MuhFitrahRamadhan 1894041020 PendEkonomi18A
MuhFitrahRamadhan 1894041020 PendEkonomi18A
Tri Pranadji
PENDAHULUAN
Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
1
ditransformasikan menjadi kekuatan daya saing ekonomi masyarakat pedesaan
yang kegiatannya berbasis agribisnis, maka yang terjadi adalah pengulangan
makna sejarah, yaitu: modal politik tadi sekedar wahana untuk cari uang bagi elit
pemerintah daerah”. Jika ini terjadi, maka gejala high cost economy pada
gilirannya bukan saja tidak bisa dipecahkan, melainkan bahkan dipertajam.
Sistematika tulisan ini mencakup beberapa bahasan. Pertama, tentang
seberapa jauh faktor otonomi daerah sebagai (kekuatan) penggerak sistem
(kelembagaan) agribisnis di tingkat daerah. Kedua, akan dibahas kesenjangan
antara kemauan politik untuk mendesentralisasi dan pengembangan agribisnis
dengan kinerja ekonomi riil yang sebagian besar didukung kegiatan agribisnis.
Ketiga, akan ditelusuri sampai seberapa jauh nuansa otonomi daerah bisa
dijadikan wahana menghasilkan sistem peraturan untuk memperbaiki iklim usaha
pertanian setempat.
2
Jika diibaratkan sebuah mobil, maka otonomi daerah tadi baru
menggerakkan roda depan; sedangkan putaran kedua roda belakangnya
tampaknya masih belum bisa diharapkan seirama dengan gerakan roda depannya.
Idealnya, otonomi daerah haruslah bisa menggerakkan seluruh komponen atau
pelaku agribisnis di daerah; sehingga kinerja sistem agribisnis semakin bisa
meningkatkan daya saingnya dalam sistem ekonomi pasar terbuka. Seorang
pemimpin politik atau pemerintahan bisa diibaratkan sebagai seorang pengemudi
mobil atau seorang navigator. Ia harus mengerti dengan pasti ke arah mana mobil
tadi dikendalikan, kemampuan mobil yang dikendarainya, dan apakah semua
sistem mobil tadi telah bekerja dengan normal?
Bagi aparat pemerintahan, diberlakukannya otonomi daerah merupakan
semakin terbukanya peluang daerah untuk secara lebih bebas melakukan
pengaturan kegiatan ekonomi daerah, termasuk di bidang pertanian. Kebebasan
tadi bisa diibaratkan sekeping koin yang mempunyai dua muka. Pada satu muka
memberikan ruang kebebasan bagi daerah untuk memandang seluruh sistem
agribisnis sebagai potensi sumber pendapatan asli daerah, sehingga dari sistem
tadi bisa dilakukan berbagai pungutan (melalui pajak atau retribusi) untuk
meninggikan pemasukan bagi pendapatan daerah dalam waktu singkat. Pada muka
lain, kebebasan tadi merupakan aset strategis bagi daerah untuk secara lebih
kreatif dan inspiratif menggairahkan kegiatan agribisnis sebagai andalan
perekonomian masyarakat daerah setempat.
Sampai sejauh mana pemberian otonomi menjadi faktor penggerak
agribisnis di daerah setempat sangat tergantung pada visi para aparat pemerintah
setempat, termasuk dari kalangan legislatifnya. Dari dua muka koin yang
disebutkan tadi, gejala yang tampak menonjol adalah pada pandangan yang
pertama. Ini menunjukkan bahwa proses pemaknaan otonomi daerah (Rasyid,
2001 dan Hidayat, 2001) masih belum tuntas dan masih bersifat menyebelah.
Seakan-akan otonomi daerah ini merupakan sumber “winfall income” yang tidak
boleh dilewatkan begitu saja oleh aparat pemerintah daerah. Sebagian besar
produk Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung 2000-2001 berisi penarikan
retribusi (Anonimous, 2001), yang hal itu dinilai akan berdampak kurang baik
atau kurang memberi insentif terhadap perkembangan agibisnis setempat.
Pelaku agribisnis bermodal besar, misalnya pengusaha kopi, pengusaha
jagung atau pengusaha agribisnis kompleks (misalnya PT GGLC) umumnya
memiliki jaringan komunikasi yang relatif baik dengan aparat pemerintah.
Walaupun belum sepenuhnya bebas dari tekanan penambahan biaya, akibat
retribusi perdagangan hasil pertanian. Namun mereka umumnya relatif mudah
melakukan bargaining position dengan aparat pemerintah yang melakukan
pungutan retibusi. Mereka ini bisa dengan cukup mudah mengajukan keberatan
pada aparat pemerintah daerah maupun pusat atas adanya beberapa pungutan yang
mereka nilai merugikan. Dalihnya adalah bahwa hal itu akan menyebabkan
ekonomi biaya tinggi (hingh cost economy) atau daya saing produk agribisnis di
pasar global dan domestik menjadi merosot. Selain itu, mengingat posisi mereka
Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
3
umumnnya sebagai price leader, mereka bisa mentransmisikan kenaikan biaya
ekonomi (yang seharusnya mereka tanggung) ke penentuan tingkat harga
pembelian produk pertanian dari petani atau pedagang pengumpul.
Bagi para pedagang hasil pertanian, gejala yang dirasakan adalah semakin
banyaknya pungutan (retribusi) angkutan di jalan raya. Pada kasus angkutan
jagung, kenaikan pungutan ini bisa mencapai kenaikan Rp 20 – 30 ribu per truk,
atau sekitar Rp 3 – 5 per kg. Ini terjadi, karena setiap daerah seolah-olah berhak
melakukan pengutan sendiri; sehingga semakin banyak daerah administrasi yang
dilalui akan semakin banyak pula biaya retribusi angkutan yang harus dikeluarkan
oleh pedagang. Untuk mengatasi ini biasanya pedagang membagikan beban biaya
tadi pada harga pembelian di tingkat petani dan sedikit mengurangi tingkat
keuntungannya. Beberapa kasus pungutan juga dilakukan atas penggunaan alat
pasca panen di tingkat desa.
Kesulitan yang dialami oleh para pedagang hasil pertanian atau pengusaha
pasca panen tingkat desa adalah dalam permodalan dan keorganisasian usaha.
Dalam dua tahun terakhir ini, mereka umumnya tidak merasakan adanya
tambahan kemudahan dalam memperoleh bantuan permodalan. Untuk bisa
menjalankan usahanya mereka umumnya tidak memperoleh modal dari lembaga
keuangan seperti perbankan. Mereka umumnya bisa menjalankan usahanya
dengan modal kepercayaan (“interpersonal trust”) dengan petani atau pengusaha
atau penyandang modal besar. Mereka ini punya ketrampilan yang cukup dalam
menjalankan usahanya. Hanya saja, mereka ini kurang mampu mengakses
lembaga penyedia jasa permodalan formal. Selain kesulitan dalam melakukan
pengumpulan modal, juga menjadi sangat tergantung pada “belas kasihan”
pengusaha atau pemodal besar. Organisasi ekonomi tingkat desa, semacam KUD,
sudah jarang ditemui lagi. Bahkan banyak KUD, setelah memasuki krisis
ekonomi, yang mengalami disfungsi dan ambruk. Dalam era otonomi ini, justru
peran lembaga ekonomi tingkat desa mengalami degradasi cukup berat.
Bagi masyarakat petani, diberlakukannya otonomi daerah, khusus yang
berkaitan dengan usaha pertanian, secara ekonomi belum dirasakan manfaatnya.
