Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Respiratory Distress Syndrom (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan
merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan
terutama pada bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang (Suriadi dan
Yulianni, 2006). Secara klinis bayi dengan RDS menunjukkan takipnea,
pernapasan cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta, expiratory grunting
(merintih) dalam beberapa jam pertama kehidupan. Tanda-tanda klinis lain,
seperti: hipoksemia dan polisitema. Tanda-tanda lain RDS meliputi hipoksemia,
hiperkabia, dan asidosis respiratory atau asidosis campuran (Kompas, 2012).
Angka kejadian RDS di Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid
dan postnatal surfaktan sebanyak 2-3 %, di USA 1,72% dari kelahiran bayi
hidup periode 1998 - 1987. Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa
sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatalsurfaktan, terdapat
angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidupperiode
1986-1987. Sedangkan jaman moderen sekarang ini dari pelayanan NICU turun
menjadi 1% di Asia Tenggara. Di Asia Tenggara penyebab terbanyak dari
angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah RDS. Sekitar 5 -10%
didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500
gram. Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan
menurun sejak digunakan surfaktan eksogen. Saat ini RDS didapatkan kurang
dari 6% dari seluruh neonatus. Di negara berkembang termasuk Indonesia
belum ada laporan tentang kejadian RDS (WHO, 2012).
Dampak lanjut dari kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada
alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan
perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance)
menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal
meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan
asidosis respiratorik.
Masalah tersebut dapat diatasi dengan peran aktif petugas kesehatan baik
berupa promotif, preventiv, kuratif dan rehabilitatif. Hal ini dilakukan dengan
pendidikan kesehatan, pencegahan, pengobatan sesuai program dan
memotivasi klien agar cepat pulih sehingga dapat meningkatkan derajat
kesehatan secara optimal. Oleh karena itu penulis tertarik mengangkat judul
“Asuhan Keperawatan pada Anak dengan RDS”.

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mahasiswa tentang
asuhan keperawatan pada anak dengan RDS
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa/i mampu memahami tentang pengertian RDN
b. Mahasiswa/i mampu memahami tentang penyebab RDN
c. Mahasiswa/i mampu memahami tentang patofisiologi RDN
d. Mahasiswa/i mampu memahami tentang manifestasi klinik dari RDN
e. Mahasiswa/i mampu memahami tentang komplikasi dari RDN
f. Mahasiswa/i mampu m memahami tentang pemeriksaan diagnostik
RDN
g. Mahasiswa/i mampu m memahami tentang penatalaksanaan RDN
h. Mahasiswa/i mampu memahami tentang asuhan keperawatan pada
RDN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit


2.1.1 Pengertian
Respiratory Distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang
terdiri dari dispnea, frekuensi pernapasan > 60 kali per menit, ada sianosis,
ada rintihan saat ekspirasi (expiratory Grunting), serta adanya retraksi supra
sternal, intercostal dan epigastrium saat inspirasi. Penyakit ini merupakan
penyakit membran hialin dimana terjadi perubahan atau berkurangnya
komponen surfactan pulmoner (Hidayat, 2008).
Respirasi Distress Syndrome (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan
adalah sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama
pada bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang (Malloy, 2000).
Sindrom Distres Pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada
sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS
dikatakan sebagai hyalin membrane diseaser (Suriadi dan Yulianni, 2006).
Sindrom Distres Pernapasan adalah sekumpulan temuan klinis,
radiologis, dan histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru
dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak
menyisakan udara diantara usaha napas (Bobak, 2005).
Jadi berdasarkan dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa RDS
adalah sekumpulan gejala gawat nafas pada neonatus yang timbul akibat
ketidakmaturan dan ketidakmampuan sel untuk menghasilkan surfaktan yang
memadai.
Sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome, RDS) adalah
istilah yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus
(AsriningSurasmi, dkk, 2003).
RDS adalah penyakit paru yang akut dan berat, terutama menyerang
bayi-bayi preterm, hal ini dapat terlihat pada 3% sampai 5% bayi-bayi cukup
bulan (Donna L. Wong, 2003).
2.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian RDS di Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid
dan postnatal surfaktan sebanyak 2-3 %, di USA 1,72% dari kelahiran bayi
hidup periode 1998 - 1987. Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa
sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan post natal surfaktan, terdapat
angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode
1986-1987. Sedangkan jaman moderen sekarang ini dari pelayanan NICU
turun menjadi 1% di Asia Tenggara. Di Asia Tenggara penyebab terbanyak
dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah RDS. Sekitar 5
-10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-
1500 gram. Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat
badan dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen. Saat ini RDS
didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus. Di negara berkembang
termasuk Indonesia belum ada laporan tentang kejadian RDS (WHO, 2012).

