Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

USUL FIQIH
MUTLAQ DAN MUQAYYAD

Dosen Pengampu : JAYA MIHARJA, MSI


Di Susun Oleh Kelompok 5
Nama Mahasiswa NIM
ILHAM RIZKI 2016.103.01.1.3339
ISNUL HAKIM 2016.103.01.1.3323
SAIBUN 2016.103.01.1.3
103.01.1.3

Jurusan : PAI

Smester : II

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

NURUL HAKIM KEDIRI

INSTITUT AGAMA ISLAM NURUL HAKIM

2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………… i
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang………...……………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah…………………………… ………………………...1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………….. 2
A. Pengertian MUTLAQ dan MUQOYYD…………….………………… 2
B. Kaidah Mutlaq dan Muqayyad…………………………………………. 4
C. Macem-Macem Mutlaq dan Muqayyad setatus hukum masing-masing.. 7
D. Membawa hukum Mutlaq kepada Muqayyad…………………………..7
E. Ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu…………8
BAB III PENUTUP………………………………………………………………. 9
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………….. 9
3.2 Saran…………………………………………………………………… 9
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………....10
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Didalam pembahasan ushul fiqh merupakan kaidah yang penting untuk mempelajari ilmu
fiqh, banyak topik-topik yang menjadi bahasan dalam ilmu ushul fiqh seperti: amar, nahi, ‘am,
khas, mujmal, mutlak, muqayyad dan lain sebagainya.
Di dalam pembahasan tentang mutlak dan muqayyad merupakan hal yang paling terpenting
untuk dijelaskan karena seseorang yang tidak mengerti akan perbedaan dari masing-masing
keduanya sehingga seseorang yang belajar ilmu fiqh dan dia tidak mengerti akan perbedaan dari
mutlak dan muqayyad akan terjadi kesalahpahaman dalam mengartikansebuah ayat atau kitab
lainnya.
Hukum lafadz mutlak dan muqayyad merupakan pembahasan yang sangat penting seperti
halnya seseorang yang memahami hadis yang berbunyi “sesesorang yang membunuh orang
mukmin secara tidak sengaja maka dia harus memerdekakan hamba sahaya” di hadis ini banyak
orang yang keliru pemahaman karena dia tidak memahami makna dari mutlak dan muqayyad.
Sehingga mereka mereka memahami hamba sahaya yang mutlak artinya baik hamba yang kafir
atau yang islam, sebenarnya pada keterangan tersebut di batasi artinya hamba sahaya yang
muslim.
Dan didalam pembahasan ushul fiqh yang banyak terjadi kesalahpahaman itu terletak pada
pembahasan mutlak dan muqayyad. Memang pembahasan tersebut sangat sulit sehingga
seseorang dalam memahami ayat tidak cukup memahami secara dhahir saja. akan tetapi
harusmengetahui tentang mutlat dan muqayyad atau memahami tafsiran ayat tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Mutlaq Dan Muqayyad
2. Kaidah Mutlaq Dan Muqayyad
3. Macam- Macam Mutlak Dan Muqayad Dan Sestatus Hukum Masing-Maisng
4. Membawa Hukum Mutlaq Kepada Muqayyad
5. Ketentuan Hukumnya Sendiri-Sendiri Tidak Bisa Dijadikan Satu.
BAB II
PEMBAHASAN

MUTLAQ DAN MUQOYYAD

1. A. Pengertian

Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian
tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini
memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian
makna tertentu yang telah kita pahami,Beberapa pendapat para ualam tentang mutlak dan
muqayyad:

1. Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau
beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2. Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya
tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada
hakikat sesuatu menurut apa adanya.
3. Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi
petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.

Munurut bahasa yaitu tidak terikat sedangkan muqayyad kebalikan dari mutlak. Sedangkan
menurut istilah adalah suatau kata yang menunjukan suatu materi dengan tanpa ikatan.Mutlaq
dan Muqayad itu sama dengan ‘am dan Khasa. Mutlaq adalah Lafaz yang menunjukan suatu
hakikat tanpa suatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjukan kepada suatu individu tidak
tertentu dari hakikat tersebut. Lapad mutlaq ini pada umumnya berbentuk nakirah dalam konteks
kalimat positif. Misalnya lapadz ã7pt7s%u (seorang budak ) dalam ayat: ã Ì óstGsù
7pt7s%u (maka [wajib atasnya] memerdekakan seorang budak) ……(Al-Mujadalah [58]: 3).
Peryataan ini di liputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baiki yang
mukmin atau yang kafir. Lapdz “raqabah” adalah nakiroh dalam konteks positif. Karena itu
pengertian ayat ini adalah, wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun
juga. Juga seperti ucapan Nabi: “Tak ada pernikahan tanpa seorang wali.” (Hadist Ahmad dan
empat imam). “Wali” di sini adalah mutlak, meliputi semua jenis wali baik yang berakal atau
tidak. Oleh karena itu Ulama Ushul mendefinisikan mutlak dengan “suatu ungkapan dengan isim
nakirah dalam kontek positif. Pengecualin isim nakirah dalam konteks negatif (nafi) karna
nakirah dalam konteks negatif memeliki arti umum menyangkup semua individu yang termasuik
jenisnya.

Muqayad adalah lapadz yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid (batasan), seperti kata-
kata “raqabah” yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat: ã Ì óstGsù 7pt6s%u
7poYÏB÷s B (maka [henedaklah pembunuh itu] memerdekakan budak yang beriman). An-
Nisa’ [4]: 92).

Para ulam berkata:”kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat (menjadikan
muqayad),maka yang mutlaq itu ditafsirkan denganya. Dan jika tidak ditemukan, maka juga
tidak. Tetapi yang mutlaq itu tetap pada kemutlakanya. Dan yang muqayad tetap pada maknanya.
Karna Allah menurunkan firman-Nya kepada kita dengan Bahasa Arab.

B. Kaidah Mutlaq dan Mukoyyad

Jika tempat pengambunganya hanya satu maka wajib di taqyidd.

Jika tempat pengambungan lebih dari satu maka tidak wajib ditaqyyid.

Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk
muqayyad, maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:

1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada
dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi
harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.

Contoh:

a. Ayat mutlaq:

Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:

ِ ‫ﺖ َﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ُﻢ ْاﻟ َﻤ ْﯿﺘَﺔُ َواﻟ ﱠﺪ ُم َوﻟَﺤْ ُﻢ ْاﻟ ِﺨ ْﻨ ِﺰ‬


(3:‫ﯾﺮ )اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ ْ ‫ﺣُﺮﱢ َﻣ‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”

Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa
terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain
yang mengikatnya.

Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi
siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.

b. Ayat Muqayyad:

Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.

ْ َ‫ﻲ ُﻣ َﺤ ﱠﺮ ًﻣﺎ َﻋﻠَﻰ طَﺎ ِﻋ ٍﻢ ﯾ‬


‫ﻄ َﻌ ُﻤﮫُ إِ ﱠﻻ أَ ْن ﯾَ ُﻜﻮنَ َﻣ ْﯿﺘَﺔً أَوْ َد ًﻣﺎ‬ ِ ُ‫ﻗُﻞْ َﻻ أَ ِﺟ ُﺪ ﻓِﻲ َﻣﺎ أ‬
‫وﺣ َﻲ إِﻟَ ﱠ‬
(145:‫َﻣ ْﺴﻔُﻮﺣًﺎ )اﻷﻧﻌﺎم‬
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir”.
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau
qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut
ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir).

Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama
yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak
sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan
hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum
yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan harus dipahami darah
yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.

2. Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda,
maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.

Contoh:

a. Ayat mutlaq :

Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:

(6:‫) اﻟﻤﺎﺋﺪة‬.…ُ‫ﺻ ِﻌﯿﺪًا طَﯿﱢﺒًﺎ ﻓَﺎ ْﻣ َﺴﺤُﻮا ﺑِ ُﻮﺟُﻮ ِھ ُﻜ ْﻢ َوأَ ْﯾ ِﺪﯾ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻨﮫ‬
َ ‫ﻓَﺘَﯿَ ﱠﻤ ُﻤﻮا‬.…
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah…”

Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang
mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan
menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai
siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata
cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai
pergelangan tangan.

b. Ayat Muqayyad:

Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:

ِ ِ‫ﯾﻦ آ َﻣﻨُﻮا إِ َذا ﻗُ ْﻤﺘُ ْﻢ إِﻟَﻰ اﻟﺼ َﱠﻼ ِة ﻓَﺎ ْﻏ ِﺴﻠُﻮا ُوﺟُﻮھَ ُﻜ ْﻢ َوأَ ْﯾ ِﺪﯾَ ُﻜ ْﻢ إِﻟَﻰ ْاﻟ َﻤ َﺮاﻓ‬
‫ﻖ‬ َ ‫ﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠ ِﺬ‬
(6:‫…)اﻟﻤﺎﺋﺪة‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya
yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan
harus sampai siku.

Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu keharusan
bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq sebelumnya
menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan
mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada
yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai
siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku.
Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya
sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.

3. Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama,
maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh ;

a. Mutlaq

Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.

‫ون ﻟِ َﻤﺎ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻓَﺘَﺤْ ِﺮﯾ ُﺮ َرﻗَﺒَ ٍﺔ ِﻣ ْﻦ ﻗَ ْﺒ ِﻞ أَ ْن ﯾَﺘَ َﻤﺎﺳﱠﺎ‬


َ ‫ُون ِﻣ ْﻦ ﻧِ َﺴﺎﺋِ ِﮭ ْﻢ ﺛُ ﱠﻢ ﯾَﻌُﻮ ُد‬ َ ‫َواﻟﱠ ِﺬ‬
َ ‫ﯾﻦ ﯾُﻈَﺎ ِھﺮ‬
(3:‫…)اﻟﻤﺠﺎدﻟﺔ‬
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur.”

Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena tidak ada
lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan
ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau
budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.

b. Muqayyad

Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu
:

(92:‫َو َﻣ ْﻦ ﻗَﺘَ َﻞ ُﻣ ْﺆ ِﻣﻨًﺎ َﺧﻄَﺄ ً ﻓَﺘَﺤْ ِﺮﯾ ُﺮ َرﻗَﺒَ ٍﺔ ُﻣ ْﺆ ِﻣﻨَ ٍﺔ )اﻟﻨﺴﺎء‬


“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman.”

Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz
“mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya
yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah
qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan
sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya,
sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.

4. Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada
pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang
muqayyad.

Contoh:

a. Mutlaq

Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :

‫ﱠﺎرﻗَﺔُ ﻓَﺎ ْﻗﻄَﻌُﻮا أَ ْﯾ ِﺪﯾَﮭُ َﻤﺎ َﺟ َﺰا ًء ﺑِ َﻤﺎ َﻛ َﺴﺒَﺎ ﻧَ َﻜ ًﺎﻻ ِﻣ َﻦ ﱠ‬


(38:‫ﷲِ ) اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ ُ ‫ﱠﺎر‬
ِ ‫ق َواﻟﺴ‬ ِ ‫َواﻟﺴ‬
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”

Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan
tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.

b. Muqayyad

Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:

ِ ِ‫ﯾﻦ آ َﻣﻨُﻮا إِ َذا ﻗُ ْﻤﺘُ ْﻢ إِﻟَﻰ اﻟﺼ َﱠﻼ ِة ﻓَﺎ ْﻏ ِﺴﻠُﻮا ُوﺟُﻮھَ ُﻜ ْﻢ َوأَ ْﯾ ِﺪﯾَ ُﻜ ْﻢ إِﻟَﻰ ْاﻟ َﻤ َﺮاﻓ‬
‫ﻖ‬ َ ‫ﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠ ِﺬ‬
(6:‫)اﻟﻤﺎﺋﺪة‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”

Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal
marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan
sampai siku.

Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama berbentuk
mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan hukum
yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan.
Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan
sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang
muqayyad.
1. Macam- macam Mutlak dan Muqayad dan Setatus Hukum Masing-maisng

Mutlak dan Muqayad memiliki bentuk aqliyah dan sebagai realitas bentukya kami kemukakan
berikut ini:

1. Sebab dan hukumnya sama, sepertu “puasa” untuk kafarah sumpah. Lpadz itu dalam
qara’ah mutawatir yang tgerdapat dalam mushaf dan di ungkapkan secara mutlak:

(Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama
tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
[dan kamu langgar])Dan ia muqayyad di batasi denag tatabu (berturut turut) dalam
qira’ah Ibn Mas’ud (Maka kafarahnya puasa selam tiga hari berturut-turut). Dalam hal
seprti ini, pengertian lapadz yang mutlaq dibawa kepada lapadz yang muqayyad (dengan
arti ) yang di maksud lapadz mutlaq adalah sama dengan yang di maksud dengan lapadz
muqayyad, karana sebab yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan.
Oleh karna itu seglong berpendapat bahwa puasa atiga hari tersebut harus di lakukan tiga
hari berturu-turut.Maka dalam kasusu ini dipandang tidak ada mukoyyas hyang karana
nya lapadz mutlaq dibawa kepadnya.

1. Sebab sama namun hukum bebeda, seperti kata “tangan” dalam wudhu dan tayamum.
Membasuh tangan dalam wudhu di batasi sampai dengan siku Allah berfirman:

( Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku).

(Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu).

Dalam hal ada yang berependapat lapadz yang mutlaq tidak di bawa kepada lapad muqayyad
karena berlainan hukumnya. Namun Al-Ghazali menukil dari mayoritas ulam Syafi’i bahwa
mutlaq disi dibawa kepada muqayyad mengingat “sebab” nya sama sekalipun berbeda
hukumnya.

1. Membawa Hukum Mutlaq kepada Muqayyad

Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk
muqayyad, maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:

1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada
dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq
tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.

Contoh:
a) Ayat mutlaq:

Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:

ِ ‫ﺖ َﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ُﻢ ْاﻟ َﻤ ْﯿﺘَﺔُ َواﻟ ﱠﺪ ُم َوﻟَﺤْ ُﻢ ْاﻟ ِﺨ ْﻨ ِﺰ‬


(3:‫ﯾﺮ )اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ ْ ‫ﺣُﺮﱢ َﻣ‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”

Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa
terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain
yang mengikatnya.

Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi
siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.

b) Ayat Muqayyad:

Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.

‫ﻮن َﻣ ْﯿﺘَﺔً أَ ْو َد ًﻣﺎ‬ ْ َ‫ﻲ ُﻣ َﺤ ﱠﺮ ًﻣﺎ َﻋﻠَﻰ طَﺎ ِﻋ ٍﻢ ﯾ‬


َ ‫ﻄ َﻌ ُﻤﮫُ إِ ﱠﻻ أَ ْن ﯾَ ُﻜ‬ ِ ُ‫ﻗُﻞْ َﻻ أَ ِﺟ ُﺪ ﻓِﻲ َﻣﺎ أ‬
‫وﺣ َﻲ إِﻟَ ﱠ‬
(145:‫َﻣ ْﺴﻔُﻮﺣًﺎ )اﻷﻧﻌﺎم‬
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir”.

Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau
qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut
ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir).

Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama
yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak
sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan
hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum
yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan harus dipahami darah
yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.

v Ayat mutlaq:

Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:

ِ ‫ﺖ َﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ُﻢ ْاﻟ َﻤ ْﯿﺘَﺔُ َواﻟ ﱠﺪ ُم َوﻟَﺤْ ُﻢ ْاﻟ ِﺨ ْﻨ ِﺰ‬


(3:‫ﯾﺮ )اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ ْ ‫ﺣُﺮﱢ َﻣ‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”

Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa
terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain
yang mengikatnya.

Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi
siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.

v Ayat Muqayyad:

Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.

‫ﻮن َﻣ ْﯿﺘَﺔً أَ ْو َد ًﻣﺎ‬ ْ َ‫ﻲ ُﻣ َﺤ ﱠﺮ ًﻣﺎ َﻋﻠَﻰ طَﺎ ِﻋ ٍﻢ ﯾ‬


َ ‫ﻄ َﻌ ُﻤﮫُ إِ ﱠﻻ أَ ْن ﯾَ ُﻜ‬ ِ ُ‫ﻗُﻞْ َﻻ أَ ِﺟ ُﺪ ﻓِﻲ َﻣﺎ أ‬
‫وﺣ َﻲ إِﻟَ ﱠ‬
(145:‫َﻣ ْﺴﻔُﻮﺣًﺎ )اﻷﻧﻌﺎم‬
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir”.

Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau
qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut
ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir).

Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama
yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak
sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan
hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum
yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan harus dipahami darah
yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.

ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.

Ayat mutlaq:

Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:

ِ ‫ﺖ َﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ُﻢ ْاﻟ َﻤ ْﯿﺘَﺔُ َواﻟ ﱠﺪ ُم َوﻟَﺤْ ُﻢ ْاﻟ ِﺨ ْﻨ ِﺰ‬


(3:‫ﯾﺮ )اﻟﻤﺎﺋﺪة‬ ْ ‫ﺣُﺮﱢ َﻣ‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa
terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain
yang mengikatnya.

Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi
siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.

Ayat Muqayyad:

Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.

ْ َ‫ﺎﻋ ٍﻢ ﯾ‬
‫ﻄ َﻌ ُﻤﮫُ إِ ﱠﻻ أَ ْن ﯾَ ُﻜﻮنَ َﻣ ْﯿﺘَﺔً أَ ْو َد ًﻣﺎ َﻣ ْﺴﻔُﻮﺣًﺎ‬ ِ َ‫ﻲ ُﻣ َﺤ ﱠﺮ ًﻣﺎ َﻋﻠَﻰ ط‬
‫ﻲ إِﻟَ ﱠ‬ ِ ُ‫ﻗُﻞْ َﻻ أَ ِﺟ ُﺪ ﻓِﻲ َﻣﺎ أ‬
َ ‫وﺣ‬
(145:‫)اﻷﻧﻌﺎم‬
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir”.

Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau
qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut
ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir).

Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama
yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak
sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan
hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum
yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan harus dipahami darah
yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Mutlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa
dibatasi oleh lafadz lainnya.
Contoh: lafadz ” hamba sahaya/ raqabah ”. Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan
pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Contoh: ” hamba sahaya yang mukmin/
raqabah mu’minah” yang berarti budak mukmin bukan budak lainnya.. Kaidah Mutlaq adalah
Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan
itu, sedangkan Kaidah Muqayyad adalah Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada
dalil yang membatalkannya.

B. SARAN

Sebagai mahasiswa diharapkan mampu memahami apa itu Mutlaq dan Muqoyyad,
Didalam pembuatan makalah ini tentunya penulis memiliki banyak kekeliruan yang mungkin
tidak disadari oleh penulis. Dari itu. Diharapkan kepada seluruh pembaca, jika menemukan
kekeliruan dalam makalah yang kami buat ini, maka penulis berharap pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun, supaya penulis tidak lagi melakukan kesalahan
yang sama. Dan demi mewujudkan karya-karya ilmiah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Karim

Al-Mujiz fi Ushul Fiqh ma’a Mu’jam Ushul Fiqh oleh Muhammad Ubaidillah al-Is’adiy

Imam Jalaludin As –Syuthi,Samudra Ulumul Qur’an,Jilid 3, Surabaya ,Pt Bina Ilmu, 2007,
hlm.129

Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami. Bandung :Al-
Ma’rif, 1993.

Manna Kholil Al-Qattan, Studi Ilmu Quran,Bogor.Pustaka Lentera.2006.

v http//:http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html.

Anda mungkin juga menyukai