Naluri ekonomi atau pelaku agribisnis di pedesaan belum sepenuhnya mendapat
dorongan gairah dari pemberian otonomi ini. Dengan kata lain, pelaksanaan
otonomi belum menunjukkan pada pemihakannya pada pelaku ekonomi di
pedesaan (Nugroho, 2000). Bersamaan dengan diberlakukannya otonomi daerah,
kredit pertanian semacam KUT tidak lagi bisa diperoleh dengan mudah. KUD
tidak lagi bisa diandalkan untuk menjadi lembaga jasa penyalur kredit atau agen
penjamin untuk memperoleh sarana atau input pertanian. Akibatnya, di tingkat
usahatani terjadi peningkatan krisis permodalan. Dalam situasi demikian,
umumnya petani tidak lagi bisa mentargetken tingkat produksi usahataninya
(misalnya; kopi, padi dan jagung) seperti tahun-tahun sebelumnya. Secara riil,
pendapatan petani pada masa diberlakukannya otonomi daerah umumnya
mengalami kemerosotan.
4
Asosiasi petani di tingkat desa, seperti kelompok tani, umumnya hanya
mempunyai pengaruh ke dalam. Kemampuan asosiasi petani tadi untuk
mempengaruhi pembuatan kebijakan atau peraturan daerah masih sangat kecil,
atau nyaris tidak ada sama sekali. Asosiasi petani yang umum dikenal secara
terbuka adalah seperti kelompok tani dan KUD. Hampir tidak ada asosiasi lain
yang tidak dibentuk pemerintah mendapat pengakuan atau hak hidup, walaupun
petani sendiri merasa kurang memilikinya. Dengan kata lain bahwa organisasi
petani memberi kesan serba pemerintah ini masih sukar dihilangkan. Secara
kesejarahan, pembentukan keorganisasian petani sebagian besar merupakan
proyek pemerintah. Di luar itu, walaupun ada dan efektif, umumnya digolongkan
sebagai organisasi non-formal; misalnya organisasi yang mencerminkan hubungan
fungsional antara petani dan pedagang hasil pertanian bermodal besar di tingkat
desa.
Dalam keorganisasian ekonomi, masyarakat petani telah terlajur
diposisikan sebagai subordinat organisasi keaparatan pemerintah. Mereka ini tidak
lebih dari konsumen peraturan daerah, dan sepenuhnya hanya sebagai “price
taker”. Peraturan daerah yang lebih menekankan pada pungutan retribusi, yang
justru sebagian besar mengena pada produk pertanian setempat, lebih banyak
berimplikasi negatif terhadap kegiatan pertanian di pedesaan. Hanya saja,
mengingat alternatif usaha lain masyarakat pedesaan di Provinsi Lampung masih
sangat terbatas, maka kegiatan pertanian di pedesaan tetap tidak mengalami
kemerosotan yang parah.
Institusi, seperti AEKI atau ASPEMTI setempat, belum banyak bisa
diharapkan bisa membantu menguatkan peran masyarakat petani ini. Advokasi
dari kalangan LSM, perguruan tinggi daerah atau asosiasi yang bersifat sukarela
(“voluntary agents”) lainnya untuk pemberdayaan masyarakat petani pada masa
diberlakukannya otonomi daerah ini juga belum menunjukkan gejala yang
menggembirakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemberian otonomi pada
daerah (kabupaten/kota) belum bisa mendorong lembaga dan organisasi ekonomi
di pedesaan dan kecamatan di daerah setempat berkembang ke arah yang lebih
berdaya saing secara berarti. Jika tatanan institusi ini tidak banyak mengalami
perbaikan yang berarti, dalam jangka pendek, hingga tahun 2004, diperkirakan
perkembangan pertanian atau daya saing agribisnis di Provinsi Lampung tidak
akan mengalami perkembangan yang berarti. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa
implikasi otonomi daerah dalam waktu beberapa tahun ke depan ini belum
memberikan dampak positif bagi pengembangan kelembagaan pertanian di
pedesaan.
Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
5
bersifat sangat asimetris. Ini menunjukkan bahwa di antara para penggerak
agribisnis di daerah, terutama dalam memanfaatkan keleluasaan otonomi daerah,
terdapat kesenjangan yang cukup berarti. Walaupun belum dilakukan pemeriksaan
yang mendalam, sangat terasa bahwa pembuatan peraturan daerah lebih
disandarkan pada rasionalitas ekonomi aparat pemerintah (termasuk aparat di
kalangan legislatif daerah, DPRD). Menurut McKenzie dan Tullock (1978), para
birokrat atau aparat pemerintah adalah makhluk rasional. Mereka mempunyai
kecenderungan (psikologis) bertindak rasional untuk memenuhi kepentingannya
sendiri dahulu. Tanpa adanya mekanisme check and balance antara kelompok
masyarakat atau lembaga pembuat peraturan dan kelompok masyarakat yang
diatur, diperkirakan akan mudah terjadi distorsi pada langkah yang ditempuh
dalam rangka pencapaian tujuan ideal pemberian otonomi daerah.
Di kalangan pembuat peraturan daerah terdapat kecenderungan
menggunakan dasar rasionalitas yang berlebihan dan bersifat sempit (“lokalistik”)
dalam pembuatan peraturan daerah. Dari pengamatan di lapangan dapat dirasakan
bahwa yang terjadi adalah bahwa para birokrat atau aparat pembuat peraturan
daerah cenderung lebih mengutamakan untuk memikirkan apa yang lebih bisa
memberikan keuntungan pribadi dan kelompoknya dalam jangka pendek.
Kebanyakan pembuatan peraturan daerah tadi lebih mengutamakan pungutan atau
retribusi untuk PAD dari pada bagaimana melakukan penguatan institusi ekonomi
yang bisa menggairahkan kegiatan ekonomi yang berbasis agribisnis dan
masyarakat pedesaan. Ini menunjukkan bahwa antara otonomi daerah sebagai
“modal politik” dan sebagai instrumen kelembagaan untuk menggairahkan
kegiatan ekonomi daerah masih terdapat kesenjangan yang besar. Visi otonomi,
untuk lebih menggairahkan kegiatan agribisnis di pedesaan, belum dijadikan dasar
oleh aparat pemerintah.
Kebanyakan peraturan daerah dirumuskan oleh para politisi formal di
lembaga legislatif dan eksekutif tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Para pelaku
ekonomi, seperti petani, pemuka masyarakat atau adat, pengusaha agribisnis, atau
orang-orang yang berpengaruh di masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam
pembuatan peraturan. Para pelaku ekonomi cenderung diposisikan sebagai sub-
ordinat dari para politisi formal (pusat dan daerah), dan mereka harus tunduk pada
pejabat atau elit politik formal. Dalam situasi yang integritas atau “sense of crisis”
para politisi formal belum menunjukkan bisa sepenuhnya diterima dan dinilai
layak oleh masyarakat, maka pembuatan peraturan yang berkaitan dengan daya
saing ekonomi yang berbasis kegiatan agribisnis pedesaan hendaknya
dimusyawarahkan secara terbuka dengan para pelaku agribisnis setempat. Jika
pembuatan peraturan yang dimaksud tidak ditempuh melalui kelaziman normatif
seperti itu, maka asas akuntabilitas dari pembuatan peraturan diperkirakan sulit
terpenuhi.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, gejala kesenjangan antara
kemauan politik (“ideal”) dengan kegairahan ekonomi masyarakat pedesaan yang
berbasis kegiatan agribisnis (“realita”) telah menjadi kenyataan. Masyarakat
6
pedesaan, sebagai salah satu penggerak dan pelaku utama agribisnis mengalami
pelemahan gairah. Hanya saja memang masih sulit dipisahkan, “apakah
melemahnya gairah pelaku agribisnis di pedesaan tadi sebagai dampak dari
diberlakukannya otonomi daerah atau karena krisis keuangan yang dialami
pemerintah ?” Adanya kesenjangan visi otonomi daerah dengan praktek ekonomi
biaya tinggi di daerah, misalnya karena peraturan yang mendisinsentif
perekonomian pedesaan yang berbasis agribisnis, tampaknya masih sulit dibantah.
Di sisi lain, krisis ekonomi dan keuangan yang dialami negara yang menyudutkan
daerah untuk mencari sumber dana sendiri untuk menjalankan roda pemerintahan
setempat juga harus diterima sebagai kenyataan.
