Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Cedera Kepala, dikenal juga sebagai cedera otak, adalah gangguan fungsi otak normal
karena trauma ( trauma tumpul dan trauma tusuk ). Defisit neurologis terjadi karena robeknya
substansia alba, iskemia dan pengaruh masa karena hemoragi, serta edema serebral di sekitar
jaringan otak. Jenis-jenis cedera otak meliputi komosio, kontusio serebri, kontusio batang
otak, hematoma epidural, hematoma subdural, dan fraktur tengkorak.( Nettina, Sandra M.
2001).

Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tenggkorak, dan otak. Cedera kepala dan
otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara penyakit
neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari
700.000 orang mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit.
Pada kelompok ini, antara 50.000 dan 90.000 orang setiap tahun mengalami penurunan
intelektual atau tingkah laku yang menghambat kembalinya mereka menuju kehidupan
normal. Dua pertiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun, dengan jumlah laki-laki lebih
banyak dari wanita. Adanya kadar alkohol dalam darah terdeteksi lebih dari 50% pasien
cedera kepala yang diterapi di ruang darurat. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera
kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya.adanya syok
hipovolemia pada pasien cedera kepala biasanya karena cedera bagian tubuh lainnya.

Resiko utama pasien yan mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat
perdarahan atau pembekakan otak sebagai respons terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. ( Smeltzer, Suzanne C. )

Berdasarkan hasil riset jesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2013, jumlah data yang
dianalisis seluruhnya 1027758 orang untuk semua umur. Adapun responden yang pernah
mengalami cedera 84.774 orang dan tidak cedera 942.984 orang. Prevalensi cedera secara
nasional adalah 8,2% dan prevalensi angka cedera kepala di sulawesi utara sebesar 8,3%.
Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur
15-24 tahun (11,7%), dan pada laki-laki (10,1%), (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Trauma Kepala secara umum disebabkan oleh beberapa hal berikut ini kecelakaan lalu-
lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pukulan pada kepala, tertimpa benda berat, kecelakaan
kerja, luka tembak, atau cedera saat lahir.

1.2 TUJUAN
a. Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswa, tenaga kesehatan maupun penulis dapat mengetahui dan
mengerti mengenai konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien “ Cedera Kepala”.
b. Tujuan Khusus

 Mengetahui secara teori Cedera Kepala

 Mengetahui pengkajian tentang apa itu Cedera Kepala

 Mengetahui diagnosa keperawatan pada pasien Cedera Kepala


 Mengetahui Intervensi keperawatan pada pasien Cedera Kepala
 Mengetahui Evaluasi keperawatan pada pasien Cedera Kepala
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 ANATOMI FISIOLOGI KEPALA

1. Anatomi kepala
Pada Kulit kepala terdri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu
 Skin atau kulit,
 Connective Tissue atau jaringan subkutis,
 Aponeurosis galea,
 Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar, dan
 Pericranium (perikranium) (Satyanegara, 2014:27).
1. Skin atau kulit
Sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar keringat (Sebacea) (Japardi,
2004:3)
2. Connective Tissue atau jaringan subkutis
Merupakan jaringan kat lemak yang memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah
terutama di atas Galea. Pembuluh darah tersebut merupakan anastommistis antara
arteri karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna
(Japardi, 2004:3).
3. Aponeurosis galea
Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat pada tiga otot
Japardi, 2004:3), yaitu : a. ke anterior – m. frontalis b. ke posterior – m. occipitslis c.
ke lateral – m. temporoparietalis Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (N.
VII).
4. Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar
Lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup (valveless
vein), yang menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial
(misalnya Sinus sagitalis superior). Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan muda
menyebar ke intrakranial. Hematoma yang tebentuk pada lapisan ini disebut
Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling sering ditemukan setelah
cedera kepala (Japardi, 2004:3).
5. Pericranium (perikranium)
Merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat terutama pada
sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung berhubngan dengan
endosteum (yang melapisi permukaan dalam tulang tengkorak) (Japardi, 2004:3).
a) Hematoma di antara lapisan periosteum dan tulang tengkorak disebut Cephal
hematoma (sub-periosteal hematoma). Hematoma ini terutama terjadi pada
neonates, disebabkan oleh pergesekan dan perubahan bentuk tulang tengkorak
saat dijalan lahir, atau terjadi setelah fraktur tulang tengkorak.
b) Hematoma ini biasanya terbatas pada satu tulang (dibatasi oleh sutura), dan
terfiksasi pada perabaan dari luar, sedangkan lapisan lapisan kulit di atasnya
dapat digerakkan dengan mudah.
c) Hematoma ini akan diabsorbsi sendiri. Selaput otak (meningien) adalah
selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang untuk
mrlindungi struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan cairan
sekresi serebrospinalis, meperkecil benturan atau getaran pada otak dan
sumsum tulang belakang. Selaput otak terdiri dari tiga lapisan yaitu
(Syaiffuddin, 2011:184).
6. Duramater Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan
kuat. Pada bagian tengkorak terdiri dari periost (selaput) tulang tengkorak dan
durameter propia bagian dalam. Duramater ditempat tertentu mengandung rongga
yang mengalirkan darah dari venaotak. Rongga ini dinamakan sinus vena. Diafragma
sellae adalah lipatan berupa cincin dalam duramater menutupi sel tursika sebuah
lekukan pada tulang stenoid yang berisi kelenjar hipofisis.
7. Araknoidea Selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi cairan otak yang
meliputi susunan saraf sentral. Otak dan medulla spinalis berada dalam balon yang
berisi cairan itu. Kantong-kantong araknoid ke bawah berakhir di bagian sacrum,
medulla spinalis berhenti setinggi lumbal I-II. Dibawah lumbal II kantong berisi
cairan hanya terdapat saraf-saraf perifer yang keluar dari media spinalis. Pada bagian
ini tidak ada medulla spinalis. Hal ini dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak
yang disebut pungsi lumbal.
8. Piameter Selaut tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamaeter yang
berhubungan dengan araknoid melalui struktur jaringan ikat yang disebut trebekhel.
2. Fisologis Cairan Otak (Tekanan Intrakranial).

