Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KELOMPOK

KONSEP KEPERAWATAN KOMUNITAS AREA HOMELESS


(TUNAWISMA)

Disusun Oleh: Kelompok 4

1. Putri Nofitasari ( 920173039 )


2. Ririn Ayu S.N ( 920173040 )
3. Rizka Amalia ( 920173041 )
4. Siti Khofifatud D ( 920173042 )
5. Tasya Alfionita ( 920173044 )
6. Vera Zulfi Nofita S ( 920173045 )
7. Wahyu Hidayah P ( 920173047 )
8. Noor Efa Yumaeda ( 920173140 )
9. Panji Nurprasetya A ( 920173141 )

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JURUSAN KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
DEFINISI
Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki tempat
tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur. Tunawisma biasanya
di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga.
Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat seperti
orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan, petani, ibu
rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari
mereka menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem pendukung
keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah kehilangan pekerjaan,
ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat.
Walaupun begitu apapun penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah
kesehatan dan akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang.

A. FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA TUNAWISMA


1. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya
gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa seseorang
menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang layak, serta
menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan seseorang untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya dalam garis kemiskinan.
Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik dengan pengeluaran membuat
seseorang rela menjadi tunawisma untuk tetap bertahan hidup.
2. Rendah tingginya pendidikan
Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang.
Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja. Seseorang dengan
pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak.
Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi semua kebutuhan
hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah
sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
3. Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan
yang lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak harmonis
atau anak dengan keluarga broken home membuat mereka merasa kurang
perhatian,kemyamanan dan ketenangan sehingga mereka cenderung mencari
kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang lain.
4. Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat
seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk
memenuhi kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka
untuk bertahan hidup.
5. Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan
pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi
tunawisma untuk dapat bertahan hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani ( 2012 ))
kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya seperti
kesehatan.
6. Rendahnya ketrampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan seseorang
dapat memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali salah satunya melalui
pendidikan serta membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah
yang menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan ketrampilan yang
dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang membuat seseorang memilih menjadi
tunawisma untuk bertahan hidup. Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak
memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
7. Masalah sosial budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi
gelandangan dan pengemis. Antara lain:
a) Rendahnya harga diri.
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan mereka tidak
memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah
sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
tunawisma yang berusia produktif.
b) Sikap pasrah pada nasib.
Mareka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai gelandangan
dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakuan
perubahan.
c) Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang.
8. Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor lingkungan
yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu
rumah tangga yang bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari
uang untuk membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan
mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama, terlebih lagi melihat
penghasilan yang didapatkan lumayan untuk emmenuhi kebutuhan hidup.

9. Letak Geografis

Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat


masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat
masyarakat harus meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain.
Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan. Tidak
adanya potensi yang alam sedia untuk diolah membuat masyarakat tersebut semakin
masuk dalam garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan. Oleh karena
itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan hidupnya sedikit terpeuhi
dengan uang hasil meminta-minta

10. Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis


Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh pemerintah
hanya setengah hati. Selama ini penanganan yang telah nyata dilakukan adalah razia,
rehabilitasi dalam panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat asalnya.
Pada kenyataannnnya, penanganan ini tidak menimbulkan efek jera bagi mereka
sehingga suatu saat mereka akan kembali lagi menjadi gelandangan dan pengemis.
pada proses penanganan hal yang dilakukan adalah setelah dirazia mereka dibawa
kepanti sosial untuk mendapat binaan, bagi yang sakit dan yang berusia renta akan
tetap tinggal di panti sosial sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses ini
dirasakan terlalu mudah dan enak bagi gelandangan dan pengemis sehingga ia tidak
perlu takut apabila terjaring razia lagi. hal inilah yang membuat mereka terus
mengulang kegiatan yang sama yakni menjadi gelandangan dan pengemis.
B. FAKTOR PERILAKU DAN PSIKOSOSIAL YANG MENYEBABKAN MASALAH
KESEHATAN PADA TUNAWISMA
1. Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
a. Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
b. Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak layak.
c. Tidak mendapatkan pelayanan yang baik.

