Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena penulis telah
berhasil menyelesaikan Tugas Makalah Pemutusan Hubungan Kerja dengan baik.
Suhubungan untuk mata kuliah Hukum ketenagakerjaan, bahwa makalah ini akan menjadi
penambah nilai untuk ujian UTS pada tanggal 06 November 2014. Disamping untuk
penambah nilai UTS, hal itu juga  dilaksanakan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa
mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam
sebuah perusahaan dan memperluas serta memperdalam pengetahuan.

Semoga makalah ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan kepada
pembaca pada umumnya. Dan penulis mohon maaf bila ada kekurangan dan kesalahan dalam
pembuatan makalah ini serta penulis harapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Medan, 04 November 2014

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................1

DAFTAR ISI........................................................................................................................2

BAB. I...................................................................................................................................3

PENDAHULUAN................................................................................................................3
1.1. LATAR BELAKANG.......................................................................................................3
1.2. RUMUSAN MASALAH...................................................................................................3
1.3. MAKSUD DAN TUJUAN................................................................................................3

BAB II...................................................................................................................................5

PEMBAHASAN...................................................................................................................5
2.1. PENGERTIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA  (PHK)........................................5
2.1.1. Pengadilan Hubungan Industrial................................................................................5
2.2. JENIS - JENIS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA.....................................................6
2.2.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pada Kondisi Normal (Sukarela)..................................6
2.2.2. Pemutusan Hubungan kerja Pada Kondisi Tidak Normal (Tidak Sukarela)...............7
2.3. MEKANISME DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA 9
2.3.1        Mekanisme Pemutusan Hubungan kerja...................................................................9
2.3.2    Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja......................................................................9
2.4. PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA.................10
2.4.1. Perundingan Bipartit................................................................................................10
2.4.2. Perundingan Tripartit...............................................................................................10
2.4.3. Kasasi (Mahkamah Agung)......................................................................................11
2.5. KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA..................................................11

BAB III...............................................................................................................................13

PENUTUP..........................................................................................................................13
3.1. KESIMPULAN................................................................................................................13
3.2. SARAN............................................................................................................................13

DAFTAR  PUSTAKA.......................................................................................................14
BAB. I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Pada Tahun 1998 Indonesia mengalami masa yang sangat sulit karena pada saat itu
terjadi krisis moneter yang berimbas pada dunia industri. Hal ini membuat beberapa badan
usaha milik swasta maupun pemerintah melakukan Pemutusan Hubungan kerja atau yang
sering disebut dengan PHK. Langkah ini terpaksa dilakukan karena salah satu alasannya
adalah perusahaan mengalami kerugian yang tidak sedikit, sementara perusahaan mempunyai
kewajiban untuk memberikan upah kepada pegawainya.

Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang lalu
merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja. Hal
ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut
marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang harus gulung
tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan
sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu itu
selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya diberhentikan dari
pekerjaan yang menjadi penopang hidup keluarganya.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Dalam tugas ini, saya yang membahas mengenai masalah Pemutusan Hubungan
Kerja, didapatkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam analisis permasalahan.
Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Apa Definisi dari Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ?
2. Jelaskan Jenis-jenis Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ?
3. Jelaskan Mekanisme dan Penyelesaian Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ?
4. Bagaimana bentuk Penyelesaian Kompensasi PHK ?

1.3. MAKSUD DAN TUJUAN


Adapun maksud dan tujuan dibuatnya makalah yang membahas tentang pemutusan
hubungan kerja ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui dengan jelas definisi dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
2. Mengetahui Jenis-jenis dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
3. Mengetahui Mekanisme pemberian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada karyawan
dan cara penyelesaian perselisihan yang akan timbul setelah Pemutusan Hubungan Kerja
dilakukan.
4. Mengetahui Bentuk dari pemberian Kompensasi kepada karyawan yang akan
mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA  (PHK)


PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan. Apabila kita
mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak perusahaan
karena kesalahan karyawan. Karenanya, selama ini singkatan PHK memiliki konotasi negatif.
Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang diambil dari UU No. 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan, dijelaskan Pemutusan Hubungan kerja dapat terjadi karena bermacam
sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian dipecat.
Tergantung alasannya, Pemutusan Hubungan kerja mungkin membutuhkan penetapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski
begitu, dalam praktek tidak semua Pemutusan Hubungan kerja yang butuh penetapan
dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan,
Pemutusan Hubungan kerja tidak berujung sengketa hukum, atau karena karyawan tidak
mengetahui hak mereka.

2.1.1. Pengadilan Hubungan Industrial


Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap
ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas
pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk
perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, serta menerima permohonan dan melakukan
eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain mengadili Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya: Perselisihan yang timbul akibat adanya
perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan.
Sebelum Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada 2006, perselisihan hubungan
Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) serta Pengadilan
Tata Usaha Negara.
2.2. JENIS - JENIS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

2.2.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pada Kondisi Normal (Sukarela)


Dalam kondisi normal, pemutusan hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu
keadaan yang sangat membahagiakan. Setelah menjalankan tugas dan melakukan peran
sesuai dengan tuntutan perusahaan, dan pengabdian kepada perusahaan maka tiba saatnya
seseorang untuk memperoleh penghargaan yang tinggi atas jerih payah dan usahanya
tersebut.

Akan tetapi hal ini tidak terpisah dari bagaimana pengalaman bekerja dan tingkat
kepuasan kerja seseorang selama memainkan peran yang dipercayakan kepadanya. Ketika
seseorang mengalami kepuasan yang tinggi pada pekerjaannya, maka masa pensiun ini harus
dinilai positif, artinya ia harus ikhlas melepaskan segala atribut dan kebanggaan yang
disandangnya selama melaksanakan tugas, dan bersiap untuk memasuki masa kehidupan
yang tanpa peran.

Kondisi yang demikian memungkinkan pula munculnya perasaan sayang untuk


melepaskan jabatan yang telah digelutinya hampir lebih separuh hidupnya. Ketika seseorang
mengalami peran dan perlakuan yang tidak nyaman, tidak memuaskan selama masa
pengabdiannya, maka ia akan berharap segera untuk melepaskan dan meninggalkan
pekerjaan yang digelutinya dengan susah payah selama ini. Orang ini akan memasuki masa
pensiun dengan perasaan yang sedikit lega, terlepas dari himpitan yang dirasakannya selama
ini.
Selain itu ada juga karyawan yang mengundurkan diri. Karyawan dapat mengajukan
pengunduran diri kepada perusahaan secara tertulis tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat
berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan
alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri, karyawan harus memenuhi syarat :
(a) Mengajukan permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya,
(b) Tidak ada ikatan dinas,
(c) Tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.
Undang-undang melarang perusahaan memaksa karyawannya untuk mengundurkan
diri. Namun dalam prakteknya, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak perusahaan.
Kadang kala, pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik
bagi karyawan maupun perusahaan. Di satu sisi, reputasi karyawan tetap terjaga. Di sisi lain
perusahaan tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila perusahaan harus
melakukan Pemutusan Hubungan kerja tanpa ada persetujuan karyawan. Perusahaan dan
karyawan juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.

Karyawan yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi seperti
sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan perawatan, dll sesuai Pasal
156 (4). Karyawan mungkin mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk
biaya perumahan terdapat silang pendapat antara karyawan dan perusahaan, terkait apakah
karyawan yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan penghargaan
masa kerja.

2.2.2. Pemutusan Hubungan kerja Pada Kondisi Tidak Normal (Tidak Sukarela)
Perkembangan suatu perusahaan ditentukan oleh lingkungan dimana perusahaan
beroperasi dan memperoleh dukungan agar dirinya tetap dapat survive (Robbins, 1984).
Tuntutan yang berasal dari dalam (inside stakeholder) maupun tuntutan dari luar (outside
stakeholder) dapat memaksa perusahaan melakukan perubahan-perubahan, termasuk di dalam
penggunaan tenaga kerja. Dampak dari perubahan komposisi sumber daya manusia ini antara
lain ialah pemutusan hubungan kerja. Pada dewasa ini tuntutan lebih banyak berasal dari
kondisi ekonomi dan politik global, perubahan nilai tukar uang yang pada gilirannya
mempersulit pemasaran suatu produk di luar negeri, dan berimbas pada kemampuan menjual
barang yang sudah jadi, sehingga mengancam proses produksi. Kondisi yang demikian akan
mempersulit suatu perusahaan mempertahankan kelangsungan pekerjaan bagi karyawan yang
bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini berdampak pada semakin seringnya terjadi kasus
pemutusan hubungan kerja.
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat
memberikan beberapa pengertian, yaitu :
1. Termination: yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak
kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat kesepakatan
antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus meninggalkan pekerjaannya.
2. Dismissal: yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan Tindakan
pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya : karyawan melakukan kesalahan-
kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika, madat, melakukan
tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja milik pabrik.
3. Redundancy, yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan
pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti :
penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat yang
cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja.
Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
4. Retrenchment, yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah
ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga perusahaan tidak mampu
untuk memberikan upah kepada karyawannya.
Flippo (1981) membedakan pemutusan hubungan kerja di luar konteks pensiun
menjadi 3 kategori, yaitu :
1. Layoff, keputusan ini akan menjadi kenyataan ketika seorang karyawan yang benar-benar
memiliki kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan karena perusahaan tidak
lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
2. Outplacement, ialah kegiatan pemutusan hubungan kerja disebabkan perusahaan ingin
mengurangi banyak tenaga kerja, baik tenaga profesional, manajerial, maupun tenaga
pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan melakukan kebijakan ini untuk mengurangi
karyawan yang performansinya tidak memuaskan, orang-orang yang tingkat upahnya telah
melampaui batas-batas yang dimungkinkan, dan orang-orang yang dianggap kurang
memiliki kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang memiliki kemampuan yang
dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. Dasar dari kegiatan ini ialah
kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja yang skillnya masih dapat dijual
kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan pasar terhadap keahlian atau skill ini
masih tersembunyi.
3. Discharge, kegiatan ini merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan paling tidak
nyaman di antara beberapa metode pemutusan hubungan kerja yang ada. Kegiatan ini
dilakukan berdasar pada kenyataan bahwa karyawan kurang mempunyai sikap dan
perilaku kerja yang memuaskan.
Karyawan yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja ini kemungkinan besar
akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau perusahaan lain.
Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya masalah pemutusan hubungan kerja,
penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak.
Baik penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan perilaku karyawan yang tidak
memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak manajemen yang seharusnya dengan
keahliannya dan kewenangan yang diserahkan kepadanya diharapkan mampu
mengembangkan perusahaan, walau dalam kenyataannya menimbulkan kesulitan-kesulitan
bagi perusahaan, dan harus mengambil keputusan untuk efisiensi tenaga kerja.
2.3. MEKANISME DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA

2.3.1        Mekanisme Pemutusan Hubungan kerja


Karyawan, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk
menghindari Pemutusan Hubungan kerja. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha
karyawan/serikatnya, Pemutusan Hubungan kerja hanya dapat dilakukan oleh pengusaha
setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(LPPHI).

Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, Pemutusan
Hubungan kerja harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan
Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut adalah :
1. Karyawan masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara
tertulis sebelumnya.
2. Karyawan mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri
tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan
kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.
3. Karyawan mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.
4. Karyawan meninggal dunia.
5. Karyawan ditahan.
6. Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan karyawan melakukan
permohonan Pemutusan Hubungan kerja.
7. Selama belum ada penetapan dari LPPHI, karyawan dan pengusaha harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat
melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak karyawan.  

2.3.2    Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja


Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja termasuk kategori perselisihan hubungan
industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
karyawan. Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja timbul karena tidak adanya kesesuaian
pendapat antara karyawan dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan salah satu pihak. Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja antara lain mengenai sah
atau tidaknya alasan Pemutusan Hubungan kerja, dan besaran kompensasi atas Pemutusan
Hubungan kerja.
2.4. PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

2.4.1. Perundingan Bipartit


Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan
karyawan atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan
dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan.

Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi risalah
diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak
membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini
didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan.
Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah
satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi.
Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka karyawan dan pengusaha mungkin harus
menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.

2.4.2. Perundingan Tripartit


Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh
para pihak:

1. Mediasi
Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian
menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta
kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta
perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan,
mediator akan mengeluarkan anjuran.
2. Konsiliasi
Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti
mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar
keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa
anjuran.
3. Arbitrase
Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat,
putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak
putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya
kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.

2.4.3. Kasasi (Mahkamah Agung)


Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja dapat
langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah
Agung, untuk diputus.

2.5. KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA


Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak
(UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan
dan masa kerjanya.
Perhitungan Uang Pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :

Masa Kerja Uang Pesangon


 Masa kerja kurang dari 1 tahun,          1 bulan upah.
 Masa kerja 1 - 2 tahun,                        2 bulan upah.
 Masa kerja 2 - 3 tahun,                        3 bulan upah.
 Masa kerja 3 - 4 tahun,                        4 bulan upah.
 Masa kerja 4 - 5 tahun,                        5 bulan upah.
 Masa kerja 5 - 6 tahun,                        6 bulan upah.
 Masa kerja 6 - 7 tahun,                        7 bulan upah.
 Masa kerja 7 – 8 tahun,                       8 bulan upah.
 Masa kerja 8 tahun atau lebih,             9 bulan upah.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut :


Masa Kerja UPMK
 Masa kerja 3 - 6 tahun             2 bulan upah.
 Masa kerja 6 - 9 tahun             3 bulan upah.
 Masa kerja 9 - 12 tahun           4 bulan upah.
 Masa kerja 12 - 15 tahun         5 bulan upah.
 Masa kerja 15 - 18 tahun         6 bulan upah.
 Masa kerja 18 - 21 tahun         7 bulan upah.
 Masa kerja 21 - 24 tahun         8 bulan upah.
 Masa kerja 24 tahun lebih       10 bulan upah.

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi :


 Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
 Biaya atau ongkos pulang untuk karyawan/buruh dan keluarganya ketempat dimana
karyawan/buruh diterima bekerja.
 Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
 Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Pemutusan Hubungan kerja sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada
kondisi tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan.
Dunia industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa
berusaha menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan
yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan pabriknya ke Negara
lain.

Keadaan ini tentu saja berdampak Pemutusan Hubungan kerja pada karyawan di negara
yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada dewasa ini, merupakan
jawaban atas penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara
struktur organisasi, maka terjadi penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan
efisiensi harus dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja
terjadi pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga Pemutusan Hubungan kerja masih belum
dapat dihindarkan.

Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang dilakukan
oleh para manajer terus digulirkan, maka Pemutusan Hubungan kerja masih merupakan
fenomena yang sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan
kerja dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan
karyawan).

3.2. SARAN
Adapun saran yang dapat saya berikan dalam makalah ini adalah, hendaknya dalam
melakukan Pemutusan hubungan kerja harus sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang berlaku di Indonesia agar tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
DAFTAR  PUSTAKA

1.     Flippo, E.B., 1984. Personnel Management. 5th edition. Sydney: McGrawHill
International Book Company.

2.     Manulang, S. H. 1988. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.


Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

3.     Kumara, A., Utami, M.S., Rosyid, H.F., 2003. Strategi Mengoptimalkan Diri,
Balai Pustaka, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai