Anda di halaman 1dari 11

Jaminan dan Pengikatan Jaminan

 
 
 
 
 
 
47 Votes

 
A.                 PENDAHULUAN
Di dalam dalam pemberian kredit, Bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan
yang sehat termasuk resiko yang harus dihadapi atas pengembalian kredit. Untuk
memperoleh keyakinan sebelum memberikan kredit, Bank harus melakukan
penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek
usaha Debitur. Agunan merupakan salah satu unsur jaminan kredit agar Bank dapat
memperoleh tambahan keyakinan atas kemampuan Debitur untuk mengembalikan
utangnya.
Yang dimaksud dengan Jaminan dalam arti luas adalah jaminan yang bersifat
materil maupun yang bersifat immateril. Jaminan yang bersifat materil misalnya
bangunan, tanah, kendaraan, perhiasan, surat berharga. Sedangkan jaminan yang
bersifat immateril misalnya jaminan perorangan (borgtocht).
Dari sifat dan wujudnya benda menurut hukum dapat dibedakan atas benda
bergerak (roerende goederen) dan benda tidak bergerak (onroerende goederen).
Pendapat lain membagi benda bergerak menjadi Berwujud dan Tidak
Berwujud. Berwujud artinya sifatnya sendiri menggolongkannya kedalam golongan
itu yaitu segala barang yang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain,
misalnya barang-barang inventaris kantor, kendaraan bermotor dan sebagainya.
Sedangkan Tidak Berwujudadalah karena Undang-Undang menggolongkannya
kedalam golongan itu, misalnya cek, wesel, saham, obligasi dan tagihan.
 

B.                  JAMINAN KEBENDAAN


Dalam Hukum mengenai pengikatan jaminan, penggolongan atas benda bergerak
dan tidak bergerak mempunyai arti yang penting sekali. Adanya perbedaan
penggolongan tersebut juga akan menentukan jenis lembaga jaminan/pengikatan
jaminan mana yang dapat dibebankan atas benda jaminan yang diberikan untuk
menjamin pelunasan. Sifat perjanjian jaminan adalah accessoir, yaitu tergantung
pada perjanjian pokoknya.
Pemberian jaminan dari Debitur kepada Kreditur menimbulkan 2 (dua) sifat hak
jaminan yang dikenal secara umum, yaitu:
1. Hak jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan oleh Debitur
kepada Kreditur, tanpa memberikan hak saling mendahului (konkuren)  antara
kreditur yang satu dengan kreditur lainnya.
2. Hak jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh Debitur
kepada Kreditur, dengan memberikan hak mendahului dari kreditur lainnya,
sehingga ia berkedudukan sebagai kreditur privillege (preferent).
Pemberian Jaminan oleh Debitur kepada Kreditur semata-mata hanya sebagai
jaminan dalam pengembalian fasilitas kredit yang telah dinikmati oleh Debitur
apabila Debitur wanprestasi. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan
mengambil hasil dari penjualan barang jaminan tersebut. Sehingga konsep dasar
pemberian jaminan oleh Debitur adalah bukan untuk dimiliki oleh Kreditur. Namun
untuk mengantisipasi praktek perbankan, dalam UU Perbankan No. 7 tahun 1992
tanggal 25 Maret 1992 (“UU Perbankan”) Pasal 12A disebutkan bahwa Bank dapat
membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar
pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau
berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal
Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank, dengan ketentuan agunan yang
dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
B.1.      BENDA TETAP/TIDAK BERGERAK
 