Keluhan pelaku agribisnis tingkat desa, terutama para petani dan pelaku
agribisnis trampil bermodal kecil, secara kelembagaan kurang mendapat tempat
penyaluran. Lembaga Kepala Desa lebih banyak memerankan sebagai kepala
administrasi desa dari pada sebagai kepala pemerintahan. Menurut Undang-
undang No. 5 Tahun 1979 (UU No. 5 Tahun 1979) tentang Pemerintahan Desa,
peran Kepala Desa dalam mengatur pemerintahan desa sangat kuat (Widjaja,
1996), dan cenderung sebagai figur sentral di pedesaan. Secara struktural
(“politik”) Kepala Desa bertanggung jawab kepada Camat dan Bupati, sebab
menurut UU No.5 Tahun 1979, Kepala Desa diangkat oleh Bupati (mewakili
Gubernur). Lembaga Pemerintahan Desa ini sukar diharapkan sebagai wahana
untuk memperjuangkan kepentingan pelaku agribisnis di desa setempat. Perannya
sebagai representasi kepentingan masyarakat pedesaan setempat tidak begitu kuat.
Banyak dari kalangan masyarakat menilai bahwa Kepala Desa lebih cederung
sebagai kepanjangan tangan (“politik”) pemerintah atas desa dari pada
kepanjangan dari masyarakat desa yang dipimpinnya. Pemberdayaan ekonomi
atau daya saing agribisnis setempat diperkirakan akan mengalami banyak
hambatan jika disandarkan pada inisiatif Kepala Desa.
Dalam periode transisional seperti saat ini, terutama yang menyangkut
penyehatan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, kesenjangan antara visi
politik dan ekonomi sangat mudah terjadi. Dampak pemberian otonomi tadi baru
bisa dirasakan dari segi tatanan politik formal dan penyelenggaraan sistem
pemerintahan. Aspek yang menonjol dirasakan adalah adanya pengalihan sebagian
kewenangan formal pemerintah pusat ke daerah (kabupaten). Persoalannya adalah
apakah dengan modal kewenangan tadi ekonomi atau daya saing agribisnis
masyarakat daerah akan semakin maju atau malah sebaliknya. Jika kewenangan
tadi diikaitkan dengan upaya pemberdayaan (atau kemandirian ekonomi)
masyarakat daerah atau masyarakat pertanian di pedesaan, sebagaimana
dikemukakan Sumodiningrat (1977), maka dampak yang dirasakan dari adanya
otonomi masih jauh dari sasaran. Ekonomi pedesaan yang digerakkan oleh
kegiatan agribisnis yang bernilai tambah relatif rendah masih belum bisa
memanfaatkan peluang otonomi untuk meningkatkan kinerja dan daya saingnya.
Dalam pemberlakuan otonomi ini, terjadinya kesenjangan antara kemauan
politik (“di atas meja”) dan realita ekonomi di lapangan hingga saat ini masih
Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
7
sangat terasa. Sebagaimana layaknya suatu hal baru (“inovasi”), pemberlakuan
otonomi telah menimbulkan reaksi pro dan kontra yang cukup hangat pada
berbagai kalangan di masyarakat daerah. Gejala goncangan mental atau budaya
(“cultural shock”) yang melibatkan berbagai tafrsiran di kalangan aparat
eksekutif, legeslatif, penegak hukum, pelaku ekonomi, peneliti dan para kritisi
tidak bisa dihindarkan. Namun kebanyakan pakar ekonomi, politik dan
pemerintahan, seperti McKenzie and Tullock (1978), Kahin (1985) dan
MacAndrews dan Amal (1995), berpendapat bahwa dalam rangka demokratisasi
politik dan ekonomi (untuk menghargai peran masyarakat daerah secara lebih
wajar), pemberlakuan prinsip otonomi dan desentralisasi penyelenggaraan
pemerintah sulit ditawar lagi.
Pemberlakuan otonomi dan desentralisasi ini tidak harus dipandang
sebagai alternatif dari sentralisasi. Ia dapat dipandang sebagai suatu bagian dari
evolusi keorganisasian ekonomi publik ke arah yang lebih efisien dan sesuai
dengan keragaman situasi dan tuntutan yang wajar (masyarakat) setiap daerah.
Pemberian otonomi dalam kaitannya dengan peningkatan daya saing agribisnis di
pedesaan tidak bisa semata-mata dilihat dari proses pengalihan kewenangan
pemerintahan saja, namun harus dipandang dari perspektif ekonomi politik yang
lebih kompleks. Oleh sebab itu, walaupun otonomi (semula) bisa dikatagorikan
sebagai peubah politik, namun dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi
daerah atau pemberdayaan ekonomi keseluruhan masyarakat pedesaan yang
berbasis kegiatan agribisnis, ia harus dipandang juga sebagai bagian dari input
atau peubah ekonomi.
8
kegiatan agribisnis di pedesaan, maka iklim usaha pertanian di Provinsi Lampung
secara keseluruhan secara berangsur-angsur akan berpeluang membaik.
Sebaliknya, jika kekuatan otonomi tadi sekedar diarahkan untuk memenuhi target
mengumpulkan sejumlah dana segar secara cepat, melalui pemungutan retribusi
dan pajak pada pelaku agribisnis, maka jalan untuk mewujudkan iklim usaha yang
sehat tadi menjadi semakin panjang.
Dari hasil pengamatan di lapangan diperoleh kesan bahwa kesadaran
masyarakat pedesaan di Provinsi Lampung untuk membangun organisasi
ekonomi, semacam koperasi, sudah mulai tumbuh. Kesadaran ini semakin besar
sejalan dengan mulai dirasakannya bahwa mereka semakin sulit bisa
menggantungkan nasibnya dengan mengharapkan bantuan dari pemerintah seperti
dulu. Sementara itu, jika mereka harus memilih menggantungkan nasibnya dengan
pengusaha besar yang (kaki tangannya) beroperasi di pedesaan, seperti yang
selama ini mereka alami, mereka juga sangat khawatir bahwa nasibnya akan sulit
bertambah baik. Dengan masuknya siaran televisi di pedesaan membuat mereka
bisa belajar lebih banyak tentang kehidupan yang berlangsung di luar desa,
termasuk di Jakarta. Di kalangan mereka sudah banyak yang beranggapan bahwa
para pejabat dan politisi di pusat juga sedang mengalami kebingungan untuk bisa
memperjuangkan nasibnya sendiri, sehingga sangat kecil peluang mereka untuk
bisa membantu perekonomian masyarakat petani di pedesaan.
Dengan memperhatikan semakin besarnya gairah masyarakat pedesaan,
terutama dari kalangan berumur muda yang memiliki pengetahuan relatif maju,
harapan untuk melihat sistem agribisnis di Provinsi Lampung berkembang ke arah
yang berdaya saing tinggi masih terbuka. Golongan ini telah mengalami proses
pendewasaan secara alamiah, terutama dari segi pematangan tata-nilai ke arah
yang lebih maju. Daya resepsi atau penerimaan mereka terhadap teknologi baru
tidak perlu banyak diragukan. Beberapa kelemahan yang masih terasa dijumpai
pada mereka ini adalah penajaman di bidang “sense of business” yang sehat, cara
pengorganisasian agribisnis yang efisien atau berdaya saing tinggi, penyediaan
jasa permodalan yang sesuai dengan karakteristik sistem agribisnis yang ada di
pedesaan, dan kepemimpinan lokal yang bervisi global. Pendeknya, jika beberapa
kelemahan tadi bisa diatasi dan sistem pengelolaan sumberdaya agribisnis
sebagian besar bisa ditangani sendiri oleh masyarakat pedesaan, maka daya saing
agribisnis setempat bisa ditingkatkan untuk menghadapi persaingan pasar bebas.
