Disusun oleh:
SEMARANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum bertujuan mengatur berbagai kepentingan manusia dalam rangka pergaulan hidup
di masyarakat.kepentingan manusia dalam masyarakat begitu luas, mulai dari kepentingan
pribadi hingga masyarakat dengan Negara. Untuk itu pergolongan hukum privat mengatur
kepentingan individu atau pribadi, seperti hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perikatan
yang terdapat dalam buku III kitab undang-undang hukum perdata merupakan hukum yan
bersifat khusus dalam melakukan perjanjian dan perbuatan hukum yang bersifat ekonomis atau
perbuatan hukum yang dapat dinilai dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum.
Dalam kegiatan ekonomi terdapat upaya untuk mendapatkan keuntungan atau laba. Namun
harus berdasarkan peraturan dan norma yang terdapat dalam undang-undang yang berlaku
maupun hukum yang berlaku. Dengan adanya hubungan hukum maka terjadi pertalian hubungan
subjek hukum dengan objek hukum (hubungan hak kebendaan). Dalam hukum perjanjian
didalamnya terdapat dua azas yaitu azas konsensualitas dan azas kebebasan berkontrak.
Dalam perkembangan perekonomian di Indonesia, tentunya memerlukan perangkat hukum
nasional yang sesuai dengan hukum perikatan atau kontrak yang berkembang dinamis dalam
masyarakat melengkapi perangkat perundang-undangan. Di Indonesia berbagai peratutran
undang-undang dibuat oleh pemerintah Indonesia telah menggantikan sebagian kitab undang-
undang hukum perdata dan kitab undang-undang hukum dagang. Naumun untuk mengisi
kekosongan hukum di Indonesia maka ke dua kitab undang-undang itu masih digunakan sampai
ada peraturan perundang-undangan yang baru untuk menggantinya.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apakah pengertian dari perjanjian?
2) Apa saja azas-azas dalam perjanjian
3) Apa yang dimaksud dengan subyek dan obyek perjanjian?
4) Apa saja syarat sahnya dari sebuah perjanjian dalam hukum?
5) Bagaimana bentuk-bentuk perjanjian?
6) Apa yang dimaksud dengan wanprestasi dan apa saja sanksinya?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Perjanjian
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah
suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya
terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
2.2. Azas-Azas Perjanjian
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merumuskan ada lima azas dalam hukum
perjanjian :
1. Azas Kebebasan (Freedom of Contract)
Azas kebebasan dalam hukum perjanjian memandang bahwa setiap pihak bebas untuk
menentukan apakah mereka akan membuat perjanjian atau tidak, bebas mengadakan perjanjian
dengan siapa pun, bebas menentukan isi perjanjian, cara pelaksanaan, serta syarat-syarat
perjanjian, dan bebas menentukan bentuk perjanjian, apakah lisan atau tertulis.
Azas tersebut telah ada sejak zaman Yunani dan mengalami perkembangan pada zaman
Pertengahan (Rennaisance) dengan latar belakang paham individualisme yang memandang
bahwa setiap orang bebas memperoleh apa saja yang dia kehendaki. Pelopor paham ini adalah
Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.
Pasal 1338 ayat (1) KUHP memuat ketentuan mengenai azas kebebasan bahwa: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.”
2. Azas Konsensualisme (Concensualism)
Azas ini memandang bahwa sebuah perjanjian disebut sah apabila ada kesepakatan, yakni
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Azas ini
termaktub dalam pasal 1320 ayat (1) KUHP, berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Azas ini lahir dari hukum Romawi dan Jerman. Hukum Romawi mengenal azas contractus
verbis literis dan contractus innominat, sebuah perjanjian dianggap terjadi apabila memenuhi
suatu bentuk yang ditetapkan.
Sementara hukum Jerman, mengenal istilah perjanjian riil dan perjanjian formal. Disebut
perjanjian riil apabila perjanjian tersebut dibuat dan dilaksanakan secara kontan dan disebut
perjanjian formal apabila perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis.
Selanjutnya menurut pasal 1352 KUH .Perdata terhadap perikatan-perikatan yang bersumber
pada undang undang di bagi lagi menjadi dua golongan yaitu :
Menurut pasal 1353 KUH .Perdata perikatan tersebut diatas dapat dibagi lagi menjadi dua
macam atau dua golongan yaitu sebagai berikut :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undng berdasarkan perbuatan seseorang yang
tidak melanggar hukum . mislnya sebagai mana yang di atur dalam pasal 1359KUH . Perdata
yaitu tentang mengurus kepentingan orang lain secara sukarela dan seperti yang si atur dlam
pasal 1359 KUH .Perdata tentang pembayaran yang tidak di wajibkan.
2. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undang berdasarkan perbuatan seseorang yang
melanggar hukum . hal ini diatur didalam pasal 1365KUH. Perdata.
Pada umumya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta di
tetapkan suatu janji , selain untuk dirinya sendiri .Menurut Mariam Darus Badrul Zaman bahwa
yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah :
1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya
3. Pihak ketiga
2.6. Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi
prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan.
Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi
yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun
yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya,
debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan
dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat
diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian,
kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu
pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu,
akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur
berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur
yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam
perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi
dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya
maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan
tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan
somasi.
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi
ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu
seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai,
apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau
demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi
apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal
1238 KUH Perdata adalah:
1) Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat
penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya
dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita.”
2) Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan
kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian
dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan
peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur
melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn),
prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
1. Sanksi
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan
kepada debitur, yaitu:
1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.
2. Ganti Kerugian
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en
interessen” (pasal 1243 dsl)
Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya
yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh
menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen),
yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan
akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan
kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori
tentang sebab-akibat yaitu:
a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan
peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa.
b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila
peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat
(peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena
pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat
dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk
membela dirinya, yaitu:
a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);
b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
DAFTAR PUSTAKA
Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang Undang Hukum Perdata,
Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.
Mashudi, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju
Silondae. Arus Akbar, Fariana. Andi, ”Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis”, Mitra
Wacana Media, 2010