Tulus Santoso
Kepala SMAN 1 Binjai Hulu
Dusun Binjai Hilir Kecamatan Binjai Hulu Kabupaten Sintang
email : tulussantoso1751@gmail.com
ABSTRAK
A. PENDAHULUAN
Diantara hasil perjuangan reformasi di bidang pendidikan adalah alokasi angggaran
pendidikan yang memadai (20%) dan otonomi pendidikan yang pada akhirnya memunculkan
beberapa kebijakan di bidang pendidikan seperti Manajemen Berbasis Sekolah (school-based
management), dan penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan dalam bentuk K13,
sebagai proses penyempurnaan kurikulum sebelumnya dalam upaya jaminan mutu
pendidikan yang diharapkan. Yang pada akhirnya terwaujudnya mutu pendidikan yang
terkendali secara simultan dengan adanya standarisasi semua komponen mutu dalam
pendidikan.
Wujud reformasi di bidang pendidikan itu, seperti adanya berbagai perubahan dan
penyempurnaan peraturan perundangan yang berlaku dengan penyesuaian terhadap tuntutan
reformasi tersebut. Penyempurnaan berbagai aturan perundangan tersebut sebagai upaya
pemenuhan tuntutan mutu pendidikan dalam rangka menjadikan pendidikan yang siap
berkompetisi baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.
Dari hasil wawancara terhadap guru peserta Diklat & ToT KKG/MGMP, CLCC &
Lesson Study di LPMP Kalimantan Barat (2009), dan dengan para guru TK (2009), dapat di
pahami bahwa sebagian guru baik SD/MI, SMP/Mts, SMA/MA/SMK dan Taman Kanak-
kanak bahwa perbedaan sistem sentralisasi dan desentralisasi hampir tidak ada. Para guru
tetap mengacu pada kurikulum sebelum KTSP dan mereka mengembangkan sendiri apa yang
akan diajarkan di kelas. Di samping itu, mereka terutama guru TK merasa lebih leluasa
karena mereka memang tidak mempunyai buku pegangan seperti guru-guru pada jenjang-
jenjang pendidikan di atasnya. Dengan sistem desentralisasi atau otonomi, guru menjadi
fasilitator yang membelajarkan peserta didik. Sebagai subjek, peserta didik harus lebih aktif
belajar, mengkonstruksi sendiri pikirannya tentang sesuatu yang sedang dipelajari.
Dijumpai juga kepala sekolah yang mengkaitkan desentralisasi pendidikan itu dengan
kesiapan serta profesionalisme guru. Desentralisasi pendidikan menyebabkan guru
kebingungan karena mereka harus betul-betul mengoptimalkan perannya secara menyeluruh,
peran yang selama ini belum pernah mereka lakukan. Sebagai contoh, di era sentralisasi
mereka cenderung mengutamakan lima mata pelajaran yang di-EBTANAS-kan, sementara
saat sekarang mereka harus mempersiapkan semua mata pelajaran dengan menyeluruh dan
profesional.
Skenario Pembelajaran ke Depan
Dari hasil wawancara dengan para guru peserta Diklat & ToT KKG/MGMP dan
CLCC & Lesson Study di LPMP Kalimantan Barat (2009) dan dengan para guru TK (2009),
dapat dipahami bagaimana mereka harus melakukan proses pembelajaran di masa yang akan
datang, diantaranya adalah:
a. Karena selama ini para guru telah terbiasa melakukan apa yang telah digariskan atau
terformat oleh pemerintah pusat, mereka cenderung pasif mengikuti ketentuan yang telah
ada. Dengan desentralisasi pendidikan, para guru menginginkan pendidikan yang lebih
profesional, artinya mereka mempunyai kemerdekaan untuk menentukan proses
pembelajaran di kelas, tidak diintimidasi atau ditakut-takuti, seperti dalam supervisi,
mereka senantiasa takut dan disalahkan. Akibat dari hal ini maka para guru menjadi apatis
dan akhirnya kemampuannya tidak bekembang secara profesional.
b. Para guru menginginkan agar pengembangan kurikulum bersifat lebih fleksibel, lebih-
lebih lagi dalam kaitannya dengan pengelolaan kurikulum muatan lokal. Terutama dalam
pemiliahan metode, setrategi, pendekatan, teknik, ataupun model, media, dan
penilaiannya juga sesuai dengan perkembangan anak didik.