Dari gambaran ini bisa ditarik suatu arahan bahwa otonomi daerah bisa
dijadikan faktor penggerak agribisnis yang sangat handal. Adanya banyak kasus
pembuatan peraturan daerah yang saat ini masih terasa sangat kontra produktif,
terutama dikaitkan dengan upaya penyehatan iklim usaha pertanian setempat,
belum bisa dijadikan dasar untuk membuat “vonis mati” bahwa sistem agribisnis
di Provinsi Lampung tidak akan bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Gejala
kontra produktif tadi terjadi, karena tidak semua elemen pelaku agribisnis mau
duduk bersama untuk melakukan semacam “round table” dalam membuat
peraturan daerah yang berkenaan dengan penyehatan iklim usaha pertanian
Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
9
setempat. Adalah sangat wajar, jika pembuatan peraturan daerah secara sepihak
dimonopoli oleh para elit formal lembaga legislatif (DPRD) dan eksekutif
(Pemerintah Daerah: Provinsi dan Kabupaten), tanpa melibatkan pelaku agribisnis
lainnya (terutama petani). Hal itu akan menghasilkan iklim usaha dan kinerja
sistem agribisnis yang tidak efisien atau currupted system.
Kecenderungan perkembangan iklim usaha pertanian di Provinsi
Lampung akan bertambah baik jika mekanisme pembuatan peraturan daerah
dilakukan dengan memperhatikan kepentingan para stake holders setempat, ada
muatan visi ekonomi ke depan yang jelas yang bisa dijadikan dasar pembuatan
peraturan daerah tadi, dan adanya sistem penegakan hukum (law enforcement)
yang kuat untuk menjalankan peraturan yang sudah disepakati. Adapun muatan
visi ekonomi tadi antara lain ditujukan agar perekonomian pedesaan yang berbasis
kegiatan agribisnis bisa berjalan sehat dan semakin memiliki daya saing tinggi
secara berkelanjutan. Dengan visi ini, sistem peraturan daerah yang dibuat antara
lain haruslah dalam rangka menciptakan iklim usaha pertanian yang sehat,
sehingga dengan itu memungkinkan sistem agribisnis di pedesaan bisa tumbuh
dengan sehat pula.
Tetap perlu disadari bahwa terwujudnya iklim usaha pertanian yang sehat
tidak bisa diserahkan begitu saja melalui sistem persaingan bebas. Dalam rangka
mewujudkan kecenderungan ke arah itu perlu ada campur tangan pemerintah
daerah setempat. Beberapa aspek penting yang perlu disertakan dalam rangka
menciptakan kecenderungan terwujudnya iklim usaha pertanian yang sehat, yaitu:
(1) Adanya peraturan yang memungkinkan sistem agribisnis di pedesaan bisa
memperoleh jasa permodalan yang sesuai dengan karakteristik sistem
agribisnis, sehingga perkembangan sistem agribisnis di pedesaan tidak
terkendala oleh pelayanan permodalan.
(2) Adanya peraturan daerah yang memprioritaskan agar invetasi publik,
misalnya: pembangunan jalan atau jaringan listrik, diarahkan pada
pengaktifan sumberdaya agribisnis yang ada di pedesaan.
(3) Adanya peraturan yang membatasi atau melarang praktek monopoli kegiatan
agribisnis, terutama pada sistem kegiatan agribisnis yang melibatkan banyak
pelaku agribisnis di pedesaan.
(4) Peraturan yang ditujukan untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah tidak
dipungut dari jasa angkutan produk agribisnis, melainkan (misalnya) dari
pajak pertambahan nilai.
(5) Adanya peraturan yang memungkinkan organisasi ekonomi pedesaan tumbuh
dan berkembang dengan sehat. Misalnya, produk agribisnis yang keluar dari
desa harus sudah mengalami proses pengolahan atau nilai tambah yang
signifikan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
10
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa kecenderungan iklim usaha
pertanian di masa datang akan semakin membaik. Hal ini didasarkan pada
pemahaman bahwa, pertama, para pelaku agribisnis yang ada di Provinsi
Lampung masih mempunyai pandangan optimis bahwa sistem agribisnis yang ada
masih bisa diandalkan sebagai andalan ekonomi setempat dalam jangka panjang.
Masih ada semacam kepercayaan bersama (“mutual trust”) antar pelaku
agribisnis, bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja dan daya saing agribisnis,
mereka bersedia bekerjasama untuk memperbaiki iklim usaha ke arah yang lebih
sehat.
Kedua, keterbukaan media massa terhadap praktek semena-mena dalam
pembuatan peraturan daerah dan praktek penyelenggaraan pemerintahan oleh
aparat yang bersifat kontra produktif (terhadap perbaikan iklim usaha) masih bisa
diandalkan. Praktek pembredelan media massa karena (misalnya) mengungkap
keburukan kinerja aparat pemerintah tertentu tidak lagi dianggap lazim. Peran
kontrol publik terhadap praktek kontra produktif yang dilakukan oleh aparat
pemerintah, pelaku bisnis atau penegak hukum semakin bisa dilakukan secara
terbuka. Hal ini memberikan tekanan psikologis agar penyelenggaraan “good
governance” semakin ditegakkan.
Ketiga, wacana yang dikembangkan pemerintah pusat dalam menyehatkan
dan mematangkan pelaksanaan otonomi daerah masih cukup terbuka, dan dalam
banyak hal itu telah menghasilkan proses pemaknaan yang lebih baik dibanding
saat UU No. 22 dan UU No. 25 baru diperkenalkan pada publik. Selain itu
pemerintah pusat juga terbuka terhadap upaya melakukan revisi peraturan atau
perundang-undangan untuk melarang dilakukannya praktek pemungutan (retribusi
atau pajak) uang dengan dalih otonomi daerah yang berdampak pada ekonomi
biaya tinggi. Dengan diberlakukannya PP No. 65 (tentang pajak) dan PP No. 66
(tentang retribusi), Pemerintah Daerah Kabupaten tidak bisa lagi melakukan
pungutan pajak atau retribusi secara semena-mena di daerahnya.
Keempat, dengan keterbukaan pers dan media elektronik memungkinkan
terjadinya proses pemaknaan otonomi secara alamiah dan kreatif ke arah
terbentuknya sistem persaingan yang semakin sehat antar pelaku ekonomi maupun
antar daerah. Hal ini secara tidak langsung bisa dipandang sebagai proses
pembelajaran terhadap semua pihak untuk menerima tuntutan diperlukannya iklim
usaha yang sehat dalam rangka meningkatkan perekonomian Provinsi Lampung
yang berbasis pada kegiatan agribisnis. Kondisi ini akan semakin memudahkan
terwujudnya iklim usaha yang sehat.
Kelima, terdapat gejala bahwa “organisasi” atau kelompok sosial dan
ekonomi semakin banyak bermunculan, termasuk yang mampu menjangkau
kegiatan masyarakat di pedesaan. Ini memberikan makna bahwa kesadaran
masyarakat untuk melakukan kegiatan secara terorganisir semakin tinggi.
Sekaligus hal ini bisa dipandang juga sebagai bagian dari penguatan kesadaran
kolektif masyarakat untuk melakukan pengawasan dan penekanan ke arah
terselenggaranya penyelenggaraan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan sehat di
wilayah setempat. Pada gilirannya hal ini akan semakin mendorong setiap
Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
11
lembaga atau pelaku ekonomi untuk menunjukkan kinerja ekonominya dalam
iklim persaingan yang lebih sehat.
(1) Pemberian otonomi pada daerah yang didasarkan pada UU No. 22 Tahun
1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 secara konsepsional bisa dipandang sebagai
langkah strategis untuk mendongkrak kreativitas daerah dalam menyiasati
pengembangan daya saing atau kinerja ekonomi masyarakat pedesaan yang
berbasis agribisnis. Otonomi, yang seharusnya dinilai sebagai “modal politik”
dan akan berimplikasi strategis terhadap perkembangan ekonomi pedesaan,
bagi aparat pemerintah setempat terkesan masih seperti “benda asing” yang
tiba-tiba jatuh dari langit. Hal ini sudah barang tentu bisa menimbulkan gejala
guncangan budaya (“cultural shock”) yang cukup serius pada sistem
penyelenggaraan pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten. Dalam
jangka pendek, jika pemberian otonomi tidak diikuti dengan langkah lanjutan
yang bersifat konstruktif dari pemerintah pusat maupun daerah, maka
implikasinya terhadap perkembangan ekonomi (pedesaan) setempat (yang
berbasis pada kegiatan agribisnis) belum bisa diramalkan secara jelas.
(2) Hingga kini dampak pemberian otonomi pada daerah belum sepenuhnya bisa
ditransmisikan sebagai kekuatan pemberdaya ekonomi atau penggerak
abribisnis setempat. Golongan yang relatif bisa mengambil manfaat dari
adanya otonomi ini adalah aparat pemerintah (termasuk aparat legeslatif
tingkat kabupaten dan provinsi) atas desa dan pelaku agribisnis berkapital
besar di perkotaan. Kinerja pelaku agribisnis di pedesaan, yang sebagian besar
adalah petani dan pelaku agribisnis trampil bermodal lemah, belum meningkat
secara berarti sejalan dengan pemberian otonomi daerah. Bagi kedua golongan
pelaku agribisnis di pedesaan belum bisa memanfaatkan otonomi sebagai
“obat kuat” untuk meningkatkan daya saing sistem agribisnisnya.
(3) Berbagai pungutan di jalan raya, terutama berupa retribusi dan pajak, pada
rentang waktu setahun terakhir ini cukup menimbulkan masalah kejengkelan
pada para pelaku agribisnis di pedesaan. Berbagai pungutan ini lebih
dirasakan sebagai beban biaya produksi tambahan dan menimbulkan
penurunan efisiensi pada sub-sistem agribisnis di pedesaan. Selain itu, hasil
pungutan tadi ternyata juga tidak secara jelas dialokasikan untuk perbaikan
perekonomian pedesaan, misalnya berupa prasarana ekonomi di pedesaan.
Bahkan bagi aparat pemerintah, hal itu lebih dipandang sebagai peluang untuk
dijadikan instrumen legal untuk mengejar “setoran” dalam rangka
meningkatkan PAD dari pada sebagai peluang untuk pengembangan ekonomi
daerah dalam arti yang sesungguhnya. Gejala disinsentif atau kontra produktif
ini lebih dirasakan oleh pelaku agribisnis di pedesaan, dan relatif kurang bagi
pelaku agribinsis di perkotaan yang berjumlah relatif sedikit.
12
(4) Salah satu kelemahan besar dari pemberlakuan otonomi tadi adalah kurang
dilibatkannya para pelaku agribisnis di pedesaan, kritisi dari LSM dan
perguruan tinggi setempat, organisasi sosial dan para pengadvokasi sukarela
untuk ekonomi pedesaan dalam pembuatan peraturan daerah. Pembuatan
peraturan daerah, yang berkaitan dengan otonomi tadi, umumnya masih
cenderung didasarkan pada visi dan kepentingan aparat eksekutif dan
legeslatif formal setempat dalam jangka pendek dan bersifat lokalistik.
Walaupun demikian, baik di tingkat pusat maupun daerah (provinsi dan
kabupaten) proses pemaknaan otonomi daerah masih terus berlanjut.
Kesadaran banyak pihak, misalnya: kritisi dari perguruan tinggi setempat,
LSM, organisasi sosial dan pengadvokasi sukarela; masih memberikan
harapan optimistik bahwa gambaran masa depan otonomi bagi pengembangan
daya saing ekonomi setempat masih bisa diperbaiki.
(5) Energi otonomi perlu lebih diarahkan untuk pembuatan peraturan daerah yang
berimplikasi langsung terhadap penggairahan pelaku agribisnis di pedesaan.
Untuk itu, ada beberapa langkah yang perlu ditempuh, yaitu:
a. Sebelum berbagai peraturan tentang pungutan terhadap produk agribisnis
dijalankan perlu memperoleh persetujuan dan pemaknaan dari berbagai
kalangan yang berkepentingan terhadap perekonomian pedesaan, terutama
dari pelaku agribisnisnya. Dalam sistem peraturan daerah, hendaknya
pelaku agribisnis di pedesaan jangan hanya diposisikan sebagai “price
taker” atau konsumen peraturan. Dalam sistem ekonomi kerakyatan,
mereka ini harus dipandang sebagai “pemegang saham utama” sistem
agribisnis dan ekonomi daerah. Peran mereka dalam pembuatan atau
pengesahan sistem peraturan daerah haruslah diperhitungkan.
b. Berbagai pungutan yang bertujuan untuk peningkatan PAD sepertinya
sulit dihindari. Namun demikian pungutan tadi hendaknya dibingkai
dengan konsep dan visi yang mempunyai implikasi jelas terhadap
peningkatan daya saing agribisnis di pedesaan. Hendaknya sistem
agribisnis di pedesaan perlu dipandang sebagai halnya seekor “angsa
bertelur emas” yang masih kecil dan rawan gangguan penyakit. Saat ini
angsa tadi masih sangat memerlukan pendewasaan dan pemeliharaan yang
hati-hati. Penarikan pungutan yang semena-mena akan membuat angsa
tadi semacam mengalami “blooding” yang bisa menyebabkannya invalid
dan tidak pernah siap bertelur.
c. Fokus peraturan daerah hendaknya yang memprioritaskan pada
penggalakan investasi publik (seperti pembuatan jalan dan kelancaran
sistem angkutan, sarana telekomunikasi, jaringan listrik dan irigasi) di
pedesaan, penguatan lembaga jasa keuangan dan permodalan di pedesaan,
pembatasan praktek monopoli yang berlebihan, dan penumbuhan
keorganisasian ekonomi yang berintikan semangat dan naluri ekonomi
pelaku-pelaku agribisnis di pedesaan.
Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
13
d. Di tingkat nasional perlu adanya semacam sistem peraturan atau
perundang-undangan yang bisa memandu hubungan ekonomi antar daerah
agar tidak mengarah pada pola persaingan yang saling mematikan atau
menuju pada kematian bersama. Sebagai gambaran, masing-masing
daerah hendaknya tidak saling memungut pajak atau retribusi produk-
produk agribisnis di daerah tetangganya yang bisa menyebabkan biaya
ekonomi tinggi. Selain itu, sumberdaya umum, seperti air, hendaknya
jangan dijadikan sebagai obyek perolehan pendapatan langsung daerah.
e. Di tingkat nasional perlu ada semacam konsep pembangunan ekonomi
dan agribisnis di pedesaan yang lebih jelas dan dijalankan secara
sistematik. Sebagai gambaran, penerjemahan dan implementasi Pasal 33
UUD 1945 tentang keorganisasian ekonomi, sumber dan kegiatan
ekonomi untuk orang banyak dan penggunaan kekayaan alam untuk
kemakmuran rakyat perlu dirumuskan lebih jelas. Pelaksanaan otonomi
daerah ini mempunyai keterkaitan organik dengan Pasal 33 UUD 1945.
Kemungkinan besar amandemen terhadap UUD 1945 tidak banyak
menyentuh substansi Pasal 33 UUD 1945 ini.
f. Di tingkat nasional perlu dirumuskan juga sistem penataan keagrariaan
baru yang lebih menjamin kelangsungan ekonomi pertanian dan pedesaan
menjadi salah satu pilar penting perekonomian nasional. Hambatan dalam
peningkatan daya saing agribisnis di pedesaan hampir dipastikan terkait
erat dengan sistem keagrariaan atau pertanahan pertanian yang selama ini
kurang kondusif dan kurang ditangani secara kritis. Saat ini, penataan
keagrariaan masih belum bisa diserahkan sepenuhnya pada daerah. Oleh
sebab itu, penataan keagrariaan tingkat nasional ini merupakan langkah
awal yang penting untuk melangkah ke arah pemberian otonomi daerah
dalam peningkatan daya saing agribisnisnya.
