Anda di halaman 1dari 30

BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN?

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Makalah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu :
Moh. Ghufron, S.HI.,M.Pd.I

Oleh :
1. …………………. (1431800000)
2. Muhammad Imron Shidiq (1431800019)
3. Aris Sujarwo (1431800045)
4. Kholifatur Rosyidah (1431800145)

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2019
Jl. Semolowaru No. 45 Surabaya 60118
Telp. (031) 5931800 Fax. (031) 5921597 E-Mail : humas@untag-sby-.ac.id
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puja dan puji syukur kami haturkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah Bagaimana Manusia Bertuhan?
Penulisan makalah Esensi dan Urgensi Iman, Islam dan Ihsan dalam
Pembentukan Insan Kamil ini merupakan tujuan penulis untuk memenuhi
kebutuhan akan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Pendidikan Agama Islam.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak akan selesai tanpa adanya
bantuan dan motivasi dari berbagai pihak sejak awal hingga akhir penulisan. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini, penulis memberikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. Bapak Moh. Ghufron, S.HI.,M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Pendidikan
Agama Islam yang telah membimbing dengan sabar dan ikhlas.
2. Ayah dan Ibu kami tercinta yang selalu mendoakan dan memberi motivasi
hingga saya bisa menyelesaikan makalah ini.
3. Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini
dengan tepat waktu.
Semoga segenap bantuan para pihak tersebut menjadi amal yang baik
dan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Akhirnya besar harapan penulis
agar makalah ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiwa di
lingkungan UNTAG Surabaya. Amin ya Rabbal’alamin.

Surabaya, 13 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan Masalah.............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Nilai-Nilai Spritualitas dan Karakter Bangsa..................................3
2.1.1 Definisi Nilai-Nilai Spiritualitas.....................................................................3
2.1.2 Karakter Bangsa...................................................................................................4
B. Hakekat Manusia Bertuhan.........................................................................11
2.2.1 Pengertian Manusia..........................................................................................11
2.2.2 Pengertian Tuhan..............................................................................................11
2.2.3 Manusia Sebagai Makhluk Bertuhan..........................................................12
C. Karakteristik dan Urgensi Spiritualis..........................................................14
D. Sumber dan Konsep Ketuhanan..................................................................17
2.4.1 Sumber Sosiologis............................................................................................17
2.4.2 Sumber Filosofis...............................................................................................20
2.4.3 Sumber Teologis...............................................................................................22
2.4.4 Sumber Historis.................................................................................................22

BAB III PENUTUP


Kesimpulan................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT, Allah menciptakan
manusia untuk beribadah kepada-Nya dan untuk melakukan hal-hal yang
baik kepada sesama manusia dan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.
Beribadah adalah suatu perbuatan yang dilakukan pada manusia untuk
menyembah Tuhan-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangannya.
Manusia yang berketuhanan adalah manusia dengan kebersihan hatinya
menggunakan mata hati mengenali Tuhan-Nya benar benar meyakini bahwa
Tuhan itu ada.
Tuhan adalah Yang Maha Kuasa, dimana Kuasa Tuhan senantiasa ada
pada setiap apa yang ada dan ada pada setiap apa yang terjadi di alam
semesta ini, hanya karena Kuasa Tuhanlah semua itu ada dan hanya karena
Kuasa Tuhanlah semua itu terjadi.
Dalam bagimana manusia ber-Tuhan, kalian bisa melihat dalam dunia
ini, ada manusia yang ber-Tuhan tapi tidak ber-Agama, begitu juga
sebaliknya ada manusia yang ber-Agama tetapi tidak ber-Tuhan.
Sementara itu, dalam masalah ber-Tuhan dan ber-Agama menjadi
masalah utama dalam keimanan dan keislaman, keimanan kepada tuhan itu
lah yang akan menjadi dasar orang dalam memeluk Agama.
Manusia yang berketuhanan adalah manusia yang telah mengenali
Tuhan yang dalam kehidupannya, senantiasa mengingat, mengkaitkan,
melibatkan, mendahulukan, serta mengutamakan Tuhan di dalam kehidupan
"Adanya hanyalah Tuhan", artinya segala apa yang ada dan segala apa yang
terjadi selalu terkait, berkaitan, tidak terlepas dari Tuhan. Manusia yang
senantiasa mengkaitkan, mengembalikan segala sesuatunya kepada Tuhan
dan Tuhan senantiasa memberikan petunjuk haqiqi kepada setiap manusia
untuk pedoman kehidupannya. Manusia manusia yang telah mengenali
Tuhan sehingga dalam kehidupannya senantiasa beramal dan beribadah

1
kepada Tuhan sehingga hidupnya memperoleh keselamatan, ketenangan,
kedamaian dan kebahagiaan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi nilai-nilai spiritual dan karakter bangsa?
2. Bagaimana hakekat manusia bertuhan?
3. Mengapa menelusuri karakteristik dan urgensi spiritual?
4. Bagaimana menggali sumber sosiologis, filosofis, teologis, dan historis
konsep ketuhanan?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi nilai-nilai spiritual dan karakter bangsa.
2. Untuk mengetahui hakekat manusia bertuhan.
3. Untuk mengetahui menelusuri karakteristik dan urgensi spiritual.
4. Untuk mengetahui menggali sumber sosiologis, filosofis, teologis, dan
historis konsep ketuhananan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Nilai-Nilai Spritualitas dan Karakter Bangsa


2.1.1 Definisi Nilai-Nilai Spiritualitas
Secara bahasa, spiritualitas berasal dari bahasa Latin yaitu Spiritus yang
berarti roh, jiwa, semangat. Selain itu dari kata Inggris yaitu spirituality, yang
artinya menjadi kata spiritualitas.
Dalam kamus Filsafat Lorenz Bagus terdapat pengertian lain tentang
spirit dari para filosof. Aristotelas juga mengatakan bahwa spiritual ini juga
dapat diartikan sebagai prinsip adi kodrati yang ditangkap langsung dan
intuitif pandangan ini juga dianggap erat dengan agama karena dalam agama
ruh tertinggi adalah Tuhan.
Selain itu menurut Plato, spiritualitas sering dilawankan dengan kata
“materia1” atau “korporalitas2’. Spiritualitas di sini berarti bersifat atau
berkaitan dengan roh yang berlawanan dengan materialitas yang bersifat atau
berkaitan dengan kebendaan atau korporalitas yang berarti bersifat tubuh atau
badani.
Dalam artian sebenarnya, spiritualitas adalah hidup berdasarkan atau
menurut roh. Disini roh yang dibahas yaitu roh Allah 3sendiri. Spiritualitas
adalah hidup yang didasarkan pada pengaruh dan bimbingan roh Allah.
Spiritualitas dapat diartikan sebagai bidang penghayatan batiniah terhadap
Tuhan melalui laku-laku tertentu yang sebenarnya terdapat pada setiap
agama, tetapi disini tidak semua orang beragama menekuninya.
Fokus spiritualitas yaitu manusia. Apabila dalam psikologi mengkaji jiwa
sebagai ego, sedangkan di dalam spiritual mengkaji jiwa sebagai spirit. Maka
manusia membuat diri dan hidupnya itu sesuai dengan semangat dan cita-cita
Allah. Manusia juga memiliki tiga dimensi spiritual menurut Sayyed Husein
Nasr.

1
rohani atau kebendaan
2
badani
3
wujud yang ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk
mengaktualkannya

3
Faktor yang berhubungan dengan spiritualitas yaitu:
1. Diri sendiri
Jiwa seseorang yaitu hal yang sangat fundamental dalam
eksploitasi (penyelidikan) spiritualitas
2. Sesama
Bermasyarakat untuk saling berhubungan diakui sebagai pokok
pengalaman manusia, sehingga berhubungan dengan orang lain sama
pentingnya dengan diri sendiri
3. Tuhan
Pemahaman mengenai Tuhan, selain itu juga hubungan antara Tuhan
dengan Manusia secara tradisional diterima dalam kerangka hidup
beragama. Namun, sejauh ini dianggap secara luas dan tidak terbatas.
Manusia memahami Tuhan dengan berbagai cara salah satuya hubungan
alam dengan seni

2.1.2 Karakter Bangsa

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 3) “Karakter


adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk
dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan
digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan
bertindak”.
Menurut Megawangi dalam bukunya yaitu Darmiyati (2004: 27)
mendefinisikan tentang pendidikan karakter sebagai “Sebuah usaha untuk
mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan
mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat
memberikan konstribusi yang positif pada lingkungannya.
Maka dari beberapa pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa
pengertian karakter kurang lebih sama dengan moral dan etika, yaitu
terkait dengan nilai-nilai yang diyakini seseorang yang selanjutnya
diterapkan dalam hubungannya dengan tanggung jawab sosial.

4
Nilai-nilai karakter bangsa ialah :
1. Religius
a. Pengertian
Religius merupakan Sikap atau perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianut oleh seseorang, toleran
terhadap orang lain yang sedang beribadah , serta dapat hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
b. Makna
Nilai religius ini yang harus diterapkan pada diri sesorang
termasuk peserta didik, supaya dalam kehidupan sehari-hari sikap
dan kelakuan seseorang tidak melawati ajaran agama yang dianut
olehnya , selain itu juga menjunjung tinggi rasa toleransi dengan
penganut agama lain serta dapat menghasilkan kehidupan yang
harmonis dan rukun.
c. Contoh
Kita selaku umat muslim senantiasa melakukan hal yang
diperintahkan agama, seperti melaksanakan solat, memberi zakat,
melaksanakan saum, dll. Serta menjauhi apa yang dilarang oleh
agama, seperti mencuri, berzina, mabuk, berbohong, dll.
2. Jujur
a. Pengertian
Jujur adalah Perilaku yang mengupayakan diri seseorang untuk
menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam
perkataan dan perbuatan.  
b. Makna
Nilai jujur ini berpengaruh terhadap hubungan sosial. Karena
sikap jujur merupakan faktor yang membangun hubungan
kepercayaan seseorang terhadap diri kita. Apabila seseorang sudah
percaya pada kita, maka mudah untuk kita membangun kerjasama
dengannya. 

5
c. Contoh
Kita sebagai mahasiswa apabila berlaku jujur dalam kehidupan
sehari-hari maka akan mendapatkan kepercayaan dari orang lain,
baik dari teman atau dosen.  Sehingga mudah bagi kita untuk
bekerjasama dengan orang lain. Dan kita senantiasa diberikan
kepercayaan sebuah pekerjaan yang penting karena sikap jujur kita. 
3. Toleransi
a. Pengertian
Toleransi adalah Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang
lain yang berbeda dari dirinya.
b. Makna
Nilai toleransi ini menjunjung tinggi rasa tenggang rasa antar
sesama agama, suku, etnis dan lain-lain demi keberlangsungan
kehidupan yang harmonis dan rukun.
c. Contoh
Apabila ada teman kita yang bukan dari etnis kita atau suku
yang sama dengan kita, janganlah kita mengucilkannya.  Maka
seharusnya kita bersahabat dengan siapapun dan saling
toleransi.  Hal itu akan membantu kita untuk membangun sebuah
kehidupan yang tentram.   
4. Disiplin
a. Pengertian
Disiplin merupakan Tindakan yang dapat menunjukan perilaku
tertib dan patuh terhadap berbagai ketentuan dan peraturan yang
berlaku.
b.      Makna
Nilai disiplin disini merupakan sikap patuh kita terhadap
peraturan atau aturan yang berlaku di lingkungan sekitar.
c.       Contoh
Sebagai mahasiswa yang memberlakukan nilai kedisiplinan
yang tinggi, maka sebaiknya kita dalam keseharian datang tepat

6
waktu ke kampus, kemudian mengerjakan tugas dengan baik dan
mengumpulkannya tepat waktu.   
5. Kerja Keras
a. Pengertian
Kerja keras merupakan Perilaku yang menunjukan upaya
sungguh- sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan
tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
b.      Makna
Nilai kerja keras ini mengandung arti usaha kita dalam mencapai
suatu tujuan atau pencapaian suatu pekerjaan yang diharapkan
hasilnya baik dan memuaskan.
c.       Contoh
Dalam menghadapi ulangan atau tes, untuk mendapatkan nilai
yang maksimal dan memuaskan kita perlu melakukan kerja keras
untuk mendapatkan keinginan tersebut, yaitu dengan belajar yang
tekun. 
6. Kreatif
a. Pengertian
Kreatif merupakan Cara berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
b. Makna
Nilai kreatif mengandung arti pengungkapan ide-ide terhadap
suatu cara atau suatu pekerjaan yang menghasilkan inovasi baru.
c. Contoh
Seorang guru harus memiliki sifat kreatif untuk membantunya
dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada peserta
didik.  Kreatif dalam strategi pembelajaran yang digunakan, atau
metode pembelajaran, atau cara ia mengajar, agar tujuan
pembelajaran dapat tercapai. 

7
7. Mandiri
a. Pengertian
Mandiri merupakan Sikap dan perilaku yang tidak mudah, sikap
ini tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas- tugas.
b. Makna
Nilai mandiri ini menunjukkan perbuatan dan sikap seseorang
dalam mengerjakan sesuatu tidak tergantung pada bantuan orang
lain.  Akan tetapi bergantung pada kemampuan diri sendiri. 
c. Contoh
Apabila seorang mahasiswa diberikan tugas, maka hendaklah
dikerjakan sendiri tanpa harus menunggu bantuan dari orang lain. 
8. Demokratis
a. Pengertian
Demokratis merupakan Cara berpikir, bersikap dan bertindak
yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
b. Makna
Nilai demokratis ini sangat perlu diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, karena akan menghasilkan keseimbangan antara hak dan
kewajiban seorang individu dengan individu lain.
c. Contoh
Dalam pemilihan ketua kelompok dapat dilakukan dengan cara
demokrasi, yaitu memilih beberapa calon untuk dipilih menjadi
ketua dari suara pemilih yang terbanyak. 
9. Rasa Ingin Tahu
a. Pengertian
Rasa ingin tahu merupakan Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu
yang dipelajari, dilihat dan didengar.
b. Makna
Nilai rasa ingin tahu ini adalah cerminan keaktifan seseorang
dalam mempelajari sesuatu untuk menambah pengetahuan atau
pemahaman seseorang.  

8
c. Contoh
Sebelum melaksanakan pembelajaran, seorang mahasiswa yang
memiliki rasa ingin tahu akan mempelajari materi yang akan
diajarkan sehingga mahasiswa tersebut dalam pembelajaran nanti ia
hanya mendiskusikannya saja dengan teman-teman atau dosennya. 
10. Semangat Kebangsaan
a. Pengertian
Semangat kebangsaan merupakan cara berpikir, bertindak dan
berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara
diatas kepentingan diri dan kelompoknya.
b. Makna
Nilai ini menjunjung tinggi rasa cinta pada tanah air serta
menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau
kelompok.
c. Contoh
Seorang pelajar rela menjadi seorang TNI dengan tujuan untuk
menjaga wilayah-wilayah di Indonesia.  
11. Cinta Tanah Air
a. Pengertian
Cinta tanah air merupakan cara berpikir, bersikap dan berbuat
yang menunjukan rasa kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang
tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi
dan politik bangsa.
b. Makna
Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai semangat
kebangsaan.  Nilai ini lebih mementinkan kepentingan negara
dibandingkan kepentingan kelompok atau pribadi.
c. Contoh
Kita dapat menerapkan cinta tanah air kita dengan cara membuat
prestasi dalam berbagai bidang akademik atau olahraga demi
membanggakan negara. 

9
12. Menghargai Prestasi
a. Pengertian
Menghargai prestasi merupapkan sikap dan tindakan yang
mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
b. Makna
Nilai ini perlu kita terapkan dalam kehidupan akademik kita,
karena dengan menghargai prestasi kita dapat memotivasi diri
sendiri dan orang lain agar dapat maju dan berkembang. 
c. Contoh
Apabila kita melihat teman kita mendapatkan prestasi, kita
sebaiknya memberi selamat dan berusaha untuk bisa seperti dirinya. 
13. Bersahabat/Komunikatif
Bersahabat adalah tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai
Yaitu sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15.  Gemar Membaca
Merupakan kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan
pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya- upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Yaitu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab
Merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas
dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,

10
masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan
Yang Maha Esa.
B. Hakekat Manusia Bertuhan
2.2.1 Pengertian Manusia
Manusia selain berperan sebagai khalifah di bumi juga memiliki
kedudukan lainnya di alam ini, yaitu sebagai hamba yang harus beribadah
kepada Allah SWT.

(( ‫نس إِاَّل‬ ِۡ ِ ۡ ‫ا خلَ ۡق‬


َ ‫ت ٱ لج َّن َوٱ ل إ‬
ُ َ ‫ َو َم‬٥٦
ِ ‫لِي ۡعب ُد‬
‫ون‬ ُ َ
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku”
(QS. Adz-Zariat 51:56).
Al-Maraghi menjelaskan bahwa Allah menciptakan jin dan manusia
supaya mereka dapat mengetahui atau mengenal Tuhannya, mereka tidak
hanya mengenal wujud Tuhannya saja, akan tetapi mereka juga dapat
meyakini keberadaannya. Itulah konsekuensi logis dari kedudukan manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang selalu bergantung dan berlindung
kepada-Nya.
Dengan demikian manusia selain sebagai khalifah yang mengelola dan
memelihara alam semesta ini dengan segala potensi-potensi yang dimilikinya,
juga sebagai ‘abd 4yang seluruh aktifitasnya haruslah berdasarkan ibadah
kepada Allah. Jika hal ini terlaksana dengan baik, maka manusia sebagai
khalifah tidak akan berbuat kemungkaran, korupsi dan perbuatan yang
bertentangan dengan kehendak Tuhan. Untuk dapat melaksanakan fungsi ke-
khalifahan dan ibadah
2.2.2 Pengertian Tuhan
Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah dan Allah diyakini sebagai Zat
Maha tinggi yang nyata dan Esa, Pencipta yang maha kuat dan juga maha
tahu yang abadi, penentu takdir, dan hakim bagi semesta alam.
Penciptaan dan penguasaan alam semesta sebagai suatu tindakan
kemurahan hati yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji
4
hamba

11
keagungan-Nya dan menjadi saksi atas kesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut
ajaran Islam, Tuhan muncul di mana pun dan tanpa harus menjelma dalam
bentuk apa pun.10 Al-Quran menjelaskan,
ِ ۡ ۡ ُ ‫اَّل تُ ۡدِر‬
(١٠٣) ‫ف‬ َ ‫صٰـُر َو ُه َو يُ ۡدِر ُك ٱ لأَ ۡب‬
ُ ‫صٰـ َۖ‌ر َو ُه َو ٱللَّطي‬ َ ‫ڪ ُه ٱ لأَ ۡب‬
ِ ۡ
ُ‫ٱ ل َخبري‬
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui." (Q.S. Al-'An'am 6:103)
Tuhan dalam jaran Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa,
namun juga Tuhan yang personal: Menurut Al-Quran, Tuhan lebih dekat pada
manusia daripada urat nadi manusia. Tuhan menjawab bagi yang
membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di
atas itu semua, Tuhan memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang
diridhai-Nya.”
2.2.3 Manusia Sebagai Makhluk Bertuhan
Manusia merupakan makhluk ber-Tuhan, pola pemikiran ini sangat
bertolak dari pandangan manusia sebagai makhluk homo religious5. Salah
satu tokohnya ialah Mircea Eliade. Pandangan Eliade dapat dilihat pada
tulisan Mangunhardjono dalam buku Manusia Multi Dimesional: Sebuah
renungan filsafat, (1982:38). Menurut Eliade, homo religius tipe manusia
yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius
dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta,
alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Sebagai makhluk
religius manusia sadar dan meyakini akan adanya kekuatan supranatural
dalam dirinya. Sesuatu yang disebut supranatural itu dalam sejarah manusia
disebut Tuhan.

5
Homo religius adalah manusia menyadari adanya kekuatan ghaib yang memiliki
kemampuan lebih hebat daripada kemampuan manusia, sehingga menjadikan
manusia berkepercayaan atau beragama

12
Sebagai mahluk Tuhan, ciri-ciri manusia sebagai berikut:
a. Mengakui kebesaran dan keagungan Tuhan yang diwujudkan dengan
berbagai cara.
b. Menyadari bahwa dunia serta isinya adalah ciptaan Tuhan
c. Manusia dianugerahi akal dan budi yang dapat dikembangkan secara
maksimal
d. Manusia memiliki keterbatasan yang kadang sukar dijelaskan
Ciri-ciri tersebut dapat kita amati dalam berbagai perilaku manusia
dalam kehidupan sehari-hari.
Keyakinan akan adanya Tuhan membawa manusia untuk mencari
kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu:
a. menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan
yakin berasal dari Tuhan
b. menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal
dari Tuhan
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem
yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama"
berasal dari bahasa Sanskerta yaitu "tradisi", dan kata lain untuk
menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin
“religio” yang berawal dari kata kerja re-ligare yang memiliki arti
"mengikat kembali".
Maksudnya adalah dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya
kepada Tuhan. Émile Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah
suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang
berhubungan dengan hal yang suci. Sebagai orang yang beragama,
manusia meyakini bahwa Tuhan telah mewahyukan kepada manusia
pilihan yang disebut dengan rasul, yang dengan wahyu Tuhan tersebut,
manusia dibimbing menjadi lebih baik, lebih sempurna dan lebih
bertaqwa dari sebelumnya.

13
C. Karakteristik dan Urgensi Spiritualis
Pengalaman bertuhan (spriritual) adalah pengalaman yang unik dan
autentik6. Masing-masing orang memiliki pengalaman yang khas dalam hal
merasakan kehadiran Tuhan. Pengalaman ini dapat menjadi bagian yang
sangat erat dan mempengaruhi kepribadian seseorang. Walaupun dalam
kehidupan modern saat ini, orientasi kehidupan yang lebih menekankan aspek
fisik-material telah menjadikan aspek keberagamaan dan spiritualitas terpojok
ke wilayah pinggiran. Modernisasi di segala bidang sebagai akibat dari
kemajuan ilmu dan teknologi melahirkan sikap hidup yang materialistis,
hedonis, konsumtif, mekanis, dan individualistis. Akibatnya, manusia modern
saat ini banyak kehilangan kehangatan spiritual, ketenangan, dan kedamaian.
Peradaban yang dibangun oleh premis positivisme-empirisme membawa
konsekuensi pada penolakan realitas yang berada di luar jangkauan indra dan
rasio. Realitas simbolik dan metafisik seperti Tuhan sangat dianggap sebagai
realitas semu sebagai hasil dari evolusi realitas materi. Dengan kata lain,
epistemologi modernitas telah menggeser bahkan mencabut realitas Ilahi
sebagai fokus bagi kesatuan dan arti kehidupan. Ketercerabutan realitas Ilahi
ini ditandai dengan peminggiran aspek rohani yang pada muaranya
Hilangnya realitas Ilahi ini bisa mengakibatkan timbulnya gejala
psikologis, yaitu adanya kehampaan spiritual. Kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta filsafat rasionalisme tidak bisa memenuhi kebutuhan
pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang
hanya bisa digali dari sumber wahyu Ilahi. Akibatnya tidak heran kalau akhir-
akhir ini banyak dijumpai orang yang stres dan gelisah, karena mereka tidak
mempunyai pegangan hidup. Dari mana, akan ke mana dan untuk apa hidup
ini ?
Sayyed Hossein Nasr melihat fenomena hilangnya spiritualitas sebagai
ketercerabutan manusia dari akar tradisi (sesuatu yang sacral Tuhan) sehingga
manusia hidup di luar eksistensinya. Ketika seseorang hidup di luar
eksistensinya, maka mengalami kehilangan makna hidup dan disorientasi
tujuan hidup. Disorientasi tujuan hidup sering kali membuat manusia modern

6
alternatif

14
terjebak pada budaya instan dan jalan pintas untuk mengejar kesenangan
materi dan fisik. Wajar jika muncul sikap hidup yang materialistis, hedonis,
konsumtif, mekanis, dan individualistis. Persaingan untuk meraup
kesenangan di atas, pada akhirnya menimbulkan benih-benih konflik yang
menimbulkan hilangnya rasa aman dan damai.
Agar manusia kembali memiliki etika moral dan sentuhan manusiawi
dalam kehidupannya, maka penguatan spiritualitas sangat perlu dilakukan.
Penguatan ini secara filosofis dikatakan sebagai penguatan visi Ilahi, potensi
bertuhan, atau kebertuhanan. Untuk mencapai visi Ilahi yang kokoh,
diperlukan proses pengaktualisasian akhlak Tuhan yang ada dalam diri setiap
manusia. Maka diperlukan pelatihan jiwa secara sistematis, dramatis, dan
berkesinambungan dengan memadukan antara olah pikir (tafakkur wa
ta`ammul), olah rasa (tadzawwuq), olah jiwa (riyādhah), dan olahraga (riḫlah
wa jihād).
Sejalan dengan itu, Sayyed Hossein Nasr juga menawarkan terapi
spiritual untuk mengatasi problematika manusia modern. Sayyed Hossein
Nasr menghimbau manusia modern untuk mendalami dan menjalankan
praktik tasawuf karena tasawuflah dapat memberikan jawaban terhadap
kebutuhan spiritual mereka.
Dalam pandangan tasawuf, penyelesaian dan perbaikan keadaan itu tidak
dapat tercapai secara optimal jika hanya dicari dalam kehidupan lahir, karena
dikehidupan ini hanya merupakan gambaran atau akibat dari kehidupan
manusia yang digerakkan oleh tiga kekuatan pokok yang ada pada dirinya.
Ketiga kekuatan pokok disini adalah akal, syahwat, dan nafsu amarah.
Jika ketiganya bisa seimbang, maka hidup manusia akan menjadi normal.
Tasawuf mengandung prinsip-prinsip positif yang mampu
mengembangkan masa depan manusia, seperti melakukan instropeksi
(muḫāsabah), baik berkaitan dengan masalah-masalah vertikal maupun
horizontal, kemudian meluruskan hal-hal yang kurang baik. Prinsip positif
lain yaitu selalu berzikir (dalam arti yang seluas-luasnya) kepada Allah Swt.,
sebagai sumber gerak, sumber kenormatifan, sumber motivasi dan sumber

15
nilai yang dapat dijadikan acuan hidup. Maka seseorang bisa selalu berada di
atas sunnatullāh7 dan shirāthal-mustaqīm8.
Tasawuf dapat berperan dalam mewujudkan sebuah revolusi moral
spiritual yang merupakan basis etika bagi suatu formulasi sosial, seperti dunia
pendidikan. Disini tasawuf merupakan metode pendidikan yang membimbing
manusia ke dalam harmoni dan keseimbangan total. Bertasawuf yang benar
berarti sebuah pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual.
Pendidikan yang dikembangkan selama ini masih sangat menekankan arti
penting akademik, kecerdasan otak, dan jarang terarah pada kecerdasan emosi
dan spiritual yang mengajarkan integritas, kejujuran, komitmen, visi,
kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan,
dan penguasaan diri.
Dari uraian di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa tasawuf
mempunyai peran dalam membangun spiritualitas umat. Tasawuf dapat
membuat manusia mengerem egosentrisme, dorongan hawa nafsu, dan juga
orientasi kepada materi yang berlebihan. Melalui tasawuf, manusia dapat
dilatih untuk mengedepankan makna dan visi ilahiah dalam kehidupan.
Spiritualitas sebagai pintu untuk menuju Tuhan tidak akan menguat
manakala jiwa kita selalu dikooptasi oleh kepentingan ragawi dan bendawi.
Ketika manusia bisa mencapai kesadaran dan kecerdasan spiritual yang
tinggi, maka manusia tersebut akan memiliki visi Ilahi, yaitu kemampuan
memaknai segala sesuatu sebagai refleksi keindahan Tuhan. Manakala
manusia mampu memaknai segala sesuatu sebagai manifestasi keindahan
Tuhan, maka ia akan menjadi manusia yang selalu positive thinking dan
positive feeling. Apabila manusia dapat bersikap positif dalam segala
kondisinya, maka manusia itu dipastikan akan menjadi manusia yang
memiliki relasi harmonis dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dengan
Tuhan, dengan lingkungan alam, dan dengan profesinya.
Spiritualitas merupakan puncak kesadaran ilahiah menurut Saifuddin
Aman dalam Tren Spiritualitas Milenium Ketiga. Spiritualitas membuat kita
mampu memberdayakan seluruh potensi yang diberikan Tuhan untuk melihat
7
Tradisi Allah dalam melaksanakan ketetapan sebagai Rabb
8
Jalan yang lurus

16
segala hal secara holistik9 sehingga kita mampu untuk menemukan hakikat
(kesejatian) dari setiap fenomena yang kita alami. Dalam bahasa yang sedikit
berbeda Syahirin Harahap dalam Membalikkan Jarum Hati mendeskipsikan
mereka yang memiliki kesadaran atau kecerdasan spiritual sebagai orang-
orang yang mampu mengarungi kehidupan dengan panduan hati nurani.
Rohani, yang kuat karena bimbingan maksimal hati nurani tersebut, akan
membuat orang lebih dinamis, kreatif, memiliki etos kerja tinggi, dan lebih
peduli, serta lebih santun.

D. Sumber dan Konsep Ketuhanan


Tuhan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata lord
dalam bahasa Inggris, segnor dalam bahasa Latin, senhor dalam bahasa
Portugis, dan maulaya / sayyidi dalam bahasa Arab. Kosakata di atas
menyaran pada makna “tuan”. Kata ‟Tuhan‟ disinyalir berasal dari kata tuan
yang mengalami gejala bahasa paramasuai
Dalam khazanah pemikiran umat Islam, Tuhan adalah pembicaraan yang
tidak pernah tuntas dan selalu menjadi polemik 10. Itu sebabnya ilmu yang
membicarakan Tuhan disebut dengan ilmu kalam 11dan pengkajinya disebut
dengan mutakalim, karena ilmu kalam selalu diperbincangkan dan
diperdebatkan tanpa kata tuntas.

2.4.1 Sumber Sosiologis


Konsep kebertuhanan sebagai bentuk ekspresi kolektif suatu
komunitas beragama merupakan wilayah pembahasan sosiologi agama.
Sosiologi agama merupakan cabang ilmu sosiologi yang mempelajari
secara khusus masyarakat beragama. Objek dari penelitian sosiologi
agama adalah masyarakat beragama yang memiliki kelompok-kelompok
keagamaan. Seperti, kelompok Kristen, Islam, Buddha, dan lain-lain.
Sosiologi agama memang tidak mempelajari ajaran-ajaran moral, doktrin,

9
Cara pandang sesuatu yang dilakukan dengan konsep pengakuan
10
Diskusi atau perdebatan
11
Ilmu kalam adalah disiplin filsafat mencari prinsip teologi islma melalui
dilektika

17
wahyu dari agama-agama itu, namun hanya mempelajari fenomena-
fenomena yang muncul dari masyarakat yang beragama tersebut.
meskipun demikian, ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dapat dipandang
sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi fenomena-fenomena yang
muncul tersebut.
Pemahaman manusia tentang kekuatan adikodrati yang transenden
tersebut menurut para pakar sosiologi mengalami evolusi sejalan dengan
perkembangan pemikiran manusia. Sebagian ilmuwan mengajukan tesis
mengenai kebertuhanan umat manusia dimulai dari tahap animisme,
politeisme dan kemudian monoteisme.
Pada tahap animisme manusia mempercayai bahwa semua benda
memiliki jiwa atau roh yang dapat memberi pertolongan kepadanya.
Adapun pada tahap politeisme yang lebih tinggi dari tahap animisme, saat
manusia telah mengenal konsep-konsep tentang Tuhan / dewa yang berada
di luar sana. Tetapi Tuhan / dewa tersebut banyak jumlahnya. Mereka
mulai menyembah Tuhan-Tuhan mereka sesuai dengan keyakinan yang
mereka yakini yaitu mampu memberi pertolongan kepada mereka. Tahap
terakhir adalah monoteisme sebagai tahap yang tertinggi. Pada tahapan ini
manusia memiliki konsep tentang Tuhan / dewa yang esa, yang tidak
terbagi-bagi dan merupakan sumber segala sesuatu yang mampu menolong
dan menjawab segala keterbatasan-keterbatasannya.
Dalam perspektif sosiologis, sebuah komunitas akan memberikan
porsi yang besar bagi peran Tuhan dalam mengatur segala aspek
kehidupan manakala komunitas tersebut lebih banyak dikendalikan oleh
common sense12. Itu sebabnya di kalangan masyarakat primitif atau yang
masih terbelakang dalam pendidikannya, berbagai hal biasanya
disandarkan kepada kekuatan supranatural tersebut. Penjelasan tentang
fenomena alam dan sosial sering kali dibingkai dalam mitos. Mitos
merupakan penjelasan tentang sejarah dan pengalaman kemanusiaan
dengan menggunakan kacamata Tuhan (kekuatan transenden). Pendek

12
penilaian yang sangat masuk akal terhadap suatu situasi

18
kata, dalam masyarakat yang belum maju tingkat pendidikannya, setiap
permasalahan selalu dikaitkan dengan Tuhan.
Sebaliknya, dalam masyarakat yang telah mengalami rasionalisasi
dengan kemajuan pendidikan, sains, dan teknologi, maka porsi yang
diberikannya kepada Tuhan menjadi semakin berkurang. Hal itu karena
semua fenomena alam dan sosial budaya dengan rasionalisme dan
perkembangan iptek dapat dijelaskan dengan mudah. Hanya sedikit hal
yang masih di luar nalar manusia sajalah yang diberikan pada Tuhan.
Dalam perspektif rasionalisme tidak ada wilayah kehidupan yang tidak
bisa dipikirkan (irasional), semuanya bisa dipikirkan (rasional) atau belum
terpikirkan (supra-rasional), karena belum dikaji secara lebih mendalam.
Dalam sosiologi, agama disebut sebagai sebuah sistem budaya
karena merupakan hasil dari “sistem gagasan” manusia terdahulu. Max
Weber menjelaskan bahwa Tuhan tidak ada dan hidup untuk manusia,
tetapi manusialah yang hidup demi Tuhan. Menurutnya, menjalankan
praktik-praktik keagamaan merupakan upaya manusia untuk mengubah
Tuhan yang irrasional menjadi rasional. Semakin seseorang menjalankan
perintah Tuhan maka seseorang akan semakin merasa dekat terhadap
Tuhan
Berbeda dengan pendapat Emile Durkhem, Max Weber
menyatakan bahwa kebertuhanan secara khas merupakan permasalahan
sosial, bukan individual. Karena yang empirik (pada saat itu) kebertuhanan
dipraktikkan dalam ritual upacara yang memerlukan partisipasi anggota
kelompok dalam pelaksanaanya. Akibat yang tampak saat itu adalah
kebertuhanan yang hanya bisa dilaksanakan pada saat berkumpulnya
anggota-anggota sosial, dan tidak bisa dilakukan oleh tiap individu.
Tuhan dalam perspektif sosiologis digambarkan sebagai sumber
kebenaran dan kebajikan universal yang diyakini dan dipahami oleh umat
manusia.

19
2.4.2 Sumber Filosofis
Pembahasan tentang cara manusia bertuhan melalui rasio menjadi
fokus utama pokok bahasan ini. Banyak argumen yang diajukan oleh para
filsuf Islam, sebagai kaum pemikir / rasionalis untuk menjelaskan hakikat
Tuhan dan cara bertuhan yang benar. Menurut Mulyadhi Kartanegara,
paling tidak terdapat tiga argumen filsafat untuk menjelaskan hal tersebut,
yaitu:
1) dalil al-ḫudūts oleh al-Kindi (w. 866)
2) dalil al-īmkān oleh Ibn Sina (w.1037)
3) dalil al-‘ināyah. oleh Ibn Rusyd (w.1198).
Dalam argumen al-ḫudūts, Al-Kindi dengan gigih membangun
basis filosofis tentang kebaruan alam untuk menegaskan adanya Tuhan
sebagai pencipta. Tuhan dikatakan sebagai sebab pertama, yang
menunjukkan betapa Ia adalah sebab paling fundamental dari semua
sebab-sebab lainnya yang berderet panjang, maka Ia sekaligus merupakan
sumber bagi sesuatu yang lain, yaitu alam semesta.
Argumen mengenai Tuhan yang dikemukakan oleh Al-Kindi
dibangun di atas empat premis:
1. alam semesta bersifat terbatas dan dicipta dalam waktu,
karenanya alam pasti harus ada yang menciptakan (pencipta)
yang tidak terbatas dan tidak dilingkupi waktu.
2. pencipta harus bersifat esa, yang darinya memancar semua
maujūd13 yang tersusun dan beragam.
3. sesuatu ada karena adanya sebab-sebab lain yang secara
hierarkis mengerucut pada sebab sejati dan sebab terakhir
sebagai satu-satunya yang mencipta.
4. wujud Tuhan dapat diamati dari keberadaan alam semesta
sebagai makrokosmos, yang tidak mungkin mengalami
sebuah keteraturan hukum bila tidak ada pengatur, yang
disebut Tuhan.

13
Ada atau hadir

20
Dari keempat premis tadi, dapat kita simpulkan bahwa argumen ini
lebih menitikberatkan pada temporalitas serta penciptaan alam semesta
oleh sang pencipta yang esa.
Ibnu Sina (980-1037), memperjelas konsep Tuhan al-Kindi
mengungkapkan dalil wājib al-wujūd dan mumkīn al-wujūd. Menurut Ibnu
Sina, segala yang ada di alam hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada
alternatif ketiga. Tuhan adalah wājib al-wujūd (wujud niscaya) sedangkan
selain-Nya (alam) dipandang sebagai mumkīn al-wujūd (wujud yang
mungkin). Akan tetapi, yang dimaksud wājib al-wujūd di sini yaitu wujud
yang ada dengan sebenarnya atau wujud yang senantiasa aktual. Dengan
demikian, Allah merupakan wujud yang ada dengan sendirinya dan tidak
membutuhkan sesuatu pun untuk mengaktualkannya.
Argumen ketiga tentang Tuhan adalah argumen teleologis14 (dalil
al-‘ināyah). Argumen ini mendasati tentang pengamatan atas keteraturan
dan keterpaduan alam semesta. Maka dapat kita simpulkan bahwa alam ini
pasti karya seorang perancang hebat. Menurut Ibn Rusyd, penyelidikan
terhadap alam semesta tidak dapat berjalan sendiri tanpa mengikuti metode
penyelidikan yang digariskan Al-Quran. Dari pengamatan terhadap alam,
Ibn Rusyd mencoba untuk membuktikan Tuhan menggunakan dua
penjelasan. Pertama, bahwa fasilitas, yang dibuat untuk kenyamanan dan
kebahagiaan manusia, dibuat untuk kepentingan manusia dan menjadi
bukti akan adanya rahmat Tuhan. Kedua, keserasian alam seharusnya
ditimbulkan oleh sebuah agen yang sengaja melakukannya dengan tujuan
tertentu dan bukan karena kebetulan.
Maka kesimpulannya inti dari pendapat para filsuf muslim klasik
bahwa Tuhan adalah pencipta dari segala sesuatu yang ada di alam nyata
ini. Tuhan juga menjadi penyebab utama dari segala akibat yang kita lihat
saat ini. Tuhan merupakan wājib al-wujūd atau wujud yang niscaya,
artinya Allah adalah wujud yang ada dengan sendirinya dan tidak
membutuhkan sesuatu pun untuk mengaktualkannya.

14
Wacana yang berdasar nalar

21
2.4.3 Sumber Teologis
Dalam perspektif teologis, masalah ketuhanan, kebenaran, dan
keberagamaan harus dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap
sakral dan dikultuskan karena dimulai dari atas (dari Tuhan sendiri melalui
wahyu-Nya). Artinya, kesadaran tentang Tuhan, baik-buruk, cara
beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan sendiri. Tuhan
memperkenalkan diri-Nya, konsep baik-buruk, dan cara beragama kepada
manusia melalui pernyataan, baik yang dikenal sebagai pernyataan umum,
seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam, penciptaan semua
makhluk, maupun pernyataan khusus, seperti yang kita kenal melalui
firman-Nya dalam kitab suci, penampakan diri kepada nabi-nabi, bahkan
melalui inkarnasi menjadi manusia dalam dogma Kristen.
Pernyataan-pernyataanini menjadi dasar keimanan dan keyakinan
umat beragama. Dengan melalui wahyu yang diberikan Tuhan, manusia
dapat mengenal Tuhan; manusia mengetahui cara beribadah; dan cara
memuji dan mengagungkan Tuhan. Tuhan juga memberikan sebuah
petunjuk mengenai cara untuk menyembah dan beribadah kepada Tuhan.
Contoh yang terjadi dalam agama Islam. Tuhan menurunkan
wahyu kepada Nabi Muhammad. Melalui wahyu itu, Nabi Muhammad
mengajarkan dan menekankan monoteisme di tengah politeisme yang
terjadi di Arab. Umatnya dituntun untuk menyembah hanya kepada Dia,
yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Melalui wahyu yang diterimanya, Nabi
Muhammad memiliki keyakinan untuk menobatkan orang-orang Arab
yang menyembah.

2.4.4 Sumber Historis


Melalui kajian neurosains, bakat bertuhan dapat dicari jejaknya
dalam bagian-bagian otak yang diangap terkait dengan kecerdasan
spiritual. Terdapat empat penelitian di bidang neurosains yang mendukung
hipotesis bahwa dalam diri manusia terdapat hardware Tuhan.

22
1. Penelitian terhadap osilasi15 40 hz yang kemudian melahirkan kecerdasan
spiritualnya Danah Zohar.
2. Penelitian tentang alam bawah sadar yang melahirkan teori tentang suara
hati dan EQ.
3. Penemuan God spot 16dalam temporal di sekitar pelipis.
4. Kajian tentang somatic marker17.
Penjelasan berbeda dikemukakan oleh Andrew Newberg dan Mark
Waldman dalam Gen Iman dalam Otak- Born to Believe. Dalam buku itu
dijelaskan bahwa manusia dilahirkan tidak membawa kepercayaan khusus
kepada Tuhan. Sistem kepercayaan yang dibangun oleh gagasan-gagasan
yang diajarkan secara intens sehingga tertanam secara neurologis di dalam
memori, dan berakhir mempengaruhi perilaku dan pemikiran kita. Maka
penulis buku ini ingin mengatakan bahwa kebertuhanan adalah hasil
manipulasi pemegang kekuasaan terhadap seorang individu.
Maka ditemui dua perspektif yang berbeda mengenai potensi
bertuhan dalam diri manusia, perspektif spiritual dan neurosains.
Keterbukaan pada yang Gaib semakin menguat dengan adanya
pengalaman ketidakberdayaan dan pengalaman mistik. Pengalaman
ketidakberdayaan merupakan pengalaman yang membuat seseorang
merasakan bahwa dirinya memiliki kekurangan dalam memahami
fenomena alam, sosial, budaya, dan psikis. Pengalaman semacam ini
menyadarkan seseorang bahwa ada aspek-aspek dari realitas yang
dihadapi, yang masih menjadi misteri dan belum dipahaminya.
Pengalaman ini disebut dengan pengalaman eksistensial.
Selain pengalaman nyata keseharian, ada pengalaman lain yang
membuat manusia terbuka kepada sesuatu yang gaib yaitu pengalaman
batin, ketika orang berada pada kondisi fokus sehingga seolah-olah ia
menyatu dengan peristiwa atau fenomena yang dialaminya. Ia bukanlah

15
Osilasi adalah variasi periodik terhadap waktu dari suatu hasil pengukuran
16
God Spot adalah salah satu titik di dalam otak manusia yang berhubungan
dengan Tuhannya
17
Somatic marker (penanda somatik), sejenis alarm yang memberi informasi
kemungkinan akan terjadi apabila sebuah keputusan diambil

23
pengalaman rasional melainkan pengalaman dengan otak super-sadar
(intuisi). Pengalaman ini disebut dengan pengalaman mistik.
Maka kesimpulannya pengetahuan tentang Tuhan, baik-buruk, dan
cara beragama dalam perspektif teologis tidak terjadi atas prakarsa
manusia, tetapi terjadi atas dasar wahyu dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan
melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu menjadi makhluk yang
bertuhan dan beribadah kepada-Nya.

24
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
a. Definisi nilai-nilai spiritualitas adalah hidup yang didasarkan pada pengaruh
dan bimbingan roh Allah. Spiritualitas juga dapat diartikan sebagai bidang
penghayatan batiniah terhadap Tuhan melalui laku-laku tertentu yang
sebenarnya terdapat pada setiap agama, tetapi tidak semua pemeluk agama
menekuninya. Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan spiritualitas
yakni dari diri sendiri, terhadap sesama dan terhadap Tuhan.
Karakter bangsa adalah pengertian karakter kurang lebih sama dengan moral
dan etika, yakni terkait dengan nilai-nilai yang diyakini seseorang dan
selanjutnya diterapkan dalam hubungannya dengan tanggung jawab sosial.
Adapun nilai karakter bangsa ialah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai,
gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.
b. Hakekat manusia bertuhan tidaklah lain untuk beribadah kepada-Nya. cara
manusia bertuhan itu berbeda-beda, ada yang bertuhan ada yang menerima
segala kepastian yang menimpa diri dan saekitarnya dan yakin berasal dari
tuhan, ada juga yang menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang
diyakini berasal dari Tuhan.
c. Setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Adapun
karekteristik spiritualnya adalah hubungan dengan diri sendiri, hubungan
dengan alam, dan hubungan dengan orang lain.
d. Sumber Sosiologis dalam konsep kebertuhanan adalah konsep tentang
kebertuhanan sebagai bentuk ekspresi kolektif suatu komunitas beragama
merupakan wilayah pembahasan sosiologi agama.
Sumber Filosofis dalam konsep kebertuhanan mengenai pembahasan
tentang cara manusia bertuhan melalui rasio akan menjadi fokus utama
pokok bahasan ini.
Sumber Teologis dalam konsep kesadaran tentang Tuhan, baik-buruk, cara
beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan sendiri.

25
Sumber Historis menjelaskan bahwa manusia dilahirkan tidak membawa
kepercayaan khusus kepada Tuhan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Agus. M. Hardjana, Religiositas, Agama dan Spiritualitas (Yogyakarta: Kanisius,


2009), 64.

Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikasi


Konsep Tradisionalisme Islam (Surabaya: PS4M, 2003), 79.

Al-Quran

Amin, Rusli. 2003, Pencerahan spiritual, Jakarta : Al-Mawardi Prima

Azra, Azyumardi, 1999, Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta : Paramadina

http://eprints.uny.ac.id/285/1/URGENSI_MEMAHAMI_HAKEKAT_MANUS
IA. pdf

Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 9-10)

Mangunhardjono. 1982. Manusia Multi Dimesional: Sebuah renungan filsafat,


(1982:38)

Sauq, Achmad. 2010. Meraih Kedamaian Hidup Kisah Spiritualitas orang


Modern. Yogyakarta: Sukses Offset.

Sukidi. 2002. Kecerdasan Spiritual. Jakarta : Gramedia.

27

Anda mungkin juga menyukai