Anda di halaman 1dari 4

Mekanisme patogenesis malaria merupakan serangkaian proses yang spesifik, kompleks dan

multi tahap. Prosesnya dimulai dari perlekatan dan amsuknya parasit ke dalam eritrosit sampai proses
sekuestrasi eritrosit terinfeksi parasit dalam kapiler organ dalam.

Ada 4 tahap invasi merozoit kedalam eritrosit, yaitu :

Tahap 1 : Penempelan merozoit pada eritrosit. Proses ini melibatkan protein MSP-1 sebagai
ligand dan protein eritrosit band-3 sebagai reseptor.

Tahap 2 : Reorientasi merozoit. Setelah menempel, merozoit akan mengadakan reorientasi


sehingga ujung apikalnya berhubungan dengan membran eritrosit. Proses ini
melibatkan protein AMA-1.

Tahap 3 : Pembentukan tight junction. Setelah reorientasi terjadi ikatan yang kuat (binding)
antara merozoit dan eritrosit. Organela apikal yaitu micronemes berperan dalam
proses ini. Protein-protein yang berada di organ micronemes seperti Erythrocytes
Binding Antigen (EBA 175) untuk P. falciparum dan Duffy Binding Protein untuk P.
vivax berikatan dengan protein Glycophorin pada eritrosit. Pada area junction tersebut
membran eritrosit mengalami invaginasi akan terbentuk Parasitophorus Vacuolar
Membran (PVM). Organela apikal yaitu rhopties berperan dalam proses ini.

Tahap 4 : Masuknya merozoit ke dalam eritrosit melalui celah dari PVM. Organela apikal
yaitu dense granula berperan dalam proses ini. Proses ini dibantu oleh Serine
Protease dari merozoit yang akan memecah sitoskeleton eritrosit.

(Sardjono, 2011)

Selanjutnya parasit masuk ke dalam eritrosit, dan eritrosit yang terinfeksi (paratized red
blood cells/PRBC) akan mengalami perubahan struktur maupun biomolekuler sel. Pada infeksi P.
falciparum terjadi proses hipoksia akibat obstruksi dari pembuluh darah organ dalam. Mekanisme
obstruksi terjadi karena serangkaian peristiwa yaitu cytoadherense, sequestration, dan rosetting.

Eritrosit yang terinfeksi P. falciparum akan mengalami proses sequestration, yaitu


tersebarnya eritrosit yang berparasit tersebut ke pembuluh kapiler dalam
tubuh. Selain itu pada permukaan eritrosit yang terinfeksi akan membentuk
knob yang berisi berbagai antigen P. falciparum (Permenkes, 2013). Kemudian terjadi proses
cytoadherense yaitu melekatnya PRBC matang ke permukaan endotel pembuluh darah. Mekanisme
ini diperantarai oleh P. falciparum erythrocyte membrane proteine-1 (Pf-EMP-1) yang ada di
permukaan eritrosit terinfeksi.
Gambar 1. Patofisiologi cytoadherense

Terdapat beberapa reseptor yang dapat berikatan pada protein Pf-EMP-1 yang terdapat pada
knob ertitrosit terinfeksi parasit. Salah satunya adalah reseptor CD36 yang terdapat pada trombosit
dan endotel pembuluh darah. Penggumpalan dari eritrosit terinfeksi parasit, yang berhubungan dengan
keparahan penyakit, terutama dimediasi oleh reseptor CD36 yang diekspresikan oleh trombosit
(WHO, 2010). Penempelan dan agregasi trombosit dapat menyebabkan kegagalan perfusi organ dan
hipoksia jaringan (de Mast dkk, 2007) . Limpa memainkan peranan penting dalam respon imun
terhadap parasit malaria. Terdapat studi yang menyebutkan terjadi sequestration trombosit dalam
limpa selama infeksi akut (Kemenkes, 2010).
Gambar 2. Aktivasi platelet pada malaria

Pada infeksi P. falciparum PRBC memiliki kemampuan melekat dengan sel lain seperti
endotel pembuluh darah maupun eritrosit yang terinfeksi/tidak terinfeksi. Mekanisme ini dapat terjadi
di kapiler dan post kapiler serta venule. Perlekatan antara satu PRBC dengan satu atau lebih eritrosit
non parasit bisa melibatkan lebih dari 10 eritrosit (PRBC dan non-PRBC) maka bentuknya menjadi
seperti bunga (rosette). Sehingga fenomena ini disebut rosetting. Akibat proses ini terjadilah obstruksi
dalam pembuluh kapiler yang menyebabkan terjadinya iskemia (Permenkes,2013).

Gambar 3. Patogenesis malaria

Eritrosit yang terinfeksi berisi skizon yang lama kelamaan akan matang dan pecah. Pecahnya
skizon di dalam darah dapat mengeluarkan berbagai macam antigen. Antigen ini akan merangsang
selsel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin (Kemenkes,
2013). Sitokin tersebut antara lain TNF (Tumor Nekrosis Factor) dan IL-6 (Interleukin-6) dan IFN
gamma. Sitokin ini akan merangsang hipotalamus untuk mengeluarkan prostaglandin akhirnya
mengubah termostat tubuh sehingga terjadilah demam. Proses skizogoni pada keempat plasmodium
memerlukan waktu yang bebeda-beda. P. falciparum memerlukan waktu 36-48 jam, P. vivax/P. ovale
48 jam, dan P. malariae 72 jam. Demam pada P. falciparum dapat terjadi setiap hari, P. vivax/P.
ovale selang waktu satu hari, dan P. malariae demam timbul selang waktu 2 hari. Demam ini disebut
demam paroxismal (Sardjono, 2011).

Limpa merupakan organ retikuloendothelial, dimana Plasmodium dihancurkan oleh sel-sel


makrofag dan limposit. Penambahan sel-sel radang ini akan menyebabkan limpa membesar atau
terjadinya splenomegali. Splenomegali menyebabkan rasa tidak enak di daerah epigastrium. Mungkin
juga didapatkan adanya kuning (jaundice) dan hepatomegali juga gangguan faal hepar berupa
peningkatan aktivitas enzim SGOT dan SGPT.
Anemia timbul karena pecahnya eritrosit seiring dengan siklus eritrositik (Sardjono, 2011).
Plasmodium vivax dan P. ovale hanya menginfeksi sel darah merah muda yang jumlahnya hanya 2%
dari seluruh jumlah sel darah merah, sedangkan P. malariae menginfeksi sel darah merah tua yang
jumlahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah. Sehingga anemia yang disebabkan oleh P. vivax ,
P. ovale dan P. malariae umumnya terjadi pada keadaan kronis. Plasmodium falciparum menginfeksi
semua jenis sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis (Kemenkes,
2013).

DAFPUS :

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Tata Laksana Malaria.

Sardjono, Teguh dan Loeki Enggar. 2011. Malaria Mekanisme Terjadinya Penyakit dan Pedoman
Penanganannya. Malang : Laboratorium Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

de Mast Q, Groot E, Lenting PJ, de GrootPG, McCall M, Saurerwein RW et al.


Thrombocytopenia and Release of Activated von Willebrand Factor during Early Plasmodium
Falciparum Malaria. JID. 2007;196(15):622-628.

World Health Organization (WHO). Guidelines for the Treatment of Malaria. 2nd ed. Jeneva:
WHO; 2010

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.


Riset Kesehatan Dasar; 2010

IKI NJUPUK DAFPUS E UWONG JD AKU G ERUH PENULISAN E IKI KAIDAH OPO
YOOO

Anda mungkin juga menyukai