Tekanan intrakrania (TIK) adalah tekanan realtif di dalam rongga kepala yang dihasilkan
poleh keberadaan jaringan otak, cairan serebrospinal (CSS), dan volume darah yang
bersirkulasi di otak (Satyanegara, 2014:225).

Menurut hipotesa Monro-Kellie, adanya peningkatan volume pada satu komponen


haruslah dikompensasikan dengan penurunan volume salah satu dari komponen lainnya.
Dengan kata lain, terjadinya peningkatan tekanan intrakrainial selalu diakbbatkan oleh
adanya ketidakseimbangan antara volume intracranial dengan isi cranium (Krisanty, Paula
dkk, 2009:71).

Adanya suatu penambahan massa intrakranial, maka sebagai kompenasasi awal adalah
penurunan volume darah vena dan cairan serebro spinal secara resprokal. Keadaan ini dikenal
sebagai doktrin Monro-Kellie Burrows, yang telah dibuktikkan melalui berbagai penelitian
eksperimental maupun klinis (kecuali pada anak-anak dimana sutura tulang tengkoraknya
masih belum menutp, sehingga masih mampu mengakomodasi penambahan volume
intrakranial). System vena akan menyempit bahkan kolaps dan darah akan diperas ke luar
melalui vena jigularis atau mellaui vena-vena emisaria dan kullit kepala. Kompensasi
selanjunya adalah CSS juga akan terdesak melalui foramen magnum kea rah rongga
subarachnoid spinalis. Mekanisme kompenasi ini hanya berlangsung sampai batastertentu
yang disebut sebagai titik batas

kompensasi dan kemudian akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang hebat
secara tiba-tiba. Parenkin otak dan darah tidak ikut serta dalam mekanisme kompenasi
tersebut di atas (Satyanegara, 2014:225). Kenaikan TIK lebih dari 10 mmHg dikategorikan
sebagai keadaan yang patologis (hipertensi intrakranial), keadaan ini berpotensi merusak otak
serta berakibat fatal. Secara garis besar kerusakan otak akibat tekanan tinggi intrakranial
(TTIK) terjadi melalui dua mekanisme, yaitu pertama adalah sebagai akibat gangguan aliran
darah serebral dan kedua adalah sebaga akibat proses mekanisme pergeseran otak yang
kemudian menimbulkan pergeseran dan herniasi jaingan otak (Satyanegara, 2014:226).
2.2. DEFENISI

Cedera Kepala, dikenal juga sebagai cedera otak, adalah gangguan fungsi otak normal
karena trauma ( trauma tumpul dan trauma tusuk ). Defisit neurologis terjadi karena robeknya
substansia alba, iskemia dan pengaruh masa karena hemoragi, serta edema serebral di sekitar
jaringan otak. Jenis-jenis cedera otak meliputi komosio, kontusio serebri, kontusio batang
otak, hematoma epidural, hematoma subdural, dan fraktur tengkorak.( Nettina, Sandra M.
2001).