c. Para guru merasakan lebih berhasil mengajar manakala mereka berperan sebagai
fasilitator dan dapat sepenuhnya membimbing peserta didik aktif dalam proses
pembelajaran.
d. Para guru menyadari bahwa proses pembelajaran lebih berhasil mengembangkan potensi
peserta didik manakala pembelajaran dilaksanakan secara demokratis, peserta didik tidak
dalam suasana tegang dan takut.
e. Khusus untuk guru Taman Kanak Kanak, karena tuntutan membaca dan menulis sudah
semakin tinggi, mereka menginginkan agar memperoleh kebebasan dalam mengajarkan
membaca dan menulis itu untuk anak kelas TK B. Oleh karena itu, mereka juga
mengharapkan agar pemerintah daerah dapat lebih memperhatikan peningkatan kualitas
pendidikan maupun kesejahteraan guru TK, terutama dukungan fasilitas pembelajaran.
Dari fenomena di atas dan dengan merujuk pada sumber-sumber yang berkembang
selama ini untuk mengongkritkan pelaksanaan MBS dan kurikulumnya, maka agar
menjadikan proses pembelajaran berkualitas untuk masa-masa yang akan datang dalam
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia maka di sajikan pemikiran-pemikiran
kontekstual seperti berikut ini :
1) Pembelajaran dengan Cara dan Iklim yang Demokratis
Desentralisasi atau otonomi setiap satuan pendidikan mengandung arti demokratisasi
setiap satuan pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab dan
milik bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah yang berhubungan langsung
dengan proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam rangka memperkuat
establishnya nilai-nilai demokrasi di kalangan warga negara dan peserta didik, maka di
samping penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan dengan cara dan iklim yang demokratis,
proses pembelajaran di kelas pun harus mampu menanamkan nilai-nilai demokrasi bagi
peserta didik. Kurikulum tingkat satuan pendidikan yang dilaksanakan ini dengan
mengembangkan 5 (lima) pilar pendidikan seperti yang tertuang dalam kerangka dasar
pelaksanaan kurikulum, yaitu : (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu
melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi
orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (Fasli Djalal, 2006)
Kondisi pembelajaran di Indonesia, kalau tidak boleh dibilang dikelola dengan cara
yang otoriter, yang jelas masih memerlukan bantuan agar pembelajaran menjadi lebih
demokratis. Sesuai dengan idealisme di atas, penelitian Muhammad, Hadiyanto dan Nurli
(1998) menunjukkan bahwa iklim kelas yang lebih demokratis mampu membuat prestasi
belajar peserta didik menjadi lebih baik.
Kedua hal di atas, pembelajaran yang demokratis dan cooperative learning, sangat
tepat dikaitkan dengan kondisi pendidikan nasional yang harus mampu memberikan
sumbangan terhadap pembentukan manusia Indonesia yang lebih demokratis setelah terjerat
dalam kondisi otoriter birokratis beberapa dekade yang lalu. Kedua hal itu, menurut hemat
penulis dapat mewujudkan praktek pendidikan di Indonesia seperti yang diidamkan Zamroni
(2000), yaitu pendidikan yang manusiawi, demokratis dan egaliter.
Untuk menggapai proses pembelajaran yang lebih cocok sesuai dengan tuntutan masa
yang akan datang, di samping memperhatikan dua hal yang telah disebutkan di atas, tepat
pula untuk mengadaptasi pendapat Cheng (2001) tentang paradigma baru dalam belajar dan
mengajar, yaitu paradigma ‘triplization’ dengan beberapa catatan.
Triplization pada intinya menyebutkan bahwa dalam proses belajar dan mengajar
diperlukan tiga wawasan utama, yaitu individualisasi (individualization), lokalisasi
(localization) dan globalisasi (globalization). Individualisasi pada intinya merupakan
transfer, adaptasi dan pengembangan nilai-nilai ekternal, pengetahuan teknologi dan norma-
norma tingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik individu. Ide ini lebih
banyak berkait dengan motivasi dan kebutuhan manusia. Lokalisasi merujuk pada transfer,
adaptasi dan pengembangan nilai-nilai, pengetahuan, teknologi dan norma-norma tingkah
laku dari konteks lokal, seperti masyarakat sekitar. Contoh dari hal ini adalah adaptasi
teknologi, ekonomi, sosial, politik dan budaya ekternal kepada masyarakat lokal. Sedangkan
globalisasi merupakan transfer, adaptasi dan pengembangan nilai-nilai, pengetahuan,
teknologi dan norma-norma tingkah laku lintas negara dan masyarakat dalam skala
internasional.
