Anda di halaman 1dari 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi,
bangkrut.[1]Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan
bahwa, liquidation, likuidasi: pembubaran perusahaan diikuiti dengan proses penjualan harta
perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara
pemegang saham.[2] Beberapa definisi tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal
Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari Purwadi
antara lain: Freed B.G Tumbunan dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok Undang-Undang
Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 disebutkan
bahwa “Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk
kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh
kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing”.
[3] Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah dinyataka tidak
mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan atas: a. permohonan dibitur
sendiri (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan); b. permohonan satu atau lebih krediturnya (pasal 2 ayat
(1) UU Kepailitan Tahun); c. pailit harus dengan putusan pengadilan (pasal 3 UU Kepailitan); d
Pailit bisa atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan);
e. bila dibiturnya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (pasal 2
ayat (3) UU Kepailitan); f. Bila debiturnya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kriling dan
Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan
oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) (Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan); g. dalam hal
debiturnya Perusahaan Asuransi, perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik
Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan). Sedangkan tujuan pernyataan
pailit adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta
benda disita atau dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya
(kreditur).
Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini dapat menentukan
keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada perseroan yang telah dinyatakan pailit. Salah
satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi.[4] Yaitu suatu perusahaan
yang sudah tidak mampu membayar hutang-hutangnya lagi.[5] Padah tahap insolvensi penting
artinya karena pada tahap inilah nasib debitur pailit ditentukan. Apakah harta debitur akan habis
dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitur masih dapat bernafas lega dengan
diterimanya suatu rencana perdamaian atau rekunstruksi utang. Apabila debitur sudah
dinyatakan insolvensi, maka debitur sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi-
bagi, meskipun hal-hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa
dilanjutkan.[6]

[1] Daryanto, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya, 1997, hlm 455.


[2] Kamus Hukum Ekonomi, ELIPS, 1997, hlm 105.
[3] Ari Purwandi, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah, Jurnal tidak
diterbitkan, Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Widjaya Kusuma Surabaya, 2011, hal 129.
[4] Adi Nugroho Setiarso, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dlam Kepailitan (Studi
Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kapilitan dan
Penundaan kewajiban Pembayaran), Jurnat tidak diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, 2013, hlm. 3.
[5] Zaeni Asyhdie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2005, hlm 1.
[6] Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm
135

Anda mungkin juga menyukai