Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembangunan Hukum Administrasi Negara merupakan prasyarat dalam pembangunan


administrasi negara untuk menciptakan Good Governance. Dalam kaca mata administrasi
negara, reformasi administrasi adalah pembenahan sejumlah kebijakan hukum yang terkait
dengan struktur, proses dan manajemen baik dalam bidang keuangan, pengawasan, sumber
daya manusia aparatur, akuntabilitas dan transparansi serta proses pembuatan kebijakan dan
implementasinya. Reformasi administrasi negara berarti pula reformasi dalam bidang hukum
administrasi negara.

Sebagai hukum publik, hukum administrasi berlandaskan pada prinsip-prinsip negara


hukum (rechtsstaat), prinsip-prinsip demokrasi dan sesuai dengan konsep dasar hukum
administrasi sebagai instrumen yuridis (juridische instrumenten), hukum administrasi juga
mengandung karakter instrumental (instrumental karakter). Asas negara hukum berkaitan
dengan jaminan perlindungan hukum terhadap kekuasaan pemerintahan. Asas demokrasi
terutama berkaitan dengan prosedur dan substansi dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik
berupa pengambilan keputusan maupun berupa perbuatan-perbuatan nyata. Asas instrumental
berkaitan dengan pencapaian tujuan pemerintahan.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Analisis UU No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Terhadap UU PTUN


2. Analisis Peradilan Tata Usaha Negara

1
BAB II
PEMBAHASAN

ANALISIS UU NO 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN


TERHADAP UU PTUN

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan (UU AP) pada tanggal 17 Oktober 2014 merupakan langkah yang sangat
mencerahkan dalam reformasi administrasi pemerintahan. Hal ini adalah bentuk
tanggungjawab negara dan pemerintah untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik yang cepat, nyaman dan murah. UU AP ini merupakan salah satu pilar
reformasi administrasi.

Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, UU AP ini juga merupakan


instrumen penting dalam mencegah terjadinya korupsi dan dalam proses penyidikan tindak
pidana penyalahgunaan wewenang. Selama ini pendekatan pemberantasan korupsi, kolusi
dan nepotisme lebih diarahkan pada sanksi terhadap para pelaku korupsi. Padahal deteksi dini
dapat dilakukan melalui pendekatan prosedur administrasi.

Salah satu bentuk pengawasan yudisial adalah oleh peradilan administrasi yang melalui
mekanisme suatu gugatan oleh orang atau badan hukum perdata. Pada hakikatnya tidak
berbeda dengan tugas peradilan pada umumnya yaitu mempertahankan hukum materiil dalam
hal ini hukum administrasi materiil. Penjelasan Undang-Undang Peradilan Administrasi
menyebutnya sebagai sarana penyelesian sengketa antara administrasi negara dengan rakyat.
Dari aspek lain disebut juga sebagai sarana pemelihara agar penyelenggaraan pemerintahan
oleh aparat pemerintah selalu berdasar dan menurut hukum.1

Administrasi pemerintahan dalam hal ini didefinisikan sebagai tindakan pejabat atau
badan pemerintahan yang memiliki kekuatan hukum mengikat secara eksternal yang
didasarkan kepada pengujian syarat dan prasyarat yang telah ditetapkan dalam undang-
undang atau produk hukum lainnya. UU AP mengatur hubungan antara badan atau pejabat
administrasi pemerintahan dengan masyarakat. Dalam hubungan antara badan atau pejabat
administrasi pemerintahan dengan masyarakat ini sangat erat kaitannya dengan badan atau
pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1
butir 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara  (UU
PERATUN)  merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Badan atau Pejabat Tata

1
Fachruddin, Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah,  Bandung: P.T. Alumni, 2004, Hlm.18
2
Usaha Negara dalam melaksanakan urusan pemerintahan, memiliki kewenangan
mengeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara  inilah
yang bersinggungan dengan masyarakat dalam hal pelayanan publik.

UU AP ini mengatur hubungan hukum antara badan atau pejabat administrasi


pemerintahan dengan masyarakat dalam wilayah hukum publik. Undang-undang ini
menetapkan batasan dan aturan yang memuat kewajiban dan hak kedua belah pihak tersebut
(badan atau pejabat administrasi pemerintahan dengan masyarakat). Gugatan terhadap
pelanggaran ketentuan undang-undang ini dapat diajukan kepada Badan Peradilan Tata Usaha
Negara dengan hukum acara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Pada umumnya, peradilan administrasi negara bertujuan menjamin persamaan


kedudukan warga masyarakat dalam hukum. Secara khusus bertujuan menjamin
terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang serta selaras antara aparatur di bidang tata
usaha negara dengan para warga masyarakat. Salah satu permasalahan pokok dalam studi
tentang dasar-dasar hukum administrasi adalah pelajaran tentang adanya atau dikenalnya
berbagai macam kontrol atau pengawasan yang dapat dilakukan terhadap pemerintah. Dalam
melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan untuk kesejahteraan umum dan pelayanan
kepentingan umum, maka terhadap pemerintah selaku organ administrasi negara dapat
dikenakan bermacam-macam bentuk kontrol atau pengawasan.2

Namun dengan berlakunya UU AP, reformasi hukum administrasi negara bergerak


menuju paradigma baru, sehingga dibutuhkan penyelarasan hukum acara peradilan
administrasi yang harmonis. Pelaksanaan harmonisasi peraturan perundang-undangan di
Indonesia sudah merupakan suatu kebutuhan yang mendesak karena permasalahan
pembangunan hukum semakin hari membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif.
Pendekatan penanganan pembangunan yang masih mengandalkan pada pendekatan sektoral
hanya akan mengakibatkan penyelesaian yang tambal sulam, sehingga tidak menyelesaikan
berbagai permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang ada.

UU AP meniscayakan adanya pengaturan yang jelas terhadap tertib administrasi


pemerintahan dalam menjalankan pemerintahan seperti mengatur tentang kewenangan, jenis-

2
Lotulung, Paulus E., Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap
Pemerintah,  Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, Hlm.xv

3
jenis Keputusan, sistem dan model pengujian Keputusan, sanksi administratif dan lain
sebagainya. Dalam konteks penegakan hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan, maka
UU AP ini juga menjadi landasan baru bagi Peradilan Tata Usaha Negara dalam menguji
sengketa Tata Usaha Negara.

A. PERMASALAHAN

Arah paradigma pelayanan publik dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan


telah berubah haluan 180 derajat, terutama berkaitan dengan alih teknologi yang semakin
cepat, menuntut dibukanya ruang akses informasi seluas-luasnya. Tugas-tugas pemerintahan
yang semakin kompleks, baik mengenai sifat pekerjaannya, jenis tugasnya maupun mengenai
orang-orang yang melaksanakannya. Adanya kebutuhan dalam penetapan standar layanan
minimal dalam penyelenggaraan administrasi negara sehari-hari dan kebutuhan untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat sebagai pengguna layanan yang
diberikan oleh pelaksana administrasi negara.

Hal-hal tersebut menuntut aturan-aturan baru yang dapat mengakomodir, menjadi


landasan hukum bertindak setiap aparatur administrasi pemerintah. Adanya tumpang tindih
kewenangan yang sering kali terjadi di antara Badan atau Pejabat Administrasi Negara,
seperti halnya yang tercermin dalam kasus “cicak-buaya”. Maka dari itu, hubungan hukum
antara penyelenggara administrasi negara dan  masyarakat perlu diatur dengan tegas sehingga
masing-masing pihak mengetahui hak dan kewajiban masing-masing dalam menjalankan
kewenangannya.

Konsepsi tentang Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam UU PERATUN


berbunyi, keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarakan oleh Badan atau
Pejabat yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang bersifat konkret, individual, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Selanjutnya dalam UU AP, konsepsi KTUN ini diatur
lebih detail dan menyeluruh, sehingga menimbulkan konstruksi baru tentang elemen-elemen
yang terkandung dalam KTUN yang akan menjadi obyek gugatan di Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN). Pasal 1 butir 7 berbunyi Keputusan administrasi pemerintahan yang juga
disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya
disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau pejabat
pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Diskresi juga diatur sebagai salah satu obyek gugatan di  PTUN. Pasal 1 butir 9
menyebutkan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam

4
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan
pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan. Hal ini berefek pada bertambahnya ruang lingkup obyek gugatan yang dapat
diajukan ke PTUN.

Ruang lingkup sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di PTUN
juga semakin luas karena disebutkan dalam Pasal 87, Keputusan Badan dan/atau Pejabat
TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya.
Sementara UU PERATUN masih mengandung konsep yang lebih rigid dan sempit.

Sumber hukum materil dalam sebuah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara juga
belum terakomodir melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU AP akan mempermudah para hakim di Pengadilan
Tata Usaha Negara dalam menguji sebuah sengketa administrasi karena dapat menjadi
sumber hukum materil dalam suatu pengujian Keputusan Tata Usaha Negara.

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara menyatakan jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. Pasal 3 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan
dalam hal peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan
sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan
dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Bertolak belakang pada Pasal 77 ayat (5) UU AP menyebutkan tentang penyelesaian


upaya administratif berupa keberatan harus diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud, maka keberatan tersebut dianggap dikabulkan. Disini dapat dilihat perubahan
paradigma dalam pelayanan publik. Hal ini akan mendorong peningkatan pelayanan kepada
masyarakat. Hukum acara mengenai pengajuan permohonan ini semestinya harus
menyesuaikan diri agar tidak terjadi tumpang tindih dalam tindakan dan keputusan pihak
yang berwenang.

5
B. PEMBAHASAN

Peradilan administrasi sesungguhnya juga merupakan genus peradilan. Montesquieu dan


Kant yang mempertahankan pandangan klasik berpendirian bahwa undang-undang adalah
satu-satunya sumber hukum positif. Hakim harus mengadili menurut undang-undang dan
tidak boleh menilai inti atau keadilan dari undang-undang.  Sementara Undang-undang selalu
tidak sempurna karena pembuatnya tidak dapat memprediksi segala sesuatu yang akan terjadi
di kemudian hari.3

Putusan adalah hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau proses
peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses bermula telah membebani pihak-
pihak. Dari rangkaian proses peradilan tidak satupun di luar putusan peradilan yang dapat
menentukan hak suatu pihak dan beban kewajiban pada pihak lain, sah tidaknya suatu
tindakan menurut hukum dan meletakkan kewajiban untuk dilaksanakan oleh pihak yang
diwajibkan dalam perkara. Diantara proses peradilan hanya putusan yang menimbulkan
konsekuensi krusial kepada para pihak.

Perubahan signifikan mengenai konstruksi definisi KTUN dalam UU AP akan


memperluas makna KTUN tersebut. Definisi sebuah KTUN hanya menggunakan kriteria
berupa ketetapan tertulis, dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan dan ketetapan
tersebut dikeluarkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Dibanding definisi KTUN
yang diatur dalam UU PTUN memberikan kriteria yang lebih sempit. Sebuah KTUN harus
memenuhi unsur konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Dengan adanya definisi yang lebih luas dalam UU AP,
kriteria KTUN dalam UU PTUN menjadi tidak relevan lagi. Namun dalam pasal 87 UU AP
menjunjukkan kriteria KTUN yang diatur dalam UU PTUN masih diakui eksistensinya
sepanjang diberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap makna sebuah KTUN.

Penetapan Tertulis dalan UU PERATUN direvitalisasi dalam UU AP menjadi bentuk


yang tidak sekedar tindakan formal dalam bentuk tulisan, namun sebuah penetapan juga
harus dimaknai dalam bentuk Tindakan Faktual, meskipun tidak dalam bentuk tertulis.
Penetapan tertulis dalam UU PERATUN harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

 Bentuk penetapan itu harus tertulis


 Ia dikeluarkan oelh Badan atau Pejabat TUN
 Berisi tindakan hukum TUN
 Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

3
Fachruddin, Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah,  Bandung: P.T. Alumni, 2004, Hlm.209

6
 Bersifat konkret, individual dan final
 Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.4

Artinya pejabat TUN dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya
sekesar dilihat dari adanya tindakan hukum dalam bentuk terbitnya sebuah beschikking akan
tetapi penetapan juga dimaknai dalam bentuk dan atau Tindakan Faktual. Secara teoritis,
Tindakan Faktual selama ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum pemerintah namun
merupakan Tindakan Faktual yang dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.

Tindakan Faktual sebagai bagian dari KTUN sebagai obyek gugatan dalam sengketa
TUN merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari adanya ketentuan tentang Diskresi yang
diatur dalam pasal 22 – pasal 32 UU AP. Dalam pasal 1 ayat (9) disebutkan Diskresi adalah
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan ruang
bagi pejabat TUN untuk menerbitkan Diskresi. Persoalannnya kemudian, bagaimana menguji
produk pejabat TUN berupa Diskresi tersebut ? Kriteria KTUN versi UU PERATUN,
lingkup kewenangan PTUN hanya terbatas pada pengujian terhadap KTUN. Disinilah salah
satu poin penting dalam pengharmonisasian UU PERATUN yang baru.

Keputusan Badan dan/atau Pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif,


dan penyelenggara negara lainnya dalam UU AP memperluas sumber terbitnya KTUN yang
berpotensi menjadi sengketa di PTUN.  Selama ini berdasarkan Pasal 2 huruf e UU PTUN,
hanya terdapat satu sumber KTUN yang dikecualikan yakni KTUN mengenai tata usaha
Tentara Nasional Indonesia. Pada perkembangannya, tata usaha TNI saat ini sepenuhnya
berada di lingkungan eksekutif, baik yang dikoordinasikan melalui Kementerian Pertahanan
maupun Markas Besar TNI di bawah komando Panglima TNI. Terlebih lagi belum adanya
wadah untuk mengakomodir sengketa tata usaha militer. Pengadilan Tata Usaha Militer
sampai saat ini belum berfungsi sebagaimana mestinya. Ruang lingkup KTUN yang
mencakup lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif, sementara TNI murni dibawah
kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam penyeleggaraan pemerintahan di bidang
pertahanan, maka setiap KTUN yang terbit dalam pengelolaan tata usahanya harus dimaknai
sebagai sebuah KTUN yang dapat disengketakan di PTUN. Hal ini membuka tirai
eksklusivistas dalam TNI yang sejatinya dalam negara demokrasi, tidak semestinya terdapat
unsur-unsur yang tidak dapat tersentuh oleh hukum.

4
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, Hlm.163
7
Berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU PTUN, makna menimbulkan akibat hukum dapat
ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa, Hakim PTUN dalam
mengonstruksi kerugian hukum berdasarkan adanya fakta kerugian hukum yang langsung,
berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan kerugian yang nyata. Adanya kerugian
langsung dan nyata dapat ditelusuri apabila KTUN yang dipersoalkan tersebut memiliki
hubungan hukum dengan orang atau badan hukum perdata. Namun dengan adanya klausul
“berpotensi menimbulkan akibat hukum” menyebabkan adanya perluasan makna terhadap
legal standing orang atau badan hukum perdata yang akan menggugat di PTUN yang
kerugiannya belum nyata sekalipun telah dapat digugat di PTUN.

Klausul Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat, menambah makna baru dari
Individual dalam kriteria sebuah KTUN dan memperluas peluang legal standing warga
masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN. Hilangnya redaksi
“Individual” dalam pasal 1 ayat (7) dan pasal 87 UU AP, dalam konteks pengujian KTUN di
PTUN, maka pemaknaan KTUN sebagai sebuah keputusan yang berlaku bagi warga
masyarakat sangat relevan dengan asas yang berlaku terhadap pemberlakuan putusan PTUN
yakni asas erga omnes  (asas yang menegaskan putusan Peradilan Administratif bersifat
mengikat secara publik tidak hanya dengan pihak-pihak yang terkait langsung dengan sebuah
perkara atau KTUN).

Konsekuensi logis penerapan asas erga omnes ini terhadap pemberlakuan putusan


PTUN adalah kriteria KTUN yang dapat digugat adalah Keputusan yang berpotensi
menimbulkan akibat hukum, maka pihak yang berpeluang menggugat sebuah KTUN tidak
hanya individu tertentu yang terkait langsung dengan sebuah KTUN, namun publik secara
luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah KTUN juga
berpekluang untuk mengajukan gugatan ke PTUN.

C. TABEL ANALISIS

8
UU PTUN UU AP

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Bertolak belakang pada Pasal 77 ayat (5) UU
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha AP menyebutkan tentang penyelesaian upaya
Negara menyatakan jika suatu Badan atau administratif berupa keberatan harus
Pejabat Tata Usaha Negara tidak diselesaikan dalam jangka waktu
mengeluarkan keputusan yang dimohon, sebagaimana dimaksud, maka keberatan
sedangkan jangka waktu sebagaimana tersebut dianggap dikabulkan. Disini dapat
ditentukan dalam peraturan perundang- dilihat perubahan paradigma dalam
undangan dimaksud telah lewat, maka Badan pelayanan publik. Hal ini akan mendorong
atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
dianggap telah menolak mengeluarkan Hukum acara mengenai pengajuan
keputusan yang dimaksud. permohonan ini semestinya harus
menyesuaikan diri agar tidak terjadi tumpang
tindih dalam tindakan dan keputusan pihak
yang berwenang.

Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Dengan adanya definisi yang lebih luas
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha dalam UU AP, kriteria KTUN dalam UU
Negara menyebutkan dalam hal peraturan PTUN menjadi tidak relevan lagi. Namun
perundangan-undangan yang bersangkutan dalam pasal 87 UU AP menjunjukkan kriteria
tidak menentukan jangka waktu sebagaimana KTUN yang diatur dalam UU PTUN masih
dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat diakui eksistensinya sepanjang diberikan
jangka waktu empat bulan sejak diterimanya pemaknaan yang lebih luas terhadap makna
permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha sebuah KTUN.
Negara yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan.

Berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU PTUN, Hilangnya redaksi “Individual” dalam pasal 1
makna menimbulkan akibat hukum dapat
ayat (7) dan pasal 87 UU AP, dalam konteks
ditelusuri oleh adanya kerugian hukum.
pengujian KTUN di PTUN, maka pemaknaan
Dalam pengujian sengketa, Hakim PTUN
dalam mengonstruksi kerugian hukum KTUN sebagai sebuah keputusan yang
berdasarkan adanya fakta kerugian hukum berlaku bagi warga masyarakat sangat
yang langsung, berdasarkan asas kausalitas relevan dengan asas yang berlaku terhadap
dan menimbulkan kerugian yang nyata. pemberlakuan putusan PTUN yakni
asas erga omnes (asas yang menegaskan
putusan Peradilan Administratif bersifat

9
mengikat secara publik tidak hanya dengan
pihak-pihak yang terkait langsung dengan
sebuah perkara atau KTUN).
Selama ini berdasarkan Pasal 2 huruf e UU Tindakan Faktual sebagai bagian dari KTUN
PTUN, hanya terdapat satu sumber KTUN sebagai obyek gugatan dalam sengketa TUN
yang dikecualikan yakni KTUN mengenai merupakan bagian yang tidak terpisahkan
tata usaha Tentara Nasional Indonesia. Pada dari adanya ketentuan tentang Diskresi yang
perkembangannya, tata usaha TNI saat ini diatur dalam pasal 22 – pasal 32 UU AP.
sepenuhnya berada di lingkungan eksekutif, Dalam pasal 1 ayat (9) disebutkan Diskresi
baik yang dikoordinasikan melalui adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang
Kementerian Pertahanan maupun Markas ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat
Besar TNI di bawah komando Panglima TNI. Pemerintahan untuk mengatasi persoalan
konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya
stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan
ruang bagi pejabat TUN untuk menerbitkan
Diskresi.

BAB III

10
PENUTUP

KESIMPULAN

Implikasi UU AP terhadap perubahan sistem Peradilan Tata Usaha Negara sangat


signifikan. Dimulai dari definisi KTUN yang diperluas, Diskresi juga diatur sebagai salah
satu obyek gugatan di  PTUN. Ruang lingkup sumber terbitnya KTUN yang berpotensi
menjadi sengketa di PTUN juga semakin luas, yakni termasuk KTUN yang dikeluarkan di
lingkungan TNI. Pengajuan gugatan yang harus segera mendapatkan respon karena bila tidak
mendapatkan respon maka gugatan akan dianggap diterima. Hukum acara Peradilan TUN
yang harus mengakomodir perkembangan teknologi dan informatika, dimana permohonan
gugatan, pemanggilan, penyampaian putusan dapat dilakukan melalui media elektronik.

Dalam ketentuan peralihan UU AP disebutkan mengenai peraturan pelaksanaan harus


ditetapkan paling lama  2 (dua) tahun terhitung sejak UU AP tersebut diundangkan. Namun
untuk materi-materi yang sudah jelas, sebaiknya segera dituangkan dalam perubahan UU
PTUN yang tidak harmonis lagi dengan UU AP yang baru. UU PTUN dituntut untuk
menyesuaikan dengan perkembangan hukum yang ada. Reformasi Administrasi Negara ini
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan Reformasi demokrasi. Semoga
UU AP dapat memacu percepatan terwujudnya akuntabilitas dan transparansi sekaligus
kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan.

DAFTAR PUSTAKA

11
Fachruddin, Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah,  Bandung: P.T. Alumni, 2004

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,


Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993

Lotulung, Paulus E, Beberapa Sistem Tentang Kontrol segi Hukum Terhadap


Pemerintah,  Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 1986

peraturan.kemenkumham.go.id

ptun-palangkaraya.go.id

ptun-samarinda.go.id

12

Anda mungkin juga menyukai