Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetri
berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi
korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas
perinatal dan menyebabkan infeksi ibu.
Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan.
Dalam keadaan normal 8-10 % perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban
pecah dini.Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1 % kehamilan
(Prawirohardjo., 2009).
Kejadian  ketuban pecah dini  dapat menimbulkan beberapa masalah bagi
ibu maupun janin, misalnya pada ibu dapat menyebabkan infeksi
puerperalis/masa nifas,  dry labour/partus lama, dapat pula menimbulkan
perdarahan post partum, morbiditas dan mortalitas maternal, bahkan kematian
(Cunningham,  2005).
Etiologi pada sebagian besar kasus tidak diketahui. Penelitian menunjukkan
infeksi sebagai penyebabnya. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kondisi
sosial ekonomi rendah yang berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan
antenatal, penyakit menular seksual, misalnya disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis dan Neischeria gonorrhea.
Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi,
adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.
Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera bersikap aktif
terutama pada kehamilan yang cukup bulan atau harus menunggu sampai
terjadinya proses persalinan sehingga masa tunggu akan memanjang, yang
berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Sikap

1
konservatif ini sebaiknyadilakukan pada KPD kehamilan kurang bulan dengan
harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan janin yang cukup.
Oleh sebab itu, asuhan kebidanan yang tepat sangat diperlukan agar
penanganan KPD dapat sesuai dengan keadaan yang ada dan memperkecil resiko
terjadinya komplikasi. 

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mendiskripsikan asuhan kebidanan pada ibu bersalin dengan KPD
(Ketuban Pecah Dini) menggunakan pola pikir ilmiah melalui pendekatan
manajemen kebidanan menurut Varney serta mendokumentasikan asuhan
kebidanan menggunakan catatan SOAP.
2. Tujuan Khusus
a. Mendiskripsikan konsep dasar teori KPD
b. Mendiskripsikan konsep dasar manajemen asuhan kebidanan pada ibu
bersalin dengan KPD menggunakan pendekatan manajemen kebidanan
menurut varney
c. Melakukan asuhan kebidanan pada ibu bersalin dengan KPD
1. Melakukan pengkajian data subyektif dan data obyektif
2. Menginterpretasikan data dasar
3. Mengidentifikasi diagnosis atau masalah potensial
4. Mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera
5. Memberikan intervensi asuhan yang menyeluruh
6. Memberikan implementasi yang sesuai dengan rencana asuhan yang
telahdisusun
7. Melakukan evaluasi tentang keberhasilan dan keefektifan asuhan
kebidanan yang telah dilakukan

2
d. Mendokumentasikan asuhan kebidanan pada ibu bersalin dengan KPD
menggunakan catatan SOAP

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Teori KPD(Ketuban Pecah Dini)


1. Pengertian
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu
maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur (Sarwono, 2008).
Menurut Manuaba (2008) Ketuban pecah dini atau premature rupture
of the membranes (PROM) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum adanya
tanda-tanda persalinan.Sebagian besar ketuban pecah dini terjadi diatas 37
minggu kehamilan, sedangkan dibawah 36 minggu tidak terlalu banyak.
Ketuban pacah dini atau sponkaneous/ early/ premature rupture of the
membrane (PROM) adalah pecahnya ketuban sebelum partus : yaitu bila
pembukaan pada primigravida kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang
dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm (Mochtar, 2011)
KPD ( Ketuban Pecah Dini ) adalah pecah nya ketuban sebelum
terdapat tanda persalinan mulai dan di tunggu satu jam belum terjadi inpartu
sebagian besar KPD adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan
dibawah 36 minggu tidak terlalu banyak ( Ida Bagus, 2001 )

             Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan
satu jam atau lebih sebelum terjadi tanda-tanda persalinan. (Arief Mansjoer,
1999)
2. Etiologi KPD(Ketuban Pecah Dini)
Meskipun banyak publikasi tentang ketuban pecah dini (KPD), namun
penyebabnya secara langsung masih belum diketahui dan tidak dapat
ditentukan secara pasti.Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang
berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun faktor-faktor yang lebih

4
berperan sulit diketahui (Sualman, 2009). Faktor-faktor predisposisi itu antara
lain adalah:
a. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis).
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana
korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.Korioamnionitis
merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat
berlanjut menjadi sepsis (Sarwono, 2008).
Membran khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan
ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat
rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik
(Sualman, 2009).
Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan
amnionitis.Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus
epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban
pada kehamilan preterm.Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator
inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus.Hal ini menyebabkan adanya
perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban (Sualman,
2009).
Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk
melahirkan janin sebaiknya pervaginam.Sayangnya, satu-satunya indikator
yang andal untuk menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh
38ºC atau lebih, air ketuban yang keruh dan berbau yang menyertai pecah
ketuban yang menandakan infeksi (Cunningham, 2006).
b. Infeksi genitalia.
Meskipun chlamydia trachomatis adalah patogen bakteri paling umum
yang ditularkan lewat hubungan seksual, tetapi kemungkinan pengaruh infeksi
serviks oleh organisme ini pada ketuban pecah dini dan kelahiran preterm
belum jelas. Pada wanita yang mengalami infeksi ini banyak mengalami
keputihan saat hamil juga mengalami ketuban pecah dini kurang dari satu jam

5
sebelum persalinan dan mengakibatkan berat badan lahir rendah
(Cunningham, 2006).
Seorang wanita lebih rentan mengalami keputihan pada saat hamil
karena pada saat hamil terjadi perubahan hormonal yang salah satu
dampaknya adalah peningkatan jumlah produksi cairan dan penurunan
keasaman vagina serta terjadi pula perubahan pada kondisi
pencernaan.Keputihan dalam kehamilan sering dianggap sebagai hal yang
biasa dan sering luput dari perhatian ibu maupun petugas kesehatan yang
melakukan pemeriksaan kehamilan.Meskipun tidak semua keputihan
disebabkan oleh infeksi, beberapa keputihan dalam kehamilan dapat
berbahaya karena dapat menyebabkan persalinan kurang bulan (prematuritas),
ketuban pecah sebelum waktunya atau bayi lahir dengan berat badan rendah
(< 2500 gram). Sebagian wanita hamil tidak mengeluhkan keputihannya
karena tidak merasa terganggu padahal keputihanya dapat membahayakan
kehamilannya, sementara wanita hamil lain mengeluhkan gejala gatal yang
sangat, cairan berbau namun tidak berbahaya bagi hasil persalinannya. Dari
berbagai macam keputihan yang dapat terjadi selama kehamilan, yang paling
sering adalah kandidiosis vaginalis, vaginosisbakterial dan trikomoniasi.
(Sualman, 2009).
Dari NICHD Maternal-fetal Medicine Units network Preterm
prediction Study melaporkan bahwa infeksi klamidia genitourinaria pada usia
gestasi 24 minggu yang dideteksi berkaitan dengan peningkatan kejadian
ketuban pecah dini dan kelahiran preterm spontan sebesar dua kali lipat
setelah terinfeksi bakteri ini (Cunningham, 2006).

6
Infeksi akut yang sering menyerang daerah genital ini termasuk herpes
simpleks dan infeksi saluran kemih (ISK) yang merupakan infeksi paling
umum yang mengenai ibu hamil dan sering menjadi faktor penyebab pada
kelahiran preterm dan bayi berat badan rendah. Pecah ketuban sebelum
persalinan pada preterm dapat berhubungan dengan infeksi maternal.Sekitar
30% persalinan preterm disebabkan oleh infeksi dan mendapat komplikasi
dari infeksi tersebut (Chapman, 2006).
Pada kehamilan akan terjadi peningkatan pengeluaran cairan vagina
dari pada biasanya yang disebabkan adanya perubahan hormonal, maupun
reaksi alergi terhadap zat tertentu seperti karet kondom, sabun, cairan
pembersih vagina dan bahan pakaian dalam. Keputihan pada kehamilan juga
dapat terjadi akibat adanya pertumbuhan berlebihan sel-sel jamur yang dapat
menimbulkan infeksi didaerah genital. Keputihan akibat infeksi yang terjadi
pada masa kehamilan akan meningkatkan resiko persalinan prematur dan
ketuban pecah dan janinnya juga mengalami infeksi (Ocviyanti, 2010).
c. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia).
Didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk
mempertahankan kehamilan.Inkompetensi serviks sering menyebabkan
kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan
dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian
besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi,
produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi
kehamilan atau laserasi obstetrik (Sarwono, 2008).
Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis dan
membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga
kehamilan.Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan
perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika
diperiksa serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan
inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan

7
berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis
inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya
terjadi, yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa
disertai awitan persalinan dan pelahiran (Verney, 2006).
Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran pada
usia kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi serviks
menyusul pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar, adanya
pembukaan serviks berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada
kehamilan sebelumnya, ibu berulang kali mengalami abortus elektif pada
trimester pertama atau kedua, atau sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah
besar jaringan serviks (conization) (Verney, 2006).
Apabila seorang wanita mempunyai riwayat keguguran pada trimester
kedua atau pada awal trimester ketiga, konsultasi dengan dokter mutlak
diperlukan. Jika seorang wanita datang ketika sudah terjadi penipisan serviks,
pembukaan, tekanan panggul, atau perdarahan pervaginam yang sebabnya
tidak diketahui, maka ia perlu segera mendapat penatalaksanaan medis.
d. Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini.
Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari
frekuensi yang lebih dari 3 kali seminggu, posisi koitus yaitu suami diatas dan
penetrasi penis yang sangat dalam sebesar 37,50% memicu terjadinya ketuban
pecah dini, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat menyebabkan
terjadinya ketuban pecah dini karena biasanya disertai infeksi. Kelainan letak
janin misalnya letak lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang
menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap
membran bagian bawah (Sualman, 2009).
Frekuensi koitus pada trimester ketiga kehamilan yang lebih dari tiga
kali seminggu diyakini berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, hal ini
berkaitan dengan kondisi orgasme yang memicu kontraksi rahim, namun
kontraksi ini berbeda dengan kontraksi yang dirasakan menjelang

8
persalinan.Selain itu, paparan terhadaap hormon prostaglandin didalam semen
(cairan sperma) juga memicu kontraksi yang walaupun tidak berbahaya bagi
kehamilan normal, tetapi harus tetap diwaspadai jika memiliki resiko
melahirkan prematur.Oleh sebab itu, Seno, (2008) menjelaskan bahwa pada
kehamilan tua untuk mengurangi resiko kelahiran preterm maupun ketuban
pecah adalah dengan mengurangi frekwensi hubungan seksual atau dalam
keadaan betul-betul diperlukan wanita tidak orgasme meski menyiksa.Tapi
jika tetap memilih koitus, keluarkanlah sperma diluar dan hindari penetrasi
penis yang terlalu dalam serta pilihlah posisi berhubungan yang aman agar
tidak menimbulkan penekanan pada perut ataupun dinding rahim.
Mengurangi frekwensi koitus yang sejalan dengan meminimalkan
orgasme selain dapat mengurangi terjadinya ketuban pecah dini, dapat pula
mengurangi penekanan pembuluh darah tali pusat yang membawa oksigen
untuk janin, sebab penekanan yang berkepanjangan oleh karena kontraksi
pada pembuluh darah uri dapat menyebabkan gawat janin akibat kurangnya
supply oksigen ke janin.
e. Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara.
Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin
mencapai titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang mengalami ketuban
pecah dini berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil,
gangguan fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan
(Cunninghan, 2006).
Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami ketuban
pecah dini pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau
dekat, diyakini lebih beresiko akan mengalami ketuban pecah dini pada
kehamilan berikutnya (Cunningham,2006).
Meski bukan faktor tunggal penyebab ketuban pecah dini namun
faktor ini juga diyakini berpengaruh terhadap terjadinya ketuban pecah dini.
Yang didukung satu dan lain hal pada wanita hamil tersebut, seperti

9
keputihan, stress (beban psikologis) saat hamil dan hal lain yang memperberat
kondisi ibu dan menyebabkan ketuban pecah dini (Cunningham,2006).
f. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami
ketuban pecah dini kembali.
Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah akibat
adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu
terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada
pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada
kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita
yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya
kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami ketuban pecah
dini sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan
kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya
(Cunningham, 2006).
g. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi
uterus) misalnya hidramnion dan gemeli.
Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering terjadi pelahiran
preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban
pecah dini (Cunningham, 2006).
Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami ketuban
pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh peningkatan
massa plasenta dan produksi hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu
jika ibu dan keluarga dilibatkan dalam mengamati gejala yang berhubungan
dengan preeklamsi dan tanda-tanda ketuban pecah (Varney, 2006).
h. Usia ibu yang ≤ 20 tahun.
Termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan uterus yang kurang
matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami ketuban pecah dini.
Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang terlalu tua untuk

10
melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi mengalami
ketuban pecah dini.
Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses kehamilan
pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan. World Health
Organisation (WHO) memberikan rekomendasi sebagaimana disampaikan
Seno (2008) seorang ahli kebidanan dan kandungan dari RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Sampai sekarang, rekomendasi WHO untuk usia yang
dianggap paling aman menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga
30 tahun. Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan
masalah karena kondisi fisik belum 100% siap.
3. Patofisiologi
Menurut Mochtar (1998), mekanisme terjadinya ketuban pecah dapat
berlangsung sebagai berikut :
1.    Ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan
vaskularisasi sehingga dapat menyebabkan ketegangan rahim
2.    Bila terjadi serviks inkompeten, maka selaput ketuban sangat lemah dan
mudah pecah dan mengeluarkan air ketuban
3.    Infeksi yang menyebabkan terjadinya proses biomekanik pada selaput
ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah

4.    Kelainan bawaan selaput ketuban dimana selaput ketuban terlalu tipis
sehingga mudah pecah
Patofisiologi KPD menurut Wiknjosastro (2000) yaitu KPD terjadi
karena adanya kelainan pada amnion dan juga bisa pada selaput janin.
Kelainan pada hidramnion jumlahnya bisa mencapai 2000 cc atau lebih.
Karena volume berlebihan maka tekanan akan lebih besar. Hal ini akan lebih
memudahkan selaput janin mengalami kerusakan akibat dari selaput janin
yang jelek.

11
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang selalu ada ketika terjadi ketuban pecah dini
adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina, cairan vagina
berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih
merembes atau menetes, disertai dengan demam/menggigil, juga nyeri pada
perut, keadaan seperti ini dicurigai mengalami amnionitis (Saifuddin, 2002).
Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi
sampai kelahiran. Tetapi bila ibu duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah
terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk
sementara (Ayurai, 2010).
Ada pula tanda dan gejala yang tidak selalu ada (kadang-kadang)
timbul pada ketuban pecah dini seperti ketuban pecah secara tiba-tiba,
kemudian cairan tampak diintroitus dan tidak adanya his dalam satu jam.
Keadaan lain seperti nyeri uterus, denyut jantung janin yang semakin cepat
serta perdarahan pervaginam sedikit tidak selalu dialami ibu dengan kasus
ketuban pecah dini. Namun, harus tetap diwaspadai untuk mengurangi
terjadinya komplikasi pada ibu maupun janin (Saifuddin, 2002).
Kadang – kadang agak sulit atau meragukan kita apakah ketuban benar
sudah pecah atau belum apabila pembukaan kanalis servikalis belum ada atau
kecil. Menurut Mochtar (1998) cara menentukannya sebagai berikut :
1.    Adanya cairan berisi mekonium, verniks caseosa, rambut lanugo
2.    Adanya cairan ketuban dari vagina
3.    Perubahan warna kertas lakmus dari merah menjadi biru
4.    Cairan berbau khas, tidak seperti bau urin
5. Diagnosis KPD(Ketuban Pecah Dini)
Menegakkan diagnosis KPD secara tepat sangat penting, karena
diagnosis yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan
bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada
indikasinya. Sebaliknya diagnosis yang negatif palsu berarti akan membiarkan

12
ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan
janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu, diperlukan diagnosis yang cepat
dan tepat. Diagnosis KPD ditegakkan dengan cara :
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesa pasien dengan KPD merasa basah pada vagina atau
mengeluarkan cairan yang banyak berwarna putih jernih, keruh, hijau, atau
kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak, secara tiba-tiba dari jalan
lahir.Keluhan tersebut dapat disertai dengan demam jika sudah ada
infeksi.Pasien tidak sedang dalam masa persalinan, tidak ada nyeri maupun
kontraksi uterus.Riwayat umur kehamilan pasien lebih dari 20 minggu.
Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan uterus lunak dan tidak
adanya nyeri tekan.Tinggi fundus harus diukur dan dibandingkan dengan
tinggi yang diharapkan menurut hari pertama haid terakhir.Palpasi abdomen
memberikan perkiraan ukuran janin dan presentasi.
b. Pemeriksaan dengan spekulum
Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD untuk mengambil sampel
cairan ketuban di forniks posterior dan mengambil sampel cairan untuk kultur
dan pemeriksaan bakteriologis.
Tiga tanda penting yang berkaitan dengan ketuban pecah dini adalah :
1. Pooling : Kumpulan cairan amnion pada fornix posterior.
2. Nitrazine Test : Kertas nitrazin merah akan jadi biru.
3. Ferning : Cairan dari fornix posterior di tempatkan pada objek glass
dan didiamkan dan cairan amnion tersebut akan memberikan gambaran seperti
daun pakis.
Pemeriksaan spekulum pertama kali dilakukan untuk memeriksa
adanya cairan amnion dalam vagina.Perhatikan apakah memang air ketuban
keluar dari ostium uteri eksternum apakah ada bagian selaput ketuban yang
sudah pecah.Gunakan kertas lakmus.Bila menjadi biru (basa) adalah air
ketuban, bila merah adalah urin.Karena cairan alkali amnion mengubah pH

13
asam normal vagina.Kertas nitrazine menjadi biru bila terdapat cairan alkali
amnion. Bila diagnosa tidak pasti, adanya lanugo atau bentuk kristal daun
pakis cairan amnion kering (ferning) dapat membantu. Bila kehamilan belum
cukup bulan penentuan rasio lesitin-sfingomielin dan fosfatidilgliserol
membantu dalam evaluasi kematangan paru janin. Bila kecurigaan infeksi,
apusan diambil dari kanalis servikalis untuk pemeriksaan kultur serviks
terhadap Streptokokus beta group B, Clamidia trachomatis dan Neisseria
gonorea.

c. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menentukan penipisan dan
dilatasi serviks.Pemeriksaan vagina juga mengindentifikasikan bagian
presentasi janin dan menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat.Periksa
dalam harus dihindari kecuali jika pasien jelas berada dalam masa persalinan
atau telah ada keputusan untuk melahirkan.

d. Pemeriksaan penunjang
1. Dengan tes lakmus, cairan amnion akan mengubah kertas lakmus merah
menjadi biru.
2. Pemeriksaan leukosit darah, bila meningkat > 15.000 /mm 3 kemungkinan
ada infeksi.
3. USG untuk menentukan indeks cairan amnion, usia kehamilan, letak janin,
letak plasenta, gradasi plasenta serta jumlah air ketuban.
4. Kardiotokografi untuk menentukan ada tidaknya kegawatan janin secara
dini atau memantau kesejahteraan janin. Jika ada infeksi intrauterin atau
peningkatan suhu, denyut jantung janin akan meningkat.
5. Amniosintesis digunakan untuk mengetahui rasio lesitin - sfingomielin
dan fosfatidilsterol yang berguna untuk mengevaluasi kematangan paru
janin.( Arief Monsjoer, dkk)

14
6. Komplikasi KPD(Ketuban Pecah Dini)
Ada tiga komplikasi utama yang terjadi pada ketuban pecah dini
adalah peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatal oleh karena
prematuritas, komplikasi selama persalinan dan kelahiran yaitu resiko
resusitasi, dan yang ketiga adanya risiko infeksi baik pada ibu maupun
janin.Risiko infeksi karena ketuban yang utuh merupakan barier atau
penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi (Sarwono, 2008).
Sekitar tiga puluh persen kejadian mortalitas pada bayi preterm dengan
ibu yang mengalami ketuban pecah dini adalah akibat infeksi, biasanya infeksi
saluran pernafasan (asfiksia). Selain itu, akan terjadi prematuritas. Sedangkan,
prolaps tali pusat dan malpresentrasi akan lebih memperburuk kondisi bayi
preterm dan prematuritas (Depkes RI, 2007).
Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada ketuban pecah dini,
flora vagina normal yang ada bisa menjadi patogen yang bisa membahayakan
baik pada ibu maupun pada janinnya.Morbiditas dan mortalitas neonatal
meningkat dengan makin rendahnya umur kehamilan.
Komplikasi pada ibu adalah terjadinya risiko infeksi dikenal dengan
korioamnionitis akibat jalan lahir telah terbuka, apalagi bila terlalu sering
dilakukan pemeriksaan dalam. Dari studi pemeriksaan histologis cairan
ketuban 50% wanita yang melahirkan prematur, didapatkan korioamnionitis
(infeksi saluran ketuban), akan tetapi sang ibu tidak mempunyai keluhan
klinis. Infeksi janin dapat terjadi septikemia, pneumonia, infeksi traktus
urinarius dan infeksi lokal misalnya konjungtivitis (Sualman, 2009).
Selain itu juga dapat dijumpai perdarahan postpartum, infeksi
puerpuralis (nifas), peritonitis, atonia uteri dan septikemia, serta dry-labor.Ibu
akan merasa lelah karena berbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama,
maka suhu badan naik, nadi cepat dan tampaklah gejala-gejala infeksi
(Manuaba, 2008).

15
7. Penatalaksanaan KPD(Ketuban Pecah Dini)
Konservatif
 Rawat di rumah sakit.
 Berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau erit\romisin bila tidak tahan
dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari).
 Jika umur kehamilan < 32 – 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
 Jika umur kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes
busa negatif : beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada infeksi,
berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam.
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan
induksi.
 Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).
 Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan
spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksametason i.m 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
(Saifudin A.B. 2006. Ketuban Pecah Dini, Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Hal : 218-220)
Aktif
 Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal pikirkan
seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50µg intravaginal tiap 6
jam maksimal 4 kali.
 Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi dan
persalinan diakhiri jika :

16
a. Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian induksi.
Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
b. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.
(Sarwono P,. 2009).
Table 2.1 Skor Bishop
Skor
Faktor
0 1 2

Pembukaan serviks (cm) 0 1-2 3-4

Penipisan serviks 0-30% 40-50% 60-70%


Penurunan kepala Hodge I Hodge II Hodge III
Posterior (ke Medial ( ke arah sumbu
Posisi serviks Anterior ( ke depan )
belakang) jalan lahir)
Konsistensi serviks Keras Sedang Lunak

Tabel. 2.2 Penatalaksanaan ketuban pecah dini.

17
Gam
bar. 2.2 Alur penatalaksanaan ketuban pecah dini.

18

Anda mungkin juga menyukai