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan atas bunga
deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia.
Objek Pajak adalah PPh ini adalah penghasilan berupa bunga atas deposito
dan tabungan serta diskonto SBI. Termasuk bunga adalah bunga yang
diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar
negeri melalui bank yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia. Diskonto SBI adalah selisih antara
nilai nominal dan harga harga jual SBI yang dilakukan oleh Dana Pensiun
dan bank yang menjual kembali Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lain
yang bukan bank kepada Dana Pensiun yang pendiriannya belum disahkan
oleh Menteri Keuangan.
3. Tarif dan Dasar Pengenaan
Tarif dan dasar pengenaan PPh atas pendapatan bunga depositi dan tabungan
serta diskonto sertifikat Bank Indonesia adalah:
4. Pemotong PPh
Pemotong PPh atas bunga depositi dan tabungan serta diskonto SBI adalah :
a. Bank yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia.
b. Cabang bank luar negeri di Indonesia.
c. Bank Indonesia.
d. Dana Pensiunan dan bank yang menjual kembali Sertifikat Bank
Indonesia kepada pihak lain yang bukan bank atau kepada Dana Pensiun
yang pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan.
5. Dikecualikan dari Pemotongan PPh
Pemotongan PPh bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI tidak
dilakukan terhadap:
a. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia,
sepanjang jumlahnya tidak melebihi Rp 7.500.000 (tujuh juta lima ratus
ribu rupiah);
b. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
c. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari
sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;
d. Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun
untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun
sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk dihuni sendiri.
Ketentuan pengenaan PPh final atau bunga deposito dan tabungan serta
diskonto SBI tidak berlaku terhadap orang tpribadi subjek pajak dalam negeri
yang seluruh penghasilnya dalam 1 (satu) tahun pajak, termasuk bunga dan
diskonto, tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Orang
pribadi dengan kriteria tersebut dapat mengajukan permohonan restitusi atas
pajak yang telah dipotong PPh final ini.

B. Pajak Penghasilan atas Transaksi Saham dan Sekuritas Lainnya

Pajak penghasilan atas transaksi saham dan sekuritas lainnya diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 dan keputusan Menteri
Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997.
1. Pengertian
Saham pendiri adalah saham yang dimiliki oleh pendiri yang diperoleh
dengan harga kurang dari 90% (sembilan puluh persen) dari harga saham
pada saat penawaran umum perdana. Pendiri adalah orang pribadi atau
badan yang namanya tercatat dalam daftar pemegang saham Perseroan
Terbatas sebelum pernyataan pendaftaran yang diajukan kepada Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka penawaran umum perdana
(Initial Public Offering) menjadi efektif. Terkadang dalam pengertian
saham pendiri adalah:
a. Saham yang diperoleh pendiri dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan
setelah penawaran umum perdana,
b. Saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri.
Tidak termasuk pendiri adalah:

a. Saham yang diperoleh pendiri dari pembagian dividen dalam bentuk


saham,
b. Saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana yang
berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu (right
now), waran, obligasi, konversi, dan efek konversi lainnya,
c. Saham yang diperoleh pendiri perusahaan reksa dana.
2. Wajib Pajak dan Objek Pajak
Objek pengenaan pajak ini adalah transaksi penjualan saham di Bursa
Efek Indonesia. Subjek pajak ini adalah orang pribadi atau badan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek.
3. Tarif dan Dasar Pengenaan
Tarif dan dasar pengenaan PPh atas transaksi saham dan sekuritas lainnya
adalah:
4. Tata Cara Pelunasan
Pelunasan pajak atas transaksi penjualan saham di bursa efek dilakukan
dengan pemungutan/pemotongan oleh penyelenggara bursa efek melalui
perantara pedagang efek pada saat pelunasan transaksi penjualan saham.
Penyetoran pajak dilakukan oleh pemotong paling lambat pada tanggal 20
(dua puluh) bulan berikutnya seletah bulan terjadinya transaksi penjualan
saham. Pelaporan dilakukan paling lambat pada tanggal 25 (dua puluh
lima) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi penjualan saham.

C. Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi

Pajak penghasilan atas bunga obligasi diatur dalam Peraturan Pemerintah


Nomor 16 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintahan Nomor 100 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan
07/PMK.011/2012.