Dengan mempelajari ide Cheng (2001) di atas dan dengan memperhatikan kebutuhan
pembentukan nilai-nilai kebangsaan yang sedang terancam ‘disintegrasi’, melalui pendidikan
untuk masa-masa yang akan datang, maka ‘individualisasi’ yang dimaksud oleh Cheng lebih
tepat digantikan dengan semangat kebersamaan (cooperation) seperti yang telah disebutkan
pada sub bagian di atas. Dengan demikian, adaptasi paradigma triplization itu menjadi
seperti yang tertuang pada tabel berikut.
Meskipun masih sangat sulit bagi para guru di Indonesia untuk menerapkan adaptasi
paradigma ‘triplization’ seperti tersebut di atas, lebih-lebih lagi yang berkaitan dengan
wawasan global atau internasional, karena bangsa Indonesia harus realistis terbentur pada
keterbatasan sumber yang dimiliki oleh sebagian besar sekolah di Indonesia, kebebasan guru
untuk mengambil langkah-langkah proaktif sedekat mungkin menuju ke paradigma itu
setapak demi setapak perlu diwujudkan. Sekolah-sekolah yang telah mempunyai sumber
daya manusia, dalam hal ini guru dan petugas lainnya serta fasilitas yang sudah memadai
harus diberikan kebebasan untuk dapat mengimplementasikan ide-ide di atas dengan lebih
awal. Oleh karena itu lebih jelasnya paradigma ‘triplization’ belajar mengajar dapat di lihat
dengan jelas seperti table 1, berikut :
Belajar secara Lokal dan Global Mengajar secara Lokal dan Global:
Sumber belajar ganda Mengajar dengan berbagai sumber
Belajar dengan jaringan Mengajar dengan menggunakan jaringan
Belajar sepanjang hidup dan di mana saja Mengajar dalam skope dunia
Kesempatan yang tidak terbatas Kesempatan yang tidak terbatas
Belajar dalam skope dunia Berpandangan lokal dan internasional
Berpandangan lokal dan internasional Mempunyai jaringan mengajar dalam tataran
internasional
*) Penulis menukar konsep belajar dan mengajar individualistik (individualized learning)
dengan ‘cooperative learning’ dan ‘cooperative teaching’.
Otonomi Guru dalam Sistem Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dari K13
Kurikulum tingkat satuan pendidikan ini pada dasarnya merupakan perangkat rencana
pembelajaran, pengaturan kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai peserta didik,
penilaian, kegiatan pembelajaran dan pengembangan sumber daya sekolah. Kurikulum ini
berorientasi pada hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada peserta didik, serta pada
pada keberagaman sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Kurikulum ini diharapkan dapat
benar-benar membuat peserta didik mempunyai kompetensi pada mata pelajaran yang
diajarkan, yaitu tidak hanya sampai pada ranah kognitif tingkat rendah, tetapi harus sampai
pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor tingkat tinggi. Oleh karena itu guru dalam
implemntasi dari K13 diberikan otoritas yang bergitu kuat dalam hal perencanaan
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian pembelajaran hingga tindak
lanjutnya. Sehingga potensi setiap peserta didik dapat berkembang optimal secara melalui
interfensi pembelajaran yang wajar menyenangkan dan bermakna
C. SIMPULAN
Pintu otonomi pendidikan nasional telah dibuka lebar oleh pemerintah Indonesia.
Berbagai perangkat peraturan dan kebijakan di bidang pendidikan telah dibuat, baik berkait
dengan sistem manajemen pendidikan, maupun rencana pembaharuan kurikulumnya.
Pembaharuan-pembaharuan itu berimplikasi terhadap kemerdekaan guru dalam mengkreasi
proses pembelajaran di kelas.
Proses mengajar dan belajar yang sesuai dengan tuntutan otonomi pendidikan di atas
adalah proses yang demokratis dan kooperatif. Untuk membuat guru mampu mengajar
secara lebih demokratis, koperatif dan berkompeten seperti idealisme ‘tripilization’,
pemerintah dan bangsa Indonesia masih harus bekerja keras memperbaiki komponen
pendidikan yang lain, seperti kualitas dan mentalitas guru, sarana dan prasarana
pembelajaran. Tanpa sentuhan komponen yang lain sebagai bagian dari suatu sistem
pendidikan nasional, perubahan pembaharuan itu hanya akan menjadi kebijakan yang tidak
efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA