Anda di halaman 1dari 6

Sepasang Mata Untuk Diana

Karya: Bima Bayu Saputra (08 / XI MIA 2)

Sinar mentari mulai menyeruak masuk ke dalam celah jendela kamar Diana. Diana,
gadis kecil dengan mata bulat dan pipi tembam itu menggeliat tak nyaman. Rasa hangat yang
menjalar pada wajahnya mulai mengganggu tidur indahnya. Perlahan Ia mulai membuka
matanya. “Wah… sudah pagi rupanya.” katanya dalam hati. Tangan kecilnya mulai meraba-
raba tempat tidur di sampingnya, seperti mencari sesuatu benda. Hingga Ia menemukan
sebatang tongkat yang biasa digunakannya sebagai alat bantu berjalan. Ya, Diana bukanlah
anak normal seperti teman-temanya yang lain. Entah mengapa Tuhan menggantikan
pengelihatannya dengan kedua manik mata yang indah bak boneka itu.

Diana si gadis manis dan periang itu tinggal di sebuah gubuk bambu kecil pinggiran
kali. Ia tinggal bersama ayahnya, Pak Ridwan yang tak jauh berbeda dari Diana. Pak Ridwan
mengalami cacat pada bagian kaki sebelah kirinya pasca mengalami kecelakaan kerja di suatu
proyek pembangunan, tempat berkerjanya dulu. Ibu Diana meninggal sewaktu melahirkan
Diana. Alhasil Diana tidak pernah tahu kasih sayang seorang ibu. Jikalau ditanya pasal ibunya
oleh Diana Pak Ridwan pasti akan menjawab,”Wah… ibumu itu cantik sekali nduk, kayak
peri di cerita-cerita dongeng”. Diana pasti langsung tersenyum saat mendengar jawaban
ayahnya. Mau bagaimana lagi Diana adalah seorang anak yang pasti butuh bimbingan ibunya.
Namun demikian Pak Ridwan selalu menjadi soso ayah dan ibu bagi Diana.

Kini, sehari-harinya Pak Ridwan menjual makanan ringan dan minuman seperti kopi,
teh, maupun minuman berenergi. Warung yang dimiliki Pak Ridwan cukup ramai karena
bersebrangan dengan sebuah pabrik tekstil yang lumayan besar. Meskipun penghasilanya pas-
pasan cukup lah untuk menyekolahkan Diana dan memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua.

Diana sekarang duduk dibangku kelas 5 SDLB Mentari. Dulunya Diana tidak ingin
bersekolah, ia tidak mau sampai berpisah dengan ayahnya walaupun satu menit. Diana takut
saat tidak ada ayahnya maka tidak ada satu pun orang yang mau memperhatikan Diana. Diana
sebenarnya anak yang pintar dan juga banyak bicara, namun di saat berada di lingkungan
tidak dikenal maka Ia akan malu, bahkan hanya untuk sekedar bicara. Setelah satu minggu
bersekolah Diana mulai punya banyak teman, bahkan ada salah satu siswa yang hingga
sekarang menjadi sahabat karib Diana, Dion namanya. Dion adalah salah atu siswa
berkebutuhan khusus. Ia menderita gangguan pola pikir, ia tidak bisa berfikir sebagaimana
teman-teman sebayanya. Dion memiliki keluarga yang sangat kaya raya. Ayahnya adalah
Ddirektur di pabrik tekstil sebrang Rumah Diana. Meskipun begitu Dion adalah anak yang
peduli pada sekitarnya, Apalagi dengan Diana, sahabatnya. Saat Diana tidak membawa bekal
karena nasi dirumahnya habis maka Dion dengan senang hati akan memberika kotak makan
siangnya pada Diana.

Seperti siang ini saat Diana terlihat sendiri duduk dibawah pohon dekat kelas dengan
wajah sedih. Tanpa babibu Dion langsung menghampiri Diana dengan kotak bekalnya yang ia
genggam. “Ana, eeeemmm… Ana gak bawa bekal ya?” kata Dion. “Iya Ion, nasi di rumah
cuman cukup buat sarapan.’ jawab Diana. Dion dengan senyum mengembang berkata,”Nih
bekal Ion buat Diana aja.” Karena meskipun Diana sudah menolak, Dion akan tetap memaksa
Diana menerima bekalnya, pernah suatu waktu Diana tetap menolaknya dan akhirnya Dion
menangis bahkan sampai tidak mau menegur Diana hingga satu minggu. “Ya udah deh, tapi
makanya berdua ya.” Dion pun senang bukan main hingga bertepuk tangan. Dion langsung
menuntun Diana untuk duduk bersamanya di kursi taman lalu membagi bekalnya dengan
Diana. Sesekali Dion melontarkan candaan-candaanya sampai Diana tertawa terbahak-bahak.