1. Pengertian
Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan. Bunga obligasi adalah imbalan yang
diterima dan/atau diperoleh pemegang obligasi dalam bentuk bunga
dan/atau diskonto.
2. Wajib Pajak dan Objek Pajak
Wajib Pajak dari PPh ini adalah orang pribadi atau badan dalam negeri dan
luar negeri serta bentuk usaha tetap yang menerima bunga obligasi
termasuk diskonto obligasi. Objek pajak ini adalah penghasilan berupa
bunga obligasi termasuk diskonto obligasi.
3. Tarif dan Dasar Pengenaan
Tarif dan dasar pengenaan PPh atas bunga obligasi adalah:
PPh terutang bersifat final dihitung sebesar tariff dikalikan dasar pengenaan
pajak
4. Pemotong PPh
Pemotong PPh atas penghasilan berupa bunga obligasi adalah:
a. Penerbit obligasi atau custodian selaku agen pembayaran yang ditujuk
atas bunga dan/atau diskonto yang diterima pemengang obligasi dengan
kupon pada saat jatuh tempo bunga obligasi; dan/atau
b. Perusahaan efek, diler, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau
pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual obligasi pada
saat transaksi.
5. Dikecualikan dari Pemotongan PPh
Pemotongan PPh atas bunga obligasi tersebut tidak berlaku apabila
penerima penghasilan bunga obligasi adalah:
a. Wajib Pajak dana pensiuun yang pendiriannya atau pembentukannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Penghasilan bunga obligasi yang diterima oleh Wajib Pajak ini tidak
dikenakan PPh.
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia.Penghasilan bunga obligasi yang diterima oleh
Wajib Pajak ini dikenai PPh umum sebagaimana diatur dalam UU PPh.
D. Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian
Pajak penghasilan atas hadiah undian diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 132 Tahun 2002 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep.
359/PJ/2001.
1. Pengertian
Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
diterima atau diperoleh melalui undian. Hadiah undian dibedakan dengan
hadiah lainnya seperti hadiah atau penghargaan perlombaan dan hadiah
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya. Hadiah atau
penghargaan perlombaan merupakan hadiah atau penghargaan yang
diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan. Hadiah
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya adalah hadiah
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diberikan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan lain yang dilakukan oleh penerima hadiah.
Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi
dalam kegiatan tertentu.
2. Wajib Pajak dan Objek Pajak
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menerima hadiah undian.
Objek Pajak adalah penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam
bentuk apa pun (dapat berupa uang, barang, atau kenikmatan, misalnya
menginap di suatu hotel berbintang). Tidak termasuk dalam pengertian hadiah
undian yang dikenakan pajak adalah 1) hadiah langsung dalam penjualan
barang/jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli/konsumen akhir tanpa
diundi; 2) hadiah yang diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat
pembelian barang/jasa.
3. Tarif dan Dasar Pengenaan
Besarnya tarif PPh ini adalah 25% (dua puluh lima persen). Dasar pengenaan
pajak adalah jumlah bruto hadiah undian.
4. Pemungutan atau Pemotong
Pemungutan PPh atas hadiah undian adalah penyelenggara undian, baik orang
pribadi atau badan, kepanitiaan, oraganisasi maupun penyelenggara dalam
bentuk apa pun yang telah mendapatkan izin dari pihak yang berwenang
termasuk pengusaha yang menjual barang/jasa yang memberikan hadiah
dengan cara diundi, misalnya bank, supermarket, toko, perusahaan, panitia
penarikan undian, dan sebagainya. Pemotong atau pemungut wajib menyetor
pajak yang telah dipotong ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya, dan melaporkannya ke Kantor
Pelayanan Pajak setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa
pajak berakhir.
E. Pajak Penghasilan atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
Pajak penghasilan atas persewaan tanah dan/atau bangunan diatur dalam
Peraturang Pemerintah Nomor 5 tahun 2002, Keputusan Menteri Keuangan
No. 120/KMK.30/2002, Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-227/PJ/2002.
1. Pengertian
Sewa atas tanah dan bangunan yang dimaksud adalah persewaan tanah
dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen,
kondominium, gedung, perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko,
gudang, dan industri.
2. Wajib Pajak dan Objek Pajak
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.
Objek Pajak ini adalah penghasilan dari persewaan tanah dan/atau
bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium,
gedung, perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, dan
industri
3. Tarif dan Dasar Pengenaan
Besarnya tarif PPh adalah 10%. Dengan pengenaan pajak adalah
jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan.PPh terutang
bersifat final dihitung sebesar tarif dikalikan dasar pengenaan pajak.
4. Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan
a. Atas penghasilan berupa sewa tanah dan bangunan yang diterima
atau diperoleh dari penyewa ng bertindak atau ditunjuk sebagai
pemotong pajak, wajib dipotong pajak oleh penyewa.
b. Apabila penyewa bukan sebagai pemotong pajak, PPh yang terutang
wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima
atau memperoleh penghasilan
Pemotong atau pemungut wajab wajib menyetorkan pajak yang
telah dipotong ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat
tanggal tanggal 10 bulan berikutnya dan wajib melaporkan kepada
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) selambat-lambatnya tanggal 20
bulan berikutnya setelah bulan dibayarkan/diserahkan hadiah
tersebut.
F. Pajak Penghasilan atas Usaha Jasa Konstruksi
Pajak penghasilan atas usaha jasa konstruksi diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah disempurnakan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan
187/PMK.03/2008.
1. Pengertian
a. Jasa kontruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan kontruksi, dan layanan jasa
konsultasi pengawas pekerjaan konstruksi.
b. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian
kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang
mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata
lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan
suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
c. Perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli dan professional di bidang perencanaan
jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk
dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
d. Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang professional di bidang pelaksanaan
jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk
mewujudukan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau
fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi, yaitu
penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan,
perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement,
and construction) serta model penggabungan perencanaan
pembangunan (design and build).
e. Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal
pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
f. Pengguna jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha
tetap yang memerlukan layanan jasa konstruksi.
g. Penyedia jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha
tetap, yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi
baik sebagai perencana kontruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas
konstruksi maupun sub-subnya.
h. Nilai kontrak jasa konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu
kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan.
2. Wajib Pajak dan Objek Pajak
Wajib Pajak adalah penyedia jasa konstruksi, yaitu orang pribadi atau badan
termasuk bentuk usaha tetap yang kegiatan usahanya menyediakan layanan
jasa konstruksi, baik sebagai perencana konstruksi, pengawas konstruksi
maupun sub-subnya. Objek pajak adalah jasa berupa jasa perencanaan
konstruksi, pelaksana konstrusi, dan pengawas konstruksi.
3. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
Tarif dan dasar pengenaan PPh atas usaha jasa konstruksi adalah:
Besarnya dasar pengenaan pajak adalah:
a. Jumlah pembayaran tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal
PPh dipotong oleh pengguna jasa;
b. Jumlah penerimaan pembayaran tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai,
dalam hal PPh disetor sendiri oleh penyedia jasa.
Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran
merupakan bagian dari nilai kontrak. Jika terdapat selisih kekurangan PPh
yang terutang berdasarkan nilai kontrak jasa konstruksi dengan PPh
berdasarkan pembayaran yang telah dipotong oleh pengguna jasa atau
disetor sendiri oleh penyedia jasa, selisih kekurangan tersebut disetor
sendiri oleh penyedia jasa.
Jika nilai kontrak jasa konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh
pengguna jasa, atas nilai kontrak bersifat final dengan syarat nilai kontrak
jasa konstruksi yang tidak dibayar tersebut dicatat sebagai piutang yang
tidak dapat ditagih. Apabila suatu ketika piutang yang tidak dapat ditagih
(dihapus) tersebut dapat ditagih kembali, maka sejumlah yang dapat ditagih
tersebut dikenakan PPh bersifat final.
PPh terutang bersifat final dihitung sebesar tariff dikalikan dasar
pengenaan pajak.
4. Pemotong, Penyetor, dan Pelaporan
Pemotong, penyetor, pelaporan PPh dilakukan:
a. PPh yang dipotong oleh pengguna jasa, disetor ke kas negara melalui
Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama
tanggal 10 bulan berikutnya setelah dilakukan pemotongan pajak.
b. PPh yang disetor sendiri oleh penyedia jasa, disetor ke kas negara melalui
Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama
tanggal 15 bulan berikutnya sete;ah penerimaan pembayaran dalam hal
pengguna jasa bukan pemotong pajak.
c. Pembayaran PPh atau penyetoran PPh dilakukan dengan menggunakan
SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP.
d. Pemotong pajak memberikan tanda bukti pemotongan kepada penyedia
jasa yang dipotong PPh setiap melalukan pemotongan.
e. Pengguna jasa atau penyedia jasa melakukan pemotongan PPh ini wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 hari setelah
bulan dilakukannya pemotngan pajak atas penerimaan pembayaran.
f. Pajak yang dibayar/terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh penyedia jasa dapat dikreditkan terhadap
pajak yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh.
g. Pengadilan lain yang diterima atau diperoleh penyedia jasa dari luar usaha
jasa konstruksi dikenakan tariff berdasarkan ketentuan Undang-Undang
PPh.