2. Gender
Adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut
budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi
tingkat kesehatan, dan karena peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti
tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.

3. Pendidikan yang rendah


Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan.Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari
kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih
diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga.
Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga
jender berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi
tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang
lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan
mempunyai pendidikan yang memadai seseorang dapat mencari liang, merawat diri
sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
4. Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak
terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan yang
menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga
karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas
tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Ini berarti
wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Di samping itu
resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20
tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada
suami baik dalam ekonomi dan pengambilan keputusan.

5. Seks bebas
Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang mulai seks bebas
yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahun dan ada yang melakukan
dengan saudaranya sendiri. Hal ini menyebabkan anak jalanan rentan terhadap
penyakit kelamin misalnya HIV atau AIDS.

6. Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun ( merampas, mencuri,
membeli, hubungan seks) yang penting bisa mendapatkan uang untuk membeli
minuman keras, pil dan zat aditif lainnya. Mereka menggunakan itu karena ingin
menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan. (P. Agus. A., 2015)

7. Eksploitasi Seksual
Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan sangat rentan terhadap
eksploitasi khususnya eksploitasi seksual seperti pelecehan, penganiyaan secara
seksual, pemerkosaan, penjerumusan anak dalam prostitusi dan adanya indikasi
perdagangan anak keluar daerah khususnya Riau dan Batam.

C. MASALAH KESEHATAN PADA TUNAWISMA

1. Gangguan Fisik Akut

pada umumnya tunawisma akan mengalami gangguan fisik akut seperti:

No Gangguan fisik akut Gangguan fisik kronik


1. ISPA (infeks sistem pernfasan atas) Kecanduan alkohol dan zat lain
2. Trauma-cedera ringan hingga berat Hipertensi
3. Penyakit kulit Gangguan pencernaan
4. TBC Gangguan sistem saraf tepi
5. Terserng kutu dan tungau Masalah gigi
6. Gizi buruk/ kekurangan gizi Diabetes melitus
7. - HIV/AIDS

2. Masalah Kesehatan pada Tunawisma Anak-Anak

Selain masalah kesehatan fisik, masalah lain juga banyak timbul seperti :

 Kegelisahan
 Tidak mendapatkan/tidak lengkap untuk imunisasi
 Masalah bahasa dan berbicara
 Penyakit pernafasan atas dan asma
 Infeksi telinga
 Gangguan pencernaan/mata
 Trauma
 Terserang kutu rambut
3. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan

 Perawatan pre-natal yang kurang baik


 Kurang nutrisi
 Komplikasi kehamilan

4. Masalah kesehatan mental

 Skizofrenia
 Gangguan bipolar
 Depresi
 Gangguan kecemasan dan kepribadian antisosial
 Kepribadian yang kacau

D. PERAN PERAWAT DI AREA HOMELESS (TUNAWISMA)


1. Perawat sebagai pemberi perawatan
Para tunawisma biasanya banyak mengalami kurang perhatian dari orang tua dan
lingkungan. Alhasil banyak masalah yang terjadi pada tunawisma baik dari segi
kesehatan fisik, psikologis dan sosial. Peran perawat disini adalah memberikan asuhan
keperawatan kepada mereka yang mengalami masalah kesehatan secara holistik atau
menyeluruh.

2. Perawat sebagai pendidik


Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya pendidikan mereka
yang membuat mereka menjadi miskin. Oleh karena itu, perawat menjelaskan kepada
mereka informasi seputar kesehatan dan menanamkan gaya hidup sehat. Diharapkan
para tunawisma tersebut dapat merubah perilaku mereka untuk mencapai tingkat
kesehatan yang maksimal.
3. Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring)
Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada tunawisma. Bentuk
monitoring dapat berupa observasi, kunjungan rumah, pertemuan atau pengumpulan
data.
4. Perawat sebagai panutan (role model)
Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang kesehatan kepada
masyarakat tunawisma tatacara hidup sehat yang dapat ditiru dan dicontoh oleh mereka.
5. Perawat sebagai komunikator
Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran perawat yang lain.
Perawat memberikan perawatan yang efektif, memberikan pembuatan keputusan antara
individu dan keluarga, memberikan perlindungan bagi para tunawisma dari ancaman
terhadap kesehatan dan kehidupannya. Semua itu dilakukan dengan komunikasi yang
jelas agar kualitas kehidupan mereka terpenuhi.
6. Perawat sebagai rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi
maksimal setelah sakit, kecelakaan atau kejadian yang menimbulkan ketidakberdayaan
lainnya. Seringkali tunawisma mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah
kehidupan mereka dan perawat membantu mereka untuk beradaptasi semaksimal
mungkin dengan keadaan tersebut.