Cedera kepala atau trauma kepala memiliki banyak terminologi di antaranya cedera
kepala akut, cedera otak traumatik, (traumatik brain injury), cedera kepala tertutup, dan
cedera kepala penetrans. Cedera kepala akut merupakan istilah umum yang digunakan dalam
menjelaskan cedera kepala dan stuktur yang berada di dalamnya, sedangkan cedera otak
hanya mengacu pada cedera yang terjadi pada organ otaknya sendiri. Cedera otak akut
merupakan salah satu kondisi yang di sebabkan oleh kejadian traumatik atau cedera tusukan
(penetrasi). Sedangkan istilah cedera kepala tertutup sendiri mengacu pada cedera tumpul
otak yang tidak menimbulkan fraktur tengkorak terbuka. Cedera penistrasi di sebabkan oleh
peluru atau benda-benda lainnya seperti pisau, senapan, palu, maupun pemukul baseball.

2.3. ETIOLOGI
Trauma Kepala secara umum disebabkan oleh beberapa hal berikut ini kecelakaan
lalu-lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pukulan pada kepala, tertimpa benda berat, kecelakaan
kerja, luka tembak, atau cedera saat lahir.
Menurut Borley & Grace (2006) cedera kepala dapat disebabkan karena beberapa
hal diantaranya adalah:
1. Pukulan Langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan ( coup injury ) atau pada sisi
yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai
dinding yang berlawanan ( contrecoup injury ). ( Hudak & Gallo, 1996)
2. Rotasi / deselerasi
Fleksi, ekstensi atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang
titik tulang tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang sfenoid). Rotasi yang hebat
juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak,
menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
3. Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat ( terutama pada anak
yang elastis)
4. Peluru
Cendrung menimbulkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan
otak merupakan masalah akibat disrupsi. Tengkorak yang secara otomatis akan
menekan otak.

2.4. FAKTOR RESIKO

Penyebab:

 Kecelakaan lalulintas
 Kecelakaan dan benturan pada kepala

Faktor resiko secara umum

 Tidak pake helm


 Alkool daobat-obatan
 Mengemudi tanpa sabuk pengaman
 Menyebrang tiba-tiba
 Mengantuk
 Tidak konsentrasi
2.5. MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang timbul bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi terjadinya trauma.

 Nyeri menetap dan terlokalisasi, biasanya menginditifikasikan adanya fraktur.


 Fraktur pada kubah tengkorak bisa menyebabkan pembengkakan di daerah tersebut,
biasa juga tidak.
 Fraktur pada dasar tengkorak yang sering kali menyebabkan perdarahan dari hidung,
faring, dan telinga dan darah mungkin terlihat di bawah konjungtiva.
 Ekimosis terlihat di atas tulang mastoid ( tanda Battle ).
 Pengeluaran cairan serebrospinal ( CSF ) dari telinga dan hidung menunjukkan
terjadinya fraktur dasar tengkorak.
 Pengeluaran cairan serebrospinal dapat menyebabkan infeksius serius ( mis.,
meningitis) yang masuk melalui robekan di dura mater.
 Cairan spinal yang mengandung darah menunjukkan laserasi otak atau memar otak
( kontusi ).
 Cedera otak juga memiliki bermacam gejala, termasuk perubahan tingkat kesadaran
( LOC ), perubahan ukuran pupil, perubahan atau hilangnya refleks muntah atau
refleks kornea, defisit neurologis, perubahan tanda vital seperti perubahan pola napas,
hipertensi, bradikardia, hipertermia atau hipotermia, serta gangguan sensorik,
penglihtan, dan pendengaran. ( Brunner & Suddarth, 2013 ).

2.6.PATOFISIOLOGI

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan Oksigen dan Glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai
bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan
koma.

Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila
kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi
cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal
cerebal blood flow (CBF) adalah 50–60 ml/menit/100gr jaringan otak, yang merupakan 15 %
dari cardiac output. Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup
aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom
pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan
ventrikel, takikardia.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh dar ah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh
persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak
begitu besar.
Secara patologi, cedera kepala dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu cedera primer dan
cedera sejunder.