Pajak penghasilan atas pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan
1. Pengertian
Pengalihan hak atas tanah dan banguna, meliputi: penjualan, tukar-menukar,
pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah,waris, atau cara lain yang disepakati
antara para pihak yang terkait.
Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan atau bangunan beserta
perubahannya meliputi:
- pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjajian pengikatan jual beli pada
saat pertama kali ditandatangani; atau
- pihak membeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli
sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas
terjadinya perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.
2. Wajib pajak dan objek pajak
Wajib pajak PPh ini adaalah orang pribadi atau badan yang memperoleh
penghasilan dari pengalihan hak ats tanah atau bangunan dan perjanjian pengikatan
jual beli atas tanah atau bangunan
Obyek pajak PPh ini adalah penghasilan yang diperoleh/diterima orang pribadi
atas badan karena pengalihan hak atas tanah atau bangunan dan perjanjian
pengikatan jual beli atas tanah atau bangunan.
3. Tarif dan dasar pengenaan pajak
Tarif PPh pengalihan hak ats tanah atau bangunan dan perjanjian pengikatan jual
beli atsa tanah atau bangunan adalah
a. Sebesar 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah atau
bangunan pengalihan hak atas tanah atau bangunan berupa rumah
sederhana atau rumah susun sedrhana yang dilajukan oelh wajib pajak yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
b. Sebesar 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah atau
bangunan berupa rumah sakit sederhana dan rumah susun sederhana yang
dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan
hak atas tanah atau bangunan; atau
c. Sebesar 0% atas pengalihan hak atas tanah atau bangunan kepada
pemerintah, badanusaha milik negara yang mendapat penugasa khusus dari
pemerintah, atau badan usha milik daerah yang mendapat oenugasan
khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentinagn umum.