E. LEVEL PENCEGAHAN HOMELESS (TUNAWISMA)


1. Pencegahan Primer
Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga tunawisma agar tetap berada di
rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu:

a. Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan publik,
mengetahui tersedianya dana, dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan
bantuan bagi tunawisma yang membutuhkan.

b. Bantuan hukum
Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak terjadinya
pengusiran.

c. Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada tunawisma.

d. Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk membayar rumah dan
kebutuhan dasar.

2. Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala kebutuhan serta
pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit mengakses khususnya system
pelayanan kesehatan karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap,
sehingga dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi tersebut dan
mengatasi dampak yang timbul akibat menjadi tunawisma. Langkah untuk pencegahan
sekunder ialah
a. Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan
menimbulkan persoalan umum bagi populasi tunawisma adalah mereka
menjalani medikasi dan regimen terapi.
b. Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c. Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat penampungan
agar tunawisma tetap mendapatkan asupan makanan sesuai yang ada di tempat
penampungan tersebut.
d. Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk mengompensasi defisit nutrisi
e. Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu melakukan usaha
terbaik untuk mengikuti program terapi
f. Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para tunawisma agar tetap
mendapatkan pelayanan kesehatan

3. Pencegahan tersier (Rehabilitasi)


Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003). Langkah pencegahan tersier pada tunawisma
antara lain:
a. Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial kepada
para PMKS. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting guna menumbuhkan
rasa percaya diri serta spiritualitas para gelandangan dan pengemis. Karena pada
dasarnya mereka memiliki semangat dan rasa percaya diri yang selama ini tersimpan
jauh di dalam dirinya. Selain itu mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar,
hanya saja belum memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam memanfaatkan
potensi-potensi tersebut. Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis
(gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat memprihatinkan, ada
yang memasang muka memelas ada juga yang dengan santainya mengikuti semua
proses dalam therapy ini, dalam therapy individu dilakukan pengecekan terhadap
semua gelandangan dan pengemis (gepeng) satu persatu secara psikis.
b. Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan, terlebih dahulu
para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) diberikan fasilitas
penanganan kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan bagi mereka yang sedang sakit.
Kemudian kegiatan bimbingan kesehatan dimulai dengan penyadaran tentang
pentingnya kesehatan badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya
mandi, gosok gigi dan memakai pakaian bersih. Melihat selama ini kehidupan di
jalanan yang sangat keras dan serba tidak sehat, para gelandangan dan pengemis
(gepeng) tentu masih merasa kesulitan untuk menerapkan gaya hidup sehat sehingga
apa yang diperoleh dalam bimbingan kesehatan tidak diterapkan sepenuhnya dalam
kehidupan mereka.

c. Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1 bulan sekali,
dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta peraturan
di jalan raya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan
raya, karena keberadaan mereka di jalanan sangat mengganggu keamanan serta
ketertiban lalu lintas. Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak dinas
sosial mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat.
Menurut pengamatan peneliti pada saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi
para gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka
takut berhadapan dengan polisi, karena pada dasarnya para gelandangan dan
pengemis (gepeng) dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan
kemudian dipenjarakan.

G. PERSPEKTIF HOMELESS ATAU GELANDANGAN DI INDONESIA


1. UUD 1945

Undang - Undang Dasar 1945 adalah Landasan konstitusional Negara Kesatuan


Republik Indonesia. Para pendiri negeri ini telah merumuskannya, sejak Bangsa
Indonesia Merdeka dari jajahan para kolonialisme. UUD 1945 adalah sebagai hukum
dasar tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945
telah di amandemen empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang telah
menghasilkan rumusan Undang - Undang Dasar yang jauh lebih kokoh menjamin hak
konstitusional warga negara dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Namun, di Indonesia masih banyak terdapat gelandangan, pengemis,


masyarakat dalam keadaan fakir, miskin dan terlantar. Dalam UUD 1945 Pasal 34 Ayat
1 berbunyi “Fakir Miskin dan anak - anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.

2. Program atau kebijakan pemerintah tentang penanggulangan homeless atau gelandangan


di Indonesia
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan
pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan.
Penanggulangan tersebut bertujuan untuk memberikan rehabilitasi kepada
gelandangan dan/atau pengemis agar mereka mampu mencapai taraf hidup,
kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang warna negara Republik
Indonesia.Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 1, 5 dan 6, ada
beberapa usaha untuk menanggulangi gelandangan adalah sebagai berikut :
a. Usaha preventif

Adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan,


dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada
berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan
sehingga akan tercegah terjadinya :
i. Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga terutama
yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya

ii. Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di


dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada
umumnya

iii. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis
yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru
ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.

Dalam hal ini, usaha yang di maksud adalah dengan :

i. Penyuluhan dan bimbingan sosial

ii. Pembinaan sosial

iii. Bantuan sosial

iv. Perluasan kesempatan kerja

v. Pemukiman lokal

vi. Peningkatan derajat kesehatan

b. Usaha represif
adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan
dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah
meluasnya di dalam masyarakat. Usaha represif yang di lakukan sesuai PP No. 31
Tahun1980 Pasal 9 adalah razia, penampungan sementara untuk di seleksi, dan
pelimpahan. Dalam pasal 12 disebutkan bahwa setelah gelandangan di seleksi,
tindakan selanjutnya terdiri dari :

i. Dilepaskan dengan syarat

ii. Dimasukkan dalam panti sosial

iii. Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya

iv. Diserahkan ke pengadilan

v. Diberikan pelayanan kesehatan

c. Usaha Rehabilitatif

adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha penyantunan,


pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali
baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah-
tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut, sehingga dengan demikian
para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara
layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 7 di jelaskan bahwa
pelaksanaan penanggulangan gelandangan di atur lebih lanjut oleh Menteri Sosial,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara
bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E.T., & McFarlane, J. (2001). Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan
Praktik Ed. 3. Jakarta: EGC

Budiarto, E & Anggraeni, D. (2003). Pengantar Epidemiologi. Jakarta: EGC.

Maurer, Frances A., Smith, Claudia M. 2009. Community/ Public Health Nursing Practice
Health For Families And Populations. 4th ed. Canada: Saunders Elsevier.

P. Agus. A., (2015). Perdagangan Anak dan Perempuan untuk Tujuan Seksual di Riau Harus
Disikapi Serius. Artikel ini diakses melalui:
http://www.goriau.com/berita/umum/perdagangan-anak-dan-perempuan-untuk-tujuan-seksual-
di-riau-harus-disikapi-serius.html#sthash.CghCmBzW.dpuf

Ramandhana, N. (2010). Gepeng, Anak Jalanan, Pemerintah, dan UUD 1945 Pasal 34
Ayat 1. Artikel di akses melalui :
http://www.kompasiana.com/niko_ramandhana/gepeng-anak-jalanan-pemerintah-dan-uud-
1945-pasal-34-ayat-1_54ff5aa6a333114e4a50ffa1 pada tanggal 6 maret 2015 pukul 20.00
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta :
Kencana.Buku Ajar

Zefianingsih, B. D et all. (2015). “Penanggulangan Gelandangan dan pengemis oleh Panti


Sosial Bina Karya di Pangudi Luhur Bekasi”. Dalam Unpad press. Diakses dari http:
http://kesos.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/01/10.-Pelangi-Isu-Kesejahteraan-Sosia
l-_kedua_untuk-KesosUnpadacid.pdf pada tanggal 28 Februari 2016 pukul 18.40.

Anda mungkin juga menyukai