Makalah Han Tentang Uu No 30 Tahun 2014
Makalah Han Tentang Uu No 30 Tahun 2014
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1
BAB II
PEMBAHASAN
Salah satu bentuk pengawasan yudisial adalah oleh peradilan administrasi yang melalui
mekanisme suatu gugatan oleh orang atau badan hukum perdata. Pada hakikatnya tidak
berbeda dengan tugas peradilan pada umumnya yaitu mempertahankan hukum materiil dalam
hal ini hukum administrasi materiil. Penjelasan Undang-Undang Peradilan Administrasi
menyebutnya sebagai sarana penyelesian sengketa antara administrasi negara dengan rakyat.
Dari aspek lain disebut juga sebagai sarana pemelihara agar penyelenggaraan pemerintahan
oleh aparat pemerintah selalu berdasar dan menurut hukum.1
Administrasi pemerintahan dalam hal ini didefinisikan sebagai tindakan pejabat atau
badan pemerintahan yang memiliki kekuatan hukum mengikat secara eksternal yang
didasarkan kepada pengujian syarat dan prasyarat yang telah ditetapkan dalam undang-
undang atau produk hukum lainnya. UU AP mengatur hubungan antara badan atau pejabat
administrasi pemerintahan dengan masyarakat. Dalam hubungan antara badan atau pejabat
administrasi pemerintahan dengan masyarakat ini sangat erat kaitannya dengan badan atau
pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1
butir 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU
PERATUN) merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Badan atau Pejabat Tata
1
Fachruddin, Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Bandung: P.T. Alumni, 2004, Hlm.18
2
Usaha Negara dalam melaksanakan urusan pemerintahan, memiliki kewenangan
mengeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara inilah
yang bersinggungan dengan masyarakat dalam hal pelayanan publik.
2
Lotulung, Paulus E., Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap
Pemerintah, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, Hlm.xv
3
jenis Keputusan, sistem dan model pengujian Keputusan, sanksi administratif dan lain
sebagainya. Dalam konteks penegakan hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan, maka
UU AP ini juga menjadi landasan baru bagi Peradilan Tata Usaha Negara dalam menguji
sengketa Tata Usaha Negara.
A. PERMASALAHAN
Diskresi juga diatur sebagai salah satu obyek gugatan di PTUN. Pasal 1 butir 9
menyebutkan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
4
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan
pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan. Hal ini berefek pada bertambahnya ruang lingkup obyek gugatan yang dapat
diajukan ke PTUN.
Ruang lingkup sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di PTUN
juga semakin luas karena disebutkan dalam Pasal 87, Keputusan Badan dan/atau Pejabat
TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya.
Sementara UU PERATUN masih mengandung konsep yang lebih rigid dan sempit.
Sumber hukum materil dalam sebuah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara juga
belum terakomodir melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU AP akan mempermudah para hakim di Pengadilan
Tata Usaha Negara dalam menguji sebuah sengketa administrasi karena dapat menjadi
sumber hukum materil dalam suatu pengujian Keputusan Tata Usaha Negara.
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara menyatakan jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. Pasal 3 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan
dalam hal peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan
sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan
dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
5
B. PEMBAHASAN
Putusan adalah hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau proses
peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses bermula telah membebani pihak-
pihak. Dari rangkaian proses peradilan tidak satupun di luar putusan peradilan yang dapat
menentukan hak suatu pihak dan beban kewajiban pada pihak lain, sah tidaknya suatu
tindakan menurut hukum dan meletakkan kewajiban untuk dilaksanakan oleh pihak yang
diwajibkan dalam perkara. Diantara proses peradilan hanya putusan yang menimbulkan
konsekuensi krusial kepada para pihak.
3
Fachruddin, Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Bandung: P.T. Alumni, 2004, Hlm.209
6
Bersifat konkret, individual dan final
Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.4
Artinya pejabat TUN dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya
sekesar dilihat dari adanya tindakan hukum dalam bentuk terbitnya sebuah beschikking akan
tetapi penetapan juga dimaknai dalam bentuk dan atau Tindakan Faktual. Secara teoritis,
Tindakan Faktual selama ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum pemerintah namun
merupakan Tindakan Faktual yang dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.
Tindakan Faktual sebagai bagian dari KTUN sebagai obyek gugatan dalam sengketa
TUN merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari adanya ketentuan tentang Diskresi yang
diatur dalam pasal 22 – pasal 32 UU AP. Dalam pasal 1 ayat (9) disebutkan Diskresi adalah
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan ruang
bagi pejabat TUN untuk menerbitkan Diskresi. Persoalannnya kemudian, bagaimana menguji
produk pejabat TUN berupa Diskresi tersebut ? Kriteria KTUN versi UU PERATUN,
lingkup kewenangan PTUN hanya terbatas pada pengujian terhadap KTUN. Disinilah salah
satu poin penting dalam pengharmonisasian UU PERATUN yang baru.