Dasar pengenaan pajak untuk PPh atas pengalihan hak atas tanah atau
bangunan adalah nilai pengalihan hak atas tanah atau bangunan, yaitu:
a. Nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang dalam hal pengalihan
kepada pemerintah;
b. Nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan
perturan lelang (Vendu Reglement Staatsblad tahun 1908 Nomor 189
beserta perubannya).
c. Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh dalam hal pengalihan hak
atas tanah atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi
hubungan istimewa, selain oengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan huruf b;
d. Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalamhal oengalihan hak
atas tanah atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak
dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b; atau
e. Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar,
dalam hal pengalihan hak atas tanag atau banguna dilaukan melalui tukar-
menukar,pelepasan hak,penyerahan hak, hinah,waris, atau cara laian yang
disepakati antara para pihak

Dasar pengenaan pajak untuk PPh atas perjanjian pengikatan jual beli atas
tanah atau bangunan adalah jumlah bruto, yaitu:
a. Nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan
tanah atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi
hubungan istimewa;atau
b. Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam dala oengalihan tanah
atau bangunan dilakukan melalui oengalihan yang dipengaruhi hubungan
istimewa
4. Pemungutan, penyetoran dan pelaporan
a. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan
adri pengalihan hak atas tanah atau banguna, wajib menyetor sendiri PPh
yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos sebelum akta, keputusan
perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang, dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP), dan pada
SSP wajib dicantumkan:
1) nama, alamat, dan NPWP pihak yang mengalihkan orang pribadi atau
badan yang bersangkutan;
2) lokasi tanah dan bangunan yang dialihkan;
3) nama pembeli.
b. Orang pribadi yang nilai pengalihan tidak melebihi Rp60.000.000, tetapi
penghasilan lainnya dalam satu tahun melebihi PTKP, penyetoran PPh final
selambat-lambatnya pada akhir tahun pajak yang bersangkutan
c. Bendahara pemerintah atau pejabat yang melakukan pembayaran ayau
pejabat yang menyutujui tukar.-menukar, memungut PPh yang terutang dan
menyetorkannya ke Bank persepsi atau kantor pos dengan menggunakan
SSP sebelum pembayaran atau tukar-menukar dilaksanakan kepada orang
pribadi atau badan
d. Orang pribadai atau badan yang melakukan pembayaran sendiri pajak
penghasilan, wajib menyampaikan surat pmberitahuan masa paling lama
tanggal 20 bulan berikutnya stelah bulan dilakukan pengalihan hak atas
tanah atau bangunan atau diterimanya pembayaran
e. Bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang
menyutujui tukar-menukar yang melakukan pemungutan pajak penghasilan
wajib menyampaikan surat pemberitahuan masa paling lama tanggal 20
bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pengalihan hak ats tanah atau
bangunan atau duterimanya pembayaran.
5. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan pajak
penghasilan
a. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah penghasilan tidak
kena pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah atau bangunan
dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000 dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. Orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah atau
bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan harus satu derajat dengan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan peraturan meneteri keuangan, sepajang hibah tersebut tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
c. Badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah atau bangunan
dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan
sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan
usaaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
peraturan menteri keuangan, sepanjang hiabah tersebut tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan;
d. Pengalihan harta berupa tanah atau bangunan karena waris
e. Badan yang melakukanpengalihan harta berupa tanah atau bangunan dalam
rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah
ditetapkan menteri keuangan untuk menggunakan nilai buku;
f. Orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa
bangunan dalam rangka melaksanakan perjnjian bangun guna serah,
bangun serah guna, atau pemanfaatan barang miliki negara berupa tanah
atau bangunan atau
g. Orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang
melakukan pengalihan harta berupa tanah atau bangunan
PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA SIMANAN YANG DIBAYARKAN
OLEH KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG PRIBADI
1. Pengertian
Penghasilan berupa bunga simpanan adalah imbalan berupa bunga simpanan yang
diterima anggota koperasi orang pribadi dari dana yang disimpan anggota koperasi
orang pribadi pada koperasi tempat orang pribadi tersebut menjadi anggota.
2. Wajib pajak dan objek pajak
Wajib pajak disini adalah orang pribadi sebagai anggota koperasi yang mempunyai
simpanan di koperasi dan memperoleh/menerika bunga atsa simpanannya. Objek
pajak disini adalh bunga simpanan yang diterima oleh anggotanya.
Tidak termasuk dalam bunga simpanan ini adalah bunga simpanan yang diterima
anggota kperasi orang pribadi yang merupakan bagian dari sisi haasil usaha. Bunga
simpanan yang jumlahnya tidak melebihi Rp240.000 dalam sebulan, dikecualikan
dari pengenaan PPh ini.
3. Tarif dan dasar pengenaan pajak
Besarnya tarif ini adalah:
a. Sebesar 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan
Rp240.000 per bulan
b. Sebesar 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bungan
simpanan lebih dari Rp240.000 perbulan.
Dasar pengenaan pajak ini adlah jumlah bruto bunga simpanan yang diterma oleh
anggota koperasi. PPh terutang bersifat final dihitung sebesar tarid dikalikan dasar
pengenaan pajak.
4. Pemotongan,penyetoran dan pelaporan
Tata cara pemotongan,penyetoran, dan pelaporan pajak ini diatur sebagai berikut.
a. Koperasi yang membayarkan bunga simpanan kepada anggotanya wajib
melakukan pemotongan PPh sesuai ketentuan yanh berlaku.
b. Koperasi sebagai pemotong pajak wajib memberikan tnda bukti
pemotongan PPh pasal 4 ayat (2) kepada wajib pajak orang pribadi yang
dipotog PPh setiap melakukan prmotongan
c. Pajak penghasilan yang telah dipotong oelh koperasi,wajib disetor ke kas
negara melalui kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh menteri keuangan,
paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah mas apajak berakhir
menggunakan SSP
d. Koperasi wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan
penyetoran pajak penghasilan paling lama 20 hari setelah masa pajak
berakhir meg=ngguunaka surat pemberitahuan masa pajak penghasilan
final pasal 4 ayat (2)
Contoh
KSP menuju sejahtera memberikan bunga 12% setahun kepada setiap anggota yang
menyimpan dananya di KSP Menuju Sejahtera. Pada tanggal 25 Maret 2016 KSP Menuju
Sejahtera membayarkan bunga simpanan koperasi kepada beberapa anggotanya. Berikut
anggota yang menerima bunga, jumlah simpanan, bunga yang diterima, pajak yang dipotong
KSP Menuju Sejahtera.
Nama
anggota Jumlah
Bunga PPh
penerima simpanan
bunga
Arin Rp10.000.000 1/12 x 12% x -
Rp10.000.000=
Rp100.000
Bima Rp20.000.000 1/12 x 12% x -
Rp20.000.000=
Rp200.000
Chica Rp30.000.000 1/12 x 12% x 10% x Rp
Rp30.000.000= 300.000 =
Rp300.000 Rp30.000
Dodi Rp40.000.000 1/12 x 12% x 10% x Rp
Rp40.000.000= 400.000 =
Rp400.000 Rp40.000

PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA OLEH WAJIB


PAJAK ORANG PRIBADI
1. Pengertian
Dividen merupakan bagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
diterima oleh pemegang saham atas kepemilikan saham dalam sebuah perseroan.
Termasuk dividen dalam hal ini adalah dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi
2. Wajib pajak dan objek pajak
Wajib pajak disini adalah orang pribadi dalam negeri yang bertindak sebagai
pemegang saham suatu perseroan, pemegang polis suatu perusahaan asuransi, dan
anggota koperasi yang menerima sisa hasil usaha. Objek pajak disini adalah
dividen sebagaimana dijelaskan pada pengertian.
3. Tarif dan dasar pengenaan pajak
Besarnya pajak penghaslan atas dividen yang diterima oelh wajib pajak orang
pribadi adalah 10%. Dasar pengenaan pajak ini adalah jumlah bruto dividen. PPh
terutang bersifat final dihitung sebesar tarif dikalikan dasar penegenaan pajak.
4. Pemotongan, penyetran, dan pelaporan
Tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak ini diatur sebagai berikut.
a. Pengenaan PPh atas dividen ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak
yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen
b. Pemotongan dilakukan pada saat dividen disediakan untuk dibayarkan
c. Pemotongan PPh wajib meberikan bukti tnada pemotongan pajak kepada
wajib ajak yang dipotong PPh setiap melakukan pemotongan
d. Pemotong PPh wajib menyetor PPh yang dipotongnya ke kas negara paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah msa pajak berakhir dengan
menggunakan SSP
e. Pemotongan PPh wjib melaporkan pajak yang sudha dipotong dan disetor
ke kantor pelayanan pajak paling lama 20 hari setelah masa pajak berkahir
dengan menggunakan surat pemberitahauan mas pajak penghasilan final
pasl 4 ayat (2).
Contoh
PT Perdana membagikan dividen kepada para para pemegang saham
diantaranya kepada Nurindah yang memiliki saham sebanyak 100.000 lembar
dari total saham beredar sebayak 400.000 lembar. Divivden tunai yang dibagi
adalah Rp 1000 perlembar saham. PPh yang dipotong oleh PT perdana adalah:
10% x 100.000x Rp 1.000 = Rp 10.000.000

SURAT PEMBERITAHUAN MASA DAN BUKTI PEMOTONGAN


Bank Perdana yang beralamat di Jl. Pahlawan No. 51,NPWP 01.633.445.1.542.000
merupakan pemotong pajak penghasilan. Pada bulan Oktober 2016 melakukan
pemotongan PPh pasal 4 ayat (2) atas pembayaran imbalan sebagai berikut.
07 Oktober : membayar bunga deposito kepada Akbar yang beralamat di Jl.Lojajar
C-28 Yogyakarta, NPWP 04.009.990.3.542.000 nominal deposito
Rp100.000.000 bunga 6% setahun.
17 oktober : menyerahkan hadiah undian senilai Rp200.000.000 kepada amelia,
yang beralamat di Jl. Magelang No 542 Yogyakarta.
24 oktober : membayar imbalan atas jasa perencanan konstruksi senilai
Rp50.000.000 kepada PT bagun yang beralamat di Jl.Gejayan No. 36
Yogyakarta, NPWP 01.221.112.3.542.000
30 Oktober : membayar dividen kepada Vinvina Noveria sebesar Rp 15.000.000,
Vinvina beralamat di Jalan Sukarno No 27 Semarang, NPWP
04.133.445.1.504.000
Diminta:
1. Hitunglah PPh yang dipotong oleh bank perdana pada saat membayarkan dividen !
2. Buatlah bukti potong atas seluruh pembayaran tersebut!
3. Setorkan pajak yang telah dipotong dengan menggunakan SSP!
4. Buatlah surat pemberitahuan masa PPh Pasal 4 ayat (2)!

Penyelesaian:
Besarnya PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Bank Perdana adalah:
Wajib Dasar pengenaan pajak Tarif pajak PPh yang
pajak dipotong
Akbar 6% x Rp 100 juta x 1/12 = Rp 500.000 20% Rp. 50.000
Amelia Rp200.000.000 25% Rp. 50.000.000
PT Rp 50.000.000 4% Rp. 2.000.000
Bangun
Vinvina Rp 15.000.000 10% Rp. 1.500.000
Noveria
Total Rp265.000.000 Rp. 53.600.000

Daftar Pustaka
Resmi,Siti. 2019. Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai