Anda di halaman 1dari 63

1

2
LEMBAR PENGESAHAN

Proposal skripsi dengan judul ”Perbandingan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

TSTS dan TAI Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Materi Geometri Kelas VII di

SMP IT Lukmanul Hakim Aceh Besar” oleh Ashfiyati, NPM. 1606103020034 telah

disetujui untuk diseminarkan pada tanggal 13 Februari 2020.

Dosen Pembimbing

Dra. Tuti Zubaidah, M.Pd


NIP. 196805271994032001

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................................6
1.5 Definisi Operasional..............................................................................................7
BAB II KAJIAN PUSTAKA..................................................................................................9
2.1 Hasil Belajar Matematika........................................................................................9
2.2 Scaffolding dalam Pembelajaran Matematika........................................................12
2.3 Model Pembelajaran Kooperatif............................................................................17
2.4 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS.........................................................19
2.5 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI............................................................27
2.6 Implementasi Langkah-Langkah Scaffolding pada Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe TSTS dan TAI.............................................................................................35
2.7 Tinjauan Materi Geometri Kelas VII tentang segitiga.........................................39
2.8 Penelitian Terdahulu.............................................................................................40
2.9 Anggapan Dasar dan Hipotesis Penelitian...........................................................43
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................................45
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian............................................................................45
3.2 Populasi dan Sampel.............................................................................................46
3.3 Teknik Pengumpulan Data....................................................................................46
3.4 Teknik Analisis Data.............................................................................................47
3.5 Jadwal Penelitian...................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................54

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tuntasnya hasil belajar yang diraih oleh siswa merupakan suatu pencapaian

yang diinginkan oleh setiap guru. Namun kenyataannya, data nasional

memperlihatkan nilai pelajaran matematika di sejumlah sekolah masih terbilang

rendah. Hal ini dibuktikan oleh nilai rata-rata UNBK (Ujian Nasional Berbasis

Komputer) untuk SMP negeri dan swasta pada tahun 2019 mengalami penurunan.

Tahun 2017 nilai rata-rata UNBK adalah 55,51, kemudian pada tahun 2018 nilai

rata-rata UNBK mencapai 52,96, sedangkan pada tahun 2019 nilai rata-rata UNBK

untuk SMP di tingkat nasional masih memporoleh nilai di bawah standar yaitu 52.

Menurut data nasional pada tahun 2019, nilai pada mata pelajaran matematika

merupakan nilai yang paling rendah di antara mata pelajaran lainnya yaitu 46.

(Detiknews, 2019). Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa hasil belajar

matematika masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan mata pelajaran yang

lainnya. Hasil belajar matematika yang masih rendah tersebut dipengaruhi oleh

beberapa faktor.Faktor-faktor tersebut dapat bersumber dari dalam diri siswa, alat,

dan lingkungan.

Menurut (Sanjaya, 2013:16) komponen yang menentukan keberhasilan suatu

sistem pembelajaran adalah guru, Hal ini karena guru merupakan orang yang secara

langsung berhadapan dengan siswa. Sebagai perencana guru dituntut untuk

memahami secara benar kurikulum yang berlaku, karakteristik siswa, fasilitas dan

sumber daya yang ada, sehingga semuanya dijadikan komponen-komponen dalam

1
2

menyusun rencana dan desain pembelajaran. Namun kenyataanya, penggunaan

model pembelajaran konvensional dengan metode ceramah masih sangat

mendominasi dalam pembelajaran matematika. Hal ini karena kebanyakan guru

masih menganggap siswa mampu mencerna materi dalam waktu singkat sehingga

bagi siswa yang memiliki kemampuan pemahamannya rendah akan mengalami

kesulitan proses pembelajaran. Jika guru masih bertahan dengan cara belajar yang

seperti ini, maka siswa yang memiliki kemampuan rendah akan kurang mendapatkan

kesempatan dari guru untuk mengembangkan kemampuan kognitifnya secara

mandiri. Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan Sanjaya (2013:28) yang

mengatakan bahwa tujuan pembelajaran pada hakikatnya adalah perubahan perilaku

siswa baik perubahan perilaku dalam bidang kognitif, efektif maupun psikomotorik.

Siswa akan mengalami pembelajaran bermakna bila siswa mengalami sendiri

apa yang dipelajarinya. Pengalaman mencaritahunya akan bertahan dalam jangka

waktu yang lama di memorinya. Hal ini sejalan dengan Huda (2011:3) yang

berpendapat bahwa pembelajaran dalam pendidikan haruslah didesain secara

responsive dan berpusat pada siswa agar minat dan aktivitas sosial mereka terus

meningkat. Menurut Slavin (2005) model pembelajaran yang menggalakkan siswa

berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok adalah model pembelajaran

kooperatif. Model pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan

cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif

yang terdiri dari 4-6 orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen

(Rusman, 2013). Walaupun pada dasarnya siswa belajar secara berkelompok, namun

dalam pembelajaran kooperatif ini sebenarnya juga sangat menuntut adanya usaha

mandiri dari masing-masing anggota kelompok untuk dapat mengkonstruksikan


3

pengetahuan mereka. Hal ini berdasarkan. Rusman,( 2013) mengatakan bahwa teori

yang melandasi pembelajaran kooperatif adalah teori konstruktivisme. Dimana teori

konstruktivisme merupakan suatu pendekatan dimana siswa harus secara individual

menemukan dan mentransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa

informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu.

Setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda yang dapat dikelompokkan

dalam siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Sanjaya (2013:17)

menjelaskan bahwa siswa yang termasuk berkemampuan tinggi biasanya ditunjukkan

oleh motivasi yang tinggi dalam belajar, perhatian dan keseriusan dalam mengikuti

pelajaran dan lain sebagainya. Sebaliknya, siswa yang tergolong pada kemampuan

rendah ditandai dengan kurangnya motivasi belajar, tidak adanya keseriusan dalam

mengikuti pelajaran termasuk menyelesaikan tugas dan lain sebagainya. Perbedaan-

perbedaan semacam itu menuntut perlakuan yang berbeda pula baik dalam

penempatan atau pengelompokan siswa maupun dalam perlakuan guru dalam

menyesuaikan gaya belajar.

Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti pada sekolah SMP

IT Lukmanul Hakim Aceh Besar, pada saat proses belajar mengajar berlangsung

siswa cenderung hanya memperhatikan dan mengerjakan apa yang diperintahkan

oleh guru sehingga saat pengerjaan latihan, sebagian siswa terlihat tidak memahami

soal dan cenderung melihat jawaban dari siswa di sebelahnya dan ketika pemeriksaan

jawaban siswa telah dilakukan ternyata hasil belajar siswa pada kelas tersebut masih

tergolong dalam kategori rendah. Kemudian dari observasi awal tersebut juga

didapatkan data bahwa beberapa siswa kelas VII masih mendapatkan nilai ulangan

kurang dari KKM yang telah ditetapkan pada materi Segitiga. Hal ini
4

memperlihatkan bahwa masih terdapatnya siswa yang belum bisa belajar secara

individu akan tetapi mereka masih sangat memerlukan orang lain sebagai pemicu

semangat mereka untuk menggali materi lebih dalam sehingga dapat tercapai tujuan

pembelajaran. Hasil belajar yang didapatkan oleh siswa dapat meningkat apabila

usaha mandiri mereka terdorong untuk mempelajari materi. Karena segala hal yang

ditemukan oleh dirinya sendiri akan lebih membekas dibanding dengan apa yang

didapatkan secara instan. Salah satu model pembelajaran yang dapat memadukan

kerja kelompok dan individu adalah model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team

Assisted Individualization). Dalam TAI, siswa secara individu belajar dan

menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dalam jumlah-jumlah tertentu, selanjutnya

siswa yang memiliki kemampuan unggul diminta untuk memeriksa jawaban yang

dibuat anggota lainnya disertai memberikan layanan kepada anggota kelompoknya

apabila menemui kesulitan, sehingga soal-soal yang diberikan dapat terjawab

semuanya (Suwangsih & Tiurlina, 2006:164).

Ngalimun (2014) menyatakan bahwa yang disebut dengan proses

pembelajaran interaktif yaitu proses pembelajaran dimana proses interaksi guru dan

siswa, antara siswa dan siswa, maupun siswa dan lingkungan terjalin dengan baik.

Dengan adanya proses interaksi yang terjalin dengan baik, maka memungkinkan

kemampuan siswa akan berkembang, baik mental maupun intelektuanya.

Keberhasilan pembelajaran matematika dapat diukur dari keberhasilan siswa yang

mengikuti proses pembelajaran tersebut. Keberhasilan itu dapat dilihat dari tingkat

pemahaman, penguasaan materi, serta prestasi belajar siswa. Semakin tinggi

pemahaman dan penguasaan materi serta prestasi belajar maka semakin tinggi pula

tingkat keberhasilan pembelajarannya. Dalam hal ini, model pembelajaran yang


5

dapat melatih siswa untuk bersosialisasi dengan baik dan dapat saling mendorong

untuk berprestasi adalah model pembelajaran kooperatif tipe TSTS (Two Stay Two

Stray). Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS merupakan suatu pembelajaran

yang memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan

informasi kepada kelompok lain (Lie, 2010). Hal ini dilakukan karena banyak

kegiatan belajar mengajar yang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan individu yang

bertujuan untuk mengarahkan siswa agar menjadi aktif, baik berdiskusi, Tanya

jawab, mencari jawaban, menjelaskan dan juga menyimak materi yang dijelaskan

oleh teman.

Berdasarkan dua tipe model kooperatif yang telah dipaparkan di atas, dapat

kita lihat bagaimana kedua model pembelajaran kooperatif tersebut sangat

bergantung pada usaha mandiri siswa dan juga bimbingan yang diberikan oleh

masing-masing anggota kelompok yang lebih mampu. Jika dalam TAI sangat

bergantung pada teman yang mempunyai kemampuan yang lebih tinggi, maka dalam

TSTS untuk dapat mendapatkan hasil dan informasi dari kelompok lain sangat

bergantung pada dua anggota kelompok yang bertugas sebagai tamu di kelompok

lain. Maka oleh sebab itu dua model tersebut sangat diperlukan bantuan kelompok

dalam merangkai suatu pemahaman yang lengkap bagi siswa yang merasa kesulitan.

Oleh karena permasalahan dan kasus yang telah dipaparkan di atas, serta

berdasarkan pengalaman yang peneliti alami langsung mengenai proses

pembelajaran matematika yang kurang membantu siswa dalam meningkatkan hasil

belajar siswa maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Perbedaan Hasil Belajar Siswa Yang Diajarkan Dengan Model Pembelajaran


6

Kooperatif Tipe TSTS dan TAI Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Materi

Geometri kelas VII di SMP IT Lukmanul Hakim Aceh Besar”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Apakah terjadi ketuntasan hasil belajar siswa dengan penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada materi Geometri kelas VII di SMP IT

Lukmanul Hakim Aceh Besar?

b. Apakah terjadi ketuntasan hasil belajar siswa dengan penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe TAI pada materi Geometri kelas VII di SMP IT

Lukmanul Hakim Aceh Besar?

c. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan TAI pada materi Geometri kelas VII di

SMP IT Lukmanul Hakim Aceh Besar?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah

untuk:

a. Untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa dengan penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada materi Geometri kelas VII di SMP IT

Lukmanul Hakim Aceh Besar.

b. Untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa dengan penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe TAI pada materi Geometri kelas VII di SMP IT

Lukmanul Hakim Aceh Besar.


7

c. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan hasil belajar siswa yang

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan TAI pada materi

Geometri kelas VII di SMP IT Lukmanul Hakim Aceh Besar.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan banyak manfaat, di

antaranya:

a. Sebagai masukan bagi guru untuk dapat menerapkan model pembelajaran yang

dapat memotivasi dan meningkatkan rasa percaya diri siswa.

b. Bagi siswa diharapkan dapat mengetahui perbandingan hasil belajar yang dicapai

agar mengetahui pembelajaran seperti apakah yang lebih efektif untuk membantu

meningkatkan hasil belajar mereka.

c. Untuk peneliti lainnya sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi penelitian

lainnya yang sejenis, dan

d. Bagi pembaca dapat menambah pengetahuan dalam mencapai tujuan pendidikan.

1.5 Definisi Operasional

Untuk menghindari perbedaan penafsiran terhadap istilah yang

digunakan dalam penelitian, maka definisi istilah-istilah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Ketuntasan Hasil Belajar

Menurut Permendikbud No. 104 tahun 2014 tentang penilaian hasil

belajar pada jenjang dikdasmen. Ketuntasan belajar adalah tingkat minimal

pencapaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan meliputi


8

ketuntasan penguasaan substansi dan ketuntasan belajar dalam konteks kurun

waktu belajar Dalam penelitian ini hasil belajar siswa akan diketahui setelah

menyelesaikan posttest pada akhir pembelajaran berlangsung. Pada penelitian

ini, terjadi atau tidaknya ketuntasan belajar akan dilihat pada data hasil belajar

siswa pada akhir pertemuan nantinya.

b. Scaffolding

Menurut Cahyo (2013) Scaffolding merupakan bimbingan yang diberikan

oleh seorang pembelajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran

dengan persoalan-persoalan terfokus dan interaksi yang bersifat positif. Setiap

model pembelajaran kooperatif terdapat Scaffolding yang berfungsi sebagai

bantuan untuk setiap anggota kelompok dalam mencapai tujuan pembelajaran.

c. Model pembelajaran kooperatif

Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang menggunakan

sistem pengelompokan kecil, antara empat sampai enam orang yang mempunyai

perbedaan latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras atau suku

(Sanjaya, 2006: 242). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan proses belajar

mengajar dengan cara pembelajaran kooperatif yang dipilih secara heterogen.

d. Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS

Menurut Huda (2013) model pembelajaran kooperatif tipe TSTS

adalah sistem pembelajaran kelompok yang bertujuan agar siswa dapat saling

bekerja sama, bertanggung jawab, saling membantu memecahkan masalah, dan

saling mendorong satu sama lain untuk berprestasi. Dalam penelitian ini peneliti

akan membandingkan hasil belajar siswa yang didapatkan dari model ini dengan

model pembelajaran kooperatif tipe TAI.


9

e. Model pembelajaran kooperatif tipe TAI

Menurut Cahyaningsih (2018) model pembelajaran kooperatif tipe TAI

merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa

untuk belajar secara mandiri dalam menyelesaikan masalah yang kemudian akan

hasil belajar mandiri akan dibawa ke dalam kelompok dan akan didiskusikan

secara bersama. Selanjutnya seluruh anggota kelompok akan

mempertanggungjawabkan untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Dalam

penelitian ini peneliti akan membandingkan hasil belajar siswa yang didapatkan

dari model ini dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hasil Belajar Matematika

2.1.1 Pengertian Hasil Belajar

Menurut Supratiknya (2012: 5). Hasil belajar merupakan kemampuan-

kemampuan baru yang diperoleh siswa sesudah mereka mengikuti proses belajar-

mengajar tentang mata pelajaran tertentu. Kemampuan baru yang dimiliki individu

adalah hasil dari aktifitas belajar-mengajar untuk tercapainya sebuah tujuan dalam

jangka waktu tertentu. Sedangkan menurut Susanto (2013: 5) hasil belajar yaitu

perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang menyangkut aspek

kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar. Perubahan

aspek-aspek tersebut terjadi secara terencana dan cenderung berubah ke arah yang

lebih baik.

Dalam bukunya Rusman (2012: 123) menyatakan hasil belajar adalah

sejumlah pengalaman yang diperoleh siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif

dan psikomotor. Lain lagi dengan pendapat Wasliman (dalam Susanto 2013: 12)

hasil belajar peserta didik merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang

mempengaruhinya, baik faktor internal maupun eksternal.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah

kemampuan-kemampuan baru yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan

psikomotor diperoleh setelah mereka mengikuti proses belajar-mengajar atau hasil

dari interaksi.

9
10

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Munadi (2008:24) adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar

yaitu:

1) Faktor internal

a) Faktor fisiologis secara umum kondisi fisiologis, seperti kondisi kesehatan

yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat

jasmani dan sebagainya. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi siswa dalam

menerima materi pelajaran.

b) Faktor psikologis setiap individu dalam hal ini. siswa pada dasarnya memiliki

kondisi psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal ini turut mempengaruhi

hasil belajarnya. Beberapa faktor psikologis meliputi intelegensi (IQ),

perhatian, minat, bakat, motif, motifasi, kognitif dan daya nalar siswa.

2) Faktor eksternal

a) Faktor lingkungan meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial.

Lingkungan fisik misalnya suhu, kelembapan dan lain-lain. Belajar di tengah

hari di ruang yang memiliki ventilasi udara yang kurang tentunya berbeda

suasana belajarnya dengan yang belajar di pagi hari yang udaranya masih

segar dan di ruang yang cukup mendukung untuk bernafas lega.

b) Faktor instrumental keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan

hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi

sebagai sarana untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang telah

direncanakan. Faktor-faktor instrumental ini berupa kurikulum, sarana dan

guru.
11

2.1.3 Manfaat Hasil Belajar

Menurut Arifin (2011: 15) adapun manfaat penilaian hasil belajar, yaitu

sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi yang telah

diberikan.

2) Untuk mengetahui kecakapan, motivasi, bakat minat, dan sikap peserta didik

terhadap progam pembelajaran.

3) Untuk mengetahui tingkat kemajuan dan kesesuaian hasil belajar peserta didik

dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan.

4) Untuk mendiagnosis keunggulan dan kelemahan peserta didik dalam mengikuti

kegiatan pembelajaran. Keunggulan peserta didik dapat dijadikan dasar bagi

guru untuk memberikan pembinaan dan pengembangan lebih lanjut, sedangkan

kelemahannya dapat dijadikan acuan untuk memberikan bantuan atau

bimbingan.

5) Untuk seleksi, yaitu memilih dan menentukan peserta didik yang sesuai dengn

jenis pendidikan tertentu.

6) Untuk menentukan kenaikan kelas.

7) Untuk menempatkan peserta didik sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

2.1.4 Ketuntasan Belajar

Ketuntusan belajar merupakan keberhasilan siswa dalam mengikuti sesuatu

proses pembelajaran. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari perubahan perilaku

siswa terhadap suatu materi pembelajaran, perilaku yang dimaksud merupakan

keadaan siswa yang mendapatkan pengetahuan baru dari unsur kognitif, afektif, dan

psikomotorik setelah siswa tersebut mengikuti pembelajaran. Sebagaimana yang


12

dikatakan Djamarah (2006) Suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan

pengajaran dikatakan berhasil apabila hasilnya memenuhi tujuan intruksional khusu

dari bahan tersebut.

Ketuntasan belajar dapat dilihat setelah siswa dievaluasi, yaitu suatu praktek

pengujian terhadap materi yang diajarkan dengan memberi soal – soal atau

pertanyaan – pertanyaan terkait dengan materi yang dipelajari. Setelah di evaluasi

setiap siswa diberi penilaian yang dapat berupa huruf atau angka. Siswa dikatakan

tuntas atau lulus, bila dapat mencapai nilai lebih dari atau sama dengan nilai kriteria

kelulusan minimal (KKM).

2.2 Scaffolding dalam Pembelajaran Matematika

Scaffolding adalah teori yang dikemukakan oleh Lev Vygotsky pada tahun

1978, ia menekankan penggunaan dukungan atau bantuan tahap demi tahap dalam

belajar dan pemecahan masalah. Dalam bahasa Indonesia Scaffolding berarti

“perancah”, yaitu bambu yang dipasang sebagai tumpuan saat akan mendirikan

rumah, tembok, dan bangunan lainnya. Selanjutnya dalam dunia pendidikan

Scaffolding diartikan sebagai bimbingan yang diberikan oleh seorang pembelajar

kepada siswa dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan

interaksi yang bersifat positif (Cahyo, 2013). Wardhani (2004) menyatakan bahwa

akan lebih baik jika peserta didik belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau

dengan teman sebaya yang lebih mampu. Hal ini sejalan dengan pendapat Slavin

(2005: 37) yang menyatakan bahwa kegiatan kolaboratif di antara anak-anak

mendorong pertumbuhan karena anak-anak yang usianya sebaya lebih suka bekerja

di dalam wilayah pembangunan paling dekat dengan satu sama lain. Dengan cara itu
13

siswa akan mendapatkan pemahaman yang lebih tinggi dari yang telah dimilikinya.

Bantuan berupa mengaktifkan latar belakang pengetahuan yang dimiliki siswa,

memberikan tips-tips atau kiat-kiat, strategi dan prosedur-prosedur kunci untuk

melaksanakan tugas atau memecahkan masalah yang dihadapi siswa. Bantuan ini

diberikan agar siswa tidak patah semangat karena mengerjakan tugas atau suatu

keterampilan yang sulit dikerjakan. Dalam kegiatan pembelajaran dapat diwujudkan

dalam bentuk belajar secara kelompok yaitu dengan berdiskusi dalam kelompok

kecil.

Menurut Vygotsky (dalam Hasmidyani dan Firmansyah, 2016: 88) peserta

didik yang belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau dengan teman sebaya

yang lebih mampu akan mendapatkan pemahaman yang lebih tinggi dari yang telah

dimilikinya dengan bantuan yang diberikan berupa mengaktifkan latar belakang

pengetahuan yang dimiliki peserta didik, memberikan tips-tips atau kiat-kiat, strategi

dan prosedur-prosedur kunci untuk melaksanakan tugas atau memecahkan masalah

yang diberikan oleh peserta didik. Vygotsky (dalam Trianto, 2007: 27), menyatakan

bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-

tugas yang belum dipelajari, tetapi tugas–tugas itu masih berada dalam jangkauan

mereka yang disebut zone of proximal development (ZPD), yakni daerah tingkat

perkembangan sedikit di atas daerah perkembangan seseorang saat ini. Sedangkan

daerah (zone) yang terletak diantara tingkat perkembangan aktual dan tingkat

perkembangan potensial disebut daerah perkembangan proximal (Zone of Proximal

Development). Tiga kategori pencapaian siswa dalam upaya penyelesaian

permasalahan, yaitu: (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa

mencapai keberhasilan dengan bantuan, dan (3) siswa gagal meraih keberhasilan.
14

Proses yang dilakukan oleh individu membutuhkan interaksi sosial. Oleh

Karena itu, individu tersebut membutuhkan peranan orang lain dalam kegiatan

belajar. Vygotsky meyakini bahwa anak-anak akan mengikuti contoh-contoh yang

diberikan oleh orang dewasa dan secara bertahap dapat mengembangkan kecakapan

anak-anak untuk mengerjakan tugas-tugas tertentu tanpa bantuan ataupun dampingan

orang lain. Proses interaksi atas dasar pemberian bantuan tersebut dikatakan

Vygotsky sebagai Scaffolding (Suyono & Hariyanto, 2014). Pemberian bantuan

belajar ini bukan berarti siswa diajarkan terus-menerus komponen dari suatu tugas

kompleks, namun bantuan belajar di berikan sedikit demi sedikit hingga pada suatu

saat siswa mampu menyelesaikan tugas yang kompleks secara mandiri. Scaffolding

dalam pembelajaran digunakan untuk mencapai kompetensi yang sulit dan

menantang. Untuk mencapai kompetensi tersebut diperlukan tahapan atau bantuan

agar siswa dapat mencapai kompetensi yang kompleks secara mudah dan bertahan

lama.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Scaffolding dalam pembelajaran memberikan

kebebasan kepada siswa untuk berpikir serta menyelesaikan masalahnya secara

mandiri, akan tetapi siswa diberikan bantuan pada tahap awal pembelajaran, dimana

bantuan tersebut bisa berupa arahan sehingga siswa bisa lebih terarah dan tujuan

pembelajaran dapat tercapai. Hasil dari Scaffolding yaitu akan menghasilkan

perkembangan kognitif, sehingga metode penilaian pada Scaffolding memperhatikan

Zona Of Proximal Development (ZPD).

Wood et al. (dalam Anghileri, 2006) mengidentifikasi enam elemen kunci

dalam Scaffolding, yaitu:


15

a. Recruitment, yaitu membuat daftar minat pelajar dan kesungguhan mereka

dalam mengerjakan tugas tugas.

b. pengurangan derajat kebebasan, yaitu menyederhanakan tugas yang

diberikan.

c. direction maintenance, yaitu memberikan dorongan kepada pelajar untuk

dapat mencapai tujuan tertentu.

d. menandai fitur penting, yaitu mengkonfirmasikan dan memeriksa adanya

perbedaan.

e. Kontrol frustrasi, yaitu merespon emosional pelajar

f. Demonstrasi, atau disebut juga dengan memodelkan solusi dari tugas.

Selain enam elemen kunci dalam Scaffolding, Anghileri (2006) juga

mengusulkan tiga hierarki dari penggunaan Scaffolding yang merupakan dukungan

dari pembelajaran matematika, tiga hierarki tersebut adalah:

Level 1. Enviromental Provisions (Classroom organization, artefacts)

Pada tingkat ini, Scaffolding atau bimbingan diberikan dengan

mengkondisikan lingkungan yang menddukung kegiatan belajar. Misalnya dengan

menyediakan lembar tugas secara terstruktur serta menggunakan bahasa yang mudah

dimengerti siswa. Menyediakan media/gambar-gambar yang sesuai masalah yang

diberikan.

Level 2. Explaining, Reviewing, and Restructuring

Tingkat ini terdiri dari explaining (menjelaskan), reviewing (mengulas) dan

restructuring (membangun kembali). Menjelaskan merupakan kebiasaan yang

digunakan dalam penyampaian ide-ide yang dipelajari, misalnya saja seorang guru

meminta siswa membaca ulang masalah yang diberikan, serta guru mengajukan
16

pertanyaan arahan agar siswa dapat memahami masalah dengan benar. Mengulas

merupakan cara yang sering digunakan untuk mengevaluasi hasil pekerjaan dan

mengetahui letak kesalahan yang dilakukan, misalnya guru berdiskusi dengan siswa,

mengulas jawaban yang telah dihasilkan siswa, guru meminta siswa merefleksi

jawaban pada pekerjaannya sehingga dapat menemukan kesalahan yang telah

dilakukan dan siswa diminta untuk memperbaiki pekerjaannya. Membangun kembali

merupakan cara guru mendorong agar memfokuskan perhatian siswa pada aspek-

aspek yang berhubungan dengan matematika. Misalnya guru mengajukan pertanyaan

arahan hingga siswa dapat menemukan kembali semua fakta yang ada pada masalah

yang diberikan. Selanjutnya guru meminta siswa untuk menyusun kembali jawaban

yang lebih tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Level 3. Developing Conceptual Thinking

Tingkat ketiga Scaffolding atau bimbingan yaitu mengarahkan siswa pada

pengembangan pemikiran konseptual dengan menciptakan kesempatan untuk

mengungkapkan pemahaman kepada siswa dan guru secara bersama-sama. Misalnya

diskusi terhadap jawaban yang diperoleh siswa dan meminta siswa untuk mencari

alternatif lain dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.

Terdapat beberapa kelebihan yang terdapat dalam penggunaan Scaffolding

dalam pembelajaran, kelebihan tersebut diungkapkan oleh Lipscomb et al (dalam

Sutiarso, 2009), diantaranya:

1. Meminimalkan tingkat frustasi siswa.

2. Memotivasi siswa untuk belajar.

3. Mengkreasikan momentum.

4. Memungkinkan siswa dapat mengidentifikasi bakatnya sejak dini.


17

Selain kelebihan yang telah dikemukakan di atas, terdapat pula kelemahan

dalam penggunaan Scaffolding dalam pembelajaran, yaitu :

1.Guru kurang/ tidak mampu melakukan dengan benar.

2.Menghabiskan banyak waktu.

3.Sulitnya menetapkan ZPD siswa.

2.3 Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) berasal dari kata cooperative

yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dan saling membantu satu

sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim (Isjoni, 2010). Pembelaran

kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang menuntut siswa untuk bekerja

sama dalam mencapai suatu tujuan pembelajaran. Roger dkk, 1992 (dalam Huda,

2011) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran

kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan

pada perubahan informasi secara sosial di antara kelompok-kelompok pembelajar

yang di dalamnya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-

anggota yang lain.

Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran

kelompok yang memiliki aturan-aturan tertentu dan merupakan model pembelajaran

yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling

berinteraksi (Rusman, 2013). Prinsip dasar pembelajaran kooperatif adalah siswa

membentuk kelompok kecil dan saling mengajar sesamanya untuk mencapai tujuan

bersama. Tujuan pembelajaran kooperatif mencakup tiga jenis tujuan penting, yaitut

hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keberagaman, dan pengembangan sosial


18

(Trianto, 2009). Johnson mengatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah

memaksimalkan belajar siswa untuk meningkatkan prestasi akademik dan

pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok (Trianto, 2009).

Pembelajaran koopertif adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat elemen-

elemen yang saling terikat. Menurut roger dan Johnson untuk mencapai hasil yang

maksimal, ada lima unsur model pembelajaran kooperatif yang harus diterapkan,

yaitu :

1. Saling ketergantungan positif

2. Tanggung jawab perseorangan

3. Tatap muka

4. Komunikasi antar anggota

5. Evaluasi proses kelompok (Isjoni, 2010).

Lie mengatakan pembelajaran kooperatif dikembangkan dengan dasar asumsi

bahwa proses pembelajaran akan bermakna jika peserta didik bisa saling mengajari

(Wena, 2009). Walaupun dalam pembelajaran kooperatif siswa dapat belajar dari dua

sumber belajar utama, yaitu pengajar dan teman belajar lain. Pembelajaran kooperatif

selain unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit, model ini

sangat berguna untuk membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerja sama.

Dalam pembelajan kooperatif terdapat 6 tahap pembelajaran, yaitu (Anitah, 2008) :

Table 2.1
6 tahap pembelajaran dalam pembelajaran kooperatif
19

Tahap Perilaku Guru


Tahap 1 Menyampaikan semua tujuan pembelajaran
Menyampaikan tujuan yang akan dicapai pada kegiatan 2.4
dan memotivasi siswa pembelajaran dan memotivasi siswa untuk
belajar Model

Tahap 2 Menyajikan informasi atau materi pelajaran


Menyajikan informasi kepada siswa baik dengan demonstrasi atau
atau materi pelajaran bahan bacaan.

Tahap 3 Menjelaskan kepada siswa bagaimana


Mengorganisasikan membentuk kelompok belajar dan bekerja
siswa ke dalam sama dalam kelompok agar terjadi perubahan
kelompok-kelompok yang efisien.
belajar

Tahap 4 Mengamati, mendorong, dan membimbing


Membimbing kelompok siswa dalam menyelesaikan tugas.
bekerja dan belajar

Tahap 5 Mengevaluasi hasil belajar tentang materi


Evaluasi yang dipelajari atau masing kelompok
mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.

Tahap 6 Memberi umpan balik terhadap hasil kerja


Mengumumkan seluruh kelompok dan memberikan
pengakuan atau penghargaan kepada kelompok yang telah
penghargaan menunjukkan hasil kerja baik.

Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS

Menurut Lie (2010) Metode atau tipe Two stay two stray (dua tinggal dua

tamu) yang disingkat menjadi TSTS merupakan salah satu model pembelajaran

kooperatif yang memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil

dan informasi kepada kelompok lain. Metode belajar mengajar dua tinggal dua tamu

(two stay two stray) dikembangkann oleh Spencer Kagan. Dimana Spencer Kagan

(dalam Indriyani, 2011:183) menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe

Two Stay Two Stray merupakan suatu model pembelajaran yang memberi

kesempatan kepada anggota kelompok untuk membagi hasil dan informasi dengan
20

anggota kelompok lainnya dengan cara saling mengunjungi atau bertamu antar

kelompok.

Struktur pembelajaran two stay two stray yaitu memberi kesempatan kepada

anggota kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan anggota kelompok

lain. Hal ini memungkinkan terjadinya transfer ilmu antar siswa sehingga siswa

menjadi aktif mengikuti proses pembelajaran. Menurut Sugianto (dalam Indriyani,

2011:183) bahwa model pembelajaran Two Stay Two Stray ini bisa digunakan dalam

semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

Sejalan dengan itu Huda (2011: 120) juga berpendapat bahwa model

cooperative learning tipe TSTS ini dapat diterapkan untuk semua mata pelajaran dan

tingkatan umur, serta memungkinkan setiap kelompok untuk saling berbagi

informasi dengan kelompok lainnya. Hal ini dilakukan dengan cara saling

mengunjungi atau bertamu antar kelompok untuk membagi informasi. Selain itu,

karena banyak kegitan belajar mengajar yang yang diwarnai dengan kegiatan-

kegiatan individu maka dapat mengarahkan siswa untuk menjadi lebih aktif, baik

berdiskusi, tanya jawab, mencari jawaban, menjelaskan dan juga menyimak materi

yang dijelaskan oleh teman.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa

model cooperative learning tipe TSTS merupakan model pembelajaran yang

memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagi informasi kepada

kelompok lain. Selain itu dalam pelaksanaanya dua dari anggota kelompok mencari

informasi ke kelompok lain, sedangkan dua anggota kelompok yang tinggal

memberikan informasi kepada tamu yang datang.


21

2.4.1 Teori Belajar Yang Mendukung Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

TSTS

Dalam pembelajaran matematika seorang guru matematika yang professional

dan kompeten haruslah mempunyai wawasan landasan terhadap teori belajar yang

diterapkannya. Hal ini dilakukan agar guru dapat mengembangkan dan melakukan

perbaikan dalam pembelajaran matematika yang dianggap masih kurang baik dalam

mencapai tujuan pembelajaran peserta didik. Mutadi (2007:3) menyebutkan beberapa

teori belajar yang mendukung model pembelajaran tipe TSTS, yaitu:

a. Teori Thorndike

Teori Thorndike disebut teori penyerapan, yaitu teori yang memandang

peserta didik selembar kertas putih, penerima pengetahuan yang siap menerima

pengetahuan secara pasif. Pandangan belajar seperti ini mempunyai dampak terhadap

pandangan mengajar. Mengajar dipandang sebagai perencanaan dari urutan bahan

pelajaran yang disusun secara cermat, mengkomunasikan bahan kepada peserta

didik, dan membawa mereka untuk praktik menggunakan konsep atau prosedur baru.

Konsep dan prosedur baru itu akan semakin mantap jika makin banyak latihan. Pada

prinsipnya teori ini menekankan banyak memberi praktik dan latihan kepada peserta

didik agar konsep dan prosedur dapat mereka kuasai dengan baik.

b. Teori Jean Piaget

Teori ini merekomendasikan perlunya pengamatan terhadap tingkat

perkembangan intelektual anak sebelum suatu bahan pelajaran matematika diberikan,

terutama untuk menyesuaikan keabstrakan bahan matematika dengan kemampuan

berpikir abstrak anak pada saat itu. Penerapan teori Piaget dalam pembelajaran

matematika adalah perlunya keterkaitan materi baru pelajaran matematika dengan


22

bahan pelajaran matematika yang telah diberikan, sehingga lebih memudahkan

peserta didik dalam memahami materi baru.

c. Teori Vygotsky

Teori Vygotsky berusaha mengembalikan model konstruktivistik belajar

mandiri dari Piaget menjadi belajar kelompok. Melalui teori ini peserta didik dapat

memperoleh pengetahuan melalui kegiatan yang beranekaragam dengan guru sebagai

fasilitator. Dengan kegiatan yang beragam, peserta didik akan membangun

pengetahuannya sendiri melalui diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, pengamatan,

pencatatan, pengerjaan, dan presentasi. Salah satu strategi yang diperkenalkan oleh

Vygotsky adalah Scaffolding. Dimana setiap adanya model pembelajaran kooperatif

maka sudah dapat dipastikan akan adanya Scaffolding dalam langkah-langkah

pembelajarannya. Oleh sebab itu, teori Vygotsky tentang Scaffolding sangat

mendukung dalam model pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini.

d. Teori George Polya (pemecahan masalah)

Pemecahan masalah merupakan realisasi dari keinginan meningkatkan

pembelajaran matematika sehingga peserta didik mempunyai pandangan atau

wawasan yang luas dan mendalam ketika menghadapi suatu masalah.

2.4.2 Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS

Teknik belajar dua tinggal dua tamu (two stay two stray) bisa digunakan

disemua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan anak didik. Struktur dua tinggal

dua tamu memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan

informasi dengan kelompok lain. Hal ini dilakukan karena banyak kegiatan belajar

mengajar yang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan individu. Siswa bekerja sendiri

dan tidak diperbolehkan melihat pekerjaan siswa yang lain. Padahal dalam kenyataan
23

hidup di luar sekolah, kehidupan dan kerja manusia saling bergantung satu sama

lainnya.

Ciri-ciri model pembelajaraan kooperatif tipe TSTS menurut Yusiriza (2010)

yaitu:

1. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi

belajarnya

2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan

rendah

3. Bila mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin

yang berbeda

4. Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok daripada individu.

Dalam model pembelajaran kooperatif tipe TSTS, berdasarkan penuturan Lie

(dalam Jupri, 2010:43) struktur pembagian hasil dan informasi dengan kelompok lain

dilakukan dengan cara:

1. Peserta didik bekerja sama dalam kelompok dengan 4 orang anggota seperti biasa.

2. Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok akan meninggalkan

kelompoknya dan masing-masing bertamu ke kelompok yang lain.

3. Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan

informasi mereka ke tamu mereka.

4. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan

temuan mereka dari kelompok lain.

5. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.

Aktivitas belajar yang terdapat dalam model pembelajaran kooperatif tipe

TSTS ini melibatkan pengakuan tim dan tanggungjawab kelompok pembelajaran


24

secara individu. Dalam pembelajaran TSTS ini yang menjadi inti dalam kegiatannya

menurut Yusritawati (2009:14) yaitu:

1. Mengajar: guru mempresentasikan materi pelajaran

2. Belajar pada tim: peserta didik belajar melalui kegiatan kerja dalam tim/kelompok

dan antar kelompok dengan dipandu oleh lembar kegiatan untuk menuntaskan

materi pelajaran.

3. Penghargaan: pemberian penghargaan kepada peserta didik yang berprestasi dan

tim/kelompok yang memperoleh skor tertinggi dalam kuis.

2.4.3 Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS

Adapun langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe

Two Stay Two Stray seperti yang diungkapkan Lie (2002), antara lain:

1. Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang setiap kelompoknya terdiri

dari empat siswa. Kelompok yang dibentuk merupakan kelompok heterogen

dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pada siswa untuk saling

membelajarkan (Peer Tutoring) dan saling mendukung.

2. Guru memberikan sub pokok bahasan pada tiap-tiap kelompok untuk dibahas

bersama-sama dengan anggota kelompoknya masing-masing.

3. Siswa bekerjasama dalam kelompok beranggotakan empat orang. Hal ini

bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat terlibat secara

aktif dalam proses berpikir.

4. Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok meninggalkan

kelompoknya untuk bertamu ke kelompok lain. Struktur Two Stay Two Stray yang

dimaksud tampak seperti pada gambar berikut ini:


25

5. Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan

informasi mereka ke tamu mereka.

6. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan

temuan mereka dari kelompok lain.

7. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.

8. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerja mereka.

2.4.4 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS

Suatu model pembelajaran pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Adapun

kelebihan dari model TSTS menurut Kurniasih (2017: 76) adalah sebagai berikut:

1. Dapat diterapkan pada semua kelas/tingkatan.

2. Merupakan salah satu model inovatif yang berbasis pada aktifitas peserta didik

3. Dengan diterapkan model pembelajaran ini peserta didik tidak hanya bekerja sama

dengan anggota sekelompoknya tetapi juga bisa bekerja sama dengan kelompok

lain yang memungkinkan terciptanya keakraban sesame teman dalam satu kelas

dan peserta didik dapat beralih sebagai subjek dalam pembelajaran.

4. Mengembangkan sikap dalam diri peserta didik dengan bertambahnya

kekompakan dan rasa percaya diri.


26

5. Meningkatkan kemampuan berbicara untuk mengemukakan pendapat peserta

didik.

6. Proses pembelajaran di dalam kelas menjadi lebih bermakna.

Bedasarkan kelebihan di atas, maka kekurangan dari model TSTS adalah:

1. Waktu yang dibutuhkan lebih lama.

2. Kecenderungan hanya peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi yang aktif.

3. Butuh persiapan materi.

4. Suasana kelas cenderung gaduh.

Berdasarkan pemaparan tersebut, bahwa kelebihan model pembelajaran

TSTS adalah lebih fleksibel untuk diterapkan karena bisa diterapkan pada semua

tingkatan dan berbagai mata pelajaran termasuk mata pelajaran Matematika pada

materi Geometri kelas VII. Proses belajar pun akan menjadi lebih bermakna karena

siswa mencoba untuk menggali lebih dalam mengenai materi yang sedang dipelajari.

Model pembelajaran TSTS juga lebih berorientasi pada keaktifan karena siswa yang

harus aktif menjadi sumber pembelajaran, baik dari kelompoknya sendiri ataupun

saat berkunjung pada kelompok lain. Selain itu, kelebihan model TSTS juga dapat

membuat siswa menjadi lebih berani, percaya diri, dan kompak dalam mengerjakan

tugas kelompok. Model pembelajaran TSTS juga dapat membantu untuk

meningkatkan kemampuan berbicara siswa dan meningkatkan minat dan prestasi

belajar siswa. Sedangkan kekurangan dari model TSTS adalah waktu yang

dibutuhkan dalam proses pemelajaran relatif lama, dan seringkali yang lebih aktif

dalam pembelajaran adalah siswa yang mempunyai kemampuan tinggi. Model

pembelajaran TSTS juga mempunyai persiapan yang cukup berarti dalam hal materi
27

dan tenaga. Suasana kelas juga menjadi cenderung lebih gaduh apabila menggunakan

model TSTS.

2.5 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI

TAI (Team Assisted Individualization) memiliki dasar pemikiran yaitu untuk

mengadaptasi pengajaran terhadap perbedaan individual berkaitan dengan

kemampuan siswa maupun pencapaian prestasi siswa. TAI (Team Assisted

Individualization) termasuk dalam pembelajaran kooperatif. Dalam model

pembelajran TAI, siswa ditempatkan dalam kelompok–kelompok kecil (4 sampai 5

siswa) yang heterogen dan selanjutnya diikuti dengan pemberian bantuan secara

individu bagi siswa yang memerlukannya. Pembelajaran kelompok tipe ini

diharapkan agar para siswa dapat meningkatkan pikiran kritis, kreatif, dan

menumbuhkan rasa sosial yang tinggi. (Suyitno, 2007).

Model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization)

ini di dikembangkan oleh Robert E Slavin dalam karyanya Coperative Learning:

Theory, Research, and Practice, Slavin memberikan penjelasan bahwa dasar

pemikiran dibalik individualisasi pembelajaran adalah bahwa para siswa memasuki

kelas dengan pengetahuan, kemampuan, dan motivasi yang sangat beragam. Ketika

guru menyampaikan materi besar kemungkinan ada sebagian siswa yang tidak

memiliki syarat kemampuan untuk mempelajari pelajaran tersebut dan akan gagal

memperoleh manfaat dari metode tersebut. Siswa yang lainnya malah sudah tahu

materi itu, atau bisa mempelajarinya sangat cepat sehingga waktu mengajar yang

dihabiskan bagi mereka hanya membuang waktu. (Slavin, 2005).


28

Model kooperatif tipe TAI memiliki 8 (delapan) komponen yaitu sebagai

berikut:

1. Team (Teams). Para siswa dalam pembelajaran model TAI dibagi ke dalam tim-

tim yang beranggotakan 4 sampai 5 orang.

2. Tes Penempatan (Placement Test). Para siswa diberikan tes pra-pelaksanaan

program dalam bidang operasi matematika pada permulaan pelaksanaan program.

Mereka ditempatkan pada tingkat yang sesuai dalam program individual

berdasarkan kinerja mereka dalam tes ini. Hal ini bertujuan mengetahui

kelemahan siswa pada bidang tertentu.

3. Materi-Materi Kurikulum (Curriculum Materials). Untuk sebagian besar dari

pengajaran matematika mereka, para siswa bekerja pada materi-materi kurikulum

individual yang mencakup penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian,

angka, pecahan, decimal, rasio, persen, statistic, dan aljabar.

4. Belajar Kelompok (Team Study). Tahapan tindakan belajar yang harus

dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan secara individu

kepada siswa yang membutuhkan bantuan secara individual kepada siswa yang

membutuhkannya.

5. Skor Tim dan Rekognisi Tim (Team score and Team Recognition). Pada tiap

akhir minggu, guru menghitung jumlah skor tim. Skor ini didasarkan pada jumlah

rata-rata unit yang biasa dicakupi oleh tiap anggota tim dan jumlah tes-tes unit

yang berhasil diselesaikan dengan akurat. Kriterianya dibangun dari kenerja tim.

Kriteria yang tinggi ditetapkan bagi sebuah tim super, kriteria sedang menjadi tim

sangat baik, dan kriteria minimum untuk menjadi tim baik. Tim-tim yang
29

memenuhi kriteria menjadi tim super atau tim sangat baik menerima sertifikat

yang menarik.

6. Kelompok Pengajaran (Teaching Group). Setiap hari guru memberikan

pengajaran selama sekitar 10-15 menit kepada 2 atau 3 kelompok kecil siswa yang

terdiri dari siswa-siswa dari tim berbeda yang tingkat pencapaian kurikulumnya

sama. Inti dari kegiatan ini yaitu pemberian materi secara singkat dari guru

menjelang pemberian tugas kelompok.

7. Tes Fakta (Fact Test). Seminggu dua kali, para siswa diminta mengerjakan tes-tes

fakta selama tiga menit (biasanya fakta-fakta perkalian atau pembagian). Para

siswa tersebut diberikan lembar-lembar fakta untuk dipelajari di rumah untuk

menghadapi tes-tes ini.

8. Unit Seluruh Kelas (Whole-Class Units). Pada akhir tiap-tiap minggu, guru

menghentikan program individual dan menghasilkan satu minggu mengajari

seluruh kelas kemampuan semacam geometri, ukuran, serangkaian latihan, dan

strategi penyelesaian masalah. (Slavin, 2005:195-200)

2.5.1 Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI

Dalam pembelajaran kooperatif, salah satu yang menjadi karakteristiknya

adalah kemampuan siswa untuk bekerja sama dalam kelompok kecil yang heterogen.

Masing-masing anggota kelompok memiliki tugas yang setara dan keberhasilan

kelompok sangat di perhatikan. oleh karena itu, siswa yang pandai akan ikut

bertanggung jawab membantu temannya yang lemah dalam kemampuan dan

keterampilannya, sedangkan siswa yang lemah akan dapat terbantu untuk memahami

permasalahan yang diselesaikan dalam kelompok tersebut.


30

Menurut Slavin (2005), model pembelajaran kooperatif tipe TAI ini

dikembangkan dengan beberapa alas an yaitu: model pembelajaran ini

mengkombinasikan keunggulan kooperatif dan program pengajaran individual, dan

dengan menggunakan model pembelajaran ini maka akan dapat menimbulkan efek

sosial ketika dalam kegiatan pembelajaran kooperatifnya. Model pembelajaran

kooperatif tipe TAI ini disusun untuk dapat membantu siswa yang mengalami

kesulitan belajar secara individual.

2.5.2 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI

Menurut Suyitno dan Amin (2002), terdapat 8 tahapan dalam pelaksanaan

model pembelajaran kooperatif tipe TAI ini, yaitu:

1. Placement test

Pada langkah ini guru memberikan tes awal pre-test kepada peserta didik. Cara ini

bisa digantikan dengan mencermati rata-rata nilai harian atau nilai pada bab

sebelumnya yang diperoleh peserta didik sehingga guru dapat mengetahui

kelemahan peserta didik pada bidang tertentu.

2. Teams

Merupakan langkah yang cukup penting dalam penerapan model pembelajaran

kooperatif tipe Team Assited Individualization. Pada tahap ini guru membentuk

kelompok-kelompok yang bersifat heterogen yang terdirii dari 4 – 5 orang siswa

dalam satu kelompok.

3. Teaching Group

Guru memberikan materi secara singkat menjelang pemberian tugas kelompok.

4. Student Creative
31

Pada langkah selanjutnya, guru perlu menekankan dan menciptakan persepsi

bahwa keberhasilan setiap peserta didik (individu) ditentukan oleh keberhasilan

kelompoknya.

5. Team Study

Pada tahapan team study peserta didik belajar bersama dengan mengerjakan

tugas-tugas dari LKPD yang diberikan dalam kelompoknya. Pada tahapan ini guru

juga memberikan bantuan secara individual kepada peserta didik yang

membutuhkan, dengan dibantu peserta didik-peserta didik yang memiliki

kemampuan akademis bagus di dalam kelompok tersebut yang berperan sebagai

peer tutoring (tutor sebaya).

6. Fact test

Guru memberikan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh peserta didik,

misalnya dengan memberikan kuis, dsb.

7. Team Score dan Team Recognition

Selanjutnya guru memberikan skor pada hasil kerja kelompok dan memberikan

“gelar” penghargaan terhadap kelompok yang berhasil secara cemerlang dan

kelompok yang dipandang kurang berhasil dalam menyelesaikan tugas. Misalnya

dengan menyebut mereka sebagai “kelompok OK”, kelompok “LUAR BIASA”,

”kelompok CERDAS” dan sebagainya.

8. Whole-Class Units

Langkah terakhir, guru menyajikan kembali materi oleh guru kembali di akhir bab

dengan strategi pemecahan masalah untuk seluruh peserta didik di kelasnya.

Slavin (2005: 196-199) juga menjelaskan tahapan-tahapan yang akan dilalui

selama pembelajaran kelompok, yaitu:


32

1. Para siswa membentuk kelompok terdiri dari 2 atau 3 orang dalam tim mereka

untuk melakukan pengecekan.

2. Para siswa membaca halaman panduan mereka dan meminta teman satu tim atau

guru untuk membantu bila diperlukan. Selanjutnya mereka akan memulai latihan

kemampuan yang pertama dalam unit mereka.

3. Tiap siswa mengerjakan empat spal pertama dalam latihan kemampuannya sendiri

dan selanjutnya jawabannya di cek oleh teman satu timnya dengan halaman

jawaban yang sudah tersedia, yang dicetak dengan urutan terbalik di dalam buku.

Apabila keempat soal tersebut benar, siswa tersebut boleh melanjutkan ke latihan

kemampuan berikutnya. Jika ada yang salah, mereka harus mencoba mengerjakan

kembali keempat soal tersebut, dan seterusnya, sampai siswa bersangkutan dapat

menyelesaikan keempat soal tersebut dengan benar. Para siswa yang menghadapi

masalah pada tahap ini didorong untuk meminta bantuan dari timnya sebelum

meminta bantuan dari guru.

4. Apabila siswa sudah dapat menyelesaikan keempat soal dengan benar dalam

latihan kemampuan terakhir, dia akan mengerjakan tes formatif A, yaitu kuis yang

terdiri dari sepuluh soal yang mirip dengan latihan kemampuan terakhir. Pada saat

mengerjakan tes formatif, siswa harus bekerja sendiri sampai selesai. Seorang

teman satu timnya akan menghitung skor tesnya. Apabila siswa tersebut dapat

mengerjakan delapan atau lebih soal dengan benar, teman satu tim tersebut akan

menandatangani hasil tes itu untuk menunjukkan bahwa siswa tersebut telah

dinyatakan sah oleh teman satu timnya untuk mengikuti tes unit. Bila siswa

tersebut tidak bisa mengerjakan delapan soal dengan benar, guru akan dipanggil

untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa tersebut. Guru


33

mungkin akan meminta si siswa untuk kembali mengerjakan soal-soal latihan

kemampuan lalu mengerjakan tes formatif B, sepuluh soal kedua yang konten dan

tingkat kesulitannya sejajar dengan tes formatif A. Atau jika tidak, siswa tersebut

yang boleh mengerjakan tes unit sampai dia mengerjakan tes formatif dan

pekerjaannya diperiksa oleh temannya.

5. Tes formatif para siswa ditandatangani oleh siswa pemeriksa yang berasal dari tim

lain supaya bisa mendapatkan tes unit yang sesuai. Siswa tersebut selanjutnya

menyelesaikan tes unitnya, dan siswa pemeriksa akan menghitung skornya. Tiap

hari dua murid secara bergantian menjadi pemeriksa.

2.5.3 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI

Kelebihan Model Pembelajaran TAI (Team Assisted Individualization)

menurut Slavin (2005: 190-195), yaitu:

a. Dapat meminimalisir keterkaitan guru dalam pemeriksaan dan pengelolaan rutin.

b. Guru setidaknya akan menghabiskan separuh dari waktunya untuk mengajar

kelompok–kelompok kecil.

c. Operasional program tersebut akan sedemikian sederhana sehingga para siswa

dikelas tiga ke atas dapat melakukannya.

d. Tersedianya banyak cara pengecekan penguasaan supaya para siswa jarang

menghabiskan waktu mempelajari kembali materi yang sudah mereka kuasai

atau menghadapi kesulitan serius yang membutuhkan bantuan guru. Pada tiap

pos pengecekan penguasaan, dapat tersedia kegiatan-kegiatan pengajaran

alternative dan tes-tes yang paralel.


34

e. Para siswa akan dapat melakukan pengecekan satu sama lain, sekalipun bila

siswa yang mengecek kemampuannya ada dibawah siswa yang dicek dalam

rangkaian pengajaran, dan prosedur pengecekan akan cukup sederhana dan tidak

mengganggu si pengecek.

f. Programnya mudah dipelajari baik oleh guru maupun siswa, tidak mahal,

fleksibel, dan tidak membutuhkan guru tambahan ataupun tim guru.

g. Dengan membuat para siswa bekerja dalam kelompok–kelompok kooperatif,

dengan status sejajar, program ini akan membangun kondisi untuk terbentuknya

sikap–sikap positif terhadap siswa–siswa mainstream yang cacat secara

akademik dan diantara para siswa dari latar belakang ras atau etnik berbeda.

Menurut Shoimin (2014: 200), dalam model pembelajaran Kooperatif tipe

TAI ini memiliki kekurangan sebagai berikut:

a. Tidak adanya persaingan antar kelompok.

b. Bergantungnya siswa yang lemah pada siswa yang pandai.

c. Terhambatnya cara berpikir siswa yang mempunyai kemampuan lebih terhadap

siswa yang kurang.

d. Membutuhkan waktu yang lama dalam mempersiapkan dan menjalankan model

pembelajaran ini.

e. Sesuatu yang harus dipelajari dan dipahami belum seluruhnya dapat dicapai oleh

siswa.

f. Bila kerja sama tidak dapat dilaksanakan dengan baik, yang akan bekerja

hanyalah beberapa siswa yang pintar dan yang aktif saja.

g. Siswa yang pintar akan merasa keberatan karena nilai yang diperoleh ditentukan

oleh prestasi atau pencapaian kelompok.


35

2.6 Implementasi Langkah-Langkah Scaffolding pada Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe TSTS dan TAI

Setiap model pembelajaran kooperatif pasti terdapat Scaffolding di dalam

langkah-langkah pembelajarannya. Hal ini berdasarkan penuturan Rusman (2013)

yang mengatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif siswa akan dapat saling

membelajarkan sesama siswa lainnya dan pembelajaran oleh rekan sebaya

(peerteaching) lebih efektif daripada pembelajaran oleh guru. Berdasarkan hal

tersebut, maka dapat dipastikan bahwa dalam pembelajaran kooperatif terdapat

langkah-langkah Scaffolding. Dimana Scaffolding tersebut merupakan jembatan ilmu

antara guru dengan siswa. Sehingga dengan adanya Scaffolding dalam langkah-

langkah pembelajaran pada model kooperatif maka dapat membantu siswa yang

mengalami kesulitan belajar dapat mencapai pemahamannya dengan baik.

Langkah-langkah Scaffolding berdasarkan Gasong (2007) adalah sebagai

berikut:

1. Menjelaskan materi pembelajaran.

2. Menentukan Zone of Proximal Development (ZPD) atau level perkembangan

siswa berdasarkan tingkat kognitif siswa dengan melihat nilai hasil belajar

sebelumnya (pretest atau data nilai sebelumnya).

3. Mengelompokkan siswa berdasarkan ZPD siswa..

4. Memberikan tugas belajar berupa soal-soal berjenjang yang berkaitan dengan

materi pembelajaran.

5. Mendorong siswa untuk bekerja dan belajar menyelesaikan soal-soal secara

mandiri dengan berkelompok.


36

6. Memberikan bantuan berupa bimbingan, motivasi, pemberian contoh, kata kunci

atau hal lain yang dapat memancing siswa ke arah kemandirian belajar.

7. Mengarahkan siswa siswa yang memilki ZPD tinggi untuk membantu siswa

yang memiliki ZPD rendah.

8. Menyimpulkan pelajaran dan memberikan tugas-tugas.

Model pembelajaran kooperatif sangat berbeda dengan model pembelajaran

langsung. Selain karena model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk

mencapai hasil belajar kompetensi akademik, model pembelajaran kooperatif juga

efektif untuk mengembangkan kompetensi sosial siswa.

2.6.1 Implementasi Langkah-Langkah Scaffolding pada Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe TSTS

Table 6.1
Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe TSTS

Langkah-Langkah
Fase Pemberian Scaffoding
Pembelajaran
1. Menyampaikan  Menjelaskan tujuan
tujuan dan pembelajaran dan
mempersiapkan mempersiapkan
anak didik. siswa untuk belajar.

2. Menyajikan  Guru menyampaikan .


informasi. informasi dan materi
pelajaran.

3. Mengorganisir  Pembentukan Awal mulanya


peserta didik ke kelompok secara pembentukan
dalam tim-tim heterogen yang Scaffolding yang berasal
belajar. beranggotakan 4-5 dari siswa yang
siswa dengan memiliki ZPD tinggi.
kemampuan yang
berbeda-beda.
4. Membantu kerja  siswa 2-3 orang dari Proses diskusi yang
tim dan belajar. tiap kelompok dilakukan setelah
berkunjung ke mengunjungi kelompok
kelompok lain untuk lawan akan menjadi
37

mencatat hasil Scaffolding dalam


pembahasan LKS model pembelajaran ini.
atau tugas dari Karena pada saat itulah
kelompok lain, dan masing-masing
sisa kelompok tetap argument akan
dikelompoknya terlontarkan sesuai
untuk menerima dengan apa yang mereka
siswa yang bertamu pahami masing-masing.
ke kelompoknya. Sehingga dengan
demikian masing-
 siswa yang bertamu masing siswa dapat
kembali ke mengkonstruksi
kelompoknya pemahaman mereka
masing-masing dan terhadap perbedaan-
menyampaikan hasil perbedaan cara
kunjungannya penjelasan yang
kepada teman yang dijelaskan oleh teman-
tetap berada dalam temanya.
kelompok. Hasil
kunjungan dibahas
bersama dan dicatat.

5. Mengevaluasi  hasil diskusi Yang menjadi


kelompok perwakilan dari
dikumpulkan dan kelompok untuk
salah satu kelompok presentasi kedepan akan
mempresentasikan menjadi Scaffolding
jawaban mereka, bagi temannya yang lain
kelompok lain yang masih belum
memberikan memahami pelajaran
tanggapan. yang sedang
berlangsung. Selain itu,
 Evaluasi hasil jawaban dari guru juga
diskusi dan akan menjadi
penyempurnaan Scaffolding bagi siswa
jawaban peserta yang masih mengalami
didik oleh guru. kesulitan dalam
memahami materi.

6. Memberikan  Pengumuman skor Komentar dan


penghargaan tiap kelompok serta pertanyaan yang muncul
penetapan dan akan menjadi
pemberian Scaffolding bagi siswa
penghargaan bagi lainnya yang belum
kelompok super, memahami materi untuk
kelompok hebat, dan dapat memahaminya.
kelompok baik.
38

2.6.2 Implementasi Langkah-Langkah Scaffolding pada Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe TAI

Table 6.2
Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe TSTS

Unsur Model
Pembelajaran Langkah-Langkah
Pemberian Scaffoding
Kooperatif Tipe Pembelajaran
TAI
1. Teams  Pembentukan
kelompok secara
heterogen yang
beranggotakan 4-5
siswa.

2. Placement Test  Prosedur Awal mulanya


pembentukan pembentukan
kelompok yaitu Scaffolding yang
berdasarkan berasal dari siswa
perangkingan yang memiliki ZPD
berdasarkan tinggi.
perolehan nilai
sebelumnya.

3. Teaching Group  Pembagian handout


untuk masing-masing
individu.

 Penjelasan secara
singkat pokok materi
yang akan dibahas
pada pertemuan itu
oleh guru

4. Student Creative  Peserta didik belajar Handout yang berperan


secara individu sebagai Scaffolding
materi yang terdapat dalam membantu siswa
pada handout dan memahami materi
mengerjakan soal-
soal

5. Team Study  Peserta didik Teman sebaya yang


berdiskusi tentang memiliki ZPD tinggi
materi dan akan menjadi
39

mengoreksi jawaban Scaffolding bagi anggota


LKPD dengan teman kelompok yang
satu kelompok. memiliki tingkat ZPD
rendah..
6. Whole-Class  Perwakilan Komentar dan
Units kelompok maju pertanyaan yang muncul
untuk akan menjadi
mempresentasikan Scaffolding bagi siswa
hasil kerja kelompok. lainnya yang belum
memahami materi untuk
 Kelompok lain dapat memahaminya.
memberikan
tanggapan
pertanyaan.

 Evaluasi hasil
diskusi dan
penyempurnaan
jawaban peserta
didik oleh guru.

7. Facts Test  Pelaksanaan tes akhir


dan peserta didik
mengerjakan secara
individu.

8. Team Score and  Pengumuman skor Pemberian penghargaan


Team Regonition tiap kelompok serta sebagai bentuk
penetapan dan Scaffolding bagi seluruh
pemberian anggota kelompok yang
penghargaan bagi mendapatkan
kelompok super, penghargaan. Karena
kelompok hebat, dan dengan adanya
kelompok baik. penghargaan tersebut
mereka akan termotivasi
untuk bisa mendapatkan
penghargaan lagi untuk
kedepannya.

2.7 Tinjauan Materi Geometri Kelas VII tentang segitiga

Penelitian ini akan dilakukan pada materi Geometri kelas VII, khususnya bab

Segi Empat dan Segitiga. Namun karena keterbatasan waktu yang dimiliki oleh

peneliti, maka peneliti memilih materi penelitian hanya dilakukan pada materi
40

segitiga yang diajarkan berdasarkan buku paket siswa kurikulum 2013 revisi 2017

yang terdapat pada halaman 245-283. Peneliti memilih materi ini dikarenakan materi

ini banyak menuntut adanya usaha individu dan kelompok untuk mencapai tujuan

pembelajarannya. Sehingga dalam materi ini peneliti dapat menerapkan model

pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan TAI. Selain itu, Soemadi (2000: 1)

mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan geometri adalah mengembangkan

kemampuan berpikir logis, mengajar membaca dan menginterprestasikan argumen-

argumen matematika, menanamkan pengetahuan (geometri) yang diperlukan untuk

studi lanjut dan mengembangkan kemampuan keruangan. Maka dari itu, pernyaataan

tersebut sejalan dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan TAI yang

banyak menuntut pembelajaran secara individu dan juga secara kooperatif.

Yang menjadi sub materi dari materi segitiga pada penelitian ini adalah

memahami jenis dan sifat segitiga, memahami kelililing dan luas segitiga dan

memahami garis-garis istimewa pada segitiga.

2.8 Penelitian Terdahulu

Hidayah (2017) dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Model

Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray Untuk Meningkatkan Hasil

Belajar Matematika Peserta Didik Kelas III MIN Pandansari Ngunut Tulungagung”

merupakan salah satu penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayah ini didapatkan bahwa terdapat

Peningkatan hasil belajar peserta didik melalui penerapan model pembelajaran

kooperatif tipe two stay two stray pada mata pelajaran Matematika peserta didik

kelas III MIN Pandansari Ngunut Tulungagung. Penelitian yang telah dilakukan
41

terbukti bahwa keaktifan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran

semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan aktivitas peserta

didik ada peningkatan dari siklus I sampai siklus II yaitu dari 79,5 % - 91% dengan

kategori sangat baik, dan aktivitas peneliti pada siklus I sampai siklus II yaitu 84 % -

93,5 % dengan kategori sangat baik juga. Selain itu, untuk hasil tes juga mengalami

peningkatan dari nilai rata – rata peserta didik 61,54 % menjadi 94,5 %. Demikian

juga dalam hal ketuntasan belajar juga mengalami peningkatan dari siklus I sampai

siklus II yaitu 31,82 % - 100%. Hasil nilai belajar peserta didik ini berada pada

tingkat keberhasilan yaitu kriteria sangat baik. Sehingga, hal ini menunjukkan

peserta didik telah menguasai materi pembagian dengan baik.

Selanjutnya, penelitian sebelumnya tentang Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe TAI dilakukan oleh Anjarsari (2017) dengan judul “Penerapan Model

Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) Untuk

Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Barisan dan Deret Kelas

XI SMK PGRI 1 Tulungagung”. Dalam penelitiannya, Anjarsari (2017)

mendapatkan hasil penelitiannya yaitu penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

Team Assited Individualization (TAI) dapat meningkatkan minat hasil belajar

Matematika siswa materi Barisan dan Deret kelas XI APK 1 SMK PGRI 1

Tulungagung.

Dalam penelitian sebelumnya terkait model pembelajaran kooperatif yang

diterapkan pada materi geometri terdapat pada penelitian dari Kusfianti dan Mufidah

(2010) dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay

Two Stray (TSTS) Untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Matematika

Materi Keliling dan Luas Segi Empat dan Segitiga Pada Siswa Kelas VII SMPN 7
42

Malang”. Dalam penelitiannya, Kusfianti dan Mufidah mendapatkan hasil bahwa

motivasi belajar siswa pada siklus II menunjukkan peningkatan jika dibandingkan

dengan siklus I. Skor motivasi rata- rata angket sebelum tindakan 154,6 atau 77,3%

meningkat menjadi 170,86 atau 85% setelah pelaksanaan tindakan. Rata-rata kelas

dari hasil evaluasi di siklus II juga mengalami peningkatan, pada saat siklus I sebesar

57,8 dan hasil belajar setelah tindakan sebesar 78,8 dengan peningkatan sebesar 11,4.

Ketuntasan belajar secara klasikal pada siklus I sebesar 25% dan pada siklus II

meningkat menjadi 85%. Jadi, ketuntasan belajar mengalami peningkatan sebesar

60%..

Kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Astisa (2016)

mengenai perbandingan antara dua model pembelajaran kooperatif dengan judul

penelitiannya “Perbandingan Hasil Belajar Antara Model pembelajaran Kooperatif

Group Investigation Dengan Two Stay Two Stray Pada Kelas IX MTs Madani Pao-

Pao”, mendapatkan hasil penelitiannya yaitu hasil belajar biologi siswa kelas IX MTs

MAdani Pao-Pao yang diajarkan dengan model pembelajaran Group Investigasion

tergolong tinggi dengan persentase sebesar 68% dari 25 siswa dan nilai rata-rata

sebesar 66,24. Sama halnya dengan pembelajaran yang dilakukan dengan

menggunakan model pembelajarn Two Stay Two Stray yang juda mengalami

kenaikan pada hasil belajar biologi siswa kelas IX MTs Madani Pao-Pao dengan

persentase 44% dari 25 siswa dan nilai rata-rata sebesar 80,26. Kemudian dalam

penelitian ini juga di dapat perbedaan hasil belajar biologi menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe Group Investasion model pembelajaran kooperatif Two

Stay Two Stray. Dimana hasil belajar siswa kelompok eksperimen 1 (IXa) yang

diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Group Investigasion lebih


43

rendah dibandingkan dengan kelompok eksperimen 2 (IXA) yang diajar dengan

menggunakan media pembelajaran Two Stay Two Stray. Oleh sebab itu, dapat terlihat

bahwa ada perbedaan peningkatan rata-rata hasil belajar. Sehingga dengan adanya

penelitian ini tertarik bagi peneliti untuk meneliti lebih lanjut tentang perbandingan

dua model kooperatif dengan tipe yang berbeda. Namun yang digunakan dalam

penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif yang lebih banyak terdapat

Scaffolding di dalamnya yaitu model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan TAI.

2.9 Anggapan Dasar dan Hipotesis Penelitian

Anggapan dasar atau asumsi dasar adalah sederetan asumsi yang kuat tentang

kedudukan permasalahannya. Menurut Surachmad (dalam Arikunto, 2012),

“anggapan dasar atau asumsi adalah sesuatu hal yang diyakini kebenarannya oleh

peneliti harus dirumuskan secara jelas. Anggapan dasar ini merupakan landasan teori

di dalam laporan hasil penelitian nanti”. Adapun anggapan dasar dalam penelitian ini

adalah:

1. Materi Geometri dipelajari di SMP/MTs kelas VII semester II

2. Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan TAI dapat diterapkan dalam

materi Geometri kelas VII

Berdasarkan anggapan dasar yang telah disebutkan di atas, yang menjadi

hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Hasil belajar siswa mengalami ketuntasan dengan penerapan model pembelajaran

kooperatif tipe TSTS dan TAI pada materi geometri kelas VII SMP IT Lukmanul

Hakim Aceh Besar.


44

2. Terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar siswa melalui model

pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan TAI pada materi geometri kelas VII SMP

IT Lukmanul Hakim Aceh Besar.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif

merupakan penelitian yang didasarkan atas perhitungan menggunakan angka, mulai

dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data, serta pengumpulan dari hasilnya

(Arikunto, 2012:27). Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen

dengan Quasi Eksperimental (Eksperimen Semu). Eksperimental semu adalah untuk

memperoleh informasi yang meruapakan perkiraan bagi informasi yang dapat

diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak

memungkinkan untuk mengontrol atau memanipulasikan semua variabel yang

relevan (Sumadi, 2009).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ketuntasan belajar dan perbedaan

hasil belajar matematika siswa pada materi geometri kelas VII di SMP IT Lukmanul

Hakim Aceh Besar dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan

TAI. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan

Posttest-only Control, Nonequivalent Multiple-Group Design. Desain eksperimen

dalam penelitian ini sesuai dengan pendapat Sugiyono (2010) adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1

45
46

Posttest-Only Control Design


Kelompok Perlakuan (Treatment) Posttest
Eksperimen 1 X1 O1
Eksperimen 2 X2 O2

Keterangan:

X1 = perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS

X2 = Perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe TAI

O = pemberian posttest

Penelitian ini melibatkan dua kelas VII yang mempunyai karakteristik hampir

sama. Kedua kelas ini selanjutnya disebut dengan kelas eksperimen 1 dan kelas

eksperimen 2. Pada kelas eksperimen 1 diberi perlakuan dengan model pembelajaran

kooperatif tipe TSTS, sedangkan kelas eksperimen 2 diberi perlakuan dengan model

pembelajaran kooperatif tipe TAI. Hasil kedua tes akhir dibandingkan untuk

mengetahui ketuantasan belajar siswa terhadap masing-masing perlakuan dan untuk

mengetahui perbedaan yang menunjukkan pengaruh perlakuan yang sudah diberikan.

3.2 Populasi dan Sampel


47

“Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian” (Arikunto, 2012). Dalam

penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh siswa kelas VII SMP IT

Lukmanul Hakim Aceh Besar yang berjumlah 32 siswa dari 2 kelas. Sampel adalah

sebagian dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2012). Namun yang menjadi sampel

dalam penelitian ini juga merupakan seluruh siswa kelas VII di SMP IT Lukmanul

Hakim Aceh Besar. Hal ini disebabkan karena sekolah tersebut hanya memiliki 2

kelas VII yang terdiri dari 16 siswa laki-laki dan 16 siswa perempuan.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini terdiri atas data observasi dan hasil belajar siswa. Data

hasil belajar siswa dilakukan dengan cara tes posttest. Instrument penelitian

merupakan alat yang digunakan dalam kegiatan menggunakan data, agar kegiatan

tersebut sistematis dan mudah dipahami dalam penelitian (Arikunto, 2012).

3.3.1 Tes Hasil Belajar

Tes digunakan untuk mengetahui ketuntasan dab perbedaan hasil belakar

siswa dengan penerapan model pembelajaran model kooperatif tipe TSTS dan TAI.

Tes ini dilaksanakan sesudah (posttest) untuk mengetahui kemampuan siswa

mengenai pembelajaran yang telah disampaikan pada pembelajaran matematika

dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan TAI. Posttest yang dilakukan
48

berisi 5 soal essay. Setiap butir soal posttest memiliki skor yang berbeda-beda

berdasarkan jawaban yang dijawab oleh siswa dan total skor maksimal adalah 100.

3.4 Teknik Analisis Data

Setelah semua data terkumpul secara keseluruhan, tahap selanjutnya adalah

analisis data. Analisis Statistik digunakan untuk memperoleh jawaban tentang

perbandingan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan TAI berkaitan dengan

ketuntasan dan perbedaan hasil belajar siswa pada materi geometri kelas VII di SMP

IT Lukmanul Hakim Aceh Besar.

3.4.1 Ketuntasan Hasil Belajar Siswa Dengan Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe TSTS dan TAI

Setelah memperoleh data melalui lembar jawaban posttest siswa, penulis

melakukan penilaian terhadap tes yang diberikan. Setiap soal memiliki skor yang

berbeda. Hasil dari posttest digunakan untuk melihat ketuntasan hasil belajar siswa

sesuai dengan KKM yang diberikan di sekolah tersebut. Menurut Arikunto (2013)

apabila data yang dianalisis berdistribusi normal maka pengujian hipotesis dapat

digunakan teknik statistik parametrik. Sedangkan data yang tidak berdistribusi

normal diolah dengan statistik non-parametrik. Kegiatan pengolahan data diawali

dengan mentabulasikan data yang telah terkumpul ke dalam data distribusi,langkah-

langkahnya adalah sebagai berikut:


49

1) Membuat tabel distribusi frekuensi dengan panjang kelas yang sama. Dalam

buku Sudjana (2005:47) terlebih dahulu ditentukan :

 Rentang (R), adalah data terbesar dikurangi data terkecil

 Banyak kelas interval (K) dengan menggunakan aturan sturges, yaitu:

K = 1 + 3,3 log n, dengan n menyatakan banyak data.

 Panjang kelas interval (P)

Rentang
P=
Banyak Kelas

2) Mencari nilai rata-rata (x́)

x́=
∑ f i xi
∑ fi
Ket :

fi = Frekuensi Kelas Interval


xi = Nilai Tengah Kelas Interval

3) Menentukan simpangan baku (s)

Untuk menentukan simpangan baku (s) dapat dicari dengan

menggunakan rumus varians (s2) terlebih dahulu, dalam buku Sudjana

(2005:95) rumus untuk menentukan varians adalah:


2
2
n ∑ f i x i − ( ∑ f i x i)
2

s=
n ( n−1 )

Keterangan :

s2 = Varians

s = Simpangan baku/standar deviasi


50

fi = Frekuensi kelas interfal data

xi = Nilai tengah kelas interfal data

n = Banyaknya data

Kemudian Sudjana (2005:93) juga menjelaskan bahwa “untuk simpangan

baku (s) dari s2 diambil harga positif”.

4) Menguji Normalitas data

Sebelum memulai analisis data secara statistik, ada persyaratan yang terlebih

dahulu harus dipenuhi yaitu haru menguji normalitas data penelitian. Uji normalitas

dilakukan untuk mengetahui apakah data dalam penelitian berdistribusi normal atau

tidak. Uji chi-kuadrat dilakukan untuk menguji normalitas data, hal ini dikemukakan

oleh Sudjana (2005) sebagai berikut:

2
k
( Oi −Ei )
χ =∑
i=1 Ei

Keterangan :

χ 2=statistik chikuadrat
Oi = Frekuensi Pengamatan
Ei = Frekuensi yang Diharapkan

5) Pengujian hipotesis

Untuk pengujian hipotesis pada penelitian ini digunakan uji statistic t. Rumus

yang dipakai yaitu :


51

x́−μ0
t= s
√n

keterangan :

t = nilai hitung distribusi siswa

x́ = nilai rata-rata

μ0 = Kriteria Kelulusan Minimal ( μ0 = 72)

SB = standar deviasi dari B́ (selisih sampel sebelum dan sesudah)


n = banyaknya sampel. (Sudjana, 2005: 227)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sebelum sampel

mendapat perlakuan dengan sampel setelah mendapat perlakuan.

Hipotesis yang akan diuji adalah :

a. Untuk model pembelajaran kooperatif tipe TSTS:

H0 : µ = 72 Hasil belajar siswa pada pembelajaran materi Geometri kelas VII dengan

penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS di SMP IT

Lukmanul Hakim Aceh Besar tidak melebihi Kriteria Ketuntasan

Minimal.
52

Ha : µ > 72 Hasil belajar siswa pada pembelajaran materi Geometri kelas VII dengan

penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS di SMP IT

Lukmanul Hakim Aceh Besar melebihi Kriteria Ketuntasan Minimal.

b. Untuk model pembelajaran kooperatif tipe TSTS:

H0 : µ = 72 Hasil belajar siswa pada pembelajaran materi Geometri kelas VII

dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI di SMP

IT Lukmanul Hakim Aceh Besar tidak melebihi Kriteria Ketuntasan

Minimal.

Ha : µ > 72 Hasil belajar siswa pada pembelajaran materi Geometri kelas VII

dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI di SMP

IT Lukmanul Hakim Aceh Besar melebihi Kriteria Ketuntasan

Minimal.

Karena uji hipotesis adalah uji pihak kanan, menurut Sudjana (2005: 231)

kriteria pengujian yang berlaku jika data berdistribusi normal adalah tolak H 0 jika t

> t1−𝛼 dimana t1−𝛼 di dapat dari daftar distribusi t dan terima H0 dalam hal lainnya.

Dengan derajat kebebasan untuk distribusi t adalah dk = (n-1) dan taraf signifikan α

= 0,05.
53

3.4.2 Perbandingan Hasil Belajar siswa Dengan Model Pembelajaran

Kooperatif tipe TSTS dan TAI

1. Uji Homogenitas

Pengujian ini dilakukan karena peneliti akan menggeneralisasikan hasil

penelitian terhadap populasi penelitian. Dalam artian bahwa apabila data yang

diperoleh homogen maka kelompok-kelompok sampel berasal dari populasi yang

sama. Pada pengujian homogenitas ini, menurut Sugiyono (2016) terlebih dahulu

dilakukan dengan uji F dengan rumus sebagai berikut:

varians terbesar
F=
varians terkecil

Dengan taraf signifikan 0,05 dan derajat kebebasan pembilang nk – 1 serta

derajat kebebasan penyebut nk – 1, maka jika diperoleh Fhitung < Ftabel berarti

varians kedua kelompok homogen.

2. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis digunakan untuk mengetahui dugaan sementara yang

dirumuskan dalam hipotesis penelitian dengan menggunakan uji dua pihak.


54

H0 : µ1 = µ2 Tidak terdapat perbedaan signifikan terhadap hasil belajar matematika

antar kelompok siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif

tipe TSTS (Two Stay Two Stray) dengan TAI (Team Assisted

Individualization) pada materi geometri kelas VII di SMP IT

Lukmanul Hakim Aceh Besar.

Ha : µ1 ≠ µ2 Terdapat perbedaan signifikan terhadap hasil belajar matematika antar

kelompok siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe

TSTS (Two Stay Two Stray) dengan TAI (Team Assisted

Individualization) pada materi geometri kelas VII di SMP IT

Lukmanul Hakim Aceh Besar.

µ1 : Rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif

tipe TSTS (Two Stay Two Stray)

µ2 : Rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif

tipe TAI (Team Assisted Individualization)

kriteria data diperoleh dari n1 = n2 dengan varians homogen. Maka untuk pengujian

hipotesis berdasarkan Sugiyono (2016), digunakan uji t sebagai berikut:

x́ 1− x´2
t= s12 s 22
√ + −¿ ¿
n1 n2
55

keterangan:

x́ 1 = Rata-rata skor kelas eksperimen 1

x́ 2 = Rata-rata skor kelas eksperimen 2

s12 = varians sampel eksperimen 1

s22 = varians sampel eksperimen 2

n1 = Jumlah anggota sampel kelas eksperimen 1

n2 = jumlah anggota sampel kelas eksperimen 2

Hipotesis penelitian akan di uji dengan criteria pengujian:

1. Jika thitung > tabel maka H0 ditolak dan Ha diterima, berarti terdapat perbedaan

signifikansi terhadap hasil belajar siswa melalui model pembelajaran kooperatif

tipe TSTS (Two Stay Two Stray) dengan TAI (Team Assisted Individualization)

pada materi geometri kelas VII di SMP IT Lukmanul Hakim Aceh Besar.

2. Jika thitung < ttabel maka H0 diterima dan Ha ditolak, berarti terdapat

signifikansi terhadap hasil belajar siswa melalui model pembelajaran kooperatif

tipe TSTS (Two Stay Two Stray) dengan TAI (Team Assisted Individualization)

pada materi geometri kelas VII di SMP IT Lukmanul Hakim Aceh Besar.

Selanjutnya untuk kategori hasil belajar siswa digunakan teknik kategori

standar yang ditetapkan oleh Depdikbud, sebagai berikut:


56

Tabel 3.3

Kategori Hasil Belajar


No. Nilai Kategori
1. 0 – 20 Sangat Rendah
2. 21 – 40 Rendah
3. 41 – 60 Sedang
4. 61 – 80 Tinggi
5. 81 - 100 Sangat Tinggi

3.5 Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMP IT Lukmanul Hakim Aceh Besar yang

beralamat di Lamtheun, kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh besar. Penelitian

ini direncanakan akan dilaksanakan pada awal bulan Maret 2020.

Tabel 3.4

Jadwal penelitian yang telah direncanakan


Bulan
No. Kegiatan
Januari Februari Maret April
1. Observasi
Lapangan
2. Penyusunan
Instrument
3. Penelitian
4. Tahap
Pengolahan
Data
5. Tahap
Penulisan
Laporan
6. Rencana
Sidang
57

Catatan : Jadwal penelitian dapat berubah sewaktu-waktu


DAFTAR PUSTAKA

54

Anda mungkin juga menyukai