Anda di halaman 1dari 5

TUGAS BIOFARMASETIKA

Nama : Vera Fitriana


NIM: K1A016052

1. Fungsi berbagai organ tubuh (sistem pernafasan, peredaran darah, endokrin,


dan pencernaan.
Organ endokrin
Hampir semua obat dimetabolisme di hepar dan diekskresi oleh ginjal.
Apabila ada gangguan pada kedua organ tersebut maka akan berpengaruh pada
absorpsi, distribusi, bioavailabilitas, metabolisme, dan klirens. Perubahan
fisiologis pada pasien dengan gangguan fungsi hepatik dapat mempengaruhi
dosis sebagai contoh pasien dengan mengalami ascites (tanda sirosis dan
penurunan fungsi hepar) akan mengalami perubahan volume distribusi,
mengubah bioavailabilitas dan eliminasi beberapa obat sehingga berpotensi
menimbulkan efek samping obat. Selain itu obat yang memiliki karakteristik
mengalami metabolisme hepatik yang ekstensif harus digunakan secara hati-hati
karena bioavailabilitasnya dapat meningkat dua sampai tiga kali lipat
dibandingkan populasi normal. Sebagai contoh bioavailabilitas propafenone
meningkat 2-3 kali lipat dan dapat menimbulkan aritmia ventrikel dan
berpotensi menyebabkan kematian (Lewis, 2013).

Organ saluran cerna


Obat kemungkinan diabsorbsi melalui difusi pasif dari semua bagian saluran
cerna meliputi absorpsi sublingual, bukal, GI dan rektal. Untuk sebagian besar
obat, site optimul untuk absorbsi obat setelah pemakaian oral adalah bagian atas
usus halus atau daerah duodenum. Anatomi duodenum yang khas memberi luas
permukaan yang besar dari duodenum disebabkan adanya lipatan-lipatan pada
membran mukosa yang merupakan tonjolan-tonjolan kecil yang dikenal dengan
vili. Selanjutnya bagian duodenum mengalami perfusi tinggi dengan jaringan
kapiler, yang membantu mempertahankan suatu perbedaan konsentrasi dari
lumen usus dan sirkulasi plasma (Shargel, 2012).

Motilitas Gastrointestinal
Motilitas GI cenderung memindahkan obat sepanjang jalur cerna, sehingga
obat tidak tinggal pada site absorpsi. Waktu transit obat dalam saluran cerna
bergantung pada sifat fisikokimia dan farmakologis obat, tipe bentuk sediaan,
dan berbagai faktor fisiologis (Shargel, 2012).

Peredaran darah
Aliran darah pada saluran cerna merupakan faktor yang penting untuk
membawa obat ke sirkulasi sistemik kemudian ke tempat kerja. Obat dilepaskan
ke hati melalui vena porta hepatika dan kemudian menuju sirkulasi sistemik. Jika
aliran darah mesenterika menurun maka bioavailabilitas obat juga akan
menurun dari (Shargel dkk, 2005).

2. Permukaan penyerap
Membran sel berbeda dalam karakteristik permeabilitas, bergantung pada
jaringannya. Sebagai contoh, membran kapiler dalam hati dan ginjal lebih
permeable untuk pergerakan obat transmembran dari pada kapiler dalam otak.
Kapiler sinusoid hati sangat permeable dan memungkinkan lewatnya molekul
dengan ukurang besar. Dalam otak dan spinal cord, sel endotel kapiler dikelilingi
oleh suatu lapisan sel-sel glial, yang mempunyai hubungan interseluler yang
rapat. Lapisan tambahan dari sel sekitar membran kapiler secara efektif
berindak untuk memperlambat laju difusi obat ke dalam otak dengan bertindak
sebagai suatu sawar lemak yang lebih tebal. Sawar lemak ini disebut sawar
darah-otak (blood-brain barrier), memperlambat difusi dan penetrasi ke dalam
otak dan spinal cord dari obat yang polar.