Namun entah mengapa buliran air mata mulai turun membasahi pipi Diana. Dion
terdiam seketika dari tawanya. Raut mukanya mulai kelihatan panik. “Ana kenapa nangis?”
tanya dion. “Aku pengen bisa lihat, pengen bisa lihat wajah bapak, pengen lihat senyumnya
Ion, pengen bisa lihat bintang, hiks…hiks…hiks… Ana pengen kayak temen-temen yang lain.
Ana pengen gak nyusahin bapak, Ana cuman pengen bisa lihat, kenapa Tuhan jahat banget
sama Ana.” jawab Diana ditengah isakan kecilnya. Tanpa sadar Dion ikut menangis,
“A...aana gak boleh nangis, kalua Ana nangis Ion ikut nangis. Ion aja yang tiap hari diledekin
temen-temen Ion gak pernah nangis, tau gak kenapa? Karena Ion yakin Tuhan pasti punya
alasan sendiri. Nanti Ion usahain gimana caranya Ana bisa lihat lagi. Jangan nangis lagi ya!”
Mendengar kata-kata sahabatnya itu Diana jadi merasa bersalah karena marah pada Tuhan
yang telah mengambil pengelihatanya.

Tak terasa bel sekolah telah berbunyi, menandakan waktu pulang bagi para siswa
SDLB Mentari. Terlihat Dion dan Diana berjalan saling bergandengan tangan menyusuri
lorong-lorong sekolah. Dion dan Diana memang tidak bisa dipisahkan. Kalau bisa dibilang,
mereka bagai beliung dan asahannya. Mobil jemputan Dion sudah menunggu di depan
sekolah. Supir pribadi Dion mempersilahkan tuan mudanya masuk ke dalam mobil. Dion
masih diam mematung melihat wajah letih Diana. Kasihan kalau Diana harus menunggu
Ayahnya menjemputnya, itu yang berada di benak Dion sekarang. “A…nnnna gak mau
bareng sekalian? Panas lho siang ini.” tawar Dion. “Iya Non Ana, Den Dion juga mau saya
antar ke pabrik, kan jalanya satu arah. Panas lo Non kasihan ayah Non juga kalua nanti jalan
panas-panas gini.” imbuh pak supir. Setelah menimang tawaran Dion akhirnya Diana pun
setuju untuk ikut pulang bersama Dion.

Saat di perjalanan Dion mengeluh sakit di bagian kepala. Karena tidak kuat merasakan
sakit, Dion pun menangis. Diana dan pak supir mulai bingung, akhirnya mereka berinisiatif
mrngantarkan Dion ke rumah sakit. Setibanya di sana Dion langsung di bawa ke ruang UGD.
Diana hanya bisa menangis melihat hidung Dion mulai mengeluarkan darah. Pak supir yang
bingung hanya berusaha menenangkan Diana. Kurang lebih 15 menit berselah, Pak Ridwan,
ayah Diana dan Pak Baron, ayah Dion datang dengan raut muka khawatir. “Dion di mana,
Dion di mana?” tanya Pak Baron dengan raut khawatirnya. Dengan sesenggukan Diana
menjawab, “Ion di bawa masuk ke dalam Om sama suster”. Dengan terburu-buru pak baron
masuk kedalam ruang UGD. Melihat keadaan anaknya itu hati Pak Baron bagai teriris belati,
alatbantu pernafasan mulai dipasang di hidung Dion, kabel-kabel mulai pemantau mulai
tertempel di tubuh Dion. Hati orang tua mana yang tak sedih melihat buah hati nya harus
menerima cobaan sebesar ini.

Di lain sisi Diana tak henti-hentinya menangis dan menayakan Dion pada ayahnya,
“Yah Ion gak papa kan? Ion sehat kan yah? Hiks..hiks…hikss… kenapa sih aku gak bisa
lihat? Kenapa sih Tuhan jahat banget sama aku, aku cuman mau ngelihat Ion yah. Hiks...
hiks… hikss… Tuhan jahat.”. Dengan senyumanya Pak Ridwan menjawab, “Nduk, gak
boleh gitu, Tuhan tak bisa kita salahkan. Kita sebagai manusia hanya bisa menjalani ujian
Nya dengan kuat dan tabah. Tuhan punya caranya tersendiri untuk mencintai hambanya.
Nduk tidak diberi pengelihatan karena Tuhan tidak ingin Nduk melihat kemungkaran Dunia,
Bapak tak punya satu kaki agar Bapak tidak mudah berjalan di jalan kemungkaran. Tuhan
mau kita jadi manusia yang istimewa nduk”. Diana pun mulai meredakan tangisnya, iya
seakan tersihir dengan kata-kata bapaknya. Pikiranya mulai membucah ketika mendengar
pintu ruang UGD terbuka. Pak Baron keluar dengan wajah pucat pasi. Tidak ada pikiran lagi
selain nyawa Dion, anak kesayanganya. Anaknya yang ia besarkan seorang diri, tanpa sesosok
ibu. Ibu Dion menikah dengan Pak Baron hanya untuk kekayaanya saja, selepas melahirkan
Dion, Ia pergi membawa uang miliyaran meninggalkan Pak Baron dan Dion. Hal ini lah
alasan Pak Baron begitu menyayangi Dion terlebih lagi Dion mengidap gangguan pola pikir.

“Ayah Dion gimana yah? Gak kenapa-napa kan yah?” tanya Diana pada ayahnya.
“Dion cuman kecapekan aja, Diana gak perlu khawatir.” sela Pak Baron. “Om Baron, Dion
gak papa kan Om? Dion baik-baik aja kan Om?” tanya Diana pada Pak Baron dengan
khawatir. Pak Ridwan melihat Pak Baron dengan raut iba. Sama-sama membesarkan anak
seorang diri membuat Pak Ridwan merasa senasib dengan Pak Baron. “Sabar ya pak, Den
Dion anak yang kuat.” imbuh Pak Ridwan. Tiba-tiba dokter yang menangani Dion memanggil
Pak Baron. Alangkah terkejutlah Pak Baron melihat dokumen hasil pemeriksaan kesehatan
Dion. Dion divonis terkena kanker darah stadium akhir, dokter juga berpesan bahwa Dion
tidak bisa diselamatkan lagi. Dokter meperkirakan waktu hidup Dion tinggal 2 minggu lagi.
Pak Baron bagai terlempar mendengar penuturan dokter. “Adakah hal yang bisa saya lakukan
untuk menyelamatkan nyawa anak saya dokter?” tanya Pak Ridwan. “Buat anak bapak
bahagia. Sebenarnya masih bisa kita upayakan cangkok sumsum tulang belakang, namun
mencari kecocokan dalam waktu dekat adalah mustahil. Kita hanya bisa menunggu keajaiban
Tuhan.” kata dokter.

Kata-kata dokter menjadi tamparan keras bagi Pak Baron. Dengan gontai Pak
Baronkeluar dari rumah sakit. Ia hendak menuju mobilnya, tanpa ia sadari mobil berkecepatan
tinggi tengah menuju dirinya. Pak Baron yang sedang dalam tekanan tidak bisa berfikir jernih,
Ia hanya bisa diam menatap ke depan mobil. Entah dari mana datangnya Pak Ridwan
menubruk Pak Baron, Pak Baron jatuh kesebelah kiri. Kejadian itu berjalan sangat cepat, tak
ada yang tahu bagaiman bisa terjadi. Mobil sudah menghantam trotoar, dan Pak Ridwan
sudah tergelatak tak sadarkan diri. Diana gadis kecil itu hanya terdiam, tatapan kosongnya
menatap sekeliling. Ia mulai gelisah mendengar suara teriakan orang dan dentuman antar
benda keras. “Ayah…Ayah… Ayah dimana? Diana takut yah?” teriakan Diana membuat Pak
Baron tersadar, Ia berlari menghampiri Diana dan memeluknya. Pak Baron berteriak
menyuruh orang-orang membawa Pak Ridwan masuk ke rumah sakit.

Di dalam ruang pemeriksaan Pak Ridwan sempat berbicara pada dokter, “Dok
kabulkan permintaan saya! Saya ingin sumsum tulang belakang saya di donorkan pada anak
bapak tadi. Dan dokter tau anak yang Ia gendong? Tolong berikan kornea mata saya pada
gadis malang itu. Buat anak saya bisa melihat seperti ke inginannya.” Ternyata Pak Ridwan
sempat mendengar pembicaraan Pak Baron dan Dokter yang menangani Dion. Pak Ridwan
iba dengan keadaan Dion. Dion adalah satu-satunya sahabat yang tulus pada Diana, Anak
kesayanganya itu.