Yang dimaksud dengan benda tetap atau barang tidak bergerak adalah suatu benda
atau barang yang tidak dapat bergerak atau tidak dapat dipindahkan secara fisik,
yaitu misalnya tanah dan bangunan, pekarangan dan apa yang didirikan diatasnya,
pohon dan tanaman ladang, mesin yang melekat pada tanah dimana mesin tersebut
berada, kapal laut serta kapal terbang.
Tanah Yang Dapat Dijadikan Jaminan
Menurut pasal 4 Undang-undang No.4 tahun 1996 tanggal 9 April 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang berkaitan Dengan Tanah 
(“UUHT”) Tanah yang dapat dijadikan jaminan adalah:
1. Tanah Hak Milik
2. Tanah Hak Guna Usaha (“HGU”)
3. Tanah Hak Guna Bangunan (“HGB”)
4. Tanah Hak Pakai atas tanah Negara
Pengikatan jaminan atas tanah hak tersebut di atas adalah dengan Akta Pembebanan
Hak Tanggungan (“APHT”) yang meliputi pula seluruh bangunan dan tanaman
yang berada diatasnya dan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan. 
Hanya apabila benar-benar diperlukan yaitu dalam hal pemberi Hak Tanggungan
tidak dapat hadir di hadapan PPAT dapat dipergunakan Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan (“SKMHT”) yang harus diberikan langsung oleh pemberi Hak
Tanggungan.  Undang-undang mengatur bahwa SKMHT juga dapat dipergunakan
dalam hal hak atas tanah belum bersertifikat serta khusus untuk pemberian kredit
program. 
B.2.      BENDA BERGERAK
Yang dimaksud dengan benda bergerak atau barang bergerak adalah barang yang
karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan, yaitu misalnya kendaraan
bermotor, deposito, barang-persediaan (inventory), barang-barang inventaris
kantor, mesin, hewan ternak, tagihan, hak tagih atas klaim asuransi, dan sebagainya.
Benda-benda tersebut di atas dapat dijadikan jaminan atas pelunasan utang Debitur.
Sedangkan pengikatan jaminan atas benda-benda tersebut di atas adalah dengan
Gadai atau Fidusia.
 
JAMINAN NON KEBENDAAN
Selain jaminan kebendaan, jaminan lain yang dapat diterima sebagai jaminan kredit
adalah jaminan non kebendaan, yaitu Penanggungan.
Sesuai Pasal 1820 KUH Perdata Penanggungan adalah suatu persetujuan pihak
ketiga guna kepentingan Kreditur mengikatkan diri untuk membayar utang Debitur
bila Debitur tidak memenuhi kewajibannya. Jaminan penanggungan biasanya
diberikan dalam bentuk :
 Jaminan Perorangan
 Jaminan Perusahaan
 Bank Garansi
 Standby Letter Of Credit (“SBLC”).
Jaminan Perorangan atau Perusahaan diberikan oleh seseorang atau Perusahaan
untuk menjamin hutang pihak ketiga. Jaminan Perorangan atau Jaminan
Perusahaan ini biasanya hanya merupakan jaminan tambahan dari jaminan pokok,
artinya selain jaminan ini Bank biasanya meminta jaminan lainnya.  Demikian pula
dalam melakukan eksekusi, Bank akan mendahulukan jaminan pokok dulu sebagai
pelunasan hutang, apabila ternyata masih belum cukup barulah Bank melakukan
eksekusi terhadap jaminan perorangan atau perusahaan.
PENGIKATAN JAMINAN
D.1.      Hak Tanggungan
1. Hak Tanggungan diatur dalam UUHT.  Hak Tanggungan adalah hak jaminan
yang dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut setiap benda yang
merupakan bagian dan kesatuannya, untuk pelunasan suatu utang tertentu dan
memberikan kedudukan yang diutamakan/preferent kepada Kreditur
tertentu terhadap Kreditur lain.
2. Ciri-ciri Hak Tanggungan
(i)         Memberikan kedudukan diutamakan (preferent) kepada Krediturnya;
(ii)        Selalu mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada
(droit de suite);
(iii)       Memenuhi asas spesialitas dan publisitas;
(iv)       Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya;
(v)        Tidak dapat dibagi-bagi;
(vi)       Bersifat accessoir/merupakan ikatan pada perjanjian pokok yakni perjanjian
yang menimbulkan hubungan hukum hutang-piutang.
1. Obyek Hak Tanggungan
(i)         Hak Milik
(ii)        HGB
(iii)       HGU
(iv)       Hak Pakai atas Tanah Negara
Hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas dapat dibebani Hak Tanggungan
karena memenuhi 2 syarat, yaitu :
1. Terdaftar dalam buku tanah di Kantor Pertanahan (memenuhi asas
publisitas); dan
2. Dapat dipindahtangankan.
 
Hak Pakai atas Tanah Negara yang diberikan kepada instansi Pemerintah, Badan
Keagamaan dan Sosial dan Badan Perwakilan Negara Asing yang tidak dibatasi
jangka waktunya dan diberikan selama tanahnya digunakan untuk keperluan
tertentu wajib didaftarkan, tetapi karena menurut sifatnya tidak dapat dipindah
tangankan bukan merupakan obyek Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas
Tanah Negara yang diberikan kepada orang perorangan dan badan-badan hukum
perdata, karena memenuhi kedua persyaratan tersebut di atas, dapat dijadikan
obyek Hak Tanggungan.
1. Hapusnya Hak Tanggungan
(i)         Hapusnya hutang sebagaimana diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata yang
dijamin dengan Hak Tanggungan;
(ii)        Dilepasnya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
(iii)       Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri;
(iv)       Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan sebagaimana diatur
dalam Undang-undang No.5 tahun 1960 tertanggal 24 September 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UUPA”).
Namun untuk tanah HGU, HGB dan Hak Pakai yang diperpanjang sebelum tanggal
jatuh tempo, Hak Tanggungan yang dibebankan atasnya tetap berlanjut/tidak gugur.
Apabila Hak Tanggungan hapus karena hutang telah dibayar lunas atau karena
sebab-sebab sebagaimana telah disebut di atas, maka Kantor Pertanahan melakukan
pencoretan catatan atau roya catatan Hak Tanggungan sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja atas permintaan pihak yang
berkepentingan.
D.2.      SKMHT
SKMHT merupakan akta yang bersifat pemberian kuasa oleh pemilik
tanah/bangunan kepada Kreditur untuk melakukan pembebanan Hak Tanggungan
atas tanah/bangunan yang dijadikan jaminan utang.
Pada dasarnya SKMHT bukanlah pengikatan jaminan, tetapi hanya
sekedar kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan dan karenanya Kreditur
belum mendapatkan hak-hak yang seluasnya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam SKMHT (pasal 15 UUHT) adalah:
1. Hanya diperkenankan dalam keadaan khusus, yakni apabila pemberi Hak
Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT untuk membuat APHT;
2. Harus berbentuk Akta Notaril yang dibuat oleh Notaris/PPAT;
3. Isi SKMHT hanya memuat perbuatan hukum membebankan Hak
Tanggungan;
4. Tidak memuat kuasa substitusi;
5. Tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga
kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka
waktunya;
6. Jangka waktu berlakunya:
 Untuk tanah yang sudah terdaftar : 1 bulan
 Untuk tanah yang belum terdaftar : 3 bulan;
1. SKMHT untuk menjamin pelunasan Kredit Usaha Kecil, berlaku sampai saat
berakhirnya masa perjanjian pokok.
D.3       Gadai
1. Dasar Hukum
Pasal 1150 sampai dengan  pasal 1160 KUH Perdata.
 
1. Pengertian Gadai
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang Kreditur atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang Debitur atau oleh seseorang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si-Kreditur itu untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada Kreditur lainnya.
 
1. Syarat Gadai
Barang yang digadaikan harus berada dalam penguasaan fisik Penerima Gadai atau
orang lain yang ditunjuk oleh pemegang/penerima gadai, namun tidak boleh
meliputi hak untuk memakai barang tersebut dengan ancaman batal demi hukum.
 
1. Obyek Gadai
Barang bergerak seperti: kendaraan, mesin, logam mulia, surat saham, surat
berharga lainnya dan lain lain.
 
1. Bentuk Pengikatan Gadai
Dapat dilakukan secara akta Otentik/Notaril atau dibawah tangan.
 
1. Sifat Gadai
A. Mempunyai hak preferent
B. accessoir

D.4.      Fidusia
 
a.   Pengertian Fidusia
Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-undang No.42 tahun 1999 tertanggal 30
September 1999 tentang  Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”). Fidusia dahulu dikenal
dengan istilah Fiduciair Eigendoms Overdracht (FEO).
 
Fidusia adalah pengalihan hak milik atas benda sebagai jaminan atas dasar
kepercayaan, sedangkan bendanya sendiri tetap berada dalam tangan si-Debitur,
dengan kesepakatan bahwa Kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan
tersebut kepada Debitur bilamana hutangnya telah dibayar lunas.
 
1. Obyek Fidusia
Obyek Fidusia terdiri dari:
(i)   Benda-benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud;
(ii)  Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan
Hak Tanggungan berdasarkan UUHT.
 
1.  Yang dapat Memberi Fidusia
(i)   Harus Pemilik Benda
(ii)  Jika Benda tersebut milik Pihak Ketiga, maka pengikatan Jaminan Fidusia tidak
boleh dengan kuasa substitusi, tetapi harus langsung oleh pemilik Benda/Pihak
Ketiga yang bersangkutan.
 
1. Bentuk Pengikatan Fidusia
Harus dilakukan secara akta Otentik/Notaril sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU
Fidusia.
 
1. Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu  Penerima
atau kepada Kuasa atau Wakil Penerima Fidusia. Ketentuan ini
dimaksudkan dalam rangka pembiayaan kredit konsorsium.
 
1. Larangan melakukan Fidusia Ulang terhadap Benda Obyek
Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar
(i)   Apabila benda obyek jaminan Fidusia sudah terdaftar, berarti menurut hukum
Obyek Jaminan Fidusia telah beralih kepada Penerima Fidusia;
(ii)  Sehingga pemberian Fidusia Ulang merugikan kepentingan Penerima Fidusia.
 
g.    Sifat Fidusia
(i)   Asas Droit De Suite :
Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi Obyek Jaminan Fidusia dalam
tangan siapapun benda itu berada.
(ii)  Asas Hak Preferent:
1. Dengan didaftarkannya Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia,
memberikan kedudukan HAK YANG DIDAHULUKAN kepada Penerima Fidusia
(Kreditur) terhadap Kreditur lainnya.
2. Kualitas HAK DIDAHULUKAN Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya
Kepailitan dan atau Likuidasi.
 
 
D.5.      Hipotek
 
1. Dasar Hukum
Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata
           
1. Pengertian
Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak yang diperoleh
oleh penagih untuk mengambil  penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu
perikatan dan yang dianggap sebagai jaminan atas utang yang dipinjamkannya
kepada pemilik benda tersebut.  Hipotek menyebabkan penagih mempunyai hak
pembayaran uang yang didahulukan dari pada pelunasan atau pembayaran hutang
orang lain.
 
1. Syarat Hipotek
(i)   Atas benda tetap
(ii)  Dengan akta Notaris
(iii) Didaftarkan di Kantor Balik Nama (Kodester)
 
1. Sifat  Umum Hipotek
(i)         Hipotek adalah hak kebendaan, yang bersifat absolut, hak itu mengikat
bendanya dan memberi wewenang yang luas kepada si pemilik benda serta jangka
waktu hak yang tidak terbatas.
(ii)        Merupakan perjanjian Accessoir.
(iii)       Droit de Preference atau hak yang didahulukan dari piutang lainnya.
(iv)       Mudah dieksekusi.
(v)        Objeknya benda tetap, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
(vi)       Hanya berisi hak untuk melunasi hutang, dan tidak memberi hak untuk
menguasai bendanya.
(vii)    Dibebankan atas benda milik orang lain.
(viii)   Pinjaman Hipotek tak dapat di bagi-bagi.
(ix)       Openbaar atau bersifat terbuka.
(x)        Specialitas.
 
 

D.6.      Penanggungan
 
a.   Dasar Hukum
Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata
 
1. Pengertian
Penanggungan adalah suatu persetujuan pihak ketiga guna kepentingan Kreditur
mengikatkan diri untuk membayar utang Debitur bila Debitur tidak memenuhi
kewajibannya. Jaminan penanggungan biasanya diberikan dalam bentuk: Jaminan
Perorangan, Jaminan Perusahaan, Bank Garansi, SBLC.
 
1. Sifat Penanggungan
(i)   Sifat Umum
 Bersifat Accessoir.
 Bentuk umumnya tertulis, dapat di bawah tangan / Notaril.
 Pelepasan hak-hak istimewa yang diberikan oleh seorang penanggung
sebagaimana diatur dalam pasal 1832 KUH Perdata.
(ii)  Sifat penanggungan secara Personal Guarantee/Borgtocht
 Perorangan
 Harus disertai Persetujuan Suami/Istri dari Debitur/Penjamin
 Penanggungan berpindah kepada ahli warisnya
(iii) Sifat penanggungan secara Company Guarantee
 Suatu perjanjian dimana suatu badan hukum, guna kepentingan si Debitur
(berhutang), mengikatkan diri untuk memenuhi kewajiban si Debitur manakala
si Debitur tersebut wanprestasi.
 Harta kekayaan  badan hukum tersebut yang dijadikan jaminan.
 Para pihak yang berwenang sesuai dengan AD Perseroan.
 Persetujuan Komisaris perseroan (apabila disyaratkan dalam AD Perseroan)
 
1. Pelepasan Hak-hak Istimewa
Beberapa hak istimewa dari penjamin yang diberikan oleh undang-undang,
adalah:
1. Meminta agar harta benda Debitur disita dan dilelang terlebih
dahulu(Pasal 1831 KUH Perdata). Sita dan lelang terhadap harta kekayaan
penjamin akan tiba gilirannya apabila hasil lelang terhadap harta kekayaan
Debitur belum mencukupi untuk melunasi seluruh kewajibannya kepada Bank,
yang dengan demikian hak ini akan menimbulkan kewajiban bagi penjamin
untuk menunjukkan harta kekayaan Debitur yang akan dikenakan sita atau
dilelang;
2. Meminta pemecahan utang (Pasal 1837 KUH Perdata). Dalam hal
penjamin terdiri dari beberapa subyek hukum untuk satu Debitur dan untuk satu
utang, maka masing-masing penjamin dapat bertangung jawab secara
proporsional;
3. (i) Menuntut pembayaran kembali dari Debitur atas jumlah yang
telah dibayarnya kepada Kreditur (Pasal 1839 KUH Pedata), dan lebih dari
itu memungkinkan penjamin untuk (ii) menerima pengalihan hak dari
Kreditur  (subrogasi) atas seluruh hak Kreditur (Pasal 1840 KUH
Perdata), seperti hak Kreditur atas hak tanggungan atau fidusia, mengingat
apabila penjamin telah melakukan pembayaran atau telah memenuhi
kewajibannya maka secara hukum hak Kreditur berupa pelunasan utang dari
Debitur beralih kepada penjamin;
4. Menuntut Debitur untuk mengganti kerugian atau dibebaskan dari
penanggungan sebelum penjamin membayar kewajibannya (Pasal 1843
KUH Perdata), karena sebab-sebab: (i) apabila penjamin digugat di pengadilan
untuk membayar, (ii) Debitur berjanji membebaskan penjamin pada waktu
tertentu, (iii) utang sudah dapat ditagih karena lewatnya waktu yang ditetapkan
untuk penjaminannya, atau (iv) jangka waktu penjaminan lebih dari 10 tahun,
dalam hal perjanjian pokok tidak menetapkan batas waktu pengakhiran
perjanjian. Menurut hemat kami, Pasal ini masih dapat diperdebatkan,
mengingat sebelum penjamin melakukan pembayaran apapun, maka: (i) akan
sulit untuk meminta ganti kerugian kepada Debitur, dan (ii) permintaan
penjamin untuk dibebaskan dari penangungan hendaknya dimintakan kepada
Kreditur (bukan kepada Debitur), mengingat Kreditur adalah pihak yang
menerima penanggungan;
5. Mengajukan keberatan menyangkut penanggungan yang
diberikannya (Pasal 1847 KUH Perdata), dan bukan keberatan menyangkut
keadaan Debitur. Sebagai contoh, penjamin tidak diperkenankan mengajukan
keberatan sehubungan dengan adanya perubahan susunan pengurus dari
Debitur;
6. Meminta kepada Kreditur untuk dibebaskan dari kewajibannya,
apabila (i) Kreditur telah menghilangkan hak-hak istimewa dari Kreditur (Pasal
1848 KUH Perdata), seperti hak yang timbul dari hak tanggungan, atau (ii)
Kreditur secara sukarela menerima kekayaan Debitur sebagai pembayaran utang
Debitur (Pasal 1849 KUH Perdata).
 
Pelepasan beberapa hak istimewa dari penjamin, yang disepakati oleh
penjamin dan Bank dalam perjanjian penanggungan, mengandung akibat-akibat
sebagai berikut:

a.       Pelepasan Pasal 1831 KUH Perdata.


Dalam hal Debitur lalai memenuhi
kewajibannya, maka Kreditur dapat
langsung meminta penjamin untuk
memenuhi kewajiban dari Debitur, dan
apabila penjamin tidak memenuhi
kewajiban yang diminta Kreditur maka
Kreditur dapat mengajukan permohonan
sita dan lelang langsung terhadap harta
kekayaan penjamin.
 

b.      Pelepasan Pasal 1837 KUH Perdata.


Dalam hal penjamin terdiri dari beberapa
subyek hukum, maka masing-masing
penjamin terikat untuk seluruh utang
(tidak proporsional) dan apabila terdapat
penjamin lain yang tidak mampu
memenuhi kewajibannya, maka penjamin
lain akan menjadi penjamin atas porsi
kewajiban dari penjamin yang tidak
mampu tersebut.
 

c.       Pelepasan Pasal 1430 KUH Perdata.


Penjamin untuk mengurangi besarnya
penanggungan atau besarnya kewajiban
yang harus dibayarnya, dapat meminta
antara Kreditur dengan Debitur
memperjumpakan utangnya (set-off)
terlebih dahulu, dalam hal Kreditur
ternyata memiliki kewajiban kepada
Debitur. Dengan dilepaskannya hak ini,
tentunya penjamin tidak diperkenankan
untuk meminta perjumpaan utang antara
Kreditur dan Debitur.
 

d.      Pelepasan Pasal 1843 KUH Perdata.


Penjamin tidak diperkenankan menuntut
ganti kerugian atau meminta kepada
Debitur untuk dibebaskan dari perikatan
penanggungan, dengan alasan-alasan
yang diuraikan dalam butir 2.4 di atas.
 

e.      Pelepasan Pasal 1848 dan 1849 KUH


Perdata. Apabila harta kekayaan Debitur,
yang nantinya akan menjadi jaminan
untuk penjamin, telah dialihkan oleh
Debitur karena Kreditur sebelumnya telah
melepaskan haknya terhadap harta
kekayaan dimaksud atau bahkan harta
kekayaan dimaksud telah diterima oleh
Kreditur sebagai pembayaran kewajiban
Debitur, maka penjamin akan kehilangan
(kesempatan terhadap) harta kekayaan
Debitur yang akan/dapat menjadi
jaminan atau sumber pelunasan
kewajiban Debitur kepada penjamin
nantinya.
 
D.7.      SBLC
 
1. Pengertian
SBLC atau sering disebut Clean L/C merupakan pernyataan janji bayar dari Bank
penerbit untuk membayar saat diminta oleh Bank penerima berkenaan dengan:
(i)   Kewajiban pemohon sebagai debitur
(ii)  Kewajiban pemonohon sebagai garantor
(iii) Kewajiban lainnya dari pemohon
 
1. Pedoman SBLC
(i)   Uniform Customs And Practice For Documentary Credits 500 (“UCP”)
 
1. Karakteristrik SBLC
(i)   Irrevocable, yaitu tidak dapat dibatalkan.
(ii)  Primary Obligatoir, yaitu penerbit tidak dapat meminta pemohon untuk
memenuhi kewajibannya terlebih dahulu.
(iii) bersifat tidak accessoir.
(iv) Saat klaim diajukan dapat mensyaratkan dokumen atau tidak.
SBLC tidak accessoir dengan perjanjian pokoknya, karena dalam UCP 500 pasal 3
disebutkan bahwa SBLC adalah transaksi yang terpisah dari perjajian lainnya yang
menjadi dasar penerbitan SBLC.
                                   
1. Syarat Formal SBLC
(i)         Jenis SBLC (yang diterima dan diterbitkan hanya Irrevocable SBLC)
(ii)        Mata uang dan jumlah uang jaminan
(iii)       Jangka waktu berlakunya penjaminan
(iv)       Transaksi yang dijamin
(v)        Cara pembayaran bila SBLC diklaim
(vi)       Ketentuan yang mengatur SBLC
(vii)    Tempat pembayaran klaim SBLC
                                               
Pembahasan mengenai SBLC secara umum juga dibahas dalam BAB VII
mengenai Letter of Credit.
 
DAFTAR PUSTAKA
 

Buku
1. Kansil, C.S.T, Prof, Drs, S.H. dan Christine S.T.Kansil, S.H, M.H, Modul
Hukum Perdata (termasuk Asas-asas Hukum Perdata), Cetakan Ketiga (edisi
revisi), PT Pradnya Paramita, Jakarta.
2. Budi Untung, H, S.H, M.M, Kredit Perbakan di Indonesia, Andi Yogyakarta.
3. Subekti, R, Prof, S.H dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
 

Peraturan
1. Undang-Undang No. 5 tahun 1960, tanggal 24 September 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tanggal 25 Maret 1992 tentang Perbankan
3. Undang-Undang No. 4 tahun 1996, tanggal 9 April 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
4. Undang-Undang No. 42 tahun 1999, tanggal 30 September 1999
tentang Jaminan Fidusia.
5. Uniform Customs And Practice For Documentary Credits 500
 
https://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/jaminan-dan-pengikatan-jaminan/

Anda mungkin juga menyukai