Anda di halaman 1dari 47

REVIEW JURNAL MATERI BAB 12

OTONOMI DAERAH DAN DAYA SAING AGRIBISNIS


Judul
Pelajaran dari Provinsi Lampung

Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian


Volume dan
Vol. 1 (2), Hal 1-15
Halaman
Tahun 2017

Penulis Tri Pranadji

Reviewer Muh. Fitrah Ramadhan

Tanggal 22 Maret 2020

Tujuan Penelitian Memberikan masukan bagi perumus kebijakan tentang hal-hal


yang menghambat upaya peningkatan daya saing produk
agribisnis di pasaran domestik maupun dunia.
Subjek Penelitian
Masyarakat pedesaan di Provinsi Lampung
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode penelitian yuridis normatif.
Hasil Penelitian  Implikasi otonomi daerah dalam waktu beberapa tahun ke
depan ini belum memberikan dampak positif bagi
pengembangan kelembagaan pertanian di pedesaan.
 Walaupun otonomi (semula) bisa dikatagorikan sebagai
peubah politik, namun dalam rangka peningkatan daya
saing ekonomi daerah atau pemberdayaan ekonomi
keseluruhan masyarakat pedesaan yang berbasis kegiatan
agribisnis, ia harus dipandang juga sebagai bagian dari
input atau peubah ekonomi.
 Dari penjelasan "Kecenderunga Perkembangan Iklim
Usaha" dapat dikatakan bahwa kecenderungan iklim usaha
pertanian di masa datang akan semakin membaik.
Kelebihan
 Dikaji melalui studi yang kritis dan mendalam tentang
seberapa jauh faktor otonomi daerah sebagai (kekuatan)
penggerak sistem (kelembagaan) agribisnis di tingkat
daerah dan juga membahas kesenjangan antara kemauan
politik untuk mendesentralisasi dan pengembangan
agribisnis dengan kinerja ekonomi riil yang sebagian besar
didukung kegiatan agribisnis dan ditelusuri sampai seberapa
jauh nuansa otonomi daerah bisa dijadikan wahana
menghasilkan sistem peraturan untuk memperbaiki iklim
usaha pertanian setempat.
 Menambahkan analogi sederhana yang membantu pembaca
awam untuk lebih mudah memahami maksud pokok
bahasan seperti "Jika diibaratkan sebuah mobil, maka
otonomi daerah tadi baru menggerakkan roda depan;
sedangkan putaran kedua roda belakangnya tampaknya
masih belum bisa diharapkan seirama dengan gerakan roda
depannya."
Kelemahan  Hingga kini dampak pemberian otonomi pada daerah
belum sepenuhnya bisa ditransmisikan sebagai kekuatan
pemberdaya ekonomi atau penggerak abribisnis setempat.
 Berbagai pungutan di jalan raya, terutama berupa retribusi
dan pajak, pada rentang waktu setahun terakhir ini cukup
menimbulkan masalah kejengkelan pada para pelaku
agribisnis di pedesaan.
OTONOMI DAERAH DAN DAYA SAING AGRIBISNIS
Pelajaran dari Provinsi Lampung

Tri Pranadji

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian


Jl. A. Yani 70 Bogor 16161

PENDAHULUAN

Makalah ini membahas analisis kebijaksanaan pembangunan pertanian


dengan fokus pada aspek kelembagaan. Dikaitkan dengan peradaban ekonomi
pasar bebas, penilaian bahwa daya saing agribisnis belum menunjukkan
perkembangan yang berarti haruslah diterima sebagai kenyataan. Sejak akhir
dekade delapan puluhan, berbagai pendekatan teknik dan ekonomi telah dibuat
untuk memecahkan permasalahan daya saing agribisnis, namun hasilnya tetaplah
belum menggembirakan. Dahulu wilayah keputusan politik, misalnya
pemberlakuan otonomi atau desentralisasi pemerintahan, dalam pembangunan
pertanian dianggap sebagai peubah eksogen atau faktor eksternal. Oleh sebab itu,
wilayah politik ini seringkali dijadikan “kambing hitam” untuk menjelaskan
mengapa daya saing agribisnis tidak kunjung membaik secara signifikan. Hingga
sekarang pun mengubah orientasi politik pembangunan bukanlah wewenang dari
Departemen Pertanian. Namun demikian, dalam kaitannya dengan upaya
mengobati “virus daya saing agribisnis” yang rendah, para peneliti perlu
melakukan kajian secara kritis tentang hal tersebut. Tujuannya paling tidak bisa
memberikan masukan bagi perumus kebijakan tentang hal-hal yang menghambat
upaya peningkatan daya saing produk agribisnis di pasaran domestik maupun
dunia.
Diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan UU
No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman merupakan landasan
kewenangan politik lokal dan pelaku agribisnis setempat untuk meningkatkan
kinerja dan daya saingnya. Dalam memasuki arena pasar bebas, hal ini sekaligus
memberikan peluang bagi daerah atau pelaku agribisnis untuk mengembangkan
potensi kreativitasnya secara lebih bebas. Namun seberapa jauh landasan politik
tadi bisa menjadi sumber insentif yang nyata bagi perkembangan agribisnis, masih
harus ditelaah secara seksama.
Tulisan ini mencoba menelaah secara saksama sampai seberapa jauh
modal politik “otonomi daerah” bisa dijadikan landasan untuk memperbaiki
sistem insentif pengembangan daya saing agribisnis di tingkat daerah. Proposisi
yang bisa diketengahkan bahwa “jika modal politik tadi tidak bisa

Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
1
ditransformasikan menjadi kekuatan daya saing ekonomi masyarakat pedesaan
yang kegiatannya berbasis agribisnis, maka yang terjadi adalah pengulangan
makna sejarah, yaitu: modal politik tadi sekedar wahana untuk cari uang bagi elit
pemerintah daerah”. Jika ini terjadi, maka gejala high cost economy pada
gilirannya bukan saja tidak bisa dipecahkan, melainkan bahkan dipertajam.
Sistematika tulisan ini mencakup beberapa bahasan. Pertama, tentang
seberapa jauh faktor otonomi daerah sebagai (kekuatan) penggerak sistem
(kelembagaan) agribisnis di tingkat daerah. Kedua, akan dibahas kesenjangan
antara kemauan politik untuk mendesentralisasi dan pengembangan agribisnis
dengan kinerja ekonomi riil yang sebagian besar didukung kegiatan agribisnis.
Ketiga, akan ditelusuri sampai seberapa jauh nuansa otonomi daerah bisa
dijadikan wahana menghasilkan sistem peraturan untuk memperbaiki iklim usaha
pertanian setempat.

OTONOMI SEBAGAI PENGGERAK AGRIBISNIS?

Diberlakukannya otonomi daerah yang didasarkan pada UU No. 22 dan


No.25 merupakan keputusan politik di tingkat pusat. Akan lebih baik jika otonomi
terlebih dahulu diuji-coba secara matang atau diberlakukan jauh sebelum akhir
abad 20 berakhir. Awalnya diperkirakan hanya sedikit daerah yang menghendaki
diberlakukanya otonomi yang didasarkan pada UU No. 22 dan No.25, karena
tidak cukup memiliki kesiapan. Walaupun demikian, secara filosifis pemberian
otonomi harus dipandang sebagai “discretionary of power” (Koeswara, 2000) atau
angin segar bagi (masyarakat) daerah untuk lebih bisa mengambil inisiatif dalam
pembangunan di daerahnya. Bagi masyarakat agraris seperti di Lampung, dengan
adanya otonomi daerah, pembangunan pertanian, khususnya dalam meningkatkan
daya saing agribisnisnya, diharapkan bisa dilakukan lebih giat lagi. Jika gambaran
ini menjadi kenyataan maka bisa dikatakan bahwa otonomi daerah merupakan
penggerak agribisnis yang andal.
Hingga dewasa ini bisa dikemukakan ada empat golongan pelaku atau
penggerak utama pembangunan pertanian di Provinsi Lampung, yaitu: masyarakat
petani di pedesaan, aparat pemerintah (termasuk penyuluh dan peneliti), para
pekerja trampil bermodal kecil (misalnya: penebas, pedagang komisioner dan
penjual jasa pasca panen) dan para penguasa modal di bidang agribisnis. Dari
keempat pelaku tadi baru aparat pemerintah dan para penguasa modal di bidang
agribisnis yang bisa memanfaatkan “modal politik” otonomi daerah sebagai suatu
sumberdaya ekonomi. Dua golongan aktor lainnya, yaitu masyarakat petani di
pedesaan dan pekerja trampil bermodal kecil, umumnya belum memperoleh
informasi yang memadai tentang otonomi daerah, terutama dalam kaitannya
dengan pengembangan agribisnis di pedesaan yang menjadi lapangan mata
pencahariannya.

Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 2, Juni 2003 : -

2
Jika diibaratkan sebuah mobil, maka otonomi daerah tadi baru
menggerakkan roda depan; sedangkan putaran kedua roda belakangnya
tampaknya masih belum bisa diharapkan seirama dengan gerakan roda depannya.
Idealnya, otonomi daerah haruslah bisa menggerakkan seluruh komponen atau
pelaku agribisnis di daerah; sehingga kinerja sistem agribisnis semakin bisa
meningkatkan daya saingnya dalam sistem ekonomi pasar terbuka. Seorang
pemimpin politik atau pemerintahan bisa diibaratkan sebagai seorang pengemudi
mobil atau seorang navigator. Ia harus mengerti dengan pasti ke arah mana mobil
tadi dikendalikan, kemampuan mobil yang dikendarainya, dan apakah semua
sistem mobil tadi telah bekerja dengan normal?
Bagi aparat pemerintahan, diberlakukannya otonomi daerah merupakan
semakin terbukanya peluang daerah untuk secara lebih bebas melakukan
pengaturan kegiatan ekonomi daerah, termasuk di bidang pertanian. Kebebasan
tadi bisa diibaratkan sekeping koin yang mempunyai dua muka. Pada satu muka
memberikan ruang kebebasan bagi daerah untuk memandang seluruh sistem
agribisnis sebagai potensi sumber pendapatan asli daerah, sehingga dari sistem
tadi bisa dilakukan berbagai pungutan (melalui pajak atau retribusi) untuk
meninggikan pemasukan bagi pendapatan daerah dalam waktu singkat. Pada muka
lain, kebebasan tadi merupakan aset strategis bagi daerah untuk secara lebih
kreatif dan inspiratif menggairahkan kegiatan agribisnis sebagai andalan
perekonomian masyarakat daerah setempat.
Sampai sejauh mana pemberian otonomi menjadi faktor penggerak
agribisnis di daerah setempat sangat tergantung pada visi para aparat pemerintah
setempat, termasuk dari kalangan legislatifnya. Dari dua muka koin yang
disebutkan tadi, gejala yang tampak menonjol adalah pada pandangan yang
pertama. Ini menunjukkan bahwa proses pemaknaan otonomi daerah (Rasyid,
2001 dan Hidayat, 2001) masih belum tuntas dan masih bersifat menyebelah.
Seakan-akan otonomi daerah ini merupakan sumber “winfall income” yang tidak
boleh dilewatkan begitu saja oleh aparat pemerintah daerah. Sebagian besar
produk Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung 2000-2001 berisi penarikan
retribusi (Anonimous, 2001), yang hal itu dinilai akan berdampak kurang baik
atau kurang memberi insentif terhadap perkembangan agibisnis setempat.
Pelaku agribisnis bermodal besar, misalnya pengusaha kopi, pengusaha
jagung atau pengusaha agribisnis kompleks (misalnya PT GGLC) umumnya
memiliki jaringan komunikasi yang relatif baik dengan aparat pemerintah.
Walaupun belum sepenuhnya bebas dari tekanan penambahan biaya, akibat
retribusi perdagangan hasil pertanian. Namun mereka umumnya relatif mudah
melakukan bargaining position dengan aparat pemerintah yang melakukan
pungutan retibusi. Mereka ini bisa dengan cukup mudah mengajukan keberatan
pada aparat pemerintah daerah maupun pusat atas adanya beberapa pungutan yang
mereka nilai merugikan. Dalihnya adalah bahwa hal itu akan menyebabkan
ekonomi biaya tinggi (hingh cost economy) atau daya saing produk agribisnis di
pasar global dan domestik menjadi merosot. Selain itu, mengingat posisi mereka

Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
3
umumnnya sebagai price leader, mereka bisa mentransmisikan kenaikan biaya
ekonomi (yang seharusnya mereka tanggung) ke penentuan tingkat harga
pembelian produk pertanian dari petani atau pedagang pengumpul.
Bagi para pedagang hasil pertanian, gejala yang dirasakan adalah semakin
banyaknya pungutan (retribusi) angkutan di jalan raya. Pada kasus angkutan
jagung, kenaikan pungutan ini bisa mencapai kenaikan Rp 20 – 30 ribu per truk,
atau sekitar Rp 3 – 5 per kg. Ini terjadi, karena setiap daerah seolah-olah berhak
melakukan pengutan sendiri; sehingga semakin banyak daerah administrasi yang
dilalui akan semakin banyak pula biaya retribusi angkutan yang harus dikeluarkan
oleh pedagang. Untuk mengatasi ini biasanya pedagang membagikan beban biaya
tadi pada harga pembelian di tingkat petani dan sedikit mengurangi tingkat
keuntungannya. Beberapa kasus pungutan juga dilakukan atas penggunaan alat
pasca panen di tingkat desa.
Kesulitan yang dialami oleh para pedagang hasil pertanian atau pengusaha
pasca panen tingkat desa adalah dalam permodalan dan keorganisasian usaha.
Dalam dua tahun terakhir ini, mereka umumnya tidak merasakan adanya
tambahan kemudahan dalam memperoleh bantuan permodalan. Untuk bisa
menjalankan usahanya mereka umumnya tidak memperoleh modal dari lembaga
keuangan seperti perbankan. Mereka umumnya bisa menjalankan usahanya
dengan modal kepercayaan (“interpersonal trust”) dengan petani atau pengusaha
atau penyandang modal besar. Mereka ini punya ketrampilan yang cukup dalam
menjalankan usahanya. Hanya saja, mereka ini kurang mampu mengakses
lembaga penyedia jasa permodalan formal. Selain kesulitan dalam melakukan
pengumpulan modal, juga menjadi sangat tergantung pada “belas kasihan”
pengusaha atau pemodal besar. Organisasi ekonomi tingkat desa, semacam KUD,
sudah jarang ditemui lagi. Bahkan banyak KUD, setelah memasuki krisis
ekonomi, yang mengalami disfungsi dan ambruk. Dalam era otonomi ini, justru
peran lembaga ekonomi tingkat desa mengalami degradasi cukup berat.
Bagi masyarakat petani, diberlakukannya otonomi daerah, khusus yang
berkaitan dengan usaha pertanian, secara ekonomi belum dirasakan manfaatnya.
Naluri ekonomi atau pelaku agribisnis di pedesaan belum sepenuhnya mendapat
dorongan gairah dari pemberian otonomi ini. Dengan kata lain, pelaksanaan
otonomi belum menunjukkan pada pemihakannya pada pelaku ekonomi di
pedesaan (Nugroho, 2000). Bersamaan dengan diberlakukannya otonomi daerah,
kredit pertanian semacam KUT tidak lagi bisa diperoleh dengan mudah. KUD
tidak lagi bisa diandalkan untuk menjadi lembaga jasa penyalur kredit atau agen
penjamin untuk memperoleh sarana atau input pertanian. Akibatnya, di tingkat
usahatani terjadi peningkatan krisis permodalan. Dalam situasi demikian,
umumnya petani tidak lagi bisa mentargetken tingkat produksi usahataninya
(misalnya; kopi, padi dan jagung) seperti tahun-tahun sebelumnya. Secara riil,
pendapatan petani pada masa diberlakukannya otonomi daerah umumnya
mengalami kemerosotan.

Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 2, Juni 2003 : -

4
Asosiasi petani di tingkat desa, seperti kelompok tani, umumnya hanya
mempunyai pengaruh ke dalam. Kemampuan asosiasi petani tadi untuk
mempengaruhi pembuatan kebijakan atau peraturan daerah masih sangat kecil,
atau nyaris tidak ada sama sekali. Asosiasi petani yang umum dikenal secara
terbuka adalah seperti kelompok tani dan KUD. Hampir tidak ada asosiasi lain
yang tidak dibentuk pemerintah mendapat pengakuan atau hak hidup, walaupun
petani sendiri merasa kurang memilikinya. Dengan kata lain bahwa organisasi
petani memberi kesan serba pemerintah ini masih sukar dihilangkan. Secara
kesejarahan, pembentukan keorganisasian petani sebagian besar merupakan
proyek pemerintah. Di luar itu, walaupun ada dan efektif, umumnya digolongkan
sebagai organisasi non-formal; misalnya organisasi yang mencerminkan hubungan
fungsional antara petani dan pedagang hasil pertanian bermodal besar di tingkat
desa.
Dalam keorganisasian ekonomi, masyarakat petani telah terlajur
diposisikan sebagai subordinat organisasi keaparatan pemerintah. Mereka ini tidak
lebih dari konsumen peraturan daerah, dan sepenuhnya hanya sebagai “price
taker”. Peraturan daerah yang lebih menekankan pada pungutan retribusi, yang
justru sebagian besar mengena pada produk pertanian setempat, lebih banyak
berimplikasi negatif terhadap kegiatan pertanian di pedesaan. Hanya saja,
mengingat alternatif usaha lain masyarakat pedesaan di Provinsi Lampung masih
sangat terbatas, maka kegiatan pertanian di pedesaan tetap tidak mengalami
kemerosotan yang parah.
Institusi, seperti AEKI atau ASPEMTI setempat, belum banyak bisa
diharapkan bisa membantu menguatkan peran masyarakat petani ini. Advokasi
dari kalangan LSM, perguruan tinggi daerah atau asosiasi yang bersifat sukarela
(“voluntary agents”) lainnya untuk pemberdayaan masyarakat petani pada masa
diberlakukannya otonomi daerah ini juga belum menunjukkan gejala yang
menggembirakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemberian otonomi pada
daerah (kabupaten/kota) belum bisa mendorong lembaga dan organisasi ekonomi
di pedesaan dan kecamatan di daerah setempat berkembang ke arah yang lebih
berdaya saing secara berarti. Jika tatanan institusi ini tidak banyak mengalami
perbaikan yang berarti, dalam jangka pendek, hingga tahun 2004, diperkirakan
perkembangan pertanian atau daya saing agribisnis di Provinsi Lampung tidak
akan mengalami perkembangan yang berarti. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa
implikasi otonomi daerah dalam waktu beberapa tahun ke depan ini belum
memberikan dampak positif bagi pengembangan kelembagaan pertanian di
pedesaan.

KESENJANGAN ANTARA POLITIK DAN EKONOMI

Di muka telah dijelaskan bahwa implikasi diberlakukannya otonomi


daerah terhadap keempat pelaku atau penggerak agribisnis tidaklah sama atau

Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
5
bersifat sangat asimetris. Ini menunjukkan bahwa di antara para penggerak
agribisnis di daerah, terutama dalam memanfaatkan keleluasaan otonomi daerah,
terdapat kesenjangan yang cukup berarti. Walaupun belum dilakukan pemeriksaan
yang mendalam, sangat terasa bahwa pembuatan peraturan daerah lebih
disandarkan pada rasionalitas ekonomi aparat pemerintah (termasuk aparat di
kalangan legislatif daerah, DPRD). Menurut McKenzie dan Tullock (1978), para
birokrat atau aparat pemerintah adalah makhluk rasional. Mereka mempunyai
kecenderungan (psikologis) bertindak rasional untuk memenuhi kepentingannya
sendiri dahulu. Tanpa adanya mekanisme check and balance antara kelompok
masyarakat atau lembaga pembuat peraturan dan kelompok masyarakat yang
diatur, diperkirakan akan mudah terjadi distorsi pada langkah yang ditempuh
dalam rangka pencapaian tujuan ideal pemberian otonomi daerah.
Di kalangan pembuat peraturan daerah terdapat kecenderungan
menggunakan dasar rasionalitas yang berlebihan dan bersifat sempit (“lokalistik”)
dalam pembuatan peraturan daerah. Dari pengamatan di lapangan dapat dirasakan
bahwa yang terjadi adalah bahwa para birokrat atau aparat pembuat peraturan
daerah cenderung lebih mengutamakan untuk memikirkan apa yang lebih bisa
memberikan keuntungan pribadi dan kelompoknya dalam jangka pendek.
Kebanyakan pembuatan peraturan daerah tadi lebih mengutamakan pungutan atau
retribusi untuk PAD dari pada bagaimana melakukan penguatan institusi ekonomi
yang bisa menggairahkan kegiatan ekonomi yang berbasis agribisnis dan
masyarakat pedesaan. Ini menunjukkan bahwa antara otonomi daerah sebagai
“modal politik” dan sebagai instrumen kelembagaan untuk menggairahkan
kegiatan ekonomi daerah masih terdapat kesenjangan yang besar. Visi otonomi,
untuk lebih menggairahkan kegiatan agribisnis di pedesaan, belum dijadikan dasar
oleh aparat pemerintah.
Kebanyakan peraturan daerah dirumuskan oleh para politisi formal di
lembaga legislatif dan eksekutif tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Para pelaku
ekonomi, seperti petani, pemuka masyarakat atau adat, pengusaha agribisnis, atau
orang-orang yang berpengaruh di masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam
pembuatan peraturan. Para pelaku ekonomi cenderung diposisikan sebagai sub-
ordinat dari para politisi formal (pusat dan daerah), dan mereka harus tunduk pada
pejabat atau elit politik formal. Dalam situasi yang integritas atau “sense of crisis”
para politisi formal belum menunjukkan bisa sepenuhnya diterima dan dinilai
layak oleh masyarakat, maka pembuatan peraturan yang berkaitan dengan daya
saing ekonomi yang berbasis kegiatan agribisnis pedesaan hendaknya
dimusyawarahkan secara terbuka dengan para pelaku agribisnis setempat. Jika
pembuatan peraturan yang dimaksud tidak ditempuh melalui kelaziman normatif
seperti itu, maka asas akuntabilitas dari pembuatan peraturan diperkirakan sulit
terpenuhi.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, gejala kesenjangan antara
kemauan politik (“ideal”) dengan kegairahan ekonomi masyarakat pedesaan yang
berbasis kegiatan agribisnis (“realita”) telah menjadi kenyataan. Masyarakat

Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 2, Juni 2003 : -

6
pedesaan, sebagai salah satu penggerak dan pelaku utama agribisnis mengalami
pelemahan gairah. Hanya saja memang masih sulit dipisahkan, “apakah
melemahnya gairah pelaku agribisnis di pedesaan tadi sebagai dampak dari
diberlakukannya otonomi daerah atau karena krisis keuangan yang dialami
pemerintah ?” Adanya kesenjangan visi otonomi daerah dengan praktek ekonomi
biaya tinggi di daerah, misalnya karena peraturan yang mendisinsentif
perekonomian pedesaan yang berbasis agribisnis, tampaknya masih sulit dibantah.
Di sisi lain, krisis ekonomi dan keuangan yang dialami negara yang menyudutkan
daerah untuk mencari sumber dana sendiri untuk menjalankan roda pemerintahan
setempat juga harus diterima sebagai kenyataan.
Keluhan pelaku agribisnis tingkat desa, terutama para petani dan pelaku
agribisnis trampil bermodal kecil, secara kelembagaan kurang mendapat tempat
penyaluran. Lembaga Kepala Desa lebih banyak memerankan sebagai kepala
administrasi desa dari pada sebagai kepala pemerintahan. Menurut Undang-
undang No. 5 Tahun 1979 (UU No. 5 Tahun 1979) tentang Pemerintahan Desa,
peran Kepala Desa dalam mengatur pemerintahan desa sangat kuat (Widjaja,
1996), dan cenderung sebagai figur sentral di pedesaan. Secara struktural
(“politik”) Kepala Desa bertanggung jawab kepada Camat dan Bupati, sebab
menurut UU No.5 Tahun 1979, Kepala Desa diangkat oleh Bupati (mewakili
Gubernur). Lembaga Pemerintahan Desa ini sukar diharapkan sebagai wahana
untuk memperjuangkan kepentingan pelaku agribisnis di desa setempat. Perannya
sebagai representasi kepentingan masyarakat pedesaan setempat tidak begitu kuat.
Banyak dari kalangan masyarakat menilai bahwa Kepala Desa lebih cederung
sebagai kepanjangan tangan (“politik”) pemerintah atas desa dari pada
kepanjangan dari masyarakat desa yang dipimpinnya. Pemberdayaan ekonomi
atau daya saing agribisnis setempat diperkirakan akan mengalami banyak
hambatan jika disandarkan pada inisiatif Kepala Desa.
Dalam periode transisional seperti saat ini, terutama yang menyangkut
penyehatan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, kesenjangan antara visi
politik dan ekonomi sangat mudah terjadi. Dampak pemberian otonomi tadi baru
bisa dirasakan dari segi tatanan politik formal dan penyelenggaraan sistem
pemerintahan. Aspek yang menonjol dirasakan adalah adanya pengalihan sebagian
kewenangan formal pemerintah pusat ke daerah (kabupaten). Persoalannya adalah
apakah dengan modal kewenangan tadi ekonomi atau daya saing agribisnis
masyarakat daerah akan semakin maju atau malah sebaliknya. Jika kewenangan
tadi diikaitkan dengan upaya pemberdayaan (atau kemandirian ekonomi)
masyarakat daerah atau masyarakat pertanian di pedesaan, sebagaimana
dikemukakan Sumodiningrat (1977), maka dampak yang dirasakan dari adanya
otonomi masih jauh dari sasaran. Ekonomi pedesaan yang digerakkan oleh
kegiatan agribisnis yang bernilai tambah relatif rendah masih belum bisa
memanfaatkan peluang otonomi untuk meningkatkan kinerja dan daya saingnya.
Dalam pemberlakuan otonomi ini, terjadinya kesenjangan antara kemauan
politik (“di atas meja”) dan realita ekonomi di lapangan hingga saat ini masih

Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
7
sangat terasa. Sebagaimana layaknya suatu hal baru (“inovasi”), pemberlakuan
otonomi telah menimbulkan reaksi pro dan kontra yang cukup hangat pada
berbagai kalangan di masyarakat daerah. Gejala goncangan mental atau budaya
(“cultural shock”) yang melibatkan berbagai tafrsiran di kalangan aparat
eksekutif, legeslatif, penegak hukum, pelaku ekonomi, peneliti dan para kritisi
tidak bisa dihindarkan. Namun kebanyakan pakar ekonomi, politik dan
pemerintahan, seperti McKenzie and Tullock (1978), Kahin (1985) dan
MacAndrews dan Amal (1995), berpendapat bahwa dalam rangka demokratisasi
politik dan ekonomi (untuk menghargai peran masyarakat daerah secara lebih
wajar), pemberlakuan prinsip otonomi dan desentralisasi penyelenggaraan
pemerintah sulit ditawar lagi.
Pemberlakuan otonomi dan desentralisasi ini tidak harus dipandang
sebagai alternatif dari sentralisasi. Ia dapat dipandang sebagai suatu bagian dari
evolusi keorganisasian ekonomi publik ke arah yang lebih efisien dan sesuai
dengan keragaman situasi dan tuntutan yang wajar (masyarakat) setiap daerah.
Pemberian otonomi dalam kaitannya dengan peningkatan daya saing agribisnis di
pedesaan tidak bisa semata-mata dilihat dari proses pengalihan kewenangan
pemerintahan saja, namun harus dipandang dari perspektif ekonomi politik yang
lebih kompleks. Oleh sebab itu, walaupun otonomi (semula) bisa dikatagorikan
sebagai peubah politik, namun dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi
daerah atau pemberdayaan ekonomi keseluruhan masyarakat pedesaan yang
berbasis kegiatan agribisnis, ia harus dipandang juga sebagai bagian dari input
atau peubah ekonomi.

KECENDERUNGAN PERKEMBANGAN IKLIM USAHA

Seperti disebutkan di muka bahwa otonomi merupakan “modal politik”


yang sangat penting untuk memacu perkembangan perekonomian daerah. Secara
teoritis, pemberian otonomi dapat dipandang sebagai input strategis untuk
memajukan perkonomian daerah, termasuk dalam rangka peningkatan daya saing
agribisnis setempat. Karena dengan otonomi ini daerah memiliki keleluasan untuk
mengakomodasikan dan menkosolidasikan segenap potensi sumberdayanya untuk
meningkatkan kapasitas kerja atau kinerja ekonominya secara menyeluruh. Dari
sudut pandang optimistik, maka seharusnya otonomi akan berdampak bagus pada
perkembangan iklim usaha pertanian setempat. Masalahnya adalah: “apakah
dengan otonomi itu dengan sendirinya iklim usaha pertanian setempat akan
membaik?”
Walaupun sangat penting, namun otonomi tetap harus dipandang bukan
satu-satunya penentu perkembangan iklim usaha. Menurut Pranadji (2001),
perkembangan perekonomian pedesaan juga sangat ditentukan oleh kekuatan
sistem kelembagaan yang menunjangnya. Jika saja otonomi tadi bisa diarahkan
dan difokuskan untuk memperkuat sistem kelembagaan ekonomi yang berbasis

Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 2, Juni 2003 : -

8
kegiatan agribisnis di pedesaan, maka iklim usaha pertanian di Provinsi Lampung
secara keseluruhan secara berangsur-angsur akan berpeluang membaik.
Sebaliknya, jika kekuatan otonomi tadi sekedar diarahkan untuk memenuhi target
mengumpulkan sejumlah dana segar secara cepat, melalui pemungutan retribusi
dan pajak pada pelaku agribisnis, maka jalan untuk mewujudkan iklim usaha yang
sehat tadi menjadi semakin panjang.
Dari hasil pengamatan di lapangan diperoleh kesan bahwa kesadaran
masyarakat pedesaan di Provinsi Lampung untuk membangun organisasi
ekonomi, semacam koperasi, sudah mulai tumbuh. Kesadaran ini semakin besar
sejalan dengan mulai dirasakannya bahwa mereka semakin sulit bisa
menggantungkan nasibnya dengan mengharapkan bantuan dari pemerintah seperti
dulu. Sementara itu, jika mereka harus memilih menggantungkan nasibnya dengan
pengusaha besar yang (kaki tangannya) beroperasi di pedesaan, seperti yang
selama ini mereka alami, mereka juga sangat khawatir bahwa nasibnya akan sulit
bertambah baik. Dengan masuknya siaran televisi di pedesaan membuat mereka
bisa belajar lebih banyak tentang kehidupan yang berlangsung di luar desa,
termasuk di Jakarta. Di kalangan mereka sudah banyak yang beranggapan bahwa
para pejabat dan politisi di pusat juga sedang mengalami kebingungan untuk bisa
memperjuangkan nasibnya sendiri, sehingga sangat kecil peluang mereka untuk
bisa membantu perekonomian masyarakat petani di pedesaan.
Dengan memperhatikan semakin besarnya gairah masyarakat pedesaan,
terutama dari kalangan berumur muda yang memiliki pengetahuan relatif maju,
harapan untuk melihat sistem agribisnis di Provinsi Lampung berkembang ke arah
yang berdaya saing tinggi masih terbuka. Golongan ini telah mengalami proses
pendewasaan secara alamiah, terutama dari segi pematangan tata-nilai ke arah
yang lebih maju. Daya resepsi atau penerimaan mereka terhadap teknologi baru
tidak perlu banyak diragukan. Beberapa kelemahan yang masih terasa dijumpai
pada mereka ini adalah penajaman di bidang “sense of business” yang sehat, cara
pengorganisasian agribisnis yang efisien atau berdaya saing tinggi, penyediaan
jasa permodalan yang sesuai dengan karakteristik sistem agribisnis yang ada di
pedesaan, dan kepemimpinan lokal yang bervisi global. Pendeknya, jika beberapa
kelemahan tadi bisa diatasi dan sistem pengelolaan sumberdaya agribisnis
sebagian besar bisa ditangani sendiri oleh masyarakat pedesaan, maka daya saing
agribisnis setempat bisa ditingkatkan untuk menghadapi persaingan pasar bebas.
Dari gambaran ini bisa ditarik suatu arahan bahwa otonomi daerah bisa
dijadikan faktor penggerak agribisnis yang sangat handal. Adanya banyak kasus
pembuatan peraturan daerah yang saat ini masih terasa sangat kontra produktif,
terutama dikaitkan dengan upaya penyehatan iklim usaha pertanian setempat,
belum bisa dijadikan dasar untuk membuat “vonis mati” bahwa sistem agribisnis
di Provinsi Lampung tidak akan bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Gejala
kontra produktif tadi terjadi, karena tidak semua elemen pelaku agribisnis mau
duduk bersama untuk melakukan semacam “round table” dalam membuat
peraturan daerah yang berkenaan dengan penyehatan iklim usaha pertanian

Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
9
setempat. Adalah sangat wajar, jika pembuatan peraturan daerah secara sepihak
dimonopoli oleh para elit formal lembaga legislatif (DPRD) dan eksekutif
(Pemerintah Daerah: Provinsi dan Kabupaten), tanpa melibatkan pelaku agribisnis
lainnya (terutama petani). Hal itu akan menghasilkan iklim usaha dan kinerja
sistem agribisnis yang tidak efisien atau currupted system.
Kecenderungan perkembangan iklim usaha pertanian di Provinsi
Lampung akan bertambah baik jika mekanisme pembuatan peraturan daerah
dilakukan dengan memperhatikan kepentingan para stake holders setempat, ada
muatan visi ekonomi ke depan yang jelas yang bisa dijadikan dasar pembuatan
peraturan daerah tadi, dan adanya sistem penegakan hukum (law enforcement)
yang kuat untuk menjalankan peraturan yang sudah disepakati. Adapun muatan
visi ekonomi tadi antara lain ditujukan agar perekonomian pedesaan yang berbasis
kegiatan agribisnis bisa berjalan sehat dan semakin memiliki daya saing tinggi
secara berkelanjutan. Dengan visi ini, sistem peraturan daerah yang dibuat antara
lain haruslah dalam rangka menciptakan iklim usaha pertanian yang sehat,
sehingga dengan itu memungkinkan sistem agribisnis di pedesaan bisa tumbuh
dengan sehat pula.
Tetap perlu disadari bahwa terwujudnya iklim usaha pertanian yang sehat
tidak bisa diserahkan begitu saja melalui sistem persaingan bebas. Dalam rangka
mewujudkan kecenderungan ke arah itu perlu ada campur tangan pemerintah
daerah setempat. Beberapa aspek penting yang perlu disertakan dalam rangka
menciptakan kecenderungan terwujudnya iklim usaha pertanian yang sehat, yaitu:
(1) Adanya peraturan yang memungkinkan sistem agribisnis di pedesaan bisa
memperoleh jasa permodalan yang sesuai dengan karakteristik sistem
agribisnis, sehingga perkembangan sistem agribisnis di pedesaan tidak
terkendala oleh pelayanan permodalan.
(2) Adanya peraturan daerah yang memprioritaskan agar invetasi publik,
misalnya: pembangunan jalan atau jaringan listrik, diarahkan pada
pengaktifan sumberdaya agribisnis yang ada di pedesaan.
(3) Adanya peraturan yang membatasi atau melarang praktek monopoli kegiatan
agribisnis, terutama pada sistem kegiatan agribisnis yang melibatkan banyak
pelaku agribisnis di pedesaan.
(4) Peraturan yang ditujukan untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah tidak
dipungut dari jasa angkutan produk agribisnis, melainkan (misalnya) dari
pajak pertambahan nilai.
(5) Adanya peraturan yang memungkinkan organisasi ekonomi pedesaan tumbuh
dan berkembang dengan sehat. Misalnya, produk agribisnis yang keluar dari
desa harus sudah mengalami proses pengolahan atau nilai tambah yang
signifikan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.

Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 2, Juni 2003 : -

10
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa kecenderungan iklim usaha
pertanian di masa datang akan semakin membaik. Hal ini didasarkan pada
pemahaman bahwa, pertama, para pelaku agribisnis yang ada di Provinsi
Lampung masih mempunyai pandangan optimis bahwa sistem agribisnis yang ada
masih bisa diandalkan sebagai andalan ekonomi setempat dalam jangka panjang.
Masih ada semacam kepercayaan bersama (“mutual trust”) antar pelaku
agribisnis, bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja dan daya saing agribisnis,
mereka bersedia bekerjasama untuk memperbaiki iklim usaha ke arah yang lebih
sehat.
Kedua, keterbukaan media massa terhadap praktek semena-mena dalam
pembuatan peraturan daerah dan praktek penyelenggaraan pemerintahan oleh
aparat yang bersifat kontra produktif (terhadap perbaikan iklim usaha) masih bisa
diandalkan. Praktek pembredelan media massa karena (misalnya) mengungkap
keburukan kinerja aparat pemerintah tertentu tidak lagi dianggap lazim. Peran
kontrol publik terhadap praktek kontra produktif yang dilakukan oleh aparat
pemerintah, pelaku bisnis atau penegak hukum semakin bisa dilakukan secara
terbuka. Hal ini memberikan tekanan psikologis agar penyelenggaraan “good
governance” semakin ditegakkan.
Ketiga, wacana yang dikembangkan pemerintah pusat dalam menyehatkan
dan mematangkan pelaksanaan otonomi daerah masih cukup terbuka, dan dalam
banyak hal itu telah menghasilkan proses pemaknaan yang lebih baik dibanding
saat UU No. 22 dan UU No. 25 baru diperkenalkan pada publik. Selain itu
pemerintah pusat juga terbuka terhadap upaya melakukan revisi peraturan atau
perundang-undangan untuk melarang dilakukannya praktek pemungutan (retribusi
atau pajak) uang dengan dalih otonomi daerah yang berdampak pada ekonomi
biaya tinggi. Dengan diberlakukannya PP No. 65 (tentang pajak) dan PP No. 66
(tentang retribusi), Pemerintah Daerah Kabupaten tidak bisa lagi melakukan
pungutan pajak atau retribusi secara semena-mena di daerahnya.
Keempat, dengan keterbukaan pers dan media elektronik memungkinkan
terjadinya proses pemaknaan otonomi secara alamiah dan kreatif ke arah
terbentuknya sistem persaingan yang semakin sehat antar pelaku ekonomi maupun
antar daerah. Hal ini secara tidak langsung bisa dipandang sebagai proses
pembelajaran terhadap semua pihak untuk menerima tuntutan diperlukannya iklim
usaha yang sehat dalam rangka meningkatkan perekonomian Provinsi Lampung
yang berbasis pada kegiatan agribisnis. Kondisi ini akan semakin memudahkan
terwujudnya iklim usaha yang sehat.
Kelima, terdapat gejala bahwa “organisasi” atau kelompok sosial dan
ekonomi semakin banyak bermunculan, termasuk yang mampu menjangkau
kegiatan masyarakat di pedesaan. Ini memberikan makna bahwa kesadaran
masyarakat untuk melakukan kegiatan secara terorganisir semakin tinggi.
Sekaligus hal ini bisa dipandang juga sebagai bagian dari penguatan kesadaran
kolektif masyarakat untuk melakukan pengawasan dan penekanan ke arah
terselenggaranya penyelenggaraan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan sehat di
wilayah setempat. Pada gilirannya hal ini akan semakin mendorong setiap

Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
11
lembaga atau pelaku ekonomi untuk menunjukkan kinerja ekonominya dalam
iklim persaingan yang lebih sehat.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

(1) Pemberian otonomi pada daerah yang didasarkan pada UU No. 22 Tahun
1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 secara konsepsional bisa dipandang sebagai
langkah strategis untuk mendongkrak kreativitas daerah dalam menyiasati
pengembangan daya saing atau kinerja ekonomi masyarakat pedesaan yang
berbasis agribisnis. Otonomi, yang seharusnya dinilai sebagai “modal politik”
dan akan berimplikasi strategis terhadap perkembangan ekonomi pedesaan,
bagi aparat pemerintah setempat terkesan masih seperti “benda asing” yang
tiba-tiba jatuh dari langit. Hal ini sudah barang tentu bisa menimbulkan gejala
guncangan budaya (“cultural shock”) yang cukup serius pada sistem
penyelenggaraan pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten. Dalam
jangka pendek, jika pemberian otonomi tidak diikuti dengan langkah lanjutan
yang bersifat konstruktif dari pemerintah pusat maupun daerah, maka
implikasinya terhadap perkembangan ekonomi (pedesaan) setempat (yang
berbasis pada kegiatan agribisnis) belum bisa diramalkan secara jelas.
(2) Hingga kini dampak pemberian otonomi pada daerah belum sepenuhnya bisa
ditransmisikan sebagai kekuatan pemberdaya ekonomi atau penggerak
abribisnis setempat. Golongan yang relatif bisa mengambil manfaat dari
adanya otonomi ini adalah aparat pemerintah (termasuk aparat legeslatif
tingkat kabupaten dan provinsi) atas desa dan pelaku agribisnis berkapital
besar di perkotaan. Kinerja pelaku agribisnis di pedesaan, yang sebagian besar
adalah petani dan pelaku agribisnis trampil bermodal lemah, belum meningkat
secara berarti sejalan dengan pemberian otonomi daerah. Bagi kedua golongan
pelaku agribisnis di pedesaan belum bisa memanfaatkan otonomi sebagai
“obat kuat” untuk meningkatkan daya saing sistem agribisnisnya.
(3) Berbagai pungutan di jalan raya, terutama berupa retribusi dan pajak, pada
rentang waktu setahun terakhir ini cukup menimbulkan masalah kejengkelan
pada para pelaku agribisnis di pedesaan. Berbagai pungutan ini lebih
dirasakan sebagai beban biaya produksi tambahan dan menimbulkan
penurunan efisiensi pada sub-sistem agribisnis di pedesaan. Selain itu, hasil
pungutan tadi ternyata juga tidak secara jelas dialokasikan untuk perbaikan
perekonomian pedesaan, misalnya berupa prasarana ekonomi di pedesaan.
Bahkan bagi aparat pemerintah, hal itu lebih dipandang sebagai peluang untuk
dijadikan instrumen legal untuk mengejar “setoran” dalam rangka
meningkatkan PAD dari pada sebagai peluang untuk pengembangan ekonomi
daerah dalam arti yang sesungguhnya. Gejala disinsentif atau kontra produktif
ini lebih dirasakan oleh pelaku agribisnis di pedesaan, dan relatif kurang bagi
pelaku agribinsis di perkotaan yang berjumlah relatif sedikit.

Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 2, Juni 2003 : -

12
(4) Salah satu kelemahan besar dari pemberlakuan otonomi tadi adalah kurang
dilibatkannya para pelaku agribisnis di pedesaan, kritisi dari LSM dan
perguruan tinggi setempat, organisasi sosial dan para pengadvokasi sukarela
untuk ekonomi pedesaan dalam pembuatan peraturan daerah. Pembuatan
peraturan daerah, yang berkaitan dengan otonomi tadi, umumnya masih
cenderung didasarkan pada visi dan kepentingan aparat eksekutif dan
legeslatif formal setempat dalam jangka pendek dan bersifat lokalistik.
Walaupun demikian, baik di tingkat pusat maupun daerah (provinsi dan
kabupaten) proses pemaknaan otonomi daerah masih terus berlanjut.
Kesadaran banyak pihak, misalnya: kritisi dari perguruan tinggi setempat,
LSM, organisasi sosial dan pengadvokasi sukarela; masih memberikan
harapan optimistik bahwa gambaran masa depan otonomi bagi pengembangan
daya saing ekonomi setempat masih bisa diperbaiki.
(5) Energi otonomi perlu lebih diarahkan untuk pembuatan peraturan daerah yang
berimplikasi langsung terhadap penggairahan pelaku agribisnis di pedesaan.
Untuk itu, ada beberapa langkah yang perlu ditempuh, yaitu:
a. Sebelum berbagai peraturan tentang pungutan terhadap produk agribisnis
dijalankan perlu memperoleh persetujuan dan pemaknaan dari berbagai
kalangan yang berkepentingan terhadap perekonomian pedesaan, terutama
dari pelaku agribisnisnya. Dalam sistem peraturan daerah, hendaknya
pelaku agribisnis di pedesaan jangan hanya diposisikan sebagai “price
taker” atau konsumen peraturan. Dalam sistem ekonomi kerakyatan,
mereka ini harus dipandang sebagai “pemegang saham utama” sistem
agribisnis dan ekonomi daerah. Peran mereka dalam pembuatan atau
pengesahan sistem peraturan daerah haruslah diperhitungkan.
b. Berbagai pungutan yang bertujuan untuk peningkatan PAD sepertinya
sulit dihindari. Namun demikian pungutan tadi hendaknya dibingkai
dengan konsep dan visi yang mempunyai implikasi jelas terhadap
peningkatan daya saing agribisnis di pedesaan. Hendaknya sistem
agribisnis di pedesaan perlu dipandang sebagai halnya seekor “angsa
bertelur emas” yang masih kecil dan rawan gangguan penyakit. Saat ini
angsa tadi masih sangat memerlukan pendewasaan dan pemeliharaan yang
hati-hati. Penarikan pungutan yang semena-mena akan membuat angsa
tadi semacam mengalami “blooding” yang bisa menyebabkannya invalid
dan tidak pernah siap bertelur.
c. Fokus peraturan daerah hendaknya yang memprioritaskan pada
penggalakan investasi publik (seperti pembuatan jalan dan kelancaran
sistem angkutan, sarana telekomunikasi, jaringan listrik dan irigasi) di
pedesaan, penguatan lembaga jasa keuangan dan permodalan di pedesaan,
pembatasan praktek monopoli yang berlebihan, dan penumbuhan
keorganisasian ekonomi yang berintikan semangat dan naluri ekonomi
pelaku-pelaku agribisnis di pedesaan.

Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
13
d. Di tingkat nasional perlu adanya semacam sistem peraturan atau
perundang-undangan yang bisa memandu hubungan ekonomi antar daerah
agar tidak mengarah pada pola persaingan yang saling mematikan atau
menuju pada kematian bersama. Sebagai gambaran, masing-masing
daerah hendaknya tidak saling memungut pajak atau retribusi produk-
produk agribisnis di daerah tetangganya yang bisa menyebabkan biaya
ekonomi tinggi. Selain itu, sumberdaya umum, seperti air, hendaknya
jangan dijadikan sebagai obyek perolehan pendapatan langsung daerah.
e. Di tingkat nasional perlu ada semacam konsep pembangunan ekonomi
dan agribisnis di pedesaan yang lebih jelas dan dijalankan secara
sistematik. Sebagai gambaran, penerjemahan dan implementasi Pasal 33
UUD 1945 tentang keorganisasian ekonomi, sumber dan kegiatan
ekonomi untuk orang banyak dan penggunaan kekayaan alam untuk
kemakmuran rakyat perlu dirumuskan lebih jelas. Pelaksanaan otonomi
daerah ini mempunyai keterkaitan organik dengan Pasal 33 UUD 1945.
Kemungkinan besar amandemen terhadap UUD 1945 tidak banyak
menyentuh substansi Pasal 33 UUD 1945 ini.
f. Di tingkat nasional perlu dirumuskan juga sistem penataan keagrariaan
baru yang lebih menjamin kelangsungan ekonomi pertanian dan pedesaan
menjadi salah satu pilar penting perekonomian nasional. Hambatan dalam
peningkatan daya saing agribisnis di pedesaan hampir dipastikan terkait
erat dengan sistem keagrariaan atau pertanahan pertanian yang selama ini
kurang kondusif dan kurang ditangani secara kritis. Saat ini, penataan
keagrariaan masih belum bisa diserahkan sepenuhnya pada daerah. Oleh
sebab itu, penataan keagrariaan tingkat nasional ini merupakan langkah
awal yang penting untuk melangkah ke arah pemberian otonomi daerah
dalam peningkatan daya saing agribisnisnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2001. Produk-Produk Perda Kota Bandar Lampung 2000-2001. Harian


Lampung Pos, 18 November 2001.
Hidayat, S. 2001. Desentralisasi, Negara Kesatuan, dan Semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Harian Media Indonesia, 10 Desember 2001, hal. 42.
Kahin, A.R. 1985. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan. P.T. Pustaka Utama
Grafiti. Jakarta.
Koeswara, E. 2000. Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 22
Tahun 1999: Suatu Telaah Menyangkut Kebijakan, Pelaksanaan dan
Kompleksitasnya. Analisis CSIS, XXIX(1):36-53. CIS. Jakarta.
McKenzie, R.B. and G. Tullock. 1978. Modern Political Economy: An Introduction to
Economics. McGraw-Hill Kogakusha, Ltd. Tokyo.

Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 No. 2, Juni 2003 : -

14
MacAndrews, C dan I. Amal. 1995. Hubungan Pusat-Daerah Dalam Pembangunan.
Manajemen P.T. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Nugroho, I. 2000. Pengembangan Ekonomi Pedesaan Menyongsong Otonomi Daerah.
Analisis CSIS, XXIX(1):102-114. CSIS. Jakarta.
Pranadji, T. 2001. Penguatan Lembaga Pedesaan Sebagai Penggerak Ekonomi Pedesaan.
Makalah PENAS X-Agribisnis 2001: Pertemuan Kelompok dan Kontak Tani-
Nelayan Andalan, 22 Oktober 2001. Tasikmalaya.
Rasyid, M.R. 2001. Kegagalan Memahamai Otonomi Daerah. Harian Media Indonesia,
Senin,10 Desember 2001, hal. 41.
Sumodiningrat, S. 1997. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. P.T. Bina
Rena Pariwara. Jakarta.
Widjaja, A.W. 1996. Pemerintahan Desa dan Administrasi Desa Menurut Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 (Sebuah Tinjauan). Manajemen P.T. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.

Otonomi Daerah dan Daya Saing Agribisnis : Pelajaran dari Provinsi Lampung Tri Pranadji
15
R
E
VI
E
W
J
U
R
N
A
L
M
A
T
E
RI
B
A
B
1
4

Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Pisang


Judul
Melalui Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal

Jurnal Jurnal Teknik Industri


Volume dan
Volume 11 (2), Halaman 170-177.
Halaman
Tahun 2012

Penulis Moch Agus Krisno Budiyanto

Reviewer Muh. Fitrah Ramadhan

Tanggal 22 Maret 2020

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menemukan “Model


Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Pisang dengan
Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal”.
Subjek Penelitian Subjek Penelitian: Subyek penelitian adalah Badan Perencana
Pembangunan dan Pengembangan Kabupaten, Dinas Pertanian,
Petani, Tokoh Masyarakat, Kelompok Tani di Kabupaten
Lumajang,Malang, dan Blitar.
Metode Penelitian
deskriptif kualitatif.
Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: 1) Terdapat
keragaman profil produksi pisang, distribusi, konsumsi, dan
peran kearifan lokal di Kabupaten Lumajang, Malang, dan
Blitar, 2) Optimalisasi peran kearifan lokal dapat dijadikan
fokus utama dalam upaya mengembangkan ketahanan pangan
berbasis pisang, dan 3) Beberapa komponen penting dan
strategis dalam model pengembangan ketahanan pangan
berbasis pisang melalui revitalisasi nilai kearifan lokal dan
penguatan kelembagaan kelompok tani adalah: a) kearifan
lokal (penguatan penggunaan bahan pangan berbasis lokal,
peran perempuan, peran tokoh masyarakat/agama, gotong
royong, guyub rukun, desa mandiri pangan, pertanian ramah
lingkungan., pertanian multikultur, dan perencanaan berbasis
masyarakat), c) peran BPTP, BBMP, DUDI (pengembangan
pilot projecting, permodalan, pendampingan, dan penguatan
sistem produksi-distribusi-pemasaran-konsumsi).
Kelebihan Pisang dapat diusahakan pada berbagai type agroekosistem
yang tersebar di seluruh nusantara, 2) permintaan pasar cukup
besar dan produksinya tersedia merata sepanjang tahun, 3)
memiliki bermacam varietas dengan berbagai kecocokan
penggunaan, 4) usahatani pisang mampu memberikan hasil
waktu yang relatif singkat (1–2 tahun) dan 5) disamping itu
juga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan dan
konservasi lahan karena tanaman pisang sangat baik dalam
menahan air.
Kelemahan
a) sentra produksi pisang yang bersifat terpencar (spot)
dengan skala usaha yang tidak ekonomis menyebabkan
perdagangan pisang kurang berkembang dengan baik, b)
tingkat produksi dan produktivitas masih rendah. Hal ini
antara lain dikarenakan: petani pada umumnya belum
menerapkan praktek budidaya yang baik. Sarana pengairan
umumnya belum tersedia, dan serangan penyakit layu masih
relatif tinggi, c) mutu produk yang dihasilkan pada umumnya
sebagian besar masih kurang baik, hal ini dikarenakan: petani
pada umumnya belum menerapkan pemeliharaan buah dan
teknologi pasca panen yang baik dan benar (pembrongsongan
buah, cara pemetikan yang benar, sortasi dan pencucian), dan
keterbatasan modal petani sehingga memanen buah belum
mencapai tingkat kematangan optimal, d) kelompok tani yang
ada belum berfungsi dengan baik dalam mengelola kawasan
kebun, e) dalam pemasaran, petani sangat sulit mendapatkan
informasi pasar, baik jenis, jumlah dan waktunya, sehingga
pada saat panen raya, harga pisang ditingkat petani jatuh, f)
teknologi pengolahan belum tersosialisasikan sepenuhnya di
lapang serta keterbatasan sarana pengolahan, dan g) beras
sebagai bahan pangan pokok telah membudaya sehingga
untuk beralih ke buah pisang sebagai sumber karbohidrat
perlu waktu.
Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis
Pisang Melalui Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal

Moch. Agus Krisno Budiyanto


Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

E-mail: aguskrisno@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan “Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Pisang
dengan Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal”. Model ini dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan
kebijakan publik dan upaya edukasi dan advokasi publik dalam bidang pangan untuk mendorong terwujudnya
ketahanan pangan nasional. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan desain penelitian deskriptif kualitatif. Subyek penelitian adalah Badan Perencana
Pembangunan dan Pengembangan Kabupaten, Dinas Pertanian, Petani, Tokoh Masyarakat, Kelompok Tani di
Kabupaten Lumajang,Malang, dan Blitar. Teknik sampling yang digunakan adalah Snowball sampling. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah Dokumentasi, wawancara mendalam, observasi peran serta, dan
Focus Group Dicussion (FGD). Data penelitian yang diperoleh dianalisis dengan analisis kualitatif (Content
Analysis, dan Domain Analysis). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: 1) Terdapat keragaman profil
produksi pisang, distribusi, konsumsi, dan peran kearifan lokal di Kabupaten Lumajang, Malang, dan Blitar, 2)
Optimalisasi peran kearifan lokal dapat dijadikan fokus utama dalam upaya mengembangkan ketahanan
pangan berbasis pisang, dan 3) Beberapa komponen penting dan strategis dalam model pengembangan
ketahanan pangan berbasis pisang melalui revitalisasi nilai kearifan lokal dan penguatan kelembagaan
kelompok tani adalah: a) kearifan lokal (penguatan penggunaan bahan pangan berbasis lokal, peran
perempuan, peran tokoh masyarakat/agama, gotong royong, guyub rukun, desa mandiri pangan, pertanian
ramah lingkungan., pertanian multikultur, dan perencanaan berbasis masyarakat), c) peran BPTP, BBMP, DUDI
(pengembangan pilot projecting, permodalan, pendampingan, dan penguatan sistem produksi-distribusi-
pemasaran-konsumsi).

Kata kunci: pengembangan ketahanan pangan, nilai kebijakan lokal, institusi grup petani

Abstract
This research aims to find” Food Endurance Development Model Based on Banana with Revitalisation Local
Wisdom Value Reinforcement” . This model serve the purpose of basis for formulate public policy and education
efforts and advocation public in the field of food to push national food endurance. Approach research that used in this
qualitative research with qualitative descriptive design. Subject research is bapeda, development, agriculture official,
farmer, elite figure, farmer group at regency Lumajang, Malang, and Blitar. Technique sampling that used snowball
sampling. Data collecting method that used documentation, indepth interview, observation participatory, and limited
discussion. Research data that got to analyzed with qualitative analysis (content analysis, and domain analysis).
Based on research result inferential: 1) found banana production profile unity, distribution, consumption, and local
wisdom character at regency Lumajang, Malang, and Blitar,
5. local wisdom character can be made principal focus in the effort develop food endurance based on banana,
and 3) several important components and strategic of food endurance development model based on banana:
a) local wisdom (foodstuff use reinforcement based on local, woman character, society/religion figure
character, food self-supporting village, environment friendly agriculture, agriculture multiculture, and planning
based on society), b) local government character (wisdom development prima tani, pilot projecting,
capitalization, assistance, and tool of productions-distributions-marketing-consumption), and c) and character
BPTP, BBMP, DUDI (pilot development projecting, capitalization, assistance, and system reinforcement
productions-distributions-marketing-consumption).

Key word: food endurance development models, local wisdom value, farmer group institutions

PENDAHULUAN cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi,


Ketahanan pangan mempunyai peran dan beragam dengan harga yang terjangkau
strategis dalam pembangunan nasional. Untuk oleh daya beli masyarakat (UU No.7/1996
memenuhi hal tersebut diperlukan ketersediaan tentang Pangan), yang diutamakan berasal dari
pangan yang kemampuan sektor
170
pertanian domestik dalam menyediakan cukup luas di Kalimantan, Papua, kepulauan
bahan makanan yang dibutuhkan oleh Maluku,
masyarakat (PP No.68/2002 tentang
Ketahanan Pangan).
Menurut Dewan Riset Nasional (2006)
Permasalahan pangan yang dihadapi baik
secara global, nasional, maupun lokal dapat
dipilah menjadi masalah produksi, distribusi,
dan konsumsi. Disisi lain, Pisang merupakan
tanaman yang banyak ditanam baik sebagai
komoditi komersial maupun komoditi rumah
tangga untuk dikonsumsi sendiri. Tanaman
pisang merupakan salah satu penghasil buah
dengan luasan areal paling luas di Indonesia
dibandingkan dengan tanaman buah lain.
Tanaman pisang dapat ditemukan dihampir
seluruh pelosok tanah air sehingga sangat
potensial digunakan sebagai salah satu pilar
peningkatan ketahanan pangan.
Terwujudnya kemandirian pangan, antara lain
ditandai oleh indikator: (a) mantapnya
ketersediaan pangan nasional, yang dicerminkan
oleh impor pangan utama di bawah 10 persen dari
kebutuhan pangan nasional, (b) menurunnya
tingkat kerawanan pangan yang dicirikan oleh
pengurangan jumlah penduduk setengahnya, yang
mempunyai tingkat konsumsi pangan energi
kurang dari 70 persen dari AKG (angka kecukupan
gizi), (c) terpenuhinya kebutuhan pangan tingkat
rumah tangga, yang direpresentasikan oleh
konsumsi energi sebesar 2.000 kkal/kap/hari dan
konsumsi protein 52 gram/kap/hari, (d)
meningkatnya keanekaragaman konsumsi
pangan, dan menurunnya ketergantungan
pada`satu jenis pangan tertentu pada`tingkat
rumah tangga (Deptan RI, 2006). Ketahanan
pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang
terdiri atas tiga subsistem, yaitu : (a) ketersediaan
pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk
seluruh penduduk,
1. distribusi pangan yang lancar dan merata,
dan
2. konsumsi pangan setiap individu yang
memenuhi kecukupan gizi dan kaidah
kesehatan (Deptan RI, 2006).
Di sisi lain relatif besarnya volume produksi
nasional dan luas panen dibandingkan dengan
komoditas buah lainnya, menjadikan buah pisang
merupakan tanaman unggulan di Indonesia.
Namun demikian pengelolaan pisang masih
sebatas tanaman pekarangan atau perkebunan
rakyat yang kurang dikelola secara intensif.
Penanaman pisang berskala besar telah dilakukan
di beberapa tempat antara lain di pulau
Halmahera (Maluku Utara), Lampung, Mojokerto
(Jawa Timur), dan beberapa tempat lainnya,
sehingga Indonesia mempunyai peluang yang
cukup besar untuk meningkatkan buah pisang
sebagai salah satu komoditas ketahanan pangan.
Hal ini ditunjang dengan ketersediaan lahan yang
Sulawesi dan Sumatera; iklim yang atau berupa upaya edukasi publik agar dapat
mendukung; keragaman varietas yang cukup memahami dengan benar tentang aspek pangan
tinggi; sumber daya manusia serta inovasi tertentu. Solusi teknologi dijabarkan dalam bentuk
teknologi untuk pengelolaan tanaman pisang langkah operasional berupa aktivitas riset yang
(BPPPD Deptan, 2006, Arianti NK, 2006). relevan dan terarah untuk menjawab
Menurut Purba (2006), Cahyono (1996), permasalahan-permasalahan pangan yang sedang
Supriyanto (1993), sentra produksi pisang di dihadapi. Hasil riset pangan selayaknya pula
Indonesia seperti, propinsi Jawa Barat, Jawa digunakan sebagai acuan untuk penyusunan
Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat, kebijakan publik dan/atau digunakan sebagai basis
Jambi, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, dan pengetahuan untuk mendukung kegiatan edukasi
NTB. Bebagai jenis pisang kita jumpai seperti: publik.
Pisang raja, Pisang barangan, Pisang jambe, Dalam upaya merumuskan kebijakan
Pisang raja sere, Pisang kapok, Pisang Bali, publik, upaya edukasi dan advokasi publik
Pisang mas, Pisang lampung dan sebagainya. dan strategi peningkatan ketahanan pangan
Untuk Ekspor pisang Indonesia keluar negeri berbasis pangan alternatif penganti beras
dari tahun 1999 sudah mencapai 77.472,68 ton sebagai dasar untuk mendorong terwujudnya
dengan nilai US$14.073.670. Pada tahun 2000 ketahanan pangan nasional, maka diperlukan
volume ekspor menurun, dan meningkat lagi penemuan Model Pengembangan Ketahanan
(sedangkan volume ekspor mengalami Pangan Berbasis Pisang dengan Revitalisasi
peningkatan) pada tahun 2002 sebesar 512,27 Nilai Kearifan Lokal dan Penguatan
ton senilai US$ 979.730. Potensi ekspor buah Kelembagaan Kelompok Tani.
pisang dapat digunakan sebagai indikator
kuantitas pisang sebagai salah satu komoditas METODE
ketahanan pangan nasional. Pendekatan penelitian yang digunakan
Menurut Dewan Riset Nasional (2006) dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif
Berdasarkan permasalahan pangan yang dapat dengan desain penelitian Fenomenologi.
diidentifikasi, alternatif solusinya tidak selalu Subyek penelitian adalah Dinas Pertanian,
berupa solusi teknologi, beberapa permasalahan Petani, Tokoh Masyarakat,
tersebut lebih membutuhkan solusi non-teknologi,
baik berupa kebijakan publik yang mendukung

Budiyanto: Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Pisang 171


Kelompok Tani di Kabupaten Lumajang, Malang, selanjutnya akan disajikan bentuk tabulasi
dan Blitar Propinsi Jawa timur. Teknik sampling silang dan narasi dari fenomena.
yang digunakan adalah Snowball sampling. Fokus
yang diteliti dalam penelitian tahun pertama ini HASIL DAN PEMBAHASAN
adalah:
Beberapa komponen penting dan strategis
1) analisis produksi, distribusi, konsumsi, dalam model pengembangan ketahanan pangan
produk pisang, dan peran kearifan lokal, 2) berbasis pisang melalui revitalisasi nilai kearifan
analisis kebijakan pengembangan ketahanan lokal dan penguatan kelembagaan kelompok tani
pangan berbasis pisang, dan 3) penyusunan adalah: 1) kearifan lokal (penguatan penggunaan
draft model pengembangan ketahanan pangan bahan pangan berbasis lokal, peran perempuan,
berbasis pisang. peran tokoh masyarakat/agama, gotong royong,
Metode pengumpulan data yang digunakan guyub rukun, desa mandiri pangan, pertanian
adalah Dokumentasi, wawancara mendalam, ramah lingkungan., pertanian multikultur, dan
observasi peran serta, dan Focus Group perencanaan berbasis masyarakat), 2) kelompok
Dicussion (FGD). Data penelitian yang diperoleh tani (penguatan managerial kelompok,
dianalisis dengan analisis kualitatif (Content peningkatan knowledge-skills, penguasaan sistem
Analysis, dan Domain Analysis). Analisis isi produksi-distribusi-pemasaran-konsumsi, pusat
adalah suatu teknik yang sistematik untuk informasi petani, pengembangan supproting
menganalisis makna pesan dan cara system (hardware, software, brainware, fun,
mengungkapkan pesan. Langkah yang networking), 3) pemerintah daerah
dilakukan pada analisis isi dalam penelitian ini (pengembangan kebijakan prima tani, pilot
menggunakan interactive model dari Miles dan projecting, permodalan, pendampingan, dan
Huberman (Miles & Huberman, 1994). Model ini sarana prasana produksi-distribusi-pemasaran-
mengandung 4 komponen yang saling konsumsi),
berkaitan, yaitu (1) pengumpulan data, (2) 4) BPTP, BBMP, DUDI (pengembangan pilot projecting,
penyederhanaan atau reduksi data, (3) permodalan, pendampingan, dan penguatan sistem
penyajian data, (4) penarikan dan pengujian produksi-distribusi-pemasaran-konsumsi) 5) produksi
atau verifikasi simpulan. Hasil dari analisis (pemantauan jumlah, kinerja petani, pertanian
organik ramah lingkungan, ketersediaan lahan,
kualitas lahan, permodalan, sentra produksi, teknik penelitian), 6) distribusi dan pemasaran (akses
pembibitan, diversikasi produk, diversifikasi olahan, jalan, sarana angkutan, jaringan transportasi,
penerapan SPO, TTG, pendampingan, investor, dan pasar pisang, selisih harga jual, corporate farming,
pemantauan kebutuhan, daya beli masyarakat,
pendampingan, investor, penelitian), dan 7)
konsumsi (pola konsumsi, makanan utama,
diversifikasi olahan, ”gerakan tiada hari tanpa
pisang”, ”menu utama aktivitas birokrasi dan
masyarakat”, pendampingan, agroindustri,
eksportir, dan penelitian).
Dari tujuh komponen penting dan strategis
dalam pengembangan ketahanan pangan berbasis
pisang melalui revitalisasi nilai kearifan lokal dan
penguatan kelembagaan kelompok tani tersebut
yang menjadi lokomotif pengembangan adalah
kearifan lokal dan kelembagaan kelompok tani,
untuk kedua komponen ini harus dikembangan
(dengan stimulasi dari pemda, dinas pertanian,
DUDI, dan lain-lain) sehingga berdampak kepada
komponen lainnya.
Penguatan peran kearifan lokal dalam
pengembangan ketahanan pangan berbasis
pisang dapat dilakukan dengan tiga cara,
yaitu:
1) melestarikan budaya pemanfaatan pisang
dalam even-even budaya dan tradisi, seperti
untuk acara kemantenan. Menurut Priyanto
(2007), lestarinya ternak di daerah Sumba
karena ternak tersebut digunakan dalam even-
even budaya dan tradisi. Peran ternak di Sumba
sangat penting kaitannya dengan adat istiadat
di Pulau Sumba sebagai ”Belis” (Emas Kawin)
pihak calon pengantin pria yang mencapai 20–
40 ekor ternak sebagai persembahan
meminang calon pengantin wanita. Maka dari
itu keberadaan ternak sangat dipertahankan
masyarakat. Dengan memanfaatkan
momentum ”kearifan lokal dan adat istiadat”
tersebut membuka luas pola pengembangan
ternak dengan segala konsekuensi berbasis
sumberdaya lokal yang ada, 2) pengembangan
kearifan lokal melalui penguatan peran dan
fungsi kelompok tani.
Menurut Priyanto (2007), pembinaan
kelembagaan kelompok tani dapat difokuskan
dalam mengaktifkan peran dan fungsi kelompok
tani, yang diarahkan pada kegiatan ”gotong
royong” yang merupakan keraifan lokal dalam
pengolahan lahan persiapan musim hujan yang
sifatnya serentak. Hal ini tersebut dilakukan
karena banyak lahan petani yang belum bisa
tergarap secara serenta, 3) mengembangkan
manajemen produksi pengolahan skala rumah
tangga dengan optimalisasi peran perempuan.
Menurut Kumoro (2009) pengolahan pisang
dapat dilakukan terhadap: a). buah pisang segar
yang belum masak; b). jenis pisang tertentu yang
harga jualnya tergolong rendah; c). buah pisang
yang kualitasnya menurun karena telah
mengalami perubahan kualitas. Buah pisang yang
belum masak dapat diolah menjadi keripik pisang. Dalam memotong/mengiris

172 Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No. 2, Agustus 2010: 170–
177
pisang untuk keripik, diperoleh sisa potongan Nuryanti (2005) model cooperative farming
kecil. Sisa ini dapat dikeringkan, kemudian merupakan model pemberdayaan petani
dihancurkan menjadi tepung pisang. Buah melalui kelompok dengan melakukan rekayasa
pisang yang harga jualnya rendah dapat juga sosial, ekonomi, teknologi,
dibuat tepung pisang. Tepung pisang ini dapat
diolah menjadi tempani, kue kering atau bubur
untuk bayi.
Sedangkan pisang yang kelewat masak,
biasanya menurun nilai jualnya, dapat dibuat
poding pisang atau dodol pisang. Produk
olahan yang diperoleh diharapkan dapat
meningkatkan nilai jual dan pendapatan
petani selaku produsen produk olahan
pisang.
Dalam mengembangkan industri pengolahan
pisang skala rumah perlu dibina ibu-ibu, isteri para
anggota kelompok tani, yang bergabung dalam
Kelompok Wanita Tani (KWT). Dalam rangka
pengembangan agribisnis pisang, dapat
disarankan: a) lembaga produksi bibit pisang perlu
dikembangkan guna memenuhi kebutuhan akan
bibit pisang bagi petani sekitarnya dan petani lain
yang membutuhkannya, b) model pengelolaan
kebun sehat harus selalu menjadi pedoman bagi
petani yang berusahatani pisang di kebunnya, c)
lembaga pemasaran yang ada diharapkan dapat
bekerja sebaik mungkin, agar usahanya dapat
berjalan dengan baik dan ditingkatkan peran dan
kinerjanya guna membantu petani dalam
meningkatkan pendapatannya, d) lembaga
pengolahan hasil yang dikelola kelompok wanita
tani hendaknya perlu ditingkatkan kinerjanya,
agar produk olahan pisang dapat lebih dikenal
masyarakat pada umumnya,
e) mengingat potensi pengembangan pisang
yang cukup besar, sudah selayaknya pihak-
pihak yang berkompeten memfasilitasi dan
mengembangkan usaha yang telah
dilaksanakan kelompoktani. Pada saatnya
nanti pengembangan usaha agribisnis pisang
di daerah memerlukan mitra yang
diharapkan dapat memfasilitasi penyediaan
sarana produksi, modal dan pemasaran buah
pisang segar dan produk olahannya.
Dsisi lain penguatan peran kelembagaan
Kelompok Tani dalam pengembangan ketahanan
pangan berbasis pisang dapat dilakukan dengan
delapan cara. Pertama, pelibatan kelompok tani
secara aktif dan terus menerus dalam
pembangunan agropolitan. Menurut Anugrah
(2003), agropolitan harus mengakomodasi dua hal
utama, yaitu menetapkan sektor pertanian
sebagai sumber pertumbuhan ekonomi utama dan
diberlakukannya ketentuan-ketentuan mengenai
otonomi daerah.
Kedua, pengembangan kelompok tani
melalui model Cooperative Farming, Menurut
dan nilai tambah. Rekayasa sosial dapat berbasis komunitas petani. Menurut Hendayana
dilakukan dengan penguatan kelembagaan (2008) percepatan adopsi inovasi memerlukan
tani, penyuluhan, dan pengembangan SDM. fasilitas permodalan usaha tani yang bisa diakses
Rekayasa ekonomi dilakukan dengan oleh petani dengan mudah. Hingga saat ini
pengembangan akses permodalan untuk permodalan masih dianggap menjadi kendalanya.
pengadaan saprodi (sarana prasarana Di sisi lain untuk mendapatkan modal dengan
produksi) dan akses pasar. mengandalkan lembaga keuangan formal yang
Ketiga, pengembangan kelompok tani ada, terkendala persyaratan administrasi yang
melalui model prima tani. Menurut Adimihardja tidak dapat memenuhinya sehingga peluangnya
(2006) program Prima Tani (Program Rintisan kecil. Satu-satunya sumber keuangan yang dapat
Inovasi Teknologi Pertanian), merupakan suatu diandalkan adalah lembaga jasa keuangan atau
konsep baru pembangunan pertanian yang lembaga keuangan mikro (LKM) yang dikelola
bersifat “bottom up” guna mempercepat petani. Namun keberadaan LKM di lapangan masih
pemasyarakatan inovasi pertanian. terbatas jumlahnya. Mungkinkah petani masih bisa
Pendekatannya adalah mengoptimalkan membangun LKM yang berbasis komunitas petani.
pendayagunaan potensi desa secara LKM adalah kelembagaan usaha yang mengelola
partisipatif, bukan komando ataupun “top jasa keuangan untuk membiayai usaha skala
down”. mikro baik berbentuk formal maupun non formal
Keempat, pengembangan kelompok tani yang diprakarsai oleh masyarakat atau
melalui alih teknologi. Menurut Rafieq (2003), pemerintah. Terdapat 7 (tujuh) prinsip yang harus
petani dengan pengetahuan lokalnya telah dijadikan acuan ketika akan membangun LKM
menemukan teknologi sederhana. Inovasi pertanian, yaitu: Pertama, memenuhi prinsip
teknologi bisa dikembangkan dari teknologi kebutuhan, artinya LKM pertanian hanya perlu
sederhana yang dihasilkan petani. Kelima, ditumbuhkembangkan di lokasi potensial yang
pengembangan kelompok tani melalui petaninya memerlukan dukungan fasilitasi
penyuluhan. Menurut Warsana (2008), kegiatan permodalan, dan belum ada lembaga jasa
penyuluhan tujuan akhirnya adalah menumbuhkan pelayanan keuangan di lokasi itu. Dengan
ketangguhan petani sebagai pelaku utama dalam demikian LKM akan memberikan manfaat yang
pembangunan pertanian. lebih besar bagi masyarakat setempat. Prinsip
kedua adalah harus fleksibel, dalam arti LKM yang
Keenam, pengembangan kelompok tani
melalui membangun lembaga keuangan mikro

Budiyanto: Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Pisang 173


ditumbuhkembangkan harus disesuaikan dengan kegiatan. Prinsip yang terakhir adalah
kondisi dan budaya setempat. Ketiga, harus keberlanjutan. Penekanan keberlanjutan adalah
bersifat partisipatif. Penumbuhan LKM harus pada kemampuan organisasi LKM untuk tetap
melibatkan para petani di lingkungan setempat, terus berjalan, meskipun sudah tidak ada campur
sehingga selain dapat mengakomodasi aspirasi tangan lembaga atau aparat pemerintah dan
petani, pengembangan yang dibangun secara swasta yang mendukungnya. LKM harus
partisipatif akan mampu membangun rasa berorientasi pada tujuh fungsional menuju ke arah
kepedulian dan kepemilikan serta proses melalui peningkatan perbaikan derajat kesejahteraan
bekerja bersama. Prinsip keempat adalah sosial seluruh anggota masyarakat petani
akomodatif. Dalam hal ini LKM harus (Hendayana, 2008).
mengedepankan pemenuhan kebutuhan nasabah.
Persyaratan untuk akses ke LKM disusun Operasionalisasi pembentukan LKM dapat
sedemikian rupa sehingga bisa membuka peluang dilakukan melalui paling tidak enam tahap,
seluas-luasnya untuk menjangkau kebutuhan yaitu
petani dengan kelengkapan persyaratan minimal 1) penjajagan lokasi dan pemetaan kebutuhan.
yang dimiliki petani. Prinsip kelima, adanya Lokasi dipersyaratkan memenuhi kriteria
penguatan. Artinya, meskipun pembentukan dan pemerintah daerahnya kooperatif, mudah
pengembangan LKM bertujuan menyediakan dijangkau, dan dukungan keberhasilannya tinggi,
permodalan usahatani, namun jangan sampai 2) Tahap seleksi kelayakan kelompok tani, 3)
menciptakan ketergantungan tetapi harus mampu Tahap sosialisasi kegiatan LKM, 4) Mulai
mendorong terjadinya penguatan kapasitas Pembentukan/ Penyusunan Organisasi LKM, 5)
kelembagaan kelompok tani. Prinsip keenam Tahap Operasionalisasi/ Implementasi LKM. Pada
kemitraan. Dalam hal ini pembentukan dan tahap ini LKM mulai memasarkan kepada
pengembangan LKM dilakukan dengan melibatkan masyarakat tani di sekitar wilayah itu, dan 6)
berbagai pemangku kepentingan (stakeholders), Tahap akhir yaitu pengembangan LKM. Untuk
seperti penyedia sarana produksi, tokoh-tokoh dapat memudahkan pelayanan kepada nasabah
masyarakat tani, dunia usaha, perguruan tinggi, (petani), maka pola yang dikembangkan adalah
dan instansi sektoral terkait dalam setiap LKM yang memiliki kharakteristik sebagai berikut:
1) Pola pelayanannya Pola LKM Bukan Bank Bukan atau simpanan anggota kelompok; 4)
Koperasi (B3K), sehingga dapat bersifat Administrasi dilakukan secara sederhana tetapi
sederhana, 2) Ada pinjaman kelompok tani; 3) Di tetap memenuhi syarat akuntabilitas sebagai
samping melakukan pelayanan pinjaman organisasi publik;
pembiayaan juga menampung tabungan 5) Dalam upaya mendukung legalitas operasional,
dibuatkan surat pengakuan berupa Surat
Keputusan dari pemerintah Daerah setempat,
sehingga ada jaminan hukumnya jelas
(Hendayana, 2008).
Ketujuh, pengembangan kelompok tani melalui
pemantapan kelembagaan pada gapoktan,
Menurut Warsana (2009) Gabungan Kelompok
Tani atau GAPOKTAN adalah gabungan dari
beberapa kelompok tani yang melakukan usaha
agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan
kemitraan sehingga mencapai peningkatan
produksi dan pendapatan usahatani bagi
anggotanya dan petani lainnya. Dalam upaya
pemantapan Gapoktan berbagai strategi yang
semestinya ditempuh adalah: Pertama.
kelembagaan adalah sebuah opsi bukan
keharusan. Apapun kelembagaan yang akan
diintroduksikan di perdesaan, mestilah terlebih
dahulu merumuskan apa kegiatan yang akan
dijalankan, baru kemudian dipilih apa wadah yang
dibutuhkan. Jadi, rumuskan dulu aktivitasnya, lalu
tentukan wadahnya. Berdasarkan konsep sistem
agribisnis, aktivitas pertanian perdesaan tidak
akan keluar dari upaya untuk menyediakan sarana
produksi pertanian. Kedua, sediakan waktu yang
cukup untuk mengembangkan kelembagaan.
Pihak pelaksana mesti mampu menyesuaikan diri
dengan kelembagaan petani yang akan
dikembangkan. Kesalahan selama ini adalah
karena menganggap bahwa permasalahan
kelembagaan ada di tingkat petani belaka, ukan
pada superstrukturnya, padahal mungkin
permasalahan (dan sumber permasalahan) ada
pada pelaksana. Satu hal yang harus
digarisbawahi sebagaimana sudah sering
diingatkan adalah, agar pihak pelaksana
menyediakan waktu yang cukup untuk
mengembangkan sampai cukup mandiri. Masa
tahun anggaran yang satu tahun tidak akan cukup
untuk menumbuhkan Gapoktan menjadi mandiri.
Ketiga, perlu dihindari sikap yang memandang
desa sebagai satu unit interaksi sosial ekonomi
yang otonom dan padu. Meskipun Gapoktan
bekerja dalam satu unit desa, namun perlu
dibangun jejaring sosial (social network) dengan
Gapoktan lain. Relasi yang dibangun bukan
bersifat hierarkhis administratif, namun lebih ke
fungsional ekonomi. Dalam hal peran Gapoktan
sebagai lembaga pemasaran, maka relasi jangan
membatasi diri hanya dengan lembaga formal.
Relasi dengan para pelaku tata niaga, yang
cenderung menerapkan suasana non formal, perlu
dibina dengan menerapkan prinsip saling
menguntungkan dan keadilan. Keempat, Gapoktan
lebih banyak berperan di luar aktivitas produksi
atau usahatani, karena kegiatan tersebut telah
dijalankan oleh kelompok-
174 Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No. 2, Agustus 2010: 170–
177
kelompok tani serta petani secara individual. penduduk, disamping disamping ada masyarakat
Untuk terlihat dalam mekanisme pasar, maka yang semula
Gapoktan harus merancang diri sebagai sebuah
kelembagaan ekonomi dengan beberapa
karakteristiknya adalah mengutamakan
keuntungan, efesien, kalkulatif, dan menciptakan
relasi-relasi yang personal dengan mitra usaha.
Kelima, Gapoktan hanyalah salah satu komponen
dalam pemantapan kelembagaan masyarakat
perdesaan. Lebih khusus lagi, Gapoktan hanya
bergerak di bidang pertanian. Dengan demikian,
pemantapan Gapoktan haruslah berada dalam
kerangka strategi yang lebih besar. Gapoktan
hanyalah alat atau wadah untuk mencapai tujuan
yang lebih besar. Pembentukan dan pemantapan
Gapoktan haruslah berada dalam konteks
semangat ekonomi daerah, pemberdayaan
masyarakat dan penumbuhan kemandirian lokal.
Gapoktan hanyalah alat dan merupakan salah satu
opsi kelembagaan yang dapat dipilih. Penggunaan
kelembagaan yang hanya semata-mata untuk
mensukseskan kegiatan lain dan bukan untuk
pengembangan kelembagaan itu sendiri, maka
hanya akan berakhir dengan lembaga-lembaga
Gapoktan yang semu (Warsana, 2009). Gapoktan
dapat mengembangkan pisang sebagai bahan
pangan pengganti karbohidrat dalam rangka
diversifikasi pangan.
Kedelapan, pengembangan kelompok tani
melalui kelompok pengembangan pisang sebagai
bahan pangan pengganti beras dalam rangka
diversifikasi pangan. Menurut Husni (2009)
kebutuhan beras sebagai bahan pangan pokok
terus mengalami peningkatan sejalan dengan
pertambahan penduduk, disamping disamping ada
masyarakat yang semula makanan pokoknya non
beras beralih ke beras. Di lain pihak, lahan sawah
terus mengalami penurunan sejalan terjadinya alih
fungsi lahan ke non pertanian seperti untuk
perumahan dan industri. Untuk mengurangi
ketergantungan terhadap beras sebagai sumber
karbohidrat perlu dicari bahan pangan lain sebagai
sumber karbohidrat alternatif. Pisang sebagai
salah satu komoditas yang dapat digunakan
sebagai sumber karbohidrat alternatif karena
memiliki kandungan karbohidrat dan kalori yang
cukup tinggi. Akhir-akhir ini banyak muncul di
berbagai mass media bahwa harga beras
mengalami kenaikan cukup tinggi sehingga untuk
masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak
mampu untuk membeli beras sebagai bahan
pangan pokok tersebut. Kenaikan harga beras
tersebut antara lain disebabkan kurangnya
pasokan akibat mundurnya musim tanam dan
pertumbuhan penduduk tidak seimbang dengan
pertumbuhan produksi padi. Kebutuhan beras
sebagai bahan pangan pokok terus mengalami
peningkatan sejalan dengan pertambahan
makanan pokoknya non beras beralih ke beras. Di cukup besar dan produksinya tersedia
lain pihak, lahan sawah terus mengalami merata sepanjang tahun,
penurunan sejalan terjadinya alih fungsi lahan ke 3) memiliki bermacam varietas dengan berbagai
non pertanian seperti untuk perumahan dan kecocokan penggunaan, 4) usahatani pisang
industri. mampu memberikan hasil waktu yang relatif
Dalam rangka mengurangi ketergantungan singkat (1–2 tahun) dan 5) disamping itu juga
terhadap beras sebagai sumber karbohidrat perlu dapat dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan
dicari bahan pangan lain sebagai sumber dan konservasi lahan karena tanaman pisang
karbohidrat alternatif. Pisang sebagai salah satu sangat baik dalam menahan air. Pisang sebagai
komoditas yang dapat digunakan sebagai sumber salah satu komoditas unggulan saat ini masih
karbohidrat alternatif karena memiliki kandungan tetap merupakan kontributor utama (34,5%)
karbohidrat dan kalori yang cukup tinggi. terhadap produksi buah nasional. Sejak tahun
Kandungan gizi yang terdapat dalam setiap 100 gr 2002–2006 produksi pisang cenderung mengalami
buah pisang terdiri dari kalori 115 kalori, protein peningkatan dengan rata-rata 4,3% pertahun.
1,2 gr, lemak 0,4 gr, karbohidrat 26,8 gr, serat 0,4 Produksi pisang pada tahun 2002 sebesar
gr, kalsium 11 mg, posfor 43 mg, besi 1,2 mg, 4.384.384 ton naik menjadi 5.321.538 ton pada
vitamin B 0,1 mg, vitamin C 2 mg, dan air 70,7 gr. tahun 2006 (angka prognosa) dengan
Dengan komposisi tersebut, pisang dapat produktivitas dari 58,65 ton/ha menjadi 49,45
digunakan sebagai bahan pangan alternatif ton/ha. Wilayah pengembangan pisang varietas
pengganti beras khususnya di daerah-daerah yang Kepok terdapat di Kalimantan yaitu di Kabupaten
sering mengalami rawan pangan. Di beberapa Kota Baru, Banjar, Pontianak, Pulang Pisau,
daerah masyarakat mengkonsumsi pisang sebagai Kapuas, Kutai, Berau, dan Pasir, sedangkan di
pengganti makanan pokok seperti di Sulawesi pulau Sulawesi terdapat di Kabupaten Bone,
Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Majene, Toli-toli dan Minahasa Utara, serta
Timur, dan Maluku (Husni, 2009). sebagain besar di Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Disamping itu pisang memiliki beberapa Tenggara Timur. Untuk varietas pisang Nangka
keunggulan dibandingkan dengan komoditas terdapat di Kabupaten Simalungun, Tanah Datar,
lain yaitu: 1) pisang dapat diusahakan pada Lampung Selatan, Lampung Timur, Cianjur, dan
berbagai type agroekosistem yang tersebar Malang. Sedangkan pisang Tanduk banyak
di seluruh nusantara, 2) permintaan pasar terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan,

Budiyanto: Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Pisang 175


Cianjur, Sukabumi, Lampung Timur dan dikarenakan: petani pada umumnya belum
Lampung Selatan, Pandeglang, Cilacap, menerapkan pemeliharaan buah dan teknologi
Lumajang, Jembrana, dan Kutai Timur. Dengan pasca panen yang baik dan benar
cakupan sebaran sentar produksi yang sangat (pembrongsongan buah, cara pemetikan yang
luas, maka lahan yang belum dimanfaatkan dan benar, sortasi dan pencucian), dan keterbatasan
dapat digunakan sebagai areal penumbuhan modal petani sehingga memanen buah belum
sentra produksi pisang masih tersedia sangat mencapai tingkat kematangan optimal, d)
luas (Husni, 2009, Ernawati, 2009, Ernawati, kelompok tani yang ada belum berfungsi dengan
2008). baik dalam mengelola kawasan kebun, e) dalam
Mengembangkan pisang sebagai sumber pemasaran, petani sangat sulit mendapatkan
karbohidrat alternatif bagi keluarga dalam rangka informasi pasar, baik jenis, jumlah dan waktunya,
diversifikasi pangan disamping sebagai sumber sehingga pada saat panen raya, harga pisang
vitamin, terutama vitamin A dan C, mineral, ditingkat petani jatuh, f) teknologi pengolahan
kalsium dan zat mikro lainnya yang sangat belum tersosialisasikan sepenuhnya di lapang
dibutuhkan oleh tubuh manusia. Permasalahan serta keterbatasan sarana pengolahan, dan g)
dan kendala yang ditemui dalam pengembangan beras sebagai bahan pangan pokok telah
pisang khususnya pisang olahan sebagai sumber membudaya sehingga untuk beralih ke buah
karbohidrat alternatif antara lain: a) sentra pisang sebagai sumber karbohidrat perlu waktu.
produksi pisang yang bersifat terpencar (spot) Adanya anggapan yang keliru di masyarakat
dengan skala usaha yang tidak ekonomis bahwa makanan pokok beras lebih bergengsi
menyebabkan perdagangan pisang kurang dibandingkan non beras.
berkembang dengan baik, b) tingkat produksi dan Untuk mengatasi permasalahan tersebut
produktivitas masih rendah. Hal ini antara lain perlu dilakukan langkah-langkah sebagai
dikarenakan: petani pada umumnya belum berikut.
menerapkan praktek budidaya yang baik. Sarana a) perlu sosialisasi bahwa pisang dapat sebagai
pengairan umumnya belum tersedia, dan sumber karbohidrat alternatif atau sebagai bahan
serangan penyakit layu masih relatif tinggi, c) pangan pokok, b) dalam upaya mendorong
mutu produk yang dihasilkan pada umumnya masyarakat menyukai pisang sebagai sumber
sebagian besar masih kurang baik, hal ini karbohidrat diperlukan kegiatan sosialisasi
penganekaragaman pengolahan makanan, c) panen, serta pengolahan, e) pemberdayaan
perlu inventarisasi lahan potensial untuk kelompok tani, dan f) fasilitasi akses permodalan
pengembangan pisang, d) perlu sosialisasi bagi petani.
teknologi budidaya dan penanganan pasca Pelaksanaan pengembangan pisang
sebagai sumber karbohidrat alternatif perlu
dukungan berbagai instansi seperti:
Departemen Pertanian (Ditjen Perkebunan,
Ditjen. P2HP, Ditjen PLA, Badan Litbang
Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, Setjen,
Badan PSDMP), Departemen PU, Departemen
Kehutanan, Departemen Kesehatan,
Kementrian Koperasi dan UKM, Departemen
Perhubungan, Departemen Perdagangan,
Pemerintah Daerah, dan Perbankan (Husni,
2009, Wahyuni, 2009).