Contoh kasus
Pada kondisi patofisiologis tertentu, permeabilitas membrane sel dapat
berubah. Sebagai contoh, luka bakar akan mengubah permeabilitas kulit dan
memungkinkan obat-obat dan molekul besar untuk menembus masuk atau ke
luar. Pada meningitis, yang melibatkan inflamasi membran spinal cord atau otak,
ambilan otak ke dalam otak akan meningkat (Katzung, 2011; Shargel et al.,2012).
Kebanyakan membran diperkirakan berpori-pori yang dapat dilalui oleh
molekul polar yang kecil saja dan tidak dapat dilalui oleh molekul besar.
Sebaliknya, otot memiliki pori-pori yang relatif besar. Contohnya Gentamisin
akan diabsorpsi dengan baik bila disuntikkan secara intramuskular tetapi tidak
akan diabsorpsi bila diberikan per oral (Staf Pengajar Departemen Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008).
3. Umur
Umumnya bayi dan manula lebih peka terhadap kerja obat. Kegagalan
metabolisme obat pada bayi biasanya disebabkan oleh kapasitas yang kurang
dalam aktivasi obat sehingga akan memperpanjang efek farmakologis dan
meningkatkan kemungkinan reaksi toksik. Pada bayi baru lahir tingkat filtrasi
glomerulus dan transpor tubular belum matang, dan diperlukan 5 -7 bulan untuk
matang. Anak-anak lebih rentan terhadap efek yang tidak diinginkan dan pada
orang tua fungsi ginjal menurun. Secara farmakokinetik dan farmakodinamik
populasi anak-anak memiliki keunikan tersendiri. Perubahan faktor
farmakokinetik pada masa pertumbuhan bayi dan anak, misalnya pengosongan
lambung yang lebih panjang volume distribusi yang berbeda fase 1 dan 2 yang
berbeda serta laju filtrasi glomerulus yang berbeda. Oleh karena itu dosis obat
harus dikurangi atau memperpanjang interval pemberian obat.
4. Sifat membran biologik
Untuk absorpsi obat sistemik, obat harus melintasi epitel entestinal melalui atau
antar sel epitel untuk mencapai sirkulasi sistemik. Permeabilitas suatu obat pada
site absorpsi ke daam sirkulasi sistemik berkait dengan struktur molekul obat
dan sifat fisik dan biokimia membran sel. Sekali obat dalam plasma, obat
harus melintasi membran biologis untuk mencapai site aksi. Oleh karena itu,
membran biologis bertindak sebagai sawar untuk pelepasan obat
(Shargel,2012). Absorpsi transeluler merupakan suatu proses pergerakan obat
melintasi suatu sel. Beberapa molekul obat yang tidak mampu melintasi
membran sel, tetapi bisa melewati celah antarsel dikenal dengan absorpsi obat
paraseluler. Beberapa obat kemungkinan diabsorbsi melalui mekanisme
campuran yang melibatkan suatu atau lebih proses (Shargel,2012). Membran
merupakan struktur utama dalam sel, mengelilingi keseluruhan sel dan
bertindak sebagai pembatas antara sel dan cairan interstisial. Secara fungsional,
membran sel merupakan partisi semipermeabel yang bertindak sebagai sawar
selektif untuk lintasan molekul. Pergerakan transmembran obat dipengaruhi
oleh komposisi dan struktur membran plasma. Membran sel terutama tersusun
dari fosfolipid dalam bentuk dua lapis yang terpisahkan dengan gugus
karbohidrat dan protein. Ada teori yang menjelaskan bahwa obat larut lemak
cenderung lebih mudah untuk penetrasi ke membran daripada molekul polar
(Shargel,2012).
5. Laju pelewatan dan waktu tinggal di lambung
Waktu transit obat dalam saluran cerna bergantung pada sifat fisikokimia dan
farmakologis obat, tipe bentuk sediaan, dan berbagai faktor fisiologis
(Shargel,2012).
Waktu Pengosongan Lambung
Secara anatomis, obat yang ditelan akan mencapai lambung secara cepat.
Selanjutnya lambung mengosongkan isinya ke dalam usus halus. Oleh karena itu
duodenum mempunyai kapasitas terbesar untuk absorpsi obat dari saluran
cerna. Suatu penundaan dalam proses pengosongan lambung akan
memperlambat proses absorpsi obat dan memperpanjang waktu mulai kerja
obat. Beberapa faktor yang menunda pengosongan lambung meliputi konsumsi
makanan tinggi lemak, minuman dingin dan obat antikolinergik (Burks dkk.,
1985).

Motilitas Intestinal
Pergerakan peristaltik normal mencampur kandungan duodenum,
membawa partikel obat kontak dengan sel mukosa usus. Obat harus memiliki
cukup waktu tinggal pada site absorbsi untuk proses absorbsi optimum. Jika
motilitas tinggi pada saluran intestinal seperti saat diare, obat mempunya waktu
tinggal yang sangat singkat dan sedikit kesempatan untuk absorbsi yang
memadai (Shargel,2012).

Perfusi Saluran Cerna


Aliran darah ke saluran cerna merupakan hal penting untuk membawa obat
ke sirkulasi sistemik dan kemusia ke tempat kerja. Segera setelah obat di
absorpsi dari usus halus, obat masuk melalui pembuluh mesenterika menuju
vena prota hepatika dan liver sebelum mencapai sirkulasi sistemik
(Shargel,2012).

Pengaruh Makanan pada Absorpsi Obat dari Saluran Cerna


Adanya makanan dalam saluran cerna dapat mempengaruhi bioavailabilitas
obat dari suatu produk obat oral. Makanan yang mengandung asam amino, asam
lemak dan berbagai nutrien kemungkinan mempengaruhi pH usus dan kelarutan
obat. Beberapa pengaruh makanan pada bioavailabilitas suatu obat dari produk
obat meluputi :
1. Penundaan pengosongan lambung
2. Perangsangan aliran empedu
3. Perubahan pH saluran cerna
4. Peningkatan aliran darah
5. Perubahan metabolisme luminan dari senyawa obat
6. Interaksi fisika atau kimia makanan dengan produk obat atau senyawa obat.
Waktu pemberian obat berkait dengan makan sangat penting, karena
makanan berlemak dapat menunda waktu pengosongan lambbung diatas 2 jam.
Produk yang digunakan utnuk mengendalikan asam lambung biasanya
digunakan sebelum makan, untuk mengantisipasi rangsangan sekresi asam
lambung oleh makanan (Shargel,2012).

Fenomena Dua Puncak


Fenomena dua puncak berhubungan dengan perbedaan dalam pengosongan
lambung dan laju alir intestinal selama proses absorpsi setelah dosis tunggal.
Integritas obat juga merupakan faktor dalam fenomena dua puncak.

Contoh kasus
1) Pasien akhloridria tidak mempunyai produksi asam lambung yang memadai.
Kekurangan produksi asam lambung menyebabkan obat bersifat basa lemah
tidak dapat membentuk garam larut dan tetap di dalam lambung dan tidak di
absorpsi.
2) Pasien dengan penyakit parkinson mengalami kesulitan menelan dan sangan
menurunkan motilitas pencernaan.
3) Pasien dengan antidepresan trisiklik dan obat antipsikotik megalami
penurunan motilitas saluran cerna atau bahkan obstruksi intestinal.
Penundaan absorpsi obat terjadi terutama pada produk lepas-lambat.
4) Pasien dengan gagal jantung kongestif mengalami penurunan aliran darah dan
mengalami edema pada dinding perut. Selain itu motilitas intestinal lambat.
Penurunan aliran darah ke usus dan penurunan motilitas intestinal
mengakibatkan penurunan absorbsi obat (Shargel,2012).
6. pH
Nilai pH daerah bervariasi di sepanjang saluran pencernaan, pH lambung =1-
3,5, pH usus halus = 5-8, pH duodenum =5-6, pH ileum=8, pH usus besar =8.
Derajat ionisasi dipengaruhi oleh nilai ph, bentuk tak terion akan diabsorbsi
lebih cepat daripada bentuk terion. Perubahan nilai pH pada saluran pencernaan
(karena adanya makanan atau faktor lain) dapat menyebabkan perubahan
jumlah bentuk tak terion sehingga dapat mempengaruhi absorpsi dan
bioavailabilitas nya (Proudfoot, 1990). Contohnya Asam salisilat (suatu asam
lemah dengan pKa = 3,0) terionisasi lebih dari 99% pada plasma (pH = 7,4) dan
oleh karena itu, Asam salisilat masuk ke cairan serebro-spinalis secara lambat
sekali.
7. Tegangan permukaan
Contoh Ketoprofen merupakan salah satu obat anti inflamasi non steroid yang
banyak digunakan dalam pengobatan artritis reumatoid, osteoartritis, pirai dan
keadaan nyeri lainnya (Katzung, 2002). Bahan obat ini mempunyai sifat praktis
tidak larut dalam air tetapi permeasi menembus membran biologis baik. Untuk
bahan obat yang kelarutannya dalam air rendah, laju disolusi merupakan
tahapan yang paling lambat sehingga menjadi tahap penentu kecepatan (rate
limiting step) absorpsi dan menentukan bioavailabilitas obat dalam tubuh. Oleh
karena itu dilakukan upaya peningkatan laju disolusi ketoprofen untuk
mendapatkan biovailabilitas yang lebih baik. Berdasarkan persamaan Noyes-
Whitney, laju disolusi dapat diperbesar dengan cara meningkatkan ivas
permukaan efektif dan kelarutan bahan obat (Abdou, 1989). Peningkatan luas
permukaan efektif dapat dicapai dengan cara pengecilan ukuran pertikel
sehingga bahan obat lebih mudah kontak dengan media dan lebih mudah
terbasahi (Florence & Attwood, 1987).
8. Isi saluran cerna yang dapat mengubah aksi zat aktif obat
Adanya makanan dalam saluran cerna dapat mempengaruhi bioavailabilitas obat
dari suatu produk obat oral. Makanan yang mengandung asam amino, asam
lemak dan berbagai nutrien kemungkinan mempengaruhi pH usus dan kelarutan
obat. Beberapa pengaruh makanan pada bioavailabilitas suatu obat dari produk
obat meluputi :
1. Penundaan pengosongan lambung
2. Perangsangan aliran empedu
3. Perubahan pH saluran cerna
4. Peningkatan aliran darah
5. Perubahan metabolisme luminan dari senyawa obat
6. Interaksi fisika atau kimia makanan dengan produk obat atau senyawa obat.

Anda mungkin juga menyukai