2.1.3 Etiologi
Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) etiologi dari RDS yaitu:
1. Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.
2. Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan
pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar
kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.
3. Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam
proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit oleh
makrofag.
4. Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
5. Adanya kelainan di dalam dan di luar paru
Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah
pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH).
6. Bayi prematur atau kurang bulan
Diakibatkan oleh kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini
dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan,
maka semakin besar pula kemungkinan terjadi RDS.
Etiologi untuk penyakit RDS atau PMH sampai sekarang belum
diketahui dengan pasti (idiopatik). Tetapi dapat diketahui beberapa faktor
predisposisi penyebab sindrom ini dapat terjadi yaitu :
1. Kelainan faktor pertumbuhan (kematangan paru belum sempurna)
2. Bayi dengan prematuritas
3. Ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan,
misalnya ibu yang menderita diabetes melitus, toksemia gravidarum,
hipotensi, seksio sesar, dan perdarahan antepartum
4. Pembentukan substansi surfaktan paru yang tidak sempurna.
Kelainan dianggap terjadi karena faktor pertumbuhan atau
pematangan paru yangbelum sempurna antara lain: bayi prematur,
terutama bila ibu menderita gangguan perfusi darah uterus selama
kehamilan, misalnyaibu dengan: diabetes, toxemia, hipotensi,
perdarahan, sebelumya melahirkan bayi dengan PMH.
Penyakit membrane hialin atau RDS ini diperberat dengan:
asfiksia pada perinatal, hipotensi, infeksi, bayi kembar. 
Sindroma gawat pernafasan hampir selalu terjadi pada bayi
prematur, semakin prematur, semakin besar kemungkinan terjadinya
sindroma ini. Sindroma gawat pernafasan juga cenderung banyak
ditemukan pada bayi yang ibunya menderita diabetes. Bayi yang
sangat prematur mungkin tidak mampu untuk memulai proses
pernafasan karena tanpa surfaktan paru-paru menjadi sangat kaku.
Bayi yang lebih besar bisa memulai proses pernafasan, tetapi karena
paru-paru cenderung mengalami kolaps, maka terjadilah sindroma
gawat pernafasan.
Beberapa penyebab yang dapat menimbulkan gangguan
pernapasan pada bayi baru lahir  adalah :
a) Atelektasis
Pengembangan paru yang tidak lengkap saat lahir atau sebentar
setelah lahir bisa mengenai satu lobus paru atau yang mengenai
satu lobus paru
b) Pematangan paru yang kurang sempurna pada bayi baru lahir
Pada bayi premature alat-alat tubuhnya belum matur dan terbentuk
kurang sempurna baik anatomic maupun fisiologik
c) Pembentukkan substansi surfaktan yang tidak sempurna
Surfaktan adalah zat yang memegang peranan penting dalam
pengembangan paru dan terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak.
Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini terbentuk pada
kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke-
35
d) Tidak lancarnya absorbsi cairan paru
e) Pusat pernapasan di medulla yang belum matur
Sering timbul pernapasan periodic atau apnea. Bentuk pernapasan
ini sering ditemukan pada bayi dengan berat badan < 2000 gram
atau masa gestasi < 36 minggu, jarang timbul dalam 24 jam pertama
kelahiran dan dapat berlangsung sampai kira-kira 6 minggu.
f) Belum menutup duktus arteriola
g) Aspirasi mekonium yang masif
Hal ini terjadi apabila cairan amnion yang mengandung cairan
mekonium terinhalasi oleh bayi.
h) Pneumonia bakteri atau virus
i) Sepsis
j) Obstruksi mekanis
k) Hipotermia
Kehilangan panas disebabkan oleh permukaan tubuh bayi yang
relative lebih luas bila dibandingkan dengan berat badan, kurangnya
lemak cokelat (brown fat). (Wong, 2004)

2.1.4 Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang,
pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah,
produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan
kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut
menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru
(compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting
intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang
menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan
mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi
menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan
berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan
tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya
atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal menyebabkan edema
interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi
dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi
tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis
yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen,
menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan
bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari
darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah
jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk
pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada
bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan
dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal
Displasia (BPD) (Aziz alimul Hidayat,2008).

2.1.5 Manifestasi klinis


Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia
kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan. Manifestasi dari RDS
disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel dan
selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga
menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu : adanya sesak
nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea
(> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung,expiratory grunting, retraksi dinding
dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah
lahir (Newel, 2005). Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 3
stadium RDS yaitu:
a. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara.
b. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer
menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
c.  Alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih
opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih
luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung
tak dapat dilihat.

2.1.6 Komplikasi
Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) komplikasi yang kemungkinan terjadi
pada RDS yaitu:
a.  Komplikasi jangka pendek
1) Kebocoran alveoli 
Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstitial), pada
bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal
hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2) Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat
timbul kerana tindakan invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter,
dan alat-alat respirasi.
3) Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
b. Komplikasi jangka panjang
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen,
tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan
oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang
yang sering terjadi yaitu:
1)   Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen
pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan
tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan
defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa
gestasi.
2)   Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi
intrakranial, dan adanya infeksi.

2.1.7 Pemeriksaan diagnostik


1. Pemeriksaan analisa gas darah untuk mengetahui kadar PCO2 dan PaO2
untuk menentukan hipoksemia, hipokapnia , asidosis dan alkalosis pada
tahap dini
2. Foto rontgen thorak
Untuk mengetahui kemungkinan adanya kardiomegali bila sistim lain bila
terkena. Tes fungsi paru untuk mengetahui keadaan paru kanan dan paru
kiri.

2.1.8 Penatalaksanaan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) tindakan untuk mengatasi masalah
kegawatan pernafasan meliputi:
a. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
b. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
c. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
d. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
e. Mencegah hipotermia.
f. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
a. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
b. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan
cairan paru.
c. Fenobarbital.
d. Vitamin E menurunkan produksi radikal bebas oksigen.
g. Metilksantin (teofilin dan kafein) untuk mengobati apnea dan untuk
pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik.
h. Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam
pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen (derifat dari
sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru
sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan).

2.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


2.2.1 Pengkajian
a. Anemese
1) Identitas
Insiden sering terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000 -
2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu dan tertinggi
didapatkan pada bayi prematur laki-laki. Pada laki-laki, androgen
menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi
surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. (Williams, 2012)
2) Keluhan Utama
Sesak napas
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak nafas atau pernapasan cepat. Frekuensi pernafasan lebih dari
60 x/menit, pernafasan cepat dan dan dangkal timbul setelah 6–8 jam
pertama setelah lahir dan gejala karakteristik mulai terlihat pada umur
24 – 72 jam
4) Riwayat Penyakit Dahulu (Kehamilan, Persalinan dan Nifas yang
Sekarang )
 Pre natal : lbu mengalami gangguan perfusi darah uterus
kehamilan mis : DM, Toksemia gravidium, Hipotensi, dan
perdarahan ante partum.
 Natal: Bayi dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir dan lahir
melalui seksio sesar akan memperberat keadaan.
 Post Natal : Bayi yang dengan BBLR sangat memperberat
keadaan
5) Riwayat Persalinan
a. Persalinan ditolong oleh :Dokter/Bidan
b. Jenis persalinan : SC
6) ADL (Activity daily life)
 Nutrisi : Bayi dapat kekurangan cairan sebagai akibat bayi
belum minum atau menghisap
 Istirahat tidur : Kebutuhan istirahat terganggu karena adanya
sesak nafas ataupun kebutulan nyaman tergangu akibat
tindakan medis
 Eliminasi : Penurunan pengeluaran urine
7) Psikososial spiritual
Pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang
menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi/drug
abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik (Arma, 2013).

b. Pemeriksaan Fisik
 Kepala
Bentuk kepala Normochepal, fontanel Anterior masih lunak, Ubun-
ubun besar dan kecil belum menutup, sutura sagital datar dan
teraba,.
 Mata
Mata simetris, reflek terhadap sentuhan, reflek pupil, respon
terhadap cahaya, reflek kedip.
 Telinga
Telinga lunak dan mudah terlipat
 Hidung
Bentuk simetris, pernafasan cuping hidung
 Mulut
Simetris, kebiruan, stomatitis, refleks hisap, reflek rooting
 Dada dan Paru- paru
- Penampian umum : Bentuk dada menonjol bentuk dada burung
(pektus karniatum), pergerakan antara dada kiri dan dada
kanan sama, retraksi suprasternal, intercosta, retraksi dinding
epigastrium
- Terdengar suara napas merintih saat ekspirasi (expiratory
grunting)
- Frekuensi nafas: takipneu adalah manifestasi awal distress
pernafasan pada bayi
 Jantung
Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi:
- Frekuensi jantung dan tekanan darah adanya sinus tachikardi
merupakan rspon umum adanya stress, ansietas, nyeri, demam,
atau kelainan fungsi jantung.
 Abdomen
Bentuk abdomen supel dan auskultasi bising usus terdengar 6-12
kali/menit
 Ekstremitas
Ekstermitas dapat bergerak bebas, ujung jari merah mudah/
syanosis, CRT dalam waktu 2 detik.
 Kulit
Warna kulit, sianosis, skin rush, ikterik, turgor kulit jelek, kulit
longgar disebabkan karena lemak subkutan berkurang, terdapat
lanugo.