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat
disimpulkan beberapa hal berikut ini: 1) terdapat
keragaman profil produksi pisang, distribusi,
konsumsi, peran kearifan lokal, dan peran
kelembagaan kelompok tani di Kabupaten
Lumajang, Malang, dan Blitar, 2) optimalisasi
peran kearifan lokal dapat dijadikan fokus utama
dalam upaya mengembangkan ketahanan pangan
berbasis pisang dan 3) beberapa komponen
penting dan strategis dalam draft model
pengembangan ketahanan pangan berbasis
pisang melalui revitalisasi nilai kearifan lokal dan
penguatan kelembagaan kelompok tani adalah: i)
kearifan lokal,
ii) Pemerintah Daerah, iii) BPTP, BBMP, DUDI,
iv) produksi v) distribusi, dan vi) konsumsi (pola
konsumsi, makanan utama, Dari enam komponen
penting dan strategis dalam pengembangan
ketahanan pangan berbasis pisang melalui
revitalisasi nilai kearifan lokal tersebut yang
menjadi lokomotif pengembangan adalah kearifan
lokal dan kelembagaan kelompok tani, untuk
kedua komponen ini harus dikembangan (dengan
stimulasi dari pemda, dinas pertanian, DUDI, dan
lain-lain) sehingga berdampak kepada komponen
lainnya. Berdasarkan hasil dan kesimpulan
penelitian, maka dapat disarankan perlunya
melakukan penyempurnaan draft model
pengembangan ketahanan pangan berbasis
pisang melalui revitalisasi nilai kearifan lokal dan
penguatan kelembagaan kelompok tani. yang
dilanjutkan dengan evaluasi, revisi, dan review
pakar, sehingga model pengembangan ketahanan
pangan berbasis pisang melalui revitalisasi nilai
kearifan lokal dan penguatan kelembagaan
kelompok tani.bersifat applicable.

DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja A, 2006. Mengoptimalkan
Pendayagunaan Potensi Desa. Bogor:
BBP2TP, Bogor, Toid Sinar Tani, 6 Desember
2006.
176 Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No. 2, Agustus 2010: 170–
177
Anugrah IS, 2003. Kunci-Kunci Keberhasilan Kumoro K, 2009. Pengkajian Sistem Agribisnis Pisang.
Pengembangan Agropolitan, Bogor: NTB: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa
Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Bogor, Tenggara Barat, http://pfi3pdata.litbang.deptan.
Tabloid Sinar Tani, 17 Maret 2003. go.id, 9 Sept 2009.
Arianti NK, 2006. Teknologi Tepat Guna Pisang: Nuryanti S, 2005. Model Cooperative Farming
B2PTTG Subang, Kiprah Nyata LIPI yang Untuk Peningkatan Pendapatan Petani,
Terpendam. Kompas 6 Juli 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
BPPPD Deptan, 2006. Prospek dan Arah Sosial Ekonomi Pertanian Bogor, Tabloid
Pengembangan Agribisnis: Pisang. Jakarta: Sinar Tani, 29 Juni – 5 juli 2005.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Priyanto D, 2007. Prima Tani Sumba Timur
Departemen Pertanian. Mendukung Ketahanan Pangan Daerah.
Cahyono, B. 1996. Pisang, Budidaya dan Analisis Bogor: Puslitbang Peternakan, Dimuat dalam
Usahatani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Tabloid Sinar Tani, 5 Desember 2007.
Deptan RI, 2006. Revitalisasi Pertanian. Purba HK, 2006. Potensi Investasi Pisang di Indonesia.
http://agribisnis. Jakarta: Subdit Promosi dan Pengembangan
deptan.go.id, 1 Januari 2007). Pasar Direktorat Pemasaran Intenasional Ditjen
Dewan Riset Nasional, 2006. Agenda Riset PPHP.
Nasional 2006– 2009. Jakarta: DRN. Rafieq A, 2003. Mengembangkan Pengetahuan
Erawati TR, Surahman A, dan Fitrotin U, 2007. Petani Untuk Inovasi Teknologi. Kalimantan
Budidaya Pisang Bagi Petani Miskin Di Lahan Selatan: BPTP Kalsel, Tabloid Sinar Tani, 14
Marginal Success Story Program Peningkatan Mei 2003.
Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), Supriyanto B. dan Marsono. 1993. Rangkuman
Nusa Tenggara Barat: BPTP NTB, Taloid Sinar Hasil Penelitian Pisang Tahun 1989–1992.
Tani, 12 Desember 2007. Jakarta: Prosiding Rapat Teknis Puslitbang
Erawati TR, Surahman A, dan Fitrotin U, 2008. Hortikultura di Cipanas, 23–24 Juni 1993.
Budidaya Pisang Bagi Petani Miskin Di Lahan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Marginal, Nusa Tenggara Barat: BPTP NTB, Hortikultura.
Tabloid Sinar Tani, 26 Desember 2007 - 1 Wahyuni S, 2009. Integrasi Kelembagaan Di
Januari 2008 Tingkat Petani: Optimalisasi Kinerja
Hendayana R, 2008. Membangun Lembaga Pembangunan Pertanian, Bogor: Pusat
Keuangan Mikro Berbasis Komunitas Petani, Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Bogor: Balai Besar Pengkajian dan Pertanian, Tabloid Sinar Tani, 10 Juni 2009.
Pengembangan Teknologi Pertanian Warsana SP, 2008. Strategi Melakukan Penyuluhan
(BBP2TP), Sinar Tani, 2 September 2008. Pertanian Untuk Petani Kecil, Jawa Tengah:
Husni I, 2009. Pengembangan Pisang Sebagai BPTP Jawa Tengah, Tabloid Sinar Tani, 9 Januari
Bahan Pangan Pengganti Karbohidrat Dalam 2008.
Rangka Diversifikasi Pangan, Warsana SP, 2009. Pemantapan Kelembagaan
http://pfi3pdata.litbang. deptan.go.id, 9 Sept Pada Gapoktan, Jawa Tengah: BPTP Jawa
2009. Tengah, Tabloid Sinar Tani, 8 April 2009.

Budiyanto: Model Pengembangan Ketahanan


Pangan Berbasis Pisang
Budiyanto: Model Pengembangan Ketahanan
Pangan Berbasis Pisang
REVIEW JURNAL MATERI BAB 13

Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa (Cocos nucifera)


Judul untuk Meningkatkan Pendapatan Petani di Kabupaten
Indragiri Hilir, Riau.
Jurnal Perspektif
Volume dan
Volume 6 (2), Halaman 94-104.
Halaman
Tahun 2015

Penulis Sabarman Damanik

Reviewer Muh. Fitrah Ramadhan

Tanggal 22 Maret 2020

Tujuan Penelitian
tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk Meningkatkan
Pendapatan Petani di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
Subjek Penelitian Petani kelapa Indragiri Hilir, Riau.
Metode Penelitian
Penelitian kualitatif dengan desain penelitian Fenomenologi.
Hasil Penelitian Faktor-faktor yang menyebabkan tidak berkembangnya
sistem agribisnis kelapa di Indragiri Hilir, antara lain adalah:
(1) sebagian besar teknologi belum dapat digunakan petani,
(2) kurangnya diversifikasi produk kelapa.Strategi
pengembangan sistem agribisnis kelapa di Indragiri Hilir,
Riau, harus dilakukan melalui: (1) diversifikasi produk
melalui pemanfaatan tempurung,sabut dan lidi serta minyak
murni (VCO), sehingga dapat merubah permintaan menjadi
elastis untuk meningkatkan daya serap pasar, (2) program
promosi pasar di pasar dunia baik melalui lembaga promosi
propinsi Riau, dan (3) pemberdayaan petani melalui
kelembagaan yang sudah ada seperti kelompok tani, dan
koperasi.
Kelebihan 1. Adanya rekomendasi pemupukan dan varietas unggul
serta rekayasa alat dan mesin pengolahan sabut
merupakan keunggulan di dalam pengembangan
perkelapaan.
2. Ketersediaan sumberdaya lahan dan iklim yang sesuai
serta ketersediaan tenaga kerja dan teknologi begitu juga
pangsa pasar, menjadi keunggulan untuk peningkatan
produksi kelapa persatuan luas pengelolaan.
3. Adanya produk kelapa yang sudah berkembang seperti
minyak murni (Virgin Coconut Oil ), desiccated coconut
(DC), coconut fiber (CF), activated carbon (AC), dan
coconut cream (CC). Yang sudah masuk di pasar
Internasional menjadi keunggulan bagi subsistem
pengolahan hasil.
4. Kelapa sebagai komoditas pasar terbuka merupakan
keunggulan dalam pemasaran.
5. Pembelajaran dan pengenalan organisasi yang diperoleh
dalam kelembagaan kelompok tani adalah keunggulan.
Kelemahan 1. Masih sedikitnya petani menggunakan bibit unggul,
belum adanya kontinuitas pemakaian pupuk dan masih
terbatasnya industri alat yang khusus merupakan
kelemahan.
2. Penurunan areal pertanaman dan produksi serta serangan
penyakit busuk pucuk dan hama penggerek daun
(Oryctes) di beberapa lokasi pertanaman kelapa menjadi
kelemahan.
3. Standar kualitas, kebersihan, kemurnian, dan keutuhan
yang rendah karena kurangnya pembinaan
petani,peralatan dan ketersediaan sarana menjadi faktor
kelemahan.
4. Kelemahan pada subsistem pemasaran kelapa terlihat dari
beberapa indikator seperti; (a) informasi pasar dan
transparansi pembentukan harga, (b) promosi produk
yang lemah, dan (c) struktur pasar yang oligopoli.
5. Kinerja dari kelembagaan yang pernah ada yang didirikan
dan dibina pemerintah merupakan kelemahan.
Perspektif Vol. 6 No. 2 / Desember 2007. Hal 94 - 104
ISSN: 1412-8004

Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa (Cocos nucifera) untuk


Meningkatkan Pendapatan Petani di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau

SABARMAN DAMANIK
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Indonesian Center for Estate Crops Research and Development
Jl. Tentara Pelajar No.1 Bogor 16111
E-mail:criec@indo.net.id

RINGKASAN providing job opportunity, raw material of internal


country industry, and direct consumption most of
Pengembangan agribisnis kelapa berperanan penting coconut production not related to the processing
untuk peningkatan produktivitas dan sekaligus industry, downstream industry, as well as service
peningkatkan pendapatan petani. Saat ini kelapa institution. As the consequences, coconut agribusiness
sangat berperan dalam perekonomian sebagai fails to distribute addad value, and is not able to
penyedia lapangan tenaga kerja, bahan baku industri increase farmers income. Some factors influence
dalam negeri dan konsumsi langsung. Meskipun agribusiness system in Indragiri Hilir: (1) most of the
demikian, kebanyakan usahatani kelapa tidak terkait technology could not be adopted by the farmes and
langsung dengan industri pengolahan, industri hilir, (4) less coconut product diversification.The strategy to
serta industri jasa, dan keuangan. Akibatnya develop coconut agribusiness in Indragiri Hilir: (1)
agribisnis kelapa tidak berhasil mendistribusikan product diversification to increase market absorption
nilai tambah, sehingga tidak dapat meningkatkan capacity, (2) promotion program of marketing on the
pendapatan petani. Faktor-faktor yang menyebabkan world market, through embassy and other
tidak berkembangnya sistem agribisnis kelapa di institutions, and (3) making eficient use of farmers in
Indragiri Hilir, antara lain adalah: (1) sebagian besar the existing organization such as farmers group
teknologi belum dapat digunakan petani, (2) cooperativws.
kurangnya diversifikasi produk kelapa.Strategi
pengembangan sistem agribisnis kelapa di Indragiri Key words: Coconut, Cocos nucifera, agribusiness,
Hilir, Riau, harus dilakukan melalui: (1) diversifikasi farmers income, product diversification.
produk melalui pemanfaatan tempurung,sabut dan
lidi serta minyak murni (VCO), sehingga dapat
merubah permintaan menjadi elastis untuk PENDAHULUAN
meningkatkan daya serap pasar, (2) program promosi
pasar di pasar dunia baik melalui lembaga promosi
Areal perkebunan saat ini seluas 14,05 juta
propinsi Riau, dan (3) pemberdayaan petani melalui
ha, kelapa 3,94 juta ha merupakan perkebunan
kelembagaan yang sudah ada seperti kelompok tani,
dan koperasi. rakyat yang diusahakan secara monokultur dan
kebun campuran. Areal kelapa lahan gambut di
Kata kunci : Kelapa, Cocos nucifera, agribisnis, pen- Kabupaten Indragiri Hilir (INHIL) seluas
dapatan petani, diversifikasi produk. 501.576 ha (Board of Riau Province, 2005). Dari
luas areal tersebut 94% merupakan perkebunan
ABSTRACT rakyat yang menjadi andalan sumber
pendapatan petani dengan rata-rata produksi
Strategy for Coconut Agribusiness 1,29 ton kopra/ha (APPC, 2004). Tingkat
Development to Increase Farmers’ Income produktivitas ini masih di bawah sasaran
in Indragiri Hilir Distric, Riau Province produksi kelapa di lahan pasang surut yaitu
sebesar 1,74 ton/ha/tahun (Pranowo dan
Development of coconut agribusiness is important in Luntungan, 1993).
increasing farmers income and urgent to increasing
Usahatani kelapa di Indragiri Hilir pada
productivity and farmers income. Coconut has an
important role on the economy of Indonesia as an saat ini belum banyak terkait dengan industri

94 Volume 6 Nomor 2, Desember 2007 : 94 - 104


pengolahan, industri hilir (industri input faktor),
industri jasa, keuangan, dan pemasaran.
Akibatnya agribisnis kelapa tidak berhasil
mendistribusikan nilai tambah secara optimal dan hubungan fisik antara jumlah faktor-faktor
proporsional, sehingga tidak signifikan produksi yang dipakai dengan jumlah produksi
pengaruhnya terhadap penambahan pendapatan yang dihasilkan persatuan waktu. Sedangkan
petani kelapa. Pengelolaan usahatani kelapa masih Sudarman dan Alghifari (1992), menyatakan
bersifat tradisional dan terbatasnya bahwa fungsi produksi adalah suatu persamaan
modal,maupun kualitas produk yang dihasilkan matematis yang menunjukkan hubungan
masih rendah. Sampai sat ini belum banyak fungsional antar jumlah input dan output.
berubah sehingga komoditas kelapa yang Beattie dan Taylor (1996), secara lebih spesifik
mempunyai multiguna relatief tidak ada nilai mengatakan fungsi produksi adalah sebuah
tambahnya. Pangsa pasar ekspor sangat terbuka deskripsi matematik atau kuantitatif dari
untuk semua produk kelapa,khususnya produk berbagai macam kemung-kinan produksi teknis
ikutan seperti bungkil, arang tempurung ,sabut yang dihadapi pngelolaan usahatani. Fungsi
kelapa dan desicated coconut. produksi pada pola usahatani kelapa dengan
tanaman sela dapat meningkatkan pendapatan
Salah satu upaya untuk meningkatkan
petani lebih besar dibandingkan dengan
produktivitas yang berdampak kepada
usahatani monokultur (Hasni, 2004).
peningkatan pendapatan petani, adalah dengan
pengelolaan input usahatani seperti tenaga kerja, Sebagai gambaran umum kinerja
pendapatan, pendidikan, luas lahan dan keikut agroindustri kelapa di Indragiri Hilir saat ini
sertaan dalam kelompok tani secara optimal dan sudah menghasilkan berbagai produk kelapa,
efektif. Usahatani yang berbasis organisasi dan
seperti bungkil kopra pellet, minyak kelapa,
kelompok dalam bentuk komunitas yang aktif dan
minyak goreng, air kelapa, santan kelapa,
mandiri akan meningkatkan posisi tawar menawar
tepung kelapa, dan bukil inti kelapa.Meskipun
petani (barganing position).Petani makin kuat dalam
produk tersebut masih perlu peningkatan
penerapan teknologi agroindustri (Yasin, 1998).
menentukan harga produk berupa kelapa butiran
Di samping itu juga kelima subsistem agribisnis
maupun kopra (Luntungan et al., 2005). Bentuk
seperti pengadan, produksi, pengolahan,
basis organisasi perkelapaan Indonesia mempunyi
pemasaran dan penunjang belum saling terkait
ciri yaitu :orientasi output,orientasi bisnis dan
satu sama lain sehingga perlu pembenahan
orientasi pengembangan wilayah (Akuba, 2003).
secara menyeluruh dan terpadu.
Strategi pengembangan sistem agribisnis Dalam tulisan ini, pokok bahasan difokus-
kelapa adalah suatu proses fungsi produksi kan kepada unggulan, kelemahan, peluang, dan
yang akan menghasilkan produktivitas kelapa ancaman pengembangan sistem agribisnis
secara optimal dan efisien,maka strategi itu kelapa serta format strategi dan kebijakan
merupakan keterpaduan dan keberlanjutan pengembangan agribisnis kelapa di Indragiri
kerjasama dari masing-masing subsistem agri- Hilir.
bisnis (Suprapto, 1998). Pengertian fungsi pro-
duksi telah banyak ditulis oleh para ahli KINERJA SISTEM AGRIBISNIS KELAPA
ekonomi, salah satunya adalah Nicholson DI INDRAGIRI HILIR
(1999), yang menyatakan bahwa fungsi
produksi merupakan suatu proses yang Kinerja sistem agribisnis merupakan totalitas
menunjukkan tingkat produksi yang dicapai atau kesatuan kinerja yang tediri dari subsistem
dalam penggunaan beberapa input faktor hulu, usahatani, pengolahan hasil, pemasaran,
dengan jumlah tertentu. Kemudian Bilas (1992), serta jasa penunjang. Secara gam-blang, agribisnis
menyatakan bahwa fungsi produksi adalah didefinisikan sebagai “the sum total of all operations
involved in the manufacture and distribution of farm
supplies, production operations on the farm, processing
and distribution of

Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa... (SABARMAN DAMANIK) 95


farm commodities and items made from them”. Kinerja Subsistem Agribisnis Hulu
Membangun agribisnis berarti
mengintegrasikan pembangun-an pertanian, Industri pembibitan kelapa yang dapat
industri dan jasa (Saragih, 2001). menjamin pasokan sumber bibit yang unggul
belum ada. Petani masih menggunakan bibit
dari kebun sendiri atau pekebun yang lain.
Akibatnya tingkat produksi rendah 1,29 ton tanaman sela yang dipilih berdasarkan per-
kopra/ha/tahun, padahal produksi Kelapa mintaan pasar sehingga kontribusi pendapat-
Dalam Unggul dapat mencapai 4 ton annya lebih signifikan. Dengan pe-ngusahaan
kopra/ha/tahun (Tenda et al., 1998). Pemakaian beberapa jenis tanaman pada usahatani yang
pupuk dan obat-obatan masih terbatas padahal dikembangkan tidak saja akan meningkatkan
input tersebut menjamin keberhasilan agribisnis pendapatan tetapi juga memberikan jaminan
kelapa. Baik pupuk maupun obat-obatan pendapatan yang lebih pasti,karena apabila
kendalanya harga masih relatif tinggi. Sebagian harga salah satu produk tanaman turun maka
besar teknologi yang dihasilkan belum dapat pendapatan usahatani dapat dikompensasi oleh
digunakan oleh petani karena tidak tersedianya produk lainnya.Hal ini akan mengakibatkan
saprodi dan peralatan dengan mudah dan terciptanya ketahanan pendapatan petani
murah. kelapa yang lebih kuat dan stabil (Kurian, 1997).
Rekomendasi teknik budidaya kelapa
Kinerja Subsistem Usahatani Kelapa didasarkan pada pencapaian produktivitas dan
mutu yang tertinggi dari hasil suatu pengkajian
Tanaman kelapa rakyat di Indragiri Hilir atau riset. Petani sebagai calon pengguna
termasuk komoditas penting mengingat teknologi dianggap tidak memiliki kemampuan
produknya seperti minyak kelapa untuk untuk memilih teknologi (Sudaryanto et al.,
konsumsi rumah tangga. Pengusahaannya 2001, Saragih, 2002). Menurut Tarigans (2005)
dalam bentuk perkebunan rakyat yang petani mempunyai tenaga kerja yang tersedia
bercirikan (1) hasil usahatani masih bersifat dalam jumlah optimal untuk peningkatan
tradisional yaitu berbentuk kelapa butiran dan pendapatan-nya. Rekomendasi seperti ini akan
kopra, (2) produktivitas rendah, (3) modal berhasil baik oleh karena petani akan menerima
lemah, (4) teknologi anjuran masih rendah, dan dan terus menggunakan teknologi pilihannya.
(6) resultante dari faktor-faktor tersebut Pemilihan teknologi sepenuhnya diserahkan
menyebabkan pendapatan petani berada pada kepada petani, sedangkan institusi teknis
posisi yang tidak mampu mendukung memberi informasi secara lengkap menyangkut
kehidupan dan kesejahtraan secara layak. teknologi menunjukkan bahwa rekomendasi
Pemilikan lahan usahatani yang sempit dan teknik budidaya yang didasarkan produktivitas
jarak tanam yang tidak teratur serta belum dan kualitas produk.
dilaksanakannya penerapan teknologi anjuran Menurut Bunch (1991) ada tujuh kriteria
di dalam pengembangan usahatani, sehingga untuk memilih suatu teknologi tepat guna yaitu:
sangat sukar diharapkan perolehan produksi g. diakui oleh petani sebagai sesuatu yang
dan pendapatan yang optimal. Dalam kondisi berhasil, (2) berkenaan dengan faktor-faktor
demikian produktivitas lahan usahatani harus pembatas produksi, (3) menguntungkan kaum
dapat ditingkatkan, variasi produk tanaman miskin, (4) pasarnya terjamin, (5) aman bagi
yang diusahakan dalam satu areal usahatani lingkungan, (6) dapat dikomunikasikan dengan
dituntut untuk lebih beragam. Penanaman efisien, dan (7) dapat diterapkan secara luas.
Keberhasilan pada kriteria pertama tidak hanya
96 diukur dari segi keuntungan,tetapi sekaligus
mampu memperkecil resiko kegagalan. Jika
kriteria satu sampai dengan lima dapat
dipenuhi, hampir dapat dipastikan dapat
memenuhi kriteria enam dan tujuh. Oleh karena
itu evaluasi keberhasilan alih teknologi pada
usahatani kelapa didasarkan pada lima kriteria
tersebut.

Volume 6 Nomor 2, Desember 2007 : 94 - 104


coco, santan, kue kelapa (coconut cake), dan virgin
Kinerja Subsistem Pengolahan Hasil Kelapa coconut oil (VCO). Di samping itu kelapa dapat
Dari produk kelapa dapat dihasilkan kopra , dijadikan sebagai bahan makanan yang
minyak kelapa, bungkil, kelapa parut (desiccated dikonsumsi segar seperti buah segar/kelapa muda.
coconut), sabut, tempurung dan karbon, nata de Pengolahan secara tradisional memerlu-kan waktu
yang lama dan membutuhkan tenaga yang
banyak.Pada saat ini sudah tersedia alat-alat tujuan utama ekspor adalah Amerika Serikat,
pengolahan kelapa mekanis, seperti alat parut, alat Masyarakat Eropa (EU), Belanda, Jerman,
perlengkapan untuk membuat kerajinan tangan Inggris dan Korea Selatan.
serta alat membuat perlengkapan rumah tangga Permintaan global terhadap produk-produk
(furniture). kelapa meningkat cukup signifikan karena laju
pertambahan penduduk dunia sebear 1,3%/
Petani kelapa Indragiri Hilir masih terbatas
tahun. Dalam lima tahun sampai sepuluh tahun
menghasilkan produk kopra dan sebagian kecil
kedepan diperkirakan akan terjadi peningkatan
membuat arang tempurung (karbon ) serta
permintaan terhadap Desiccated Coconut 9%/
pembuatan VCO.
tahun, kelapa segar 5 %/tahun, 45 % karbon
aktif dan 5% kelapa segar.
Kinerja Subsistem Pemasaran Kelapa

Di Propinsi Riau dan Kabupaten Indragiri Kinerja Subsistem Kelembagaan


Hilir rantai pemasaran kopra yang terbanyak
Pendidikan dan pelatihan belum banyak
(70%) adalah petani ke pedagang desa dan
dilakukan, demikian pula penyuluhan.
pedagang desa ke pedagang kabupaten serta
Investasi usahatani kelapa cukup besar,
dari pedagang kabupaten ke pedagang
seharusnya kelembagaan kredit seperti
propinsi. Sedangkan untuk kelapa butiran,
perbankan dapat membiayai. Hasil-hasil pene-
pedagang kabupaten langsung membeli ke
litian berupa komponen dan paket teknologi
lokasi petani. Hanya sebagian yang melalui
serta kebijakan yang dihasilkan lembaga
pedagang desa. Adapun bagian harga yang
penelitian sudah banyak dihasilkan namun
diterima petani ber-kisar 60-65% dari harga
belum banyak yang diserap petani. Pada tahun
konsumen (Luntungan et al., 2005).
2006 telah dimulai pelatihan pembuatan VCO
Menurut APPC (2004). Jenis produk kelapa
kepada anggota kelompok tani di Sei Ara,
yang banyak diekspor di tingkat dunia adalah
Kabupaten Indragiri Hilir.
minyak kelapa, bungkil dan desicated coconut
Gelar teknologi dan bimbingan langsung
serta sabut. Untuk Indonesia posisi ekspor
kepada petani kelapa di Riau melalui kegiatan
produk kelapa yang besar dibandingkan ekspor
COGENT dengan model pembinaan community
dunia adalah bungkil ( 31,26%), kopra (20,03%),
base organitation (CBO) dapat dijadikan media
minyak kelapa (18,28%) dan desicated coconut
untuk memotivasi dan peningkatan pengeta-
(13,66%). Perkembangan Ekspor berbagai
huan petani. Di daerah pasang surut desa Sei
produk kelapa umumnya mengalami
Ara,Kabupaten Indragiri Hilir kegiatan gelar
peningkatan, kecuali serat sabut. Secara
teknologi berdampak positif terhadap
keseluruhan pada tahun 2003 hasil ekspor
peningkatan produktivitas dari rata-rata 50 butir
produk-produk kelapa mencapai US $ 2121,6
kelapa/pohon/tahun menjadi 65 butir/pohon/
juta terutama berasal dari Crude Coconut Oil
tahun, dalam waktu 2 tahun (Luntungan et al.,
(CCO) sebesar US $ 153,6 juta dan Desiccated
2005).
Coconut (DC) sebesar US $ 23,7 juta. Negara

KEUNGGULAN, KELEMAHAN, PELUANG


DAN ANCAMAN AGRIBISNIS KELAPA DI
INDRAGIRI HILIR

Dari keragaan sistem agribisnis kelapa di


Indragiri Hilir terdapat indikasi perubahan yang
merupakan fenomena dari produksi, konsumsi,
perdagangan, teknologi dan kelembagaan berupa:
(1) turunnya pangsa pasar ekspor
Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa... (SABARMAN DAMANIK) 97
produk kelapa, (2) permintaan produk kelapa pesaing seperti Filipina, tentunya ini merupakan
makin bertambah, (3) meningkatnya konsumsi ancaman bagi Indonesia maupun Indragiri Hilir.
kelapa butiran dan kelapa segar domestik, (4)
perubahan teknologi pemanfaatan produk kelapa, Pengolahan Hasil dan Pasca Panen Kelapa
dan (5) penurunan areal produksi di beberapa
Adanya produk kelapa yang sudah
sentra kelapa ke tanaman kelapa sawit.
berkembang seperti minyak murni (Virgin Coconut
Fenomena–fenomena yang terjadi merupakan
Oil ), desiccated coconut (DC), coconut fiber (CF),
resultante dari keunggulan, kelemahan, peluang,
activated carbon (AC), dan coconut cream (CC). Yang
dan ancaman pada simpul-simpul sistem
sudah masuk di pasar Internasional menjadi
agribisnis kelapa di Indragiri Hilir.
keunggulan bagi subsistem pengolahan hasil.
Selanjutnya standar kualitas, kebersihan,
Industri Bibit, dan Peralatan
kemurnian, dan keutuhan yang rendah karena
Adanya rekomendasi pemupukan dan kurangnya pembinaan petani,peralatan dan
varietas unggul serta rekayasa alat dan mesin ketersediaan sarana menjadi faktor kelemahan.
pengolahan sabut merupakan keunggulan di Permintaan pasar produk kelapa terus meningkat
dalam pengembangan perkelapaan. Dampak dan produk-produk turunannya seperti DC, CC,
penyuluhan dan pendidikan, keberadaan industri dan VCO adalah peluang berkembangnya industri
pupuk dengan distribusinya serta perbaikan pengolahan hasil .
kualitas dan diversifikasi produk merupakan Ancaman manipulasi kualitas sangat sering
peluang. Demikian pula masih sedikitnya petani terjadi, sehingga perlu pengawasan yang efektif
menggunakan bibit unggul, belum adanya agar tidak sering mengalami klaim ekspor.
kontinuitas pemakaian pupuk dan masih
terbatasnya industri alat yang khusus merupakan Pemasaran dan Perdagangan Kelapa
kelemahan. Sedangkan rendahnya produktivitas,
Kelapa sebagai komoditas pasar terbuka
tingginya harga pupuk dan obat-obatan serta
merupakan keunggulan dalam pemasaran,
terlambatnya berkembang industri alat dan mesin
begitu juga pangsa pasar kelapa Indonesia yang
merupakan ancaman.
besar didunia serta jaringan pasar pada semua
negara pengimpor produk kelapa. Kelemahan
Pertanian Primer Kelapa
pada subsistem pemasaran kelapa terlihat dari
Ketersediaan sumberdaya lahan dan iklim beberapa indikator seperti; (a) informasi pasar
yang sesuai serta ketersediaan tenaga kerja dan dan transparansi pembentukan harga, (b)
teknologi begitu juga pangsa pasar, menjadi promosi produk yang lemah, dan (c) struktur
keunggulan untuk peningkatan produksi pasar yang oligopoli. Sedangkan permintaan
kelapa persatuan luas pengelolaan. Sedangkan dan diversifikasi produk sesuai dengan selera
penu-runan areal pertanaman dan produksi konsumen seperti arang aktif, serat sabut, dan
serta serangan penyakit busuk pucuk dan hama sebagainya merupakan peluang pemasaran.
penggerek daun (Oryctes) di beberapa lokasi Adapun ancaman terhadap pemasaran dan
pertanaman kelapa menjadi kelemahan. perdagangan produk kelapa adalah kebijakan
Meningkatnya konsumsi dalam negeri maupun tarif dan pajak ekspor.
permintaan global merupakan peluang produk-
si primer kelapa, sehingga kondisi ini akan Kelembagaan dan Jasa Penunjang
memungkinkan adanya suatu kecenderungan
Pembelajaran dan pengenalan organisasi
kenaikan harga produk akibat pertambahan
yang diperoleh dalam kelembagaan kelompok
permintaan di pasar lokal maupun global.
tani adalah keunggulan. Kinerja dari
Namun perlu diperhatikan adanya kenaikan
kelembagaan yang pernah ada yang didirikan
pangsa pasar ekspor kelapa negara-negara
dan dibina pemerintah merupakan kelemahan.

98 Volume 6 Nomor 2, Desember 2007 : 94 - 104


Penelitian dan Pengembangan Perkebunan ber-
Diperkenalkannya organisasi berbasis petani sama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP
kelapa seperti Community Based Organization Riau) di Kabupaten Indragiri Hilir me-rupakan
(CBO) yang telah tiga tahun dibina Pusat peluang dalam subsistem kelembagaan.
Ancaman terhadap kelembagaan dan jasa
penunjang adalah Globalisasi dan konglomerasi pemakaian bibit unggul, (3) pengendalian hama
yang tidak terkendali . dan penyakit, (4) pengelolaan tanaman secara
terpadu, dan (5) integrasi tanaman kelapa dan
FORMULASI STRATEGI ternak serta ikan. Penumbuhan pusat agribisnis
kelapa mengacu kepada kaidah keuntungan
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KELAPA
komparatif dan keuntungan bersaing, dalam
arti kelapa harus dikembangkan pada daerah-
Strategi dapat didefinisikan sebagai suatu
daerah yang amat sangat sesuai, sangat sesuai
rangkaian tindakan yang ditujukan untuk
dan sesuai.
mencapai sasaran jangka panjang. Berdasarkan
Teknologi budidaya kelapa dapat digolong-
kajian dan penelitian yang sudah dilakukan,
kan atas teknologi input luar tinggi dan input luar
maka strategi pengembangan sistem agribisnis
rendah (Coen, et al., 1999). Dengan tekno-logi input
kelapa untuk meningkatkan pendapatan petani
luar rendah, maka biaya produksi akan lebih
harus dilakukan melalui formulasi efisiensi dan
rendah, penebangan hutan akan terhindar,
integrasi simpul-simpul pada setiap subsistem
kesuburan tanah tetap terjaga. Dalam upaya
agribisnis.
peningkatan efisiensi dan produktivitas kelapa
terutama di sentra produksi, penggunaan varietas
Strategi pada Subsistem Hulu
unggul, penyediaan bibit unggul yang cukup serta
Petani pada saat ini umumnya tidak percontohan (demplot) perlu dilaksanakan dengan
menggunakan varietas unggul karena tidak optimal dan berkelanjutan. Hama dan Penyakit
tersedia dilokasi. Dengan Stock seed yang ada,serta yang bisa merugikan petani kelapa seperti
tersedianya tenaga ahli dan teknis memungkinkan penyakit busuk pucuk dan hama penggerek daun
industri bibit dapat berkembang secara dapat diatasi. Balai Penelitian Kelapa dan Palma
operasional. Secara ekonomis tiap tahun (Balitka) di Manado, telah merekomendasikan
dibutuhkan bibit unggul di Propinsi Riau lebih paket penanggulangan dan strateginya melalui
kurang 1,35 juta bibit dengan volume usaha 3 program penanggulangan hama dan penyakit
milyar rupiah. Ketergantungan petni kepada agro terpadu.
input yang kurang efisien telah terjadi, suatu
pemecahan adalah melalui industri “bleeding” Strategi pada Subsistem Pengolahan Hasil
pupuk, penggunaan pupuk organik (biofertilizer),
substitusi obat kimia dengan industri pestisida Strategi mencakup perbaikan mutu dan
nabati (biopestisida). Rendahnya pendapatan kualitas serta diversifikasi produk. Standar
karena kecilnya nilai tambah, strateginya melalui mutu dan kualitas produk kelapa yang masih
industri alat dan mesin pertanian dengan jaringan didominasi industri primer seperti minyak
distribusinya, konsep ini sangat strategis ke kelapa, arang tempurung, dan sabut kelapa
depan . dijaga dan dipertahankan.Standar ini dicirikan
atas kadar air, warna, bau dan lainnya.
Strateginya komponen dari standar ini
Strategi pada Subsistem Produksi
dipertahankan dan menjadi lebih baik melalui
Strategi pada bidang produksi meliputi (1) tindakan-tindakan agronomis dan pasca panen.
penumbuhan pusat agribisnis kelapa, (2) Menurut Nurjanah (1996), diversifikasi produk
dapat merubah permintaan menjadi lebih elastis
untuk meningkatkan daya serap pasar.

Strategi pada Subsistem Pemasaran Kelapa

Dari hasil kajian saluran tataniaga kelapa di


Indragiri Hilir mempunyai data yang bervariasi
antara jenis produk. Untuk penjualan kelapa

Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa... (SABARMAN DAMANIK) 99


kopra dan gula merah lebih baik.Sebaliknya
butiran, harga yang diterima petani 60-65%, pada penjualan kelapa butiran ketergantungan
sedangkan kopra bisa mencapai 70-75%, dan petani kepada pedagang pengumpul (pemodal )
pada penjualan gula merah penerimaan petani sangat besar sehingga berdampak terjadinya
bisa sampai 75–80%. Sistem agribisnis penjualan “contract farming“ secara tersembunyi. Strategi-
nya adalah memperbaiki simpul-simpul
agribisnis terutama pada penjualan kelapa dan Pengeluaran Benih, Undang-Undang
butiran. Kurangnya informasi pasar ditandai Budidaya No. 12, Undang-Undang Perkebunan
oleh lemahnya integrasi harga ditingkat No.18, Perda tentang Perizinan, dan lain-lain, (2)
pedagang maupun eksportir dengan petani . perangkat kerasnya berupa: akses ke stock seed,
Strateginya peningkatan intensitas informasi sumberdaya manusia, permodalan, keamanan
pasar melalui media yang dapat menjangkau dan lainnya. Kebijakan Badan Litbang Pertanian
petani . membentuk UPBS (Unit Pengolahan Benih
Sumber) dan UKT (Unit Komersialisasi
Teknologi) untuk mendukung kegiatan dapat
Strategi pada Subsistem Kelembagaan Petani
dijadikan rintisan. Pengembangan industri alat
Pemberdayaan petani secara individu dan dan mesin dapat dilakukan dengan penajaman
kelompok harus ditumbuhkan, lembaga CBO dari industri mesin dan logam yang ada.
(community based organization) dan Kelem- Efisiensi penggunaan pupuk melalui industri
bagaan Usaha Agribisnis Terpadu secepatnya pupuk tablet (slow release) serta pupuk organik.
didorong untuk dikembangkan. Kelembagaan Di Indragiri Hilir masih terbatas
lain yang sudah ada bersama pemerintah ketersediaan pupuk organik, oleh karena itu
daerah dapat mendorong untuk bertumbuh. perlu didorong berdirinya industri kompos.
Peran dari APCC (Asian and Pacific Coconut
Community) Indonesia menjadi anggotanya Kebijakan Operasional Subsistem Produksi
seyogyanya ikut berperan dalam pembinaan
petani kelapa. Keberadaan Koperasi Unit Desa Kebijakan operasional yang mendukung
di masyarakat perkelapaan sangat strategis, pertumbuhan pusat agribisnis kelapa, salah satu
baik sebagai organisasi pemasaran maupun adalah terkait dengan input luar rendah yaitu
organisasi pembiayaan. penggunaaan pupuk organik, pestisida nabati
dan penggunaan penutup tanah (cover crop).
Demikian pula untuk mendorong pemakaian
KEBIJAKAN
bibit unggul adalah: berdirinya industri bibit,
PENDUKUNG OPERASIONAL STRATEGI
pengemasan dan pelabelan,harga bibit yang
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KELAPA
terjangkau dan mencegah beredarnya bibit
palsu.
Kebijakan Operasional Subsistem Hulu
Kebijakan operasional untuk pengendalian
Rendahnya pemakaian bibit berkualitas/ hama dan penyakit adalah menerapkan paket
bermutu, kebijakan operasionalnya adalah pengendalian terpadu yang dapat menekan
berdirinya industri pembibitan kelapa di sentra- intensitas serangan. Integrasi tanaman kelapa
sentra produksi, pemerintah menyiapkan dan ternak merupakan bagian dari subsistem
fasilitas berupa; (1) menyiapkan semua produksi untuk mengurangi tingkat resiko
perangkat lunak yang diperlukan seperti penurunan produksi kelapa .
Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 38/
Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pemasukan Kebijakan Operasional Subsistem Pengolahan
Hasil
100 Kualitas hasil olahan merupakan tuntutan
kondisi pasar. Oleh karena itu supaya produk
kelapa Indonesia atau Indragiri Hilir mampu
bersaing di pasar internasional perlu diterapkan
standar ISO 9000 tau ISO 14000. Melalui
kelembagaan petani di pedesaan seperti KUD
dapat difungsikan untuk peningkatan kualitas
hasil olahan. Upaya yang perlu dilakukan oleh

Volume 6 Nomor 2, Desember 2007 : 94 - 104


Kebijakan Operasional Subsistem Pemasaran
pemerintah adalah mendorong dan mem- Kelapa
fasilitasi pendirian industri pengolahan dan
sosialisasinya. Untuk efisiensi pemasaran, kebijakan
operasionalnya adalah menekan biaya
tataniaga, pencabutan beberapa Perda tentang
ekspor produk kelapa yang memberatkan
petani, penurunan pajak eksport dan lainnya. mereka bentuk, korporasi berdiri sendiri dan
Penguatan posisi tawar petani dilakukan pemerintah sebagai penjamin.Keterkaitan
melalui peningkatan informasi pasar. Promosi vertikal dan horizontal pada penguatan
produk sebagai ajang peningkatan permintaan kelembagaan petani dapat berfungsi apabila
produk kelapa untuk konsumsi domestik dan ada fungsi pembelajaran, fungsi produksi dan
eksport. Kebijkan operasional melalui fungsi kerjasama (Heru dan Suwandi, 2003)
pendekatan dan pengenalan produk kelapa
yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Kebijakan melalui Diversifikasi Vertikal
Promosi pasar untuk eksport dilakukan dengan untuk Peningkatan Pendapatan
mendorong intensitas usaha-usaha APCC Kebijakan melalui diversifikasi produk kelapa
(Asian and Pacific Coconut Community) dan untuk peningkatan pendapatan petani kelapa
promosi melalui Badan Pengembangan Ekspor melalui diversifikasi vertikal yang artinya
serta kedutaan besar Indonsia. menganekaragamkan produk secara efisien
disertai peningkatan mutu melalui pengolahan
Kebijakan Operasional Subsistem Kelem- terpadu, yang pada akhirnya menghasilkan
bagaan produk yang mempunyai nilai tambah.Sehingga
Keberadaan koperasi di masyarakat lebih kompetitif dan mampu memberikan
perkelapaan adalah sangat strategis baik sebagai pendapatan yang lebih tinggi. Kegiatan
organisasi pemasaran maupun organisasi Diversifikasi vertikal diuraikaan sebagai berikut:
pembiayaan. Kebijakan operasionalnya seperti Minyak kelapa
yang diusulkan Adnyana (2005) pada padi,
Pembuatan minyak kelapa yang dapat
dimungkinkan dapat pula diapikasikan pada
dikembangkan di pedesaan seperti minyak
kelapa yaitu sistem agribisnis koperasi terpadu
klentik yang cara pembuatannya dengan
atau Integrated Corporate Agribusiness System
memarut daging kelapa, hasil parutan dieks-
(ICAS). Bentuk kelembagaan ini adalah petani
traksi dengan air, kemudian dikempa sehingga
melakukan konsolidasi manajemen usaha pada
menghasilkan santan, yang selanjutnya dipanas-
komponen lahan yang memenuhi skala usaha,
kan untuk memperoleh minyak. Pengolahan
untuk kelapa adalah skala KIMBUN, konsolidasi
minyak klentik dengan perbandingan parutan
manajemen dituangkan dalam bentuk
kelapa dengan air 1:2 dengan suhu air
kelembagaan agribisnis seperti CBO, kelompok
pengekstrak 40°C menghasilkan rendemen
usaha tersebut berbentuk korporasi, asosiasi atau
minyak 38,8 % dengankadar air, FFA, aroma
koperasi berbadan hukum,diterapkannya
dan warna memenuhi Standar industri
manajemen korporasi dalam menjalankan sistem
Indonesia untukminyak kelapa (Suhirman et. al.,
usaha agribisnis dan pengembangan kemitraan.
1992). Pembuatan minyak kelapa secara fermen-
Pada kemitraan terpadu dapat dilakukan petani
tasi terhadap santan kelapa cukup sederhana
sebagai plasma bermitra dengan inti (swasta,
dan mampu dikerjakan petani secara industri
eksportir, prosesor) melalui korporasi yang
kecil. Teknologi pengolahan ini telah tersedia,
dimana kelebihan minyak yang dihasilkan
adalah warna lebih baik,bau tidak menyengat
dan diperoleh hasil samping glendo yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan
berprotein tinggi (Anggraeni dan Dhalimi,1998).

Nata de coco
Nata de coco mula-mula dikenal di Filipina
yaitu produk olahan yang terbuat dari air kelapa

Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa... (SABARMAN DAMANIK) 101


pengolahannaya baik dari air maupun nira
dengan bantuan mikro-organisme yang terkenal kelapa telah tersedia.
sangat baik untuk diet makanan berserat di
Indonesia “nata de coco“ telah berkembang Kecap nira kelapa
sebagai home industry dimana teknologi
Kecap merupakan produk khas Indonesia
yang memiliki pasar di beberapa negara minimal serta tanpa penambahan bahan kimia.
permintaan meningkt rata-rata 5% setiap tahun. Teknologi pengolahan minyak kelapa murni
Kecap nira kelap merupakan produk alternatif yang dihasilkan oleb BB-Pascapanen Pertanian
dalam mengurangi pemakaian gula, dengan memiliki beberapa keunggulan yaitu (1) Waktu
rasa dan aroma yang khas berpeluang untuk proses lebih singkat, 3 jam, (2) Penggunaan
terbentuknya pasar tersendiri. Teknologi panas minimal, (3) Tanpa pemurnian Kimiawi,
pengolahan kecap nira kelapa yang memenuhi (4) Kandungan asamlaurat tinggi (48-50%) dan
standar pasar telah tersedia (Tarigans dan (5) Kadar FFA 0,1%. (bb-pascapanen@
Mahmud, 1997). litbang.deptan.go.id. 2007). Produk VCO ini
dapat dihasilkan petani kelapa di pedesaan.
Arang tempurung dan serat sabut

Pengolahan arang tempurung sangat


KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
potensial di Indragiri-Hilir karena bahan
KEBIJAKAN
tersebut sangat banyak tersedia di lapangan.
Pemanfaatan sabut kelapa untuk bahan
Sejalan dengan pemaparan di atas maka
kerajinan tangan juga berpeluang untuk
dapat disimpulkan beberapa hal penting dan
menambah pendapatan petani. Pengolahan
implikasi terhadap kebijakan sistem agribisnis
arang tempurung menggunakan drum yang
kelapa, khususnya strategi pengembangan
dirancang khusus dengan lama pembakaran 2
produk kelapa dalam upaya peningkatan
jam dan pendinginan 2 jam menghasilkan arang
pendapatan petani.
dengan rendemen 29,3%, kadar abu 0,94% dan
kadar air 3,1%. Arang tempurung masih dapat
Kesimpulan
diolah lebih lanjut menjadi arang aktif dimana
teknologi pengolahannya sudah tersedia dan 1. Sistem dan usaha agribisnis kelapa belum
siap pakai. berkembang secara optimal dan kinerja
Serat sabut adalah bagian dari sabut yang antar simpul-simpul agribisnis belum
telah dipisahkan dari debu sabut dengan alat terintegrasi. Sistem dan usaha agribisnis
dekotikator (pengolahan kering) atau penyerat- kelapa yang prospektif berkinerja lebih baik,
an secara biologis melalui perendaman (peng- dapat dikembangkan atas keunggulan dan
olahan basah). Rendemen serat sabut sekitar peluang pada setiap simpul-simpul serta
30%. Serat sabut dipakai untuk pembuatan didukung oleh kebijakan untuk peningkatan
matras, tali, jok mobil, genteng dan karpet. pendapatan petani dan daya saing.
Teknologi anjuran untuk pengolahan serat 2. Strategi pemberdayaan industri hulu adalah
sabut ini telah tersedia baik untuk skala industri pengembangan industri pengadaan bibit
kecil maupun industri besar. dan penajaman industri mesin, serta
Minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil) penajaman industri kimia (bio-fertilizer) yang
ramah lingkungan.
Minyak kelapa murni diperoleh dari daging
3. Strategi bidang produksi adalah pengem-
kelapa segar (non kopra) dengan pemanasan
bangan pusat pertumbuhan agribisnis,
pengalihan teknologi input luar tinggi ke
102 input luar rendah, pemakaian varietas
unggul, pengendalan hama dan penyakit,
pengelolaan tanaman terpadu (PTT), dan
integrasi kelapa dan ternak.
4. Strategi pengolahan hasil adalah perbaikan
mutu kelapa melalui aktivitas budidaya

Volume 6 Nomor 2, Desember 2007 : 94 - 104


dan pengurangan biaya tambahan,
dan pasca panen. Diversifikasi produk penguatan posisi tawar petani, promosi
melalui pengolahan produk jadi. produk dan mencari pelung pasar baru.
6. Strategi pemasaran adalah peningkatan 7. Strategi kelembagaan dan jasa penunjang
efisiensi melalui perbaikan pola pemasaran adalah melalui kelembagaan pasar input
dan output serta permodalan dalam
peningkatan pendapatan petani. Globalisasi karena itu perlu adanya kebijakan yang
merupakan ancaman bagi petani karena memberi peluang dan peranan Lembaga
mereka tidak dipersiapkan, bahkan terkon- penelitian sebagai penghasil teknologi dan
disikan secara individual untuk berhadapan Lembaga penyuluhan sebagai penyampai
dengan konglomerasi. inovasi dan motivator teknologi.

Implikasi Kebijakan DAFTAR PUSTAKA

3. Peningkatan peranan Indonesia di kancah Adnyana, M.O. 2005. Lintasan dan Marka Jalan
perkelapaan dunia diperlukan perbaikan Menuju Ketahanan Pangan Terlanjutkan
sinergisme simpul-simpul agribisnis kelapa. Dalam Rangka Perdagangan Bebas. Badan
Simpul prioritas adalah biaya tidak tetap Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
pada jangka pendek (short run variable cost), Bogor. Indonesia. 35 hlm.
biaya tidak tetap jangka panjang(long run Anggraini dan A. Dhalimi. 1998. Pembuatan
cost) dan “external cost”. minyak kelapa secara fermentasi di
4. Upaya efisiensi produksi tetap dilaksana- Daerah pasang surut. Bulletin. Littri (5) :
kan, selain itu peningkatan pendapatan 54 -56.
petani kelapa juga dapat diupayakan Asian and Pacific Coconut Community (APCC).
dengan melibatkan petani dalam simpul- 2004. Coconut Statistical Year Book.
simpul agribisnis yang menghasilkan nilai Kuningan, Jakarta. 291 hlm.
tambah. Akuba Rusthamrin. 2003. Visi kelembagaan
5. Perluasan areal tetap diupayakan ke daerah perkelapaan Indonesia di era otonomi
yang mempunyai kesesuaian ekologis dan Daerah, Proseding Konfrensi Kelapa V,
mempunyai keuntungan komparatif, Tembilahan, Oktober 2002. Hlm 133-136.
6. Simpul terlemah dalam sistem agribisnis Board Riau Province 2005. Profil of invesment
kelapa adalah penggunaan varietas unggul, Project Riau Province. Hlm 97 – 104.
hanya sekitar 15% petani kelapa yang Bunch, R. 1991. Dua Tongkol Jagung. Pedoman
menggunakan bibit unggul. Guna Pengembangan Pertanian Berpangkal
mempercepat penggunaan varietas unggul, pada rakyat. Yayasan Obor Indonesia
segera dibangun industri pembibitan dan Jakarta.309 hlm.
penangkar, terutama di sentra produksi Beattie, B. R., and C. R. Taylor. 1996 . Ekonomi
kelapa. Produksi. Penerbit Gajah Mada
7. Sosialisasi dan peningkatan pengetahuan University Press, Yogyakarta.
teknis petani tentang penggunaan input Bilas, R. 1992. Teori Mikro Ekonomi. Penerbit
alternatif perlu diupayakan. Erlangga Jakarta.
Coen R, B. Haverkort dan Ann Waters Bayer.
8. Ketersediaan teknologi dan alih teknologi
1999. Pertanian Masa Depan (terjemah-
menjadi tanggung jawab pemerintah. Oleh
an Y. Sukoco S.S). Kanisius, Yogyakarta.
Hlm 7-9.
Hasni, H. 2004. Evaluasi Pola Pemanfaatan
Sumber Daya Lahan di Antara Kelapa
Dengan Tenaman Sela, Berdasarkan
Kajian Aspek Sosek dan Konservasi
Lahan, Disertasi Doktor, Sekolah Pasca
Sarjana IPB 2002.192 pp.
Heru Salam dan I.Suwandi, 2003. Penguatan
Kelembagaan petani Kelapa melalui

Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa... (SABARMAN DAMANIK) 103


Kurian, TM. 1997. Multistroyed
penguasaan teknologi dalam rangka cropping in coconut
pengembangan agroindustri. Proseding garden of Kerala. Indian
Konfrensi Kelapa V, Tembilahan Okt Coconut J.10 (3) : 7 -8 .
2002. Hlm 101-105
Luntungan. H.T., Effendi. D, Supriadi. H. dan
Damanik, S. 2005. Laporan Kegiatan Sudarman, A. dan Alghifari. 1992. Ekonomi
Peningkatan Pendapatan Petani Kelapa Mikro. BPFE. Yogyakarta.
di Riau. Sudaryanto T., I.W. Eusastra, E. Jamal dan
Nicholson, W. 1999. Teori Ekonomi Mikro Amirudin Syam, 2001. Pengembangan
Prinsip Dasar dan Pengembangannya. teknologi pertanian berbasis agribisnis.
Radja Grefindo Persada. Jakarta. Seminar Nasional Pengembangan
Nurjanah, N. 1996. Diversifikasi hasil lada. Teknologi Pertanian, tanggal 30-31
Oktober 2001 di Mataram. 11 hal.
Monografi Tanaman Lada. Balittro.
Bogor. Hlm 222-225. Suhirman, S., T. Marwati dan T.H. Savitri. 1992.
Perbaikan cara pembuatan minyak
Pranowo, D. dan H.T. Luntungan. 1993.
klentik. Medkom. Littantri (10) : 65 -68.
Penampilan produksi beberapa Tipe
kelapa lahan pasang surut Pulau Suprapto, A. 1998. Prospek pengembangan
Riman. PT Sumatera Candi Kencana. agribisnis kelapa dalam era globalisasi.
Proseding Konfrensi Nasional Kelapa Prosiding Konperensi Nasional Kelapa
III, Buku IV. Hlm 541 - 547. IV. Bandar Lampung, tgl 21-23 April
1998. Hlm 77 -98.
Saragih, B.2001. Membangun Sistem Agribisnis.
Tarigans, D.D. dan Z. Mahmud. 1997.
Suara dari Bogor. Yayasan USESE,
Diversifikasi usahatani kelapa ber-
Pustaka Wirausaha Muda. Edisi kedua.
wawasan agribisnis. Prosiding Temu
Bogor. 206 hlm.
Usaha Perkelapaan Nasional Manado,
Saragih, B. 2002. Penerapan teknologi tepat
6-8 Januari 1997.
guna dalam pengembangan system
agribis-nis kerakyatan dan Tarigans, D.D. 2005. Diversifikasi usahatani
berkelanjutan. Analisis kebijaksanaan kelapa sebagai upaya untuk pening-
pendekatan pembangunan dan katan pendapatan petani. Perspektif
kebijaksanaan Pengembangan Review Penelitian Tanaman Industri
Agribisnis. Pusat Pene-litian dan 4(2) : 71-78.
Tenda,E.T., Miftahorrachman, H.G. Lengkey.
Pengembangan Sosial Ekonomi
1998.Stabilitas produksi kelapa hibrida
Pertanian. Monograf 22 : 8 hlm.
KHINA dan tetuanya.Prosiding Seminar
Regional Hasil Penelitian Kelapa dan
Palma lain, Februari 1998. Manado.
Yasin, A.Z. Fachri. 1998. ASPEC Social Ekonomi
kelapa di Propinsi Riau. Prosiding
Konperensi Nasional Kelapa IV. Bandar
Lampung, 21-23 April 1998. Hlm 421-
434.

104

Volume 6 Nomor 2, Desember 2007 : 94 - 104

Anda mungkin juga menyukai