Mendengar permohonan Pak Ridwan dokter hanya mengagguk mengiayakan. Ia


merasa terkejut dan kagum dengan Pak Ridwan di sela-sela masa kritisnya Ia masih
memikirkan orang lain. Ruang penanganan mualai terbuka menampakan seorang dokter
dengan wajah sedih. “Maaf pak, Tuhan menyayangi Pak Ridwan lebih dari kita semua.” kata
dokter. “Sebelum berpulang, Pak Ridwan menyampaikan pesan agar kornea matanya di
donorkan untuk Diana dan sumsum tulang belakangnya untuk Dion. Setelah kami periksa
sumsum tulang belakang pak ridwan cocok dengan milik anak bapak. Sungguh Pak Ridwan
adalah malaikat untuk kedua anak ini.” kata dokter. Diana yang mendengar hal tersebut
langsung menangis. Ia menginginkan ayahnya kembali, “Diana mau ayah Om. Hiks…hikss…
hiksss… Diana buta gak papa asalkan sama ayah, Diana gak mau pisah dari ayah. Kembalik
in ayah Tuhan, Diana gak akan marah lagi sama Tuhan asalkan Diana bisa sama ayah lagi.
Maafin Diana Tuhan…”

Hati siapa yang tak hancur ketika melihat tangis Diana, Pak Baron tak kuasa menahan
air mata nya. Dia berusaha menenangkan Diana, namun Diana tetap menangis sampai Ia
kelelahan dan tertidur. Dirasa keadaan lebih tenang, Pak Baron segera menemui dokter untuk
menjalankan wasiat dari Pak Ridwan. Pak Baron telah berjanji pada dirinya sendiri akan
menjaga Diana seperti putrinya sendiri mengingat pengorbanan yang begitu besar dari Pak
Ridwan hingga nyawanya sendiri ikuta Ia korbankan.

Seminggu telah berlalu, proses pemakaman Pak Ridwan berjalan lancar, namun tetap
tidak bisa dibendung isak tangis dari Diana yang tak mau ditinggal ayahnya. Baru pertama
kali Diana melihat wajah malaikatnya itu, mengapa harus terbujur kaku di liang lahat dengan
muka pucat pasi. Kini Diana bisa melihat berkat donor kornea mata milik ayahnya, Pak
Ridwan meskipun masih terkadang buram karena syaraf matanya masih menyesuaikan
dengan kornea mata transplan itu. Sedangkan Dion kini sudah bisa sedikit bebas dari rumah
sakit, Ia sudah bisa diajak keluar rumah sakit meskipun harus memakai kursi roda.

“Aaa…na jangan nangis, ada Ion sama papah disini. Jangan nangis lagi, nanti ayah
Ana bakalan sedih dan gak jadi ke surga kalau Ana sedih.” ujar Dion dengan matanya yang
juga ikut berlinang air mata. “Aaa…pa ayah akan ke surga?” tanya sembari menangis. “Ayah
Diana orang baik, Ayahmu menyelamatkan Om Na. Ayahmu memberi harapan pada Dion
untuk sembuh. Ayahmu membantu mu untuk bisa melihat Dunia ini. Ayahmu akan ke surga
Na, Tuhan sayang dengan Ayahmu” Sembari masih menangis Diana mendekat ke nisan
ayahnya yang tanahnya masih basah itu. Rintik hujan menambah suasan haru. Sembari
tersenyum Diana berkatadi makam ayahnya, “Yah Diana sayang ayah. Diana janji gak bandel
lagi. Diana hiks...hiks… janji gak bakal marah lagi sama Tuhan. Diana janji bakal sering
kesini. Hiks… Hiks… Diana janji bakal tetap bersyurkur apapun yang Tuhan kasih. Ayah…
sampaikan kalau Diana sayang sama Bunda. Hiks…hiks… tunggu Diana ya yah!” Dion yang
melihat Diana menangis di nisan ayahnya mendekat, “Aa…na ayo pulang hujannya makin
deras nanti Ana sakit. Gak kasihan sama ayah Ana, nanti mau ke surganya lama. Ayo pulang,
jangan nangis ya… Ion bakal temenin Diana sampai kapanpun.” Diana menatap Dion dan
berkata, “Janji?”. “Janji.” ucap Dion sembari menautkan jari kelingkingnya dengan jari
kelingking Diana.

Janji kecil Diana dan Dion mengakhiri kisah kemalangan Diana. Mereka berdua hidup
bersama, di atap yang sama dengan kasih sayang Pak Baron yang tak henti-hentinya
tercurahkan. Pengorbanan Pak Ridwan untuk putrinya dan orang disekita terbayar dengan
senyum Diana yang menghiasi pipi tembamnya, untuk hari ini, esok ataupun lusa.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai