multi tahap. Prosesnya dimulai dari perlekatan dan amsuknya parasit ke dalam eritrosit sampai proses
sekuestrasi eritrosit terinfeksi parasit dalam kapiler organ dalam.
Tahap 1 : Penempelan merozoit pada eritrosit. Proses ini melibatkan protein MSP-1 sebagai
ligand dan protein eritrosit band-3 sebagai reseptor.
Tahap 3 : Pembentukan tight junction. Setelah reorientasi terjadi ikatan yang kuat (binding)
antara merozoit dan eritrosit. Organela apikal yaitu micronemes berperan dalam
proses ini. Protein-protein yang berada di organ micronemes seperti Erythrocytes
Binding Antigen (EBA 175) untuk P. falciparum dan Duffy Binding Protein untuk P.
vivax berikatan dengan protein Glycophorin pada eritrosit. Pada area junction tersebut
membran eritrosit mengalami invaginasi akan terbentuk Parasitophorus Vacuolar
Membran (PVM). Organela apikal yaitu rhopties berperan dalam proses ini.
Tahap 4 : Masuknya merozoit ke dalam eritrosit melalui celah dari PVM. Organela apikal
yaitu dense granula berperan dalam proses ini. Proses ini dibantu oleh Serine
Protease dari merozoit yang akan memecah sitoskeleton eritrosit.
(Sardjono, 2011)
Selanjutnya parasit masuk ke dalam eritrosit, dan eritrosit yang terinfeksi (paratized red
blood cells/PRBC) akan mengalami perubahan struktur maupun biomolekuler sel. Pada infeksi P.
falciparum terjadi proses hipoksia akibat obstruksi dari pembuluh darah organ dalam. Mekanisme
obstruksi terjadi karena serangkaian peristiwa yaitu cytoadherense, sequestration, dan rosetting.
Terdapat beberapa reseptor yang dapat berikatan pada protein Pf-EMP-1 yang terdapat pada
knob ertitrosit terinfeksi parasit. Salah satunya adalah reseptor CD36 yang terdapat pada trombosit
dan endotel pembuluh darah. Penggumpalan dari eritrosit terinfeksi parasit, yang berhubungan dengan
keparahan penyakit, terutama dimediasi oleh reseptor CD36 yang diekspresikan oleh trombosit
(WHO, 2010). Penempelan dan agregasi trombosit dapat menyebabkan kegagalan perfusi organ dan
hipoksia jaringan (de Mast dkk, 2007) . Limpa memainkan peranan penting dalam respon imun
terhadap parasit malaria. Terdapat studi yang menyebutkan terjadi sequestration trombosit dalam
limpa selama infeksi akut (Kemenkes, 2010).
Gambar 2. Aktivasi platelet pada malaria
Pada infeksi P. falciparum PRBC memiliki kemampuan melekat dengan sel lain seperti
endotel pembuluh darah maupun eritrosit yang terinfeksi/tidak terinfeksi. Mekanisme ini dapat terjadi
di kapiler dan post kapiler serta venule. Perlekatan antara satu PRBC dengan satu atau lebih eritrosit
non parasit bisa melibatkan lebih dari 10 eritrosit (PRBC dan non-PRBC) maka bentuknya menjadi
seperti bunga (rosette). Sehingga fenomena ini disebut rosetting. Akibat proses ini terjadilah obstruksi
dalam pembuluh kapiler yang menyebabkan terjadinya iskemia (Permenkes,2013).
Eritrosit yang terinfeksi berisi skizon yang lama kelamaan akan matang dan pecah. Pecahnya
skizon di dalam darah dapat mengeluarkan berbagai macam antigen. Antigen ini akan merangsang
selsel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin (Kemenkes,
2013). Sitokin tersebut antara lain TNF (Tumor Nekrosis Factor) dan IL-6 (Interleukin-6) dan IFN
gamma. Sitokin ini akan merangsang hipotalamus untuk mengeluarkan prostaglandin akhirnya
mengubah termostat tubuh sehingga terjadilah demam. Proses skizogoni pada keempat plasmodium
memerlukan waktu yang bebeda-beda. P. falciparum memerlukan waktu 36-48 jam, P. vivax/P. ovale
48 jam, dan P. malariae 72 jam. Demam pada P. falciparum dapat terjadi setiap hari, P. vivax/P.
ovale selang waktu satu hari, dan P. malariae demam timbul selang waktu 2 hari. Demam ini disebut
demam paroxismal (Sardjono, 2011).
DAFPUS :
Sardjono, Teguh dan Loeki Enggar. 2011. Malaria Mekanisme Terjadinya Penyakit dan Pedoman
Penanganannya. Malang : Laboratorium Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
World Health Organization (WHO). Guidelines for the Treatment of Malaria. 2nd ed. Jeneva:
WHO; 2010
IKI NJUPUK DAFPUS E UWONG JD AKU G ERUH PENULISAN E IKI KAIDAH OPO
YOOO