a. cedera primer
cedera primer terjadi pada saat terjadi cedera atau tumbukan, karena tenaga kinetik
menegenai kranium atau otak. Tenaga kinetik ini meliputi akselerasi, deselerasi,
akselerasi-deselerasi, dan coup-countercoup. Akselerasi terjadi ketika objek bergerak
membentur kepala yang sedang dalam kondisi diam. Deslerasi terjadi saat kepala
yang sedang bergerak membentur objek statis. Akselerasi-deselerasi terjadi dalam
pristiwa tambrakan kendaraan bermotor dalam kecepatan tinggi atau kendaraan yang
menabrak pejalan kaki.
Sedangkan coup-countercoup merupakan akibat dari pergerakan isi intrakranial
terhadap kranium. Cedera coup mengakibatkan kerusakan pada daerah yag dekat
dengan area yang berlawanan dengan benturan. Kebanyakan kerusakan yang relatif
dekat daerah yang terbentur, sedangkan kerusakan cedera “kontra cup” berlawanan
pada sisi desakan benturan.
Cedera primer dapat diabgi ke dalam cedera fokal dan difus. Cedera fokal
menyebabkan luka makroskopik, seperti fraktur tengkorak, laserasi dan kontusio otak,
perdarahan epidural perdarahan subdural, dan perdarahan intraserebral. Sedangkan
cedera difus menyebabkan cedera mikroskopis seperti concunssion dan difuse axonal
injury.
1. fraktur tengkorak.
Biasanya diikuti dengan laserasi scalp, yaitu lapisan terluar pelindung otak
yang snagat kaya dengan pembuluh darah, sehingga dapat menimbulkan
perdarahan dalam jumlah banyak.
2. laserasi dan kontusio otak. \
Biasanya ditemukan pada lobus frontal dan temporal. Laserasi merupakan
kondisi robeknya jaringan otak yang dpat juga terjadi pada fraktur tengkorak
depresi. Sedangkan kontusio merupakan memarnya permukaan korteks otak.
3. hematoma.
Diklasifikasikan menjadi beberapa antara lain epidural, subdural, dan intra
serebral.
a) hematoma epidural terjadi saat fraktur linear menembus tulang
temporal melukai arteri maningeal. Pasien biasanya mengalami
perburukan secar acepat dan akhirnya meninggal.
b) hematoma subdural. Merupakan penyebab moralitas dan morbiditas
tertinggi kdua dalam cedera kepala. Hematoma ini aslinya berasal dari
perdarahan vena korteks atau vena dianatara permukaan otak dnegan
dura, sehingga memiliki progresifitas yang lebih lambat dinadingkan
dengan hematoma epidural.
b. cedera sekunder
kondisi yang terjadi pascacedera otak akut ini merupakan perubahan biofisik maupun
biokimia yang mengganggu perfusi sehingga dapat menimbulkan disfungsi neuronal
sampai dengan kematian. Jika penanganan sebelumnya berfokus pada peningkatan
tekanan intrakranial, pada kondisi saat ini berfokus pada peningkatan perfusi yang
adekuat ( Bucher & Melander, 1999 ). Aliran darah serebral normalnya dapat di
pertahankan pada kisaran 50-150 mmHg. Saat tekanan darah sistemik menurun,
pembuluh darah serebral berdilatasi. Sebaliknya saat tekanan darah sistemik meningkat,
pembuluh darah serebral mengalami vasokonstriksi. Aliran darah ke otak di kontrol oleh
mekanisme autoregulasi serebral. Kerusakan pada sistem autoregulasi akan
mempengaruhi keberhasilan pengobatan yang di lakukan ( Bucher & MELANDER,
1999 ).

Beberapa jam pasca cedera, aliran darah serebral menurun hingga setengah dari jumlah
normal yaitu 50ml/ 100 gram otak/menit. Iskemia terjadi saat aliran darah serebral turun di
bawah 20 Ml/100 mg otak/ menit dan menimbulkan kematian sel jika telah mencapai 10- 15
mL/100 mg otak/ menit. Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan baik yang
spontan maupun yang traumatik. Mekanisme terjadinya iskemia karena adanya tekanan pada
pembuluh darah akibat ekstravasasi darah ke dalam tengkorak yang volumenya tetap dan
vasospasme reaktif pembuluh- pembuluh darah yang terpajan di dalam ruang antara lapisan
araknoid dan piameter meningen. Biasanya perdarahan intraserebral secara cepat
menyebabkan kerusakan fungsi otak dan kehilangan kesadaran ( price & Wilson, 2006 )
hipoksia dan iskemik juga memicu rantai respons kimiawi dan proses neurotoksik. Kondidi
ini meliputi regulasi chanel ion kalsium, natrium dan kalsium. Pengeluaran exitotoxic asam
amino, produksi superoxide dan radikal bebas, perioksidasi lemak, dan pengeluaran mediator
inflamasi. Hal ini semua menimbulkan kerusakan serebral dan jika tidak tertangani, dapat
menyebabkan kematian sel. Secara umum apabilah aliran darah ke jaringan otak terputus
selama 15-2- menit akan terjadi infark atau kematian jaringan ( price & wilson, 2006 ).