4
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, Hlm.163
7
Berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU PTUN, makna menimbulkan akibat hukum dapat
ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa, Hakim PTUN dalam
mengonstruksi kerugian hukum berdasarkan adanya fakta kerugian hukum yang langsung,
berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan kerugian yang nyata. Adanya kerugian
langsung dan nyata dapat ditelusuri apabila KTUN yang dipersoalkan tersebut memiliki
hubungan hukum dengan orang atau badan hukum perdata. Namun dengan adanya klausul
“berpotensi menimbulkan akibat hukum” menyebabkan adanya perluasan makna terhadap
legal standing orang atau badan hukum perdata yang akan menggugat di PTUN yang
kerugiannya belum nyata sekalipun telah dapat digugat di PTUN.
Klausul Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat, menambah makna baru dari
Individual dalam kriteria sebuah KTUN dan memperluas peluang legal standing warga
masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN. Hilangnya redaksi
“Individual” dalam pasal 1 ayat (7) dan pasal 87 UU AP, dalam konteks pengujian KTUN di
PTUN, maka pemaknaan KTUN sebagai sebuah keputusan yang berlaku bagi warga
masyarakat sangat relevan dengan asas yang berlaku terhadap pemberlakuan putusan PTUN
yakni asas erga omnes (asas yang menegaskan putusan Peradilan Administratif bersifat
mengikat secara publik tidak hanya dengan pihak-pihak yang terkait langsung dengan sebuah
perkara atau KTUN).
C. TABEL ANALISIS
8
UU PTUN UU AP
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Bertolak belakang pada Pasal 77 ayat (5) UU
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha AP menyebutkan tentang penyelesaian upaya
Negara menyatakan jika suatu Badan atau administratif berupa keberatan harus
Pejabat Tata Usaha Negara tidak diselesaikan dalam jangka waktu
mengeluarkan keputusan yang dimohon, sebagaimana dimaksud, maka keberatan
sedangkan jangka waktu sebagaimana tersebut dianggap dikabulkan. Disini dapat
ditentukan dalam peraturan perundang- dilihat perubahan paradigma dalam
undangan dimaksud telah lewat, maka Badan pelayanan publik. Hal ini akan mendorong
atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
dianggap telah menolak mengeluarkan Hukum acara mengenai pengajuan
keputusan yang dimaksud. permohonan ini semestinya harus
menyesuaikan diri agar tidak terjadi tumpang
tindih dalam tindakan dan keputusan pihak
yang berwenang.
Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Dengan adanya definisi yang lebih luas
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha dalam UU AP, kriteria KTUN dalam UU
Negara menyebutkan dalam hal peraturan PTUN menjadi tidak relevan lagi. Namun
perundangan-undangan yang bersangkutan dalam pasal 87 UU AP menjunjukkan kriteria
tidak menentukan jangka waktu sebagaimana KTUN yang diatur dalam UU PTUN masih
dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat diakui eksistensinya sepanjang diberikan
jangka waktu empat bulan sejak diterimanya pemaknaan yang lebih luas terhadap makna
permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha sebuah KTUN.
Negara yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan.
Berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU PTUN, Hilangnya redaksi “Individual” dalam pasal 1
makna menimbulkan akibat hukum dapat
ayat (7) dan pasal 87 UU AP, dalam konteks
ditelusuri oleh adanya kerugian hukum.
pengujian KTUN di PTUN, maka pemaknaan
Dalam pengujian sengketa, Hakim PTUN
dalam mengonstruksi kerugian hukum KTUN sebagai sebuah keputusan yang
berdasarkan adanya fakta kerugian hukum berlaku bagi warga masyarakat sangat
yang langsung, berdasarkan asas kausalitas relevan dengan asas yang berlaku terhadap
dan menimbulkan kerugian yang nyata. pemberlakuan putusan PTUN yakni
asas erga omnes (asas yang menegaskan
putusan Peradilan Administratif bersifat
9
mengikat secara publik tidak hanya dengan
pihak-pihak yang terkait langsung dengan
sebuah perkara atau KTUN).
Selama ini berdasarkan Pasal 2 huruf e UU Tindakan Faktual sebagai bagian dari KTUN
PTUN, hanya terdapat satu sumber KTUN sebagai obyek gugatan dalam sengketa TUN
yang dikecualikan yakni KTUN mengenai merupakan bagian yang tidak terpisahkan
tata usaha Tentara Nasional Indonesia. Pada dari adanya ketentuan tentang Diskresi yang
perkembangannya, tata usaha TNI saat ini diatur dalam pasal 22 – pasal 32 UU AP.
sepenuhnya berada di lingkungan eksekutif, Dalam pasal 1 ayat (9) disebutkan Diskresi
baik yang dikoordinasikan melalui adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang
Kementerian Pertahanan maupun Markas ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat
Besar TNI di bawah komando Panglima TNI. Pemerintahan untuk mengatasi persoalan
konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya
stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan
ruang bagi pejabat TUN untuk menerbitkan
Diskresi.
BAB III
10
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
11
Fachruddin, Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Bandung: P.T. Alumni, 2004
peraturan.kemenkumham.go.id
ptun-palangkaraya.go.id
ptun-samarinda.go.id
12