DAFTAR PUSTAKA
14
MacAndrews, C dan I. Amal. 1995. Hubungan Pusat-Daerah Dalam Pembangunan.
Manajemen P.T. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Nugroho, I. 2000. Pengembangan Ekonomi Pedesaan Menyongsong Otonomi Daerah.
Analisis CSIS, XXIX(1):102-114. CSIS. Jakarta.
Pranadji, T. 2001. Penguatan Lembaga Pedesaan Sebagai Penggerak Ekonomi Pedesaan.
Makalah PENAS X-Agribisnis 2001: Pertemuan Kelompok dan Kontak Tani-
Nelayan Andalan, 22 Oktober 2001. Tasikmalaya.
Rasyid, M.R. 2001. Kegagalan Memahamai Otonomi Daerah. Harian Media Indonesia,
Senin,10 Desember 2001, hal. 41.
Sumodiningrat, S. 1997. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. P.T. Bina
Rena Pariwara. Jakarta.
Widjaja, A.W. 1996. Pemerintahan Desa dan Administrasi Desa Menurut Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 (Sebuah Tinjauan). Manajemen P.T. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
15
R
E
VI
E
W
J
U
R
N
A
L
M
A
T
E
RI
B
A
B
1
4
E-mail: aguskrisno@yahoo.co.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan “Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Pisang
dengan Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal”. Model ini dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan
kebijakan publik dan upaya edukasi dan advokasi publik dalam bidang pangan untuk mendorong terwujudnya
ketahanan pangan nasional. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan desain penelitian deskriptif kualitatif. Subyek penelitian adalah Badan Perencana
Pembangunan dan Pengembangan Kabupaten, Dinas Pertanian, Petani, Tokoh Masyarakat, Kelompok Tani di
Kabupaten Lumajang,Malang, dan Blitar. Teknik sampling yang digunakan adalah Snowball sampling. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah Dokumentasi, wawancara mendalam, observasi peran serta, dan
Focus Group Dicussion (FGD). Data penelitian yang diperoleh dianalisis dengan analisis kualitatif (Content
Analysis, dan Domain Analysis). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: 1) Terdapat keragaman profil
produksi pisang, distribusi, konsumsi, dan peran kearifan lokal di Kabupaten Lumajang, Malang, dan Blitar, 2)
Optimalisasi peran kearifan lokal dapat dijadikan fokus utama dalam upaya mengembangkan ketahanan
pangan berbasis pisang, dan 3) Beberapa komponen penting dan strategis dalam model pengembangan
ketahanan pangan berbasis pisang melalui revitalisasi nilai kearifan lokal dan penguatan kelembagaan
kelompok tani adalah: a) kearifan lokal (penguatan penggunaan bahan pangan berbasis lokal, peran
perempuan, peran tokoh masyarakat/agama, gotong royong, guyub rukun, desa mandiri pangan, pertanian
ramah lingkungan., pertanian multikultur, dan perencanaan berbasis masyarakat), c) peran BPTP, BBMP, DUDI
(pengembangan pilot projecting, permodalan, pendampingan, dan penguatan sistem produksi-distribusi-
pemasaran-konsumsi).
Kata kunci: pengembangan ketahanan pangan, nilai kebijakan lokal, institusi grup petani
Abstract
This research aims to find” Food Endurance Development Model Based on Banana with Revitalisation Local
Wisdom Value Reinforcement” . This model serve the purpose of basis for formulate public policy and education
efforts and advocation public in the field of food to push national food endurance. Approach research that used in this
qualitative research with qualitative descriptive design. Subject research is bapeda, development, agriculture official,
farmer, elite figure, farmer group at regency Lumajang, Malang, and Blitar. Technique sampling that used snowball
sampling. Data collecting method that used documentation, indepth interview, observation participatory, and limited
discussion. Research data that got to analyzed with qualitative analysis (content analysis, and domain analysis).
Based on research result inferential: 1) found banana production profile unity, distribution, consumption, and local
wisdom character at regency Lumajang, Malang, and Blitar,
5. local wisdom character can be made principal focus in the effort develop food endurance based on banana,
and 3) several important components and strategic of food endurance development model based on banana:
a) local wisdom (foodstuff use reinforcement based on local, woman character, society/religion figure
character, food self-supporting village, environment friendly agriculture, agriculture multiculture, and planning
based on society), b) local government character (wisdom development prima tani, pilot projecting,
capitalization, assistance, and tool of productions-distributions-marketing-consumption), and c) and character
BPTP, BBMP, DUDI (pilot development projecting, capitalization, assistance, and system reinforcement
productions-distributions-marketing-consumption).
Key word: food endurance development models, local wisdom value, farmer group institutions
172 Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No. 2, Agustus 2010: 170–
177
pisang untuk keripik, diperoleh sisa potongan Nuryanti (2005) model cooperative farming
kecil. Sisa ini dapat dikeringkan, kemudian merupakan model pemberdayaan petani
dihancurkan menjadi tepung pisang. Buah melalui kelompok dengan melakukan rekayasa
pisang yang harga jualnya rendah dapat juga sosial, ekonomi, teknologi,
dibuat tepung pisang. Tepung pisang ini dapat
diolah menjadi tempani, kue kering atau bubur
untuk bayi.
Sedangkan pisang yang kelewat masak,
biasanya menurun nilai jualnya, dapat dibuat
poding pisang atau dodol pisang. Produk
olahan yang diperoleh diharapkan dapat
meningkatkan nilai jual dan pendapatan
petani selaku produsen produk olahan
pisang.
Dalam mengembangkan industri pengolahan
pisang skala rumah perlu dibina ibu-ibu, isteri para
anggota kelompok tani, yang bergabung dalam
Kelompok Wanita Tani (KWT). Dalam rangka
pengembangan agribisnis pisang, dapat
disarankan: a) lembaga produksi bibit pisang perlu
dikembangkan guna memenuhi kebutuhan akan
bibit pisang bagi petani sekitarnya dan petani lain
yang membutuhkannya, b) model pengelolaan
kebun sehat harus selalu menjadi pedoman bagi
petani yang berusahatani pisang di kebunnya, c)
lembaga pemasaran yang ada diharapkan dapat
bekerja sebaik mungkin, agar usahanya dapat
berjalan dengan baik dan ditingkatkan peran dan
kinerjanya guna membantu petani dalam
meningkatkan pendapatannya, d) lembaga
pengolahan hasil yang dikelola kelompok wanita
tani hendaknya perlu ditingkatkan kinerjanya,
agar produk olahan pisang dapat lebih dikenal
masyarakat pada umumnya,
e) mengingat potensi pengembangan pisang
yang cukup besar, sudah selayaknya pihak-
pihak yang berkompeten memfasilitasi dan
mengembangkan usaha yang telah
dilaksanakan kelompoktani. Pada saatnya
nanti pengembangan usaha agribisnis pisang
di daerah memerlukan mitra yang
diharapkan dapat memfasilitasi penyediaan
sarana produksi, modal dan pemasaran buah
pisang segar dan produk olahannya.
Dsisi lain penguatan peran kelembagaan
Kelompok Tani dalam pengembangan ketahanan
pangan berbasis pisang dapat dilakukan dengan
delapan cara. Pertama, pelibatan kelompok tani
secara aktif dan terus menerus dalam
pembangunan agropolitan. Menurut Anugrah
(2003), agropolitan harus mengakomodasi dua hal
utama, yaitu menetapkan sektor pertanian
sebagai sumber pertumbuhan ekonomi utama dan
diberlakukannya ketentuan-ketentuan mengenai
otonomi daerah.