(Rencana asuhan keperawatan medikal-bedah : diagnosis NANDA-I 2015-2017 intervensi


NIC hasil NOC, 2016).
2.7. PATHWAY

Kecelakan Lalu Jatuh Pukulan Terbentur

Trauma Langsung atau tidak langsung

Cedera kepala

B1 B B

Penekanan Trauma
Distress Peningkatan
pada batang jaringan dan
pusat tekanan pada
otak spasme otot
pernafasan vasomotor

Hipoksia Gangguan
Peningkatan
Pelepasan
jaringan pada syaraf
transmisi
mediator
otak cranialis
rangsangan
kimia
Mekanisme simpatik ke
Penggumpa- (prostaglandin
kompensasi jantung
lan darah di
Perubahan kubah Diterima oleh
Peningkata
otonom pada kranial reseptor nyeri
n pola
ventrikel kiri Penimbuna di medulla
pernafasan
n darah di spinalis
Penurunan
rongga
volume thalamus
epidural, Peningkatan tekanan
sekuncup dan pada vasomotor
subdural,
Ketidakefektif
peningkatan Korteks
atau
an pola nafas
volume serebri
Distorsi dan
Nyeri kepala
Penurunan hernia otak

curah jantung
peningkatan TIK NYERI
Peningkatan tekanan
pada vasomotor
Defisit Perawatan
gangguan perfusi
Diri
jaringan serebral
2.8. KOMPLIKASI

1. Edema selebral dan herniasi otak.


Edema selbral adalah peningkatan atau pembengkan tekanan intrakranial pada pasien
cedera kepala. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak utuh membesar
meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan oleh traima.
2. Defisit neurologik dan psikologik.
3. Komplikasi lain setelah traumatik berupa cedera kepala meliputi
a. infeksi sistemik seperti : pneumonia, infeksi saluran kemih, septikemia.
b. Infeksi bedah neuro seperti : infeksi luka, osteomielitus, meningitis, ventikulitis,
abses otak. ( Smeltzer, Suzanne C, 2001)

2.9. PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan medis
a. Fraktur tengkorak nondepresi umumnya tidak membutuhkan penanganan bedah,
tetapi pasien perlu diobservasi secara ketat.
b. Fraktur depresi pada tengkorak biasanya membutuhkan tindakan bedah dengan
pengangkatan tengkorak dan debridemen, biasanya dalam 24 jam sejak terjadinya
cedera.
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Berikan informasi, penjelasan dan dukungan untuk mengurang sindrom pasca
gegar otak.
b. Intruksikan keluarga untuk memperhatikan tanda tanda berikut dan memberi
dokter atau klinik: kesulitan untuk terjaga atau berbicara, sakit kepala berat,
muntah dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
(Brunner & suddarth, 2013).
2.10. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. CT Scan ( dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan kontras). Pemindaian CT


dan CAT adalah teknik pencitraan saraf primer pada evaluasi awal pasien trauma
kepala akut.
2. Angiografi serebral:
menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
edema, perdarahan, trauma.
3. Sinar X-Ray
mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
4. MRI ( magnetic resonance imaging )
MRI merupakan pemerikasaan struktural yang paling sensitif. MRI sesuai yang
diindikasikan oleh namanya, menggunakan magnet untuk menggambarkan otak yang
bertentangan dengan radiasi sinar X dari pemindaian CT.
5. EEG( elektroensefalogram) : Memantau pola gelombang otak yang dihasilkan oleh
aktivitas listrik.
6. Pemindaian PET ( positron emission tomography)
Menunjukan area pada otak yang menyerap oksigen dan gula yang aktif secara
metabolik dan diberi label dengan sebuah pelacak. ( Hurst, Marlene. 2015 )
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan
terakhir, agam, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat.
b. Identitas penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan
terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat
kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.Tingkat kesadaran/
GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea/ takipnea, sakit kepala, wajah simetris/ tidak,
lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran nafas, adanya liquor
dari hidung dan telinga dan kejang.
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem
persyarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula penyakit
keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data
subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
d. Pengkajian persistem
 Keadaan umum
 Tingkat kesadaran: composmentis, apatis, somnolen, sopor, koma.
 TTV
 Sistem pernafasan
Perubahan pola nafas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi, nafas bunyi
ronchi.
 Sistem kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut nadi
bradikardia kemudian takikardia.
 Sistem perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih
 Sistem gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami perubahan
selera
 Sistem muskuloskeletal
Kelemahan otot, deformasi
 Sistem persyarafan
Gejala: kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan.
Tanda: perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental, perubahan
pupil, kehilangan pengindraan, kejang, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
a. Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
N.V : gangguan mengunyah
N.VII, N.XII : lemahnya penutupan kelopak mata, hilnagnya rasa pada 2/3
anterior lidah
N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh.
N.IX, N.X, N.XI : jarang ditemukan
b. Skala coma gaslow (GCS)

No KOMPONEN NILAI HASIL


.
1. VERBAL 1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
3 Bicara kacau/ kata-kata tidak tepat/tidak nyambung
dnegan pertanyaan
4 Bicara membingungkan, jawaban tidak tepat
5 Orientasi baik
2. MOTORIK 1 Tidak berespon

2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
3. Reaksi 1 Tidak berespon
membuka mata 2 Rangsang nyeri
3 Dengan perintah (rangsang suara/ sentuh)
(EYE)
4 Spontan

c. Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang digunakan
secara internasional :

RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigrativity) 3
Kelemahan berat (non antigrativity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0
.

e. Pengkajian perpola
Pola-pola yang dikaji, antara lain:
a) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Kaji bagaimana klien merawat dirinya sebelum dan sesudah sakit. Kaji berapa
kali mandi dalam sehari, menggunakan sabun atau tidak. Apakah klien biasa
melakukan kegiatan olarahaga atau tidak, kalau sakit klien biasanya ke tempat
layanan kesehatan seperti (pustu, puskesmas) atau hanya minum obat yang
dibeli sendiri.
b) Pola nutrisi dan metabolik
Kaji adanya mual, muntah, perubahan selera makan, porsi makan perhari.
Kaji apakah ada gangguan pada saat menelan, dan adanya muntah proyektif.
c) Pola Aktifitas dan latihan
Kaji adanya pernapasan ireguler, kaji adanya gangguan mobilisasi saat
beraktifitas. Kaji apakah klien merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan dan
mengalami penurunan tonus otot.
d) Pola eliminasi
Kaji adanya inkontenensia kandung kemih, kaji adanya disfungsi saat
BAB/BAK. Kaji konsistensi, warna dan bauh saat BAB/BAK, kaji berapa kali
BAB/BAK per hari.
e) Pola tidur dan istirahat
Kaji adanya gangguan tidur karena nyeri, kaji berapa jam klien istirahat.
f) Pola persepsi sensori dan kognitif
 Kaji adanya nyeri kepala (intensitas dan frekuensi), kaji adanya
perubahan mood atau tingkalaku,
 Kaji adanya apasia (tidak nyambung waktu bicara)
 Kaji adanya dyspasia (tidak bisa bicara)
 Kaji apakah klien mampu melihat dan mendengar serta meraba.
g) Pola koping dan stres
Kaji adanya rasa marah, depresi, kaji apakah klien mengeluh tentang
penyakitnya.
h) Pola peran dengan sesama
Kaji apakah klien kooperatif dengan keluarga dan orang lain, apakah ada
gangguan komunikasi verbal dengan orang lain
i) Pola nilai dan kepercayaan
Kaji adanya perubahan dalam berdoa, apakah klien menjalankan doa setiap
waktu sesuai dengan kebiasaan.
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemorrhagic pada daerah
subdural.
2. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
3. Defisit perawatan diri

3.3 INTERVENSI

N DIAGNOS NOC NIC RASIONAL


O A
1 Gangguan Setelah 1. Pantau dan kaji serta 1. Status neurologis
perfusi dilakukan dokumentasikan adalah indikator
jaringan tindakankepera statusneurologis dengan yang paling
serebral watan selama 2 GCS. penting dari
berhubunga x 24 jam, klien 2. Pantau TTV setiap 30 kondisi klien.
n dengan tidak menit dan pertahankan 2. Perfusi serebral
hemorrhagic akanmenunjukk tekanan darah dalam harus
pada daerah an tanda- kisaran yang dianjurkan. dipertahankan
subdural. tandapeningkat 3. Pertahankan TIK < 20 untuk menjamin
DS: an TIK. mmHg. Atasi TIK yang > oksigenasi dan
DO: Kriteria hasil: 25 mmHg dengan diuresis, pengiriman
 Keadaa 1. GCS drainase CSS, nutrisi ke jaringan
n normal (E4 hiperventilasi ringan. otak.
umum: V5 M6) 4. Observasi 3. Pemantauan TIK
mengal 2. Tanda- pemberianoksigen sesuai menjadi sistem
ami tanda vital indikasi. peringatan dini
penuru dalam batas 5. Kolaborasi dengan dokter kemungkinan
nan normal dengan pemberian obat- adanya perubahan
kesadar TD: 120/80 obatan anti koagulan. dalam kubah
an mmHg tengkorak yang
TD: N: 60- dapat
140/90 100x/menit menyebabkan
mmHg HR: 60- perubahan status
N: 100 100x/menit neurologis.
x/menit P: 12- 4. Dengan
HR: 20x/menit pemantauan
100 S: 36,5- oksigen yang
x/menit 37,5⁰C adekuat akan
P: membantu dalam
30x/me pemulihan pola
nit nafas, sehingga
S: 39,5 pemberian dapat
⁰C diberikan sesuai
 PF: kebutuhan.
tampak 5. Mengurangi
sakit terjadinya
berat, pembekuan darah
GCS 4, dalam otak yang
hemato menghambat
m pada terjadinya perfusi
periorbi pada jaringan.
tal
bilateral
,
kebirua
n pada
bola
mata,
edema
pada
wajah,
luka
lecet
pada
kaki
dan
tangan,
luka
jahitan
7 buah
dijari-
jari kaki
kanan,
luka
jahitan
5 buah
dikepala
bagian
parietal.
 Hasil
Lab:
Hb: 12
mg/dl
Leu:
15.200
Ht: 38
Tr:
184.000
GDS:
113
 CT
Scan:
1) Perdarah
an
subdural
region
temporop
arietal
kanan
2) Perdarah
an SAH
3) SDH
disertai
hematosi
nus
maksilari
s kiri
4) Sub
goleal
hematom
a region
parietal
kiri
 Soft
tissu
e
swel
ling
den
gan
enfi
sem
a
sub
kuti
s
mak
silar
is
kiri
2 Pola nafas Klien tidak 1. Observasi dan kaji TTV. 1. Memantau
tidak efektif mengalami 2. Pertahankan kepatenan perkembangan
b.d gangguan pola jalan nafas menggunakan klien dan
penurunan nafas. alat hisap menentukan
tingkat kriteria hasil: 3. Kaji kepatenan jalan tindakan
kesadaran 1) TTV dalam nafas selanjutnya.
DS: - batas buatan( ETT/Trakeostomi 2. Jalan nafas yang
DO: normal ). bersih
 Keadaan Keadaan 4. Pantau oksigenasi dengan memungkinkan
umum: umum menggunakan oksimetri. oksigenasi dan
mengala sadar 5. Berikan tambahan ventilasi yang
mi TD: oksigen yang diperlukan. adekuat.
penurun 120/80 6. Kolaborasi dengan dokter 3. Jalan nafas
an mmHg untuk pemberian terapi buatan dapat
kesadara N: 60- antikoagulan dan tersumbat
n 100x/me pernafasan. akibat mukus
TD: nit atau tergigit.
140/90 HR: 60- 4. Oksimetri
mmHg 100x/me memberikan
N: 100 nit informasi
x/menit P: 12- tentang status
HR: 20x/men oksigen dan
100 it harus >90%.
x/menit S: 36,5- 5. Oksigen
P: 37,5⁰C tambahan dapat
30x/me GCS membantu otak
nit normal yang cedera.
S: 39,5 15 6. Membantu dan
⁰C Hasil CT Scan mempercepat
 PF: tidak terjadi proses
tampak pendaraha penyembuhan
sakit
berat,
GCS 4,
hemato
m pada
periorbit
al
bilateral,
kebiruan
pada
bola
mata,
edema
pada
wajah,
luka
lecet
pada
kaki dan
tangan,
luka
jahitan 7
buah
dijari-
jari kaki
kanan,
luka
jahitan 5
buah
dikepala
bagian
parietal.
 Hasil
Lab:
Hb: 12
mg/dl
Leu:
15.200
Ht: 38
Tr:
184.000
GDS:
113
 CT
Scan:
5) Perdarah
an
subdural
region
temporop
arietal
kanan
6) Perdarah
an SAH
7) SDH
disertai
hematosi
nus
maksilari
s kiri
8) Sub
goleal
hematom
a region
parietal
kiri
9) Soft
tissue
swelling
dengan
enfisema
subkutis
maksilari
s kiri

3 Defisit 1. terjadi 1.Kajiderajatketidakmampuank 1. Mengetahui


liendalam hal perawatan diri
perawatan peningkatan sejauh mana
2. Berikan bantuan dengan
diri perilaku dalam aktivias perawatan diri keterbatasan
yangdiperlukan
perawatan diri kemampuan
3. Anjurkan kepada keluaga
setelah untukmembantu memenuhi individual
aktivi as perawatan diri
melakukan 2. Memenuhi
yangdiperlukan klien
tindakan 4. Hindari melakukan kebutuhan akan
sesuatuuntuk pasien yang
keperawatan perawatan diri.
dapatdilakukan pasien
terjadi sendiritetapi berikan bantun
sesuaikebutuhan.
peningkatan 3.Membantumemen
5. Berikan umpan balik yang
perilaku dalam positifuntuk semua usaha uhi
yangdilakukan atau
perawatan diri kegatanaktivitasper
keberasilannya.
dengan kriteria awatan diri klien.
hasil:
Kliendapat 4. Pasien mungkin
menunjukan mejadi sangat
perubahan gaya ketakutan
hidup untuk dansangat
kebutuhan tergantung
merawat diri, danmeskipun
Klien mampu bantuan yang
melakukan diberikan
aktivitas bemanfaat dalam
perawatan diri mecegah frustasi
sesuai dengan adalah sangt
tingkat penting bagi pasien
kemampuan, untk melakukan
Mengidentifika seban
si personal atau yak mungkin untuk
masyarakat diri sendiri untuk
yang dapat mempertahankan
membantu. harga diri dan
meningkatkan
pemulihan.

5. Meningkatkan
persaan makna diri,
meingkatkan
keandirian
danmendorong
pasien untUk
berusaha secara
koninu.

3.4 .EVALUASI

Hasil yang diharapkan

1. Mencapai atau mempertahankan bersihan jalan nafas yang efektif, ventilasi, dan
oksigenasi otak.
a. Tercapainya nilai gas darah normal dan bunyi napas normal saat diauskultasi
b. Membersihkan dan membuang sekret
2. Tercapainya keseimbangan cairan dan elektrolit yang memuaskan
a. Memperlihatkan elktrolit serum dalam nilai normal
b. Menunjukan tanda klinis hidrasi dan kelebihan hidrasi
3. Mencapai status nutrisi yang adekuat
a. Terdapat kurang dari 50 cc isi lambungg saat aspirasi sebelum pemberian
makanan melalui selang lambung.
b. Bebas dari distensi lambung dan muntah.
c. Memperlihatkan penurunan berat badan minimal.
4. Menghindari cedera.
a. Agitasi dan ketidakberdayaan berkurang
b. Dapat berorientasi dengan waktu, tempat dan orang
5. Memperlihatkan peningkatan fungsi kognitif dan meningkattkan memori
6. Anggota keluarga memperlihatkan mekanisme koping yang adaptig.
a. Mempunyai hubungan dengan kelompok penduduk
b. Berbagai perasaan dengan tenaga pelayanan kesehatan yang tepat.
7. Pasien dengan keluarga berpartisipasi dalam proses rehabilitasi sesuai indikasi
a. Melakukan peran aktif dalam mengidentifikasi tujuan rehabilitasi dan
berpartisipasi dalam menentukan aktivitas.
b. Mempersiapkan keluarga untuk menerima pasien keluar dari rumah sakit.
8. Tidak ada komplikasi
a. Mencapai TIK normal, TTV dan suhu tubuh normal dan meningkatkan orientasi
terhadap waktu, tempat, dan orang.
b. Menggambarkan hasrat untuk berespon terhadap tindakan menurunkankan TIK.
(Smeltzer, Suzanne C. 2001)

3.4 DISCAR PLANING


1) Anjurkan pasien untuk berhati-hati dijalan
2) Tidak mengkonsumsi alkohol saat berkendara
3) Tidak mengantuk saat berkendara
4) Menggunakan helm saat berkendara
5) Anjurkan pasien untuk latihan ROM dirumah
6) Batasi aktivitas dan istirahat yang cukup
7) Anjurkan pasien untuk diet tinggi protein
8) Anjurkanpasienuntukberolaraga yang cukup
9) Anjurkanpasienuntukminumobatsecarateratur
10) Anjurkanpasienuntuk control sesuaijadwal yang ditentukan

BAB IV

PENUTUP

4.1. KESIMPULAN
Cedera kepala atau trauma kepala memiliki banyak terminologi di antaranya cedera
kepala akut, cedera otak traumatik, (traumatik brain injury), cedera kepala tertutup, dan
cedera kepala penetrans. Cedera kepala akut merupakan istilah umum yang digunakan dalam
menjelaskan cedera kepala dan stuktur yang berada di dalamnya, sedangkan cedera otak
hanya mengacu pada cedera yang terjadi pada organ otaknya sendiri. Cedera otak akut
merupakan salah satu kondisi yang di sebabkan oleh kejadian traumatik atau cedera tusukan
(penetrasi). Sedangkan istilah cedera kepala tertutup sendiri mengacu pada cedera tumpul
otak yang tidak menimbulkan fraktur tengkorak terbuka. Cedera penistrasi di sebabkan oleh
peluru atau benda-benda lainnya seperti pisau, senapan, palu, maupun pemukul baseball.

Menurut Borley & Grace (2006) cedera kepala dapat disebabkan karena beberapa
hal diantaranya adalah:
1. Pukulan Langsung
2. Rotasi / deselerasi
3. Tabrakan
4. Peluru
4.2. SARAN
 Bagi kita yang masih sehat kita perlu menjaga kesehatan dengan tindakan
pencegahan.
 Bagi penderita cedera kepala agar segera mendapatkan perawatan secepatnya agar
penyakitnya tidak bertambah parah.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

Hurst, Marlene. 2015. Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :EGC.
Rencana asuhan keperawatan medikal-bedah : diagnosis NANDA-I 2015-2017 intervensi
NIC hasil NOC, 2016)

Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Ed. 8.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai