Anda di halaman 1dari 2

NAMA : ALISA ZAHRON

1D-3A KESEHATAN LINGKUNGAN

01 September 2017, 00:01 WIB

Logika Obat atau Racun


Suprianto Annaf/Redaktur Bahasa Media Indonesia | Opini

KEHADIRAN pil PCC membawa kegemparan. Sepekan terakhir ini energi layar kaca
tersedot untuk membahas pil yang mengandung paracetamol, caffeine, dan carisoprodol itu.
Tak dinyana pula, pil itu pun sudah merenggut puluhan nyawa dan dapat dibeli dengan harga
sangat murah.

Kalau begitu, tentu saja PCC bukan pil biasa. Komentar pun tertebar mengalahkan logika.
Banyak kalangan menyebut pil PCC dengan titel obat berbahaya. Sebutan kata obat itulah
pula yang menjadi ‘kegemparan’ dalam berbahasa. Ternyata realisasi makna tidak sejalan
dengan logika. Berikut ini contohnya: Di samping itu, pil PCC juga dapat digunakan untuk
obat jantung. Nah, kalau dilihat dari kegunaannya bisa kita simpulkan bahwa ini adalah obat
keras. Obat yang tidak boleh bebas beredar.

Bukankah makna kata obat mengandung faedah? Biasanya obat itu bermanfaat. Sejatinya
pula obat itu menyembuhkan, bukan melumpuhkan. Sebagai misal, obat mata tentu akan
menyembuhkan mata, obat jerawat akan menyembuhkan jerawat, serta obat flu diharapkan
dapat menyembuhkan flu.

Hakikat inilah yang menjadi pangkal persoalan. Bila yang disebut obat itu dapat
menyembuhkan, tentu saja pil PCC tidak masuk kategori pendefinisian. Berarti pula PCC
termasuk racun yang ditebarkan, yang menggiurkan karena ketidaktahuan dan
ketidakpedulian.

Kata racun tentu berantonimi dengan kata obat. Keduanya bertolak belakang dalam arti dan
kegunaan. Tidak bisa disamakan atau ditukarbalikkan. Karena itu, pil PCC layak
menyandang sebutan racun yang sangat mengerikan.
Tertukarnya pemaknaan kata obat dan racun bukan kali ini saja. Sudah terlalu jamak kita
menyebut pembasmi nyamuk dengan sebutan obat nyamuk. Selama itu pula logika bahasa
tergadai tak berdaya: berkali dan berulang terucap kata ‘obat nyamuk’. Kalau begitu, sebagai
lelucon, pantaslah kalau nyamuk semakin sehat dan berkembang pesat, kan?

Masih banyak kata lain yang tertukar karena faktor logika. Sebut saja gigitan nyamuk atau
isapan nyamuk, antara kata masing-masing dan tiap-tiap, antara kata jam dan kata pukul, pun
tertukar antara pemakian kata kami dan kita.

Secara fakta, nyamuk memang tidak memiliki mulut ataupun gigi, tetapi memiliki alat
penusuk sekaligus berfungsi sebagai pengisap. Namun, selama ini kita menyebutnya dengan
gigitan nyamuk. Padahal, secara logika seharusnya disebut dengan isapan nyamuk.

Begitu pula logika antara jam dan pukul. Penyebutan jam lebih tepat mengacu pada alat atau
lamanya waktu. Secara sederhana kita mengatakan ‘Adik membeli jam’ bukan ‘Adik
membeli pukul’. Bisa pula dalam kalimat ‘Dua jam yang lalu Gunung Agung menyemburkan
lahar dingin’ atau ‘Selama dua jam koruptor itu diperiksa KPK’. Sebaliknya, kata pukul lebih
tepat untuk menyatakan mulai, misalnya ‘Pertemuan itu akan dimulai pukul 14.00’ bukan
‘Pertemuan itu akan dimulai jam 14.00’.

Pembanding terakhir ialah antara kata masing-masing dan tiap-tiap (setiap). Kedua kata itu
memang serupa, tetapi tak sama. Kata masing-masing digunakan setelah kata benda
(nomina), sedangkan kata tiap-tiap atau setiap berada sebelum kata benda.

Realisasi kata tanpa logika di atas terjadi karena faktor kebiasaan semata. Masyarakat tutur
yang salah dalam logika bahasa akan mewariskan kesalahan itu pada generasi berikutnya

Anda mungkin juga menyukai