PENDAHULUAN
Salah satu tanda dan gejala gangguan jiwa adalah ungkapan marah yang mal
adaptif yang dilakukan seseorang karena gagal dalam beradaptasi dan tak
punya mekanisme penanganan yang adekuat. Ungkapan marah yang mal
adaptif, salah satunya adalah agresif, yang akan membahayakan karena dapat
timbul dorongan untuk bertindak baik secara kontruktif maupun destruktif dan
masih terkontrol. Marah agresif adalah suatu prilaku yang menyertai rasa
marah dan merupakan dorongan untuk bertindak baik secara kontruktif
maupun destruktif dan masih terkontrol. Pasien dengan marah agresif akan
bersifat menentang, suka membantah, bersikap kasar, kecenderungan
menuntut secara terus-menerus, bertingkah laku kasar disertai
kekerasan (Stuart and Sunden,1991).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memperoleh pengalaman nyata dalam melakukan Asuhan keperawatan jiwa
perilaku kekerasan pada keluarga yang diharapkan akan mampu
mengidentifikasikan seluruh masalah yang terjadi sehubungan dengan
Perilaku kekerasan.
2. Tujuan Khusus.
PEMBAHASAN
Korban KDRT
2.1 Definisi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Perilaku kekerasan dalam keluarga lebih sering berbentuk kekerasan dalam
keluarga atau rumah tangga (KDRT). Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam
rumah tangga adalah segala bentuk, baik kekerasan secara fisik, secara psikis,
kekerasan seksual, maupun ekonomi yang pada intinya mengakibatkan
penderitaan, baik penderitaan yang secara kemudian memberikan dampak
korban menjadi sangat trauma atau mengalami penderitaan secara
psikis.Perilaku kekerasan dalam keluarga dapat terjadi pada semua orang yang
tinggal dalam keluarga, suami, istri, orang tua, anak, usia lanjut, ataupun
pembantu, tanpa membedakan gender ataupun posisi dalam keluarga.
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan
oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual
dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam
rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri
diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional,
ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah
membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri
bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal
yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang
akan datang.
2.2 Faktor Penyebab Perilaku Kekerasan Dalam Keluarga
2.2.1 Biologi
Perubahan sistem limbik otak dan neurotransmitter menyebabkan
individu tidak mampu mengendalikan perilaku agresifnya. Teori
biologi terdiri atas 3 pandangan, yaitu pengaruh neurofisiologis,
biokimia, genetik, dan gangguan otak.
a) Pengaruh Neurofisiologis
Beragam komponen dari sistem neurologis, baik pada manusia
maupun hewan mempunyai implikasi, memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik secara jelas terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respon agresif. Pusat otak atas memgang peran penting
terhadap manusia dengan secara konstan berinteraksi dengan
pusat agresi.
b) Pengaruh Biokimia
Berbagi neurotransmitter (epinefrin, neuropinefri, dopamin,
asetil kolin dan serotonin ) sangat berperan dalam memfasilitasi
dalam menghambat impuls agresif.
c) Pengaruh Genetik
Komponen berbagai genetik yang berhubungan dengan
perilaku agresif sudah banyak diteliti. Penelitina membuktikan
adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan
keterkaitan dengan genetik termasuk genetik karyotype XYY,
yang pada umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku
tindak kriminal.
d) Pengaruh Gangguan Otak
Sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai gangguan
serebral telah terbukti dari hasil penelitian sebagai faktor
predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2.2.2 Psikologi
Kegagalan, frustasi, ketidakpuasan, pernah jadi korban, saksi, atau
pelaku kekerasan.
2.2.3 Sosial budaya
Adanya perilaku agresif yang dapat memenuhi kebutuhan akan
cenderung diulang dalam cara penyelesaian masalah. Adanya
penerimaan masyarakat atas perilaku kekerasan yang terjadi, tidak
adanya pencegahan, dan kurang berperannya aspek hukum akan
menyuburkan perilaku kekerasan di dalam keluarga dan masyarakat.
2.2.3 Lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga
a) Pertama: hubungan keturunan darah.
b) Kedua : hubungan suami istri.
c) Ketiga : hubungan bekerja di dalam keluarga.
2.2.4 Klasifikasi Kekerasan dalam Rumah Tangga
a) Kekerasan antarorang dewasa.
b) Kekerasan orang dewasa dengan anak.
c) Kekerasan orang dewasa dengan lansia.
2.3 Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
2.3.1 Secara fisik
Secara fisik yaitu menampar, memukul, menjambak rambut,
menendang, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata, dan
sebagainya. Berikut ini ada beberapa pembagian dari kekerasan fisik
itu sendiri :
a) Kekerasan Fisik Berat. Kekerasan ini berupa penganiayaan berat
seperti menendang, memukul, melakukan percobaan pembunuhan
atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat
mengakibatkan:
1) Cedera berat
2) Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
3) Pingsan
4) Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit
disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
5) Kehilangan salah satu panca indera.
6) Mendapat cacat.
7) Menderita sakit lumpuh.
8) Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebi
9) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
10) Kematian korban.
b). Kekerasan Fisik Ringan. Kekerasan ini berupa menampar,
menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang
mengakibatkan :
1) Cedera ringan
2) Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam
kategori berat .
2.3.2 Secara psikologis
yaitu penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, melarang istri
mengunjungi saudara atau teman-temannya, mengancam akan
dikembalikan ke rumah orang tuanya, dan sebagainya.
a). kekerasan Psikis Berat. Kekerasan ini berupa tindakan
pengendalian, manipulasi, eksploitasi, perendahan dan penghinaan,
dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi social, tindakan
dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, ancaman
kekerasan fisik, seksual dan ekonomis, yang masing-masingnya
bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau
beberapa hal berikut :
1) Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan
obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau
kesemuanya berat dan atau menahun.
2) Gangguan stress pasca trauma.
3) Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau
buta tanpa indikasi medis)
4) Depresi berat atau destruksi diri
5) Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan
realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
6) Bunuh diri.
2.3.3. Secara seksual (marital rape), yaitu kekerasan dalam bentuk
pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual. penyerangannya secara
fisik oleh pelaku seringkali diikuti, atau diakhiri dengan kekerasan
seksual dimana korban dipaksa untuk melakukan hubungan seksual
dengan pelaku atau berpartisipasi dalam suatu kegiatan seksual yang
tidak diinginkannya, termasuk hubungan seks tanpa pelindung.
a. Kekerasan Seksual Berat, berupa :
1) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh organ seksual, mencium secara paksa,
merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa
muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
2) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban
atau pada saat korban tidak menghendaki
3) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan.
4) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk
tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
5) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku
memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang
seharusnya dilindungi.
6) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau
tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau
cedera.
b. Kekerasan Seksual Ringan. Kekerasan ini berupa pelecehan
seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno,
siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti
ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang
meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat
melecehkan dan atau menghina korban.
2.3.3 Secara ekonomi, yaitu tidak memberi nafkah istri, melarang istri
bekerja, atau membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi.Membatasi
akses pasangan mereka terhadap keuangan dan informasi akan keadaan
keuangan keluarga, dan mengendalikan keuangan pasangan.
a. Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi
dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa :
1) Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
2) Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
3) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan
korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda
korban.
b. Kekerasan Ekonomi Ringan, Kekerasan ini berupa melakukan
upaya upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau
tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya.
2.4 Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam hal ini banyak dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan itu sendiri.
Dampak kekerasan dalam rumah tangga akan terjadi pada istri, anak, bahkan
suami.
2.4.1 Dampak pada istri :
a. Perasaan rendah diri, malu dan pasif
b. Gangguan kesehatan mental seperti kecemasan yang
berlebihan, susah makan dan susah tidur
c. Mengalami sakit serius, luka parah dan cacat permanen
d. Gangguan kesehatan seksual
e. Menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat
tindakan kekerasan
f. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan
hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa
merespon secara normal ajakan berhubungan seks
2.4.2 Dampak pada anak :
a. Mengembangkan prilaku agresif dan pendendam
b. Mimpi buruk, ketakutan, dan gangguan kesehatan
c. Kekerasan menimbulkan luka, cacat mental dan cacat fisik
2.5 Dampak pada suami :
2.5.1 Merasa rendah diri, pemalu, dan pesimis
2.5.2 Pendiam, cepat tersinggung, dan suka menyendiri
Selain itu menurut Suryasukma efek psikologis penganiyaan bagi
banyak perempuan lebih parah disbanding efek fisiknya. Rasa takut,
cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan
tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan terhadap istri
juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara bilologis
yang pada akhirnya terganggu secara sosiologis. Istri yang teraniaya
sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha
menyembunyikan bukti penganiyaan mereka.
Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak
hamil mengalami gangguan menstruasi seperti menorhagia,
hipomenohagia atau metrohagia bahkan wanita dapat mengalami
menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido,
ketidakmampuan mendapatkan orgasme.
Diseluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil yang
mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual oleh pasangannya.
Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran/abortus, persalinan
immature, dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin,
perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya
kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan
pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan
BBLR. Terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi
istri dalam rumah tangga diantaranya perubahan pola pikir, emosi dan
ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola pikir istri misalnya tidak
mampu berpikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung
curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bias percaya
dengan apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan
memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar
dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental,
gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular
Dampak terhadap ekonomi keluarga adalah persoalan ekonomi, hal
ini terjadi tidak saja pada wanita yang tidak bekerja tetapi juga
pada wanita yang bekerja atau mencari nafkah. Seperti terputusnya
akses mendadak , kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya
tak terduga untuk tempat tinggal, kepindahan, pengobatan, terapi
serta ongkos untuk kebutuhan yang lain.
3.1 Pengkajian
3.3.1 Identifikasi Hasil
a. Kecemasan
Pasien akan menunjukkan cara adaptif dalam mengatasi stress
b. Gangguan tidur
Pasien akan mengekspresikan perasaannya secara verbal daripada
melalui perkembangan gejala-gejala fisik.
c. Gangguan seksual
Pasien akan mencapai tingkat maksimal respons seksual yang
adaptif untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatan.
3.3.2 Perencanaan
a. Kecemasan
Pasien harus mengembangkan kapasitasnya untuk mentoleransi
ansietas.
b. Gangguan tidur
Penyuluhan untuk pasien tentang strategi koping yang adaptif.
3.3.3 Implementasi
a. Kecemasan
Memecahkan masalah yang membuat pasien cemas
b. Gangguan tidur
Memenuhi kebutuhan fisiologis pasien.
Memenuhi kebutuhan dasar akan rasa aman dan keselamatan.
c. Gangguan Seksual
Sebelum melakukan penyuluhan perawat harus memeriksa nilai
dan keyakinannya sendiri tentang pasien yang berperilaku seksual
yang mungkin berebda.
3.3.4 Evaluasi
a. Kecemasan
1) Sudahkah ancaman terhadap integritas fisik atau system diri
pasien berkurang dalam sifat, jumlah, asal, atau waktunya?
2) Apakah perilaku pasien menunjukkan ansietas?
3) Sudahkah sumber koping pasien dikaji dan dikerahkan
dengan adekuat?
4) Apakah pasien menggunakan respon koping adaptif?
b. Gangguan tidur
1) Sudahkah pola tidurnya telah normal kemabali?
2) Apakan kecemasan masih mengganggu tidur pasien?
c. Gangguan seksual
1) Apakah pengakajian keperawatan tentang seksualitas telah
lengkap, akurat, dan dilakukan secara professional?
2) Apakah pasien merasakan perbaikan selama perbaikan?
3) Apakah hubungan interpersonal pasien telah meningkat?
4) Apakah penyuluhan kesehatan tentang ekspresi seksual
telah dilakukan dengan benar?
5) Apakah perasaan perawat sendiri tentang seksual telah
digali semua pada pasien?
N Diagnosa Keperawatan NOC NIC
o
1 Ketakutan Setelah dilakukan tindakan Pengurangan
Definisi : Respon terhadap keperawatan selama 24 Kecemasan
persepsi ncaman, yang jam diharapkan klien anak Mengurangi
secara sadar dikenali mampu : tekanan,
sebagai sebuah bahaya. Tingkat Rasa Takut ketakutan,
Batasan Karakteristik : Keparahan rasa takut yang firasat, maupun
Gelisah diwujudkan ketegangan ketidaknyamana
Gugup atau ketidaknyamanan n, terkait dengan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perilaku kekerasan dalam keluarga lebih sering berbentuk kekerasan dalam
keluarga atau rumah tangga (KDRT). Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam
rumah tangga adalah segala bentuk, baik kekerasan secara fisik, secara psikis,
kekerasan seksual, maupun ekonomi yang pada intinya mengakibatkan
penderitaan, baik penderitaan yang secara kemudian memberikan dampak
korban menjadi sangat trauma atau mengalami penderitaan secara
psikis.Perilaku kekerasan dalam keluarga dapat terjadi pada semua orang yang
tinggal dalam keluarga, suami, istri, orang tua, anak, usia lanjut, ataupun
pembantu, tanpa membedakan gender ataupun posisi dalam keluarga.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anindyajati, Gina. 2013 Modul Pelatihan Layanan Kesehatan Seksual &
Reproduksi Ramah Remaja. Yogyakarta
Fuadi, Anwar M.2011. Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah
StudiFenomenologi. Malang. Volume 8 No 2
Noviana, Ivo. 2015. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan
Penanganannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial.
Kementrian Sosial RI. Jakarta
Pasalbessy, Jhon D.2010. Dampak Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan
Anak Serta Solusinya. Jakarta. Volume 1
Ratna Sari, dkk. Pelecehan Seksual Terhadap Anak. Volume 2
Solihin, Lianny. 2004. Tindakan Kekerasan Pada Anak Dalam Keluaga. Jakarta