Kedua, pengembangan kelompok tani
melalui model Cooperative Farming, Menurut
dan nilai tambah. Rekayasa sosial dapat berbasis komunitas petani. Menurut Hendayana
dilakukan dengan penguatan kelembagaan (2008) percepatan adopsi inovasi memerlukan
tani, penyuluhan, dan pengembangan SDM. fasilitas permodalan usaha tani yang bisa diakses
Rekayasa ekonomi dilakukan dengan oleh petani dengan mudah. Hingga saat ini
pengembangan akses permodalan untuk permodalan masih dianggap menjadi kendalanya.
pengadaan saprodi (sarana prasarana Di sisi lain untuk mendapatkan modal dengan
produksi) dan akses pasar. mengandalkan lembaga keuangan formal yang
Ketiga, pengembangan kelompok tani ada, terkendala persyaratan administrasi yang
melalui model prima tani. Menurut Adimihardja tidak dapat memenuhinya sehingga peluangnya
(2006) program Prima Tani (Program Rintisan kecil. Satu-satunya sumber keuangan yang dapat
Inovasi Teknologi Pertanian), merupakan suatu diandalkan adalah lembaga jasa keuangan atau
konsep baru pembangunan pertanian yang lembaga keuangan mikro (LKM) yang dikelola
bersifat “bottom up” guna mempercepat petani. Namun keberadaan LKM di lapangan masih
pemasyarakatan inovasi pertanian. terbatas jumlahnya. Mungkinkah petani masih bisa
Pendekatannya adalah mengoptimalkan membangun LKM yang berbasis komunitas petani.
pendayagunaan potensi desa secara LKM adalah kelembagaan usaha yang mengelola
partisipatif, bukan komando ataupun “top jasa keuangan untuk membiayai usaha skala
down”. mikro baik berbentuk formal maupun non formal
Keempat, pengembangan kelompok tani yang diprakarsai oleh masyarakat atau
melalui alih teknologi. Menurut Rafieq (2003), pemerintah. Terdapat 7 (tujuh) prinsip yang harus
petani dengan pengetahuan lokalnya telah dijadikan acuan ketika akan membangun LKM
menemukan teknologi sederhana. Inovasi pertanian, yaitu: Pertama, memenuhi prinsip
teknologi bisa dikembangkan dari teknologi kebutuhan, artinya LKM pertanian hanya perlu
sederhana yang dihasilkan petani. Kelima, ditumbuhkembangkan di lokasi potensial yang
pengembangan kelompok tani melalui petaninya memerlukan dukungan fasilitasi
penyuluhan. Menurut Warsana (2008), kegiatan permodalan, dan belum ada lembaga jasa
penyuluhan tujuan akhirnya adalah menumbuhkan pelayanan keuangan di lokasi itu. Dengan
ketangguhan petani sebagai pelaku utama dalam demikian LKM akan memberikan manfaat yang
pembangunan pertanian. lebih besar bagi masyarakat setempat. Prinsip
kedua adalah harus fleksibel, dalam arti LKM yang
Keenam, pengembangan kelompok tani
melalui membangun lembaga keuangan mikro
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat
disimpulkan beberapa hal berikut ini: 1) terdapat
keragaman profil produksi pisang, distribusi,
konsumsi, peran kearifan lokal, dan peran
kelembagaan kelompok tani di Kabupaten
Lumajang, Malang, dan Blitar, 2) optimalisasi
peran kearifan lokal dapat dijadikan fokus utama
dalam upaya mengembangkan ketahanan pangan
berbasis pisang dan 3) beberapa komponen
penting dan strategis dalam draft model
pengembangan ketahanan pangan berbasis
pisang melalui revitalisasi nilai kearifan lokal dan
penguatan kelembagaan kelompok tani adalah: i)
kearifan lokal,
ii) Pemerintah Daerah, iii) BPTP, BBMP, DUDI,
iv) produksi v) distribusi, dan vi) konsumsi (pola
konsumsi, makanan utama, Dari enam komponen
penting dan strategis dalam pengembangan
ketahanan pangan berbasis pisang melalui
revitalisasi nilai kearifan lokal tersebut yang
menjadi lokomotif pengembangan adalah kearifan
lokal dan kelembagaan kelompok tani, untuk
kedua komponen ini harus dikembangan (dengan
stimulasi dari pemda, dinas pertanian, DUDI, dan
lain-lain) sehingga berdampak kepada komponen
lainnya. Berdasarkan hasil dan kesimpulan
penelitian, maka dapat disarankan perlunya
melakukan penyempurnaan draft model
pengembangan ketahanan pangan berbasis
pisang melalui revitalisasi nilai kearifan lokal dan
penguatan kelembagaan kelompok tani. yang
dilanjutkan dengan evaluasi, revisi, dan review
pakar, sehingga model pengembangan ketahanan
pangan berbasis pisang melalui revitalisasi nilai
kearifan lokal dan penguatan kelembagaan
kelompok tani.bersifat applicable.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja A, 2006. Mengoptimalkan
Pendayagunaan Potensi Desa. Bogor:
BBP2TP, Bogor, Toid Sinar Tani, 6 Desember
2006.
176 Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No. 2, Agustus 2010: 170–
177
Anugrah IS, 2003. Kunci-Kunci Keberhasilan Kumoro K, 2009. Pengkajian Sistem Agribisnis Pisang.
Pengembangan Agropolitan, Bogor: NTB: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa
Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Bogor, Tenggara Barat, http://pfi3pdata.litbang.deptan.
Tabloid Sinar Tani, 17 Maret 2003. go.id, 9 Sept 2009.
Arianti NK, 2006. Teknologi Tepat Guna Pisang: Nuryanti S, 2005. Model Cooperative Farming
B2PTTG Subang, Kiprah Nyata LIPI yang Untuk Peningkatan Pendapatan Petani,
Terpendam. Kompas 6 Juli 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
BPPPD Deptan, 2006. Prospek dan Arah Sosial Ekonomi Pertanian Bogor, Tabloid
Pengembangan Agribisnis: Pisang. Jakarta: Sinar Tani, 29 Juni – 5 juli 2005.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Priyanto D, 2007. Prima Tani Sumba Timur
Departemen Pertanian. Mendukung Ketahanan Pangan Daerah.
Cahyono, B. 1996. Pisang, Budidaya dan Analisis Bogor: Puslitbang Peternakan, Dimuat dalam
Usahatani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Tabloid Sinar Tani, 5 Desember 2007.
Deptan RI, 2006. Revitalisasi Pertanian. Purba HK, 2006. Potensi Investasi Pisang di Indonesia.
http://agribisnis. Jakarta: Subdit Promosi dan Pengembangan
deptan.go.id, 1 Januari 2007). Pasar Direktorat Pemasaran Intenasional Ditjen
Dewan Riset Nasional, 2006. Agenda Riset PPHP.
Nasional 2006– 2009. Jakarta: DRN. Rafieq A, 2003. Mengembangkan Pengetahuan
Erawati TR, Surahman A, dan Fitrotin U, 2007. Petani Untuk Inovasi Teknologi. Kalimantan
Budidaya Pisang Bagi Petani Miskin Di Lahan Selatan: BPTP Kalsel, Tabloid Sinar Tani, 14
Marginal Success Story Program Peningkatan Mei 2003.
Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), Supriyanto B. dan Marsono. 1993. Rangkuman
Nusa Tenggara Barat: BPTP NTB, Taloid Sinar Hasil Penelitian Pisang Tahun 1989–1992.
Tani, 12 Desember 2007. Jakarta: Prosiding Rapat Teknis Puslitbang
Erawati TR, Surahman A, dan Fitrotin U, 2008. Hortikultura di Cipanas, 23–24 Juni 1993.
Budidaya Pisang Bagi Petani Miskin Di Lahan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Marginal, Nusa Tenggara Barat: BPTP NTB, Hortikultura.
Tabloid Sinar Tani, 26 Desember 2007 - 1 Wahyuni S, 2009. Integrasi Kelembagaan Di
Januari 2008 Tingkat Petani: Optimalisasi Kinerja
Hendayana R, 2008. Membangun Lembaga Pembangunan Pertanian, Bogor: Pusat
Keuangan Mikro Berbasis Komunitas Petani, Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Bogor: Balai Besar Pengkajian dan Pertanian, Tabloid Sinar Tani, 10 Juni 2009.
Pengembangan Teknologi Pertanian Warsana SP, 2008. Strategi Melakukan Penyuluhan
(BBP2TP), Sinar Tani, 2 September 2008. Pertanian Untuk Petani Kecil, Jawa Tengah:
Husni I, 2009. Pengembangan Pisang Sebagai BPTP Jawa Tengah, Tabloid Sinar Tani, 9 Januari
Bahan Pangan Pengganti Karbohidrat Dalam 2008.
Rangka Diversifikasi Pangan, Warsana SP, 2009. Pemantapan Kelembagaan
http://pfi3pdata.litbang. deptan.go.id, 9 Sept Pada Gapoktan, Jawa Tengah: BPTP Jawa
2009. Tengah, Tabloid Sinar Tani, 8 April 2009.
Tujuan Penelitian
tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk Meningkatkan
Pendapatan Petani di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
Subjek Penelitian Petani kelapa Indragiri Hilir, Riau.
Metode Penelitian
Penelitian kualitatif dengan desain penelitian Fenomenologi.
Hasil Penelitian Faktor-faktor yang menyebabkan tidak berkembangnya
sistem agribisnis kelapa di Indragiri Hilir, antara lain adalah:
(1) sebagian besar teknologi belum dapat digunakan petani,
(2) kurangnya diversifikasi produk kelapa.Strategi
pengembangan sistem agribisnis kelapa di Indragiri Hilir,
Riau, harus dilakukan melalui: (1) diversifikasi produk
melalui pemanfaatan tempurung,sabut dan lidi serta minyak
murni (VCO), sehingga dapat merubah permintaan menjadi
elastis untuk meningkatkan daya serap pasar, (2) program
promosi pasar di pasar dunia baik melalui lembaga promosi
propinsi Riau, dan (3) pemberdayaan petani melalui
kelembagaan yang sudah ada seperti kelompok tani, dan
koperasi.
Kelebihan 1. Adanya rekomendasi pemupukan dan varietas unggul
serta rekayasa alat dan mesin pengolahan sabut
merupakan keunggulan di dalam pengembangan
perkelapaan.
2. Ketersediaan sumberdaya lahan dan iklim yang sesuai
serta ketersediaan tenaga kerja dan teknologi begitu juga
pangsa pasar, menjadi keunggulan untuk peningkatan
produksi kelapa persatuan luas pengelolaan.
3. Adanya produk kelapa yang sudah berkembang seperti
minyak murni (Virgin Coconut Oil ), desiccated coconut
(DC), coconut fiber (CF), activated carbon (AC), dan
coconut cream (CC). Yang sudah masuk di pasar
Internasional menjadi keunggulan bagi subsistem
pengolahan hasil.
4. Kelapa sebagai komoditas pasar terbuka merupakan
keunggulan dalam pemasaran.
5. Pembelajaran dan pengenalan organisasi yang diperoleh
dalam kelembagaan kelompok tani adalah keunggulan.
Kelemahan 1. Masih sedikitnya petani menggunakan bibit unggul,
belum adanya kontinuitas pemakaian pupuk dan masih
terbatasnya industri alat yang khusus merupakan
kelemahan.
2. Penurunan areal pertanaman dan produksi serta serangan
penyakit busuk pucuk dan hama penggerek daun
(Oryctes) di beberapa lokasi pertanaman kelapa menjadi
kelemahan.
3. Standar kualitas, kebersihan, kemurnian, dan keutuhan
yang rendah karena kurangnya pembinaan
petani,peralatan dan ketersediaan sarana menjadi faktor
kelemahan.
4. Kelemahan pada subsistem pemasaran kelapa terlihat dari
beberapa indikator seperti; (a) informasi pasar dan
transparansi pembentukan harga, (b) promosi produk
yang lemah, dan (c) struktur pasar yang oligopoli.
5. Kinerja dari kelembagaan yang pernah ada yang didirikan
dan dibina pemerintah merupakan kelemahan.
Perspektif Vol. 6 No. 2 / Desember 2007. Hal 94 - 104
ISSN: 1412-8004
SABARMAN DAMANIK
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Indonesian Center for Estate Crops Research and Development
Jl. Tentara Pelajar No.1 Bogor 16111
E-mail:criec@indo.net.id
Nata de coco
Nata de coco mula-mula dikenal di Filipina
yaitu produk olahan yang terbuat dari air kelapa
3. Peningkatan peranan Indonesia di kancah Adnyana, M.O. 2005. Lintasan dan Marka Jalan
perkelapaan dunia diperlukan perbaikan Menuju Ketahanan Pangan Terlanjutkan
sinergisme simpul-simpul agribisnis kelapa. Dalam Rangka Perdagangan Bebas. Badan
Simpul prioritas adalah biaya tidak tetap Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
pada jangka pendek (short run variable cost), Bogor. Indonesia. 35 hlm.
biaya tidak tetap jangka panjang(long run Anggraini dan A. Dhalimi. 1998. Pembuatan
cost) dan “external cost”. minyak kelapa secara fermentasi di
4. Upaya efisiensi produksi tetap dilaksana- Daerah pasang surut. Bulletin. Littri (5) :
kan, selain itu peningkatan pendapatan 54 -56.
petani kelapa juga dapat diupayakan Asian and Pacific Coconut Community (APCC).
dengan melibatkan petani dalam simpul- 2004. Coconut Statistical Year Book.
simpul agribisnis yang menghasilkan nilai Kuningan, Jakarta. 291 hlm.
tambah. Akuba Rusthamrin. 2003. Visi kelembagaan
5. Perluasan areal tetap diupayakan ke daerah perkelapaan Indonesia di era otonomi
yang mempunyai kesesuaian ekologis dan Daerah, Proseding Konfrensi Kelapa V,
mempunyai keuntungan komparatif, Tembilahan, Oktober 2002. Hlm 133-136.
6. Simpul terlemah dalam sistem agribisnis Board Riau Province 2005. Profil of invesment
kelapa adalah penggunaan varietas unggul, Project Riau Province. Hlm 97 – 104.
hanya sekitar 15% petani kelapa yang Bunch, R. 1991. Dua Tongkol Jagung. Pedoman
menggunakan bibit unggul. Guna Pengembangan Pertanian Berpangkal
mempercepat penggunaan varietas unggul, pada rakyat. Yayasan Obor Indonesia
segera dibangun industri pembibitan dan Jakarta.309 hlm.
penangkar, terutama di sentra produksi Beattie, B. R., and C. R. Taylor. 1996 . Ekonomi
kelapa. Produksi. Penerbit Gajah Mada
7. Sosialisasi dan peningkatan pengetahuan University Press, Yogyakarta.
teknis petani tentang penggunaan input Bilas, R. 1992. Teori Mikro Ekonomi. Penerbit
alternatif perlu diupayakan. Erlangga Jakarta.
Coen R, B. Haverkort dan Ann Waters Bayer.
8. Ketersediaan teknologi dan alih teknologi
1999. Pertanian Masa Depan (terjemah-
menjadi tanggung jawab pemerintah. Oleh
an Y. Sukoco S.S). Kanisius, Yogyakarta.
Hlm 7-9.
Hasni, H. 2004. Evaluasi Pola Pemanfaatan
Sumber Daya Lahan di Antara Kelapa
Dengan Tenaman Sela, Berdasarkan
Kajian Aspek Sosek dan Konservasi
Lahan, Disertasi Doktor, Sekolah Pasca
Sarjana IPB 2002.192 pp.
Heru Salam dan I.Suwandi, 2003. Penguatan
Kelembagaan petani Kelapa melalui
104