c. Pemeriksaan penunjang
 Foto rontgen thorak
Untuk mengetahui luasnya paru/alveoli yang kolaps, dan
komplikasi RDS ke organ lain seperti jantung
 Pemeriksaan hasil analisa gas darah
Untuk mengetahui keseimbangan asam basa dalam tubuh. Untuk
mengetahui adanya hipoksemia, hipokapnia, dan alkalosis
respiratori ( pH >7,45) pada tahap dini
 Tes fungsi paru
Untuk mengetahui keadaan paru kanan dan paru kiri.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1) Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolar kapiler
ditandai dengan sesak napas, napas cuping hidung, sianosis.
2) Ketidakefektifan pola napas b.d imaturitas ditandai dengan bradipnea,
dispnea, takipnea, perubahan kedalaman pernapasan.
3) Ketidakseimbangan perfusi jaringan perifer b.d imaturitas ditandai dengan
sianosis, bradikardi
4) Hipotermi b.d berada di lingkungan yang dingin ditandai dengan kulit
dingin, menggigil, takikardi, suhu dibawah normal, dasar kuku sianotik,
pucat.
5) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d imaturitas ditunjang
dengan data sianosis
6) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d factor biologis
ditandai dengan makanan dan reflex mengisap menurun,
ketidakmampuan menelan.
7) Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik ditandai dengan anak tampak
lemah, gerakan ekstrimitas tidak aktif
8) Gangguan perfusi jaringan ginjal b/d hipokjsia jaringan ditandai dengan
penurunan produksi urine

2.2.3 Perencanaan
1) Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolar kapiler
ditandai dengan sesak napas, napas cuping hidung, sianosis.
Goal : Klien akan terbebas dari gangguan pertukaran gas
Objective : Klien akan meningkatkan elastisitas membran alveolar
Outcomes :Dalam jangka waktu 3 x 24 jam perawatan klien akan:
a)    Jalan nafas bersih
b)    Frekuensi jantung 100-140 x/menit
c)     Pernapasan 40-60 x/menit
d)    Takipneu atau apneu tidak ada
e)     Sianosis tidak
Intervensi:
1. Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi
telentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap
dalam posisi ’mengendus’.
R:untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
2. Hindari hiperekstensi leher.
R: karena akan mengurangi diameter trakea.
3. Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan, kenali
tanda-tanda distres misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung,
apnea.
R: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan mencegah
terjadinya distres pernafasan.
4. Lakukan penghisapan mukus.
R: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring, trakea,
dan selang endotrakeal.
5. Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan.
R: memastikan bahwa jalan napas bersih.

2) Ketidakefektifan pola napas b.d imaturitas ditandai dengan bradipnea,


dispnea, takipnea, perubahan kedalaman pernapasan.
Goal : Klien akan terbebas dari gangguan pola napas selama
dalam perawatan.
Objektive : Klien akan meningkatkan pertumbuha
Outcomes : Dalam waktu 3x24 jam perawatan klien menunjukkan:
Tidak sesak napas, pola napas dalam batas normal (40-60x/menit), tidak
ada retraksi dinding dada.
Intervensi :
1. Berikan lingkungan yang kondusif
R: Supaya bayi dapat tidur dan memberikan rasa nyaman.
2. Gunakan alat bantu nafas sesuai intruksi.
R: Memudahkan memelihara jalan nafas atas.
3. Pantau ventilator setiap jam
R: Mencegah turunnya konsentrasi mekanik dan kemungkinan
terjadinya komplikasi.
4. Observasi tanda-tanda vital bayi
R: Mendeteksi dan mencegah adanya komplikasi.
5. Analisa Monitor serial gas darah sesuai program.
R: Mempertahankan gas dara1h optimal dan mengetahui perjalanan
penyakit.

3) Ketdakseimbangan perfusi jaringan perifer b.d imaturitas ditandai dengan


sianosis, bradikardi
Goal : Klien akan meningkatkan perfusi jaringan yang adekuat
selama dalam perawatan.
Objektive : Klien akan meningkatkan pertumbuhan yang adekuat
selama dalam perawatan.
Outcomes : Dalam waktu 3x24 jam perawatan, klien menunjukkan:
tidak sianosis, nadi dalam batas normal (120-160x/menit).
Intervensi :
1. Tinggikan bagian kepala tempat tidur
R: untuk meningkatkan sirkulasi pada ekstermitas bawah pasien.
2. Observasi tanda-tanda vital pada bayi
R; untuk menilai keadaan bayi.
3. Kaji warna dan tekstur kulit pasien
R: penurunan perfusi mengakibat kulit menjadi lebih dingn dan tektur
kulit berubah.
4) Hipotermi b.d berada di lingkungan yang dingin ditandai dengan kulit
dingin, menggigil, takikardi, suhu dibawah normal, dasar kuku sianotik,
pucat.
Goal : Klien akan terbebas dari hipotermi selama dalam
perawatan.
Objektive : Suhu lingkungan terjaga selama dalam perawatan
Outcomes : Dalam waktu 3x24 jam perawatan, klien menunjukkan:
tidak menggigil, akral hangat, suhu normal (36,5-37,5 0C), dasar kuku tidak
sianotik, tidak pucat.
Intervensi :
1. Berikan tindakan pendukung, seperti selimuti bayi, menempatkan bayi
di tempat tidur yang hangat,
R: tindakan tersebut melindungi bayi dari kehilangan panas.
2. Observasi tanda-tanda vital bayi
R: untuk menilai keadaan umum bayi
5) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d imaturitas ditunjang
dengan data sianosis
Goal : Klien akan terhindar dari resiko infeksi selama dalam
perawatan.
Objektive : Klien akan meningkatkan pertumbuhan selama dalam
perawatan.
Outcomes : Dalam waktu 3x24 jam perawatan, klien menunjukkan:
tidak sianosis.
Intervensi :
1. Tinggikan bagian kepala tempat tidur
R: untuk meningkatkan sirkulasi pada ekstermitas bawah pasien.
2. Observasi tanda-tanda vital pada bayi
R; untuk menilai keadaan bayi.
3. Kaji warna dan tekstur kulit pasien
R: penurunan perfusi mengakibat kulit menjadi lebih dingn dan tektur
kulit berubah.
6) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d factor biologis
ditandai dengan makanan dan reflex mengisap menurun,
ketidakmampuan menelan.
Goal : klien akan meningkatkan nutrisi yang adekuat selama
dalam perawatan.
Objektive : Klien akan terhindar dari factor biologis yang lebih lanjut
selama dalam perawatan.
Outcomes : Dalam waktu 3x24 jam perawatan, klien menunjukkan:
mencapai status nutrisi normal dengan berat badan yang sesuai.,
mencapai keseimbangan intake dan output, bebas dari adanya komplikasi
Gl, lingkar perut stabil.
Intervensi :
1. Timbang helat badan tiap hari.
R: Mendeteksi adanya penurunan atau peningkatan berat  badan.
2. Berikan glukosa 5-10% banyaknya sesuai umur dan berat badan.
R:Diperlukan keseimbangan cairan dan kehutuhan kalori secara
parsiasif.
3. Monitor adanya komplikasi GI:
 Disstres
 Konstipasi / diare.
 Frekwensi muntah
R:Mempertahankan nutrisi cukup energi dan keseimbangan
intake dan output.
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi disesuaikan dengan kriteria hasil.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Respirasi Distress Syndrome (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan
adalah sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama
pada bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang (Malloy, 2000).
Sindrom Distres Pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada
sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS
dikatakan sebagai hyalin membrane diseaser (Suriadi dan Yulianni, 2006).
Sindrom Distres Pernapasan adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis,
dan histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit
pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara
diantara usaha napas (Bobak, 2005).
Jadi berdasarkan dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa RDS
adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dan ketidakmampuan sel
untuk menghasilkan surfaktan yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wong. Donna.L (2009) Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC


2. Axton & Fugate. (2014) Buku Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik.
Jakarta: EGC
3. Nelson (2012) Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
4. Muscari. Mary E (2005) Buku Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik.
Jakarta: EGC
5. Hidayat,Alimul (2008) Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk pendidikan
Bidan. Jakarta: Salemba Medika
6. Newel, J. Simon (2005) Pediatrika. Jakarta: PT. Erlangga (Erlangga Medical Series)

Anda mungkin juga menyukai