9. Letak Geografis
2. Gender
Adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut
budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi
tingkat kesehatan, dan karena peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti
tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
5. Seks bebas
Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang mulai seks bebas
yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahun dan ada yang melakukan
dengan saudaranya sendiri. Hal ini menyebabkan anak jalanan rentan terhadap
penyakit kelamin misalnya HIV atau AIDS.
6. Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun ( merampas, mencuri,
membeli, hubungan seks) yang penting bisa mendapatkan uang untuk membeli
minuman keras, pil dan zat aditif lainnya. Mereka menggunakan itu karena ingin
menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan. (P. Agus. A., 2015)
7. Eksploitasi Seksual
Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan sangat rentan terhadap
eksploitasi khususnya eksploitasi seksual seperti pelecehan, penganiyaan secara
seksual, pemerkosaan, penjerumusan anak dalam prostitusi dan adanya indikasi
perdagangan anak keluar daerah khususnya Riau dan Batam.
Selain masalah kesehatan fisik, masalah lain juga banyak timbul seperti :
Kegelisahan
Tidak mendapatkan/tidak lengkap untuk imunisasi
Masalah bahasa dan berbicara
Penyakit pernafasan atas dan asma
Infeksi telinga
Gangguan pencernaan/mata
Trauma
Terserang kutu rambut
3. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan
Skizofrenia
Gangguan bipolar
Depresi
Gangguan kecemasan dan kepribadian antisosial
Kepribadian yang kacau
a. Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan publik,
mengetahui tersedianya dana, dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan
bantuan bagi tunawisma yang membutuhkan.
b. Bantuan hukum
Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak terjadinya
pengusiran.
c. Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada tunawisma.
d. Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk membayar rumah dan
kebutuhan dasar.
2. Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala kebutuhan serta
pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit mengakses khususnya system
pelayanan kesehatan karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap,
sehingga dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi tersebut dan
mengatasi dampak yang timbul akibat menjadi tunawisma. Langkah untuk pencegahan
sekunder ialah
a. Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan
menimbulkan persoalan umum bagi populasi tunawisma adalah mereka
menjalani medikasi dan regimen terapi.
b. Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c. Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat penampungan
agar tunawisma tetap mendapatkan asupan makanan sesuai yang ada di tempat
penampungan tersebut.
d. Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk mengompensasi defisit nutrisi
e. Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu melakukan usaha
terbaik untuk mengikuti program terapi
f. Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para tunawisma agar tetap
mendapatkan pelayanan kesehatan
c. Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1 bulan sekali,
dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta peraturan
di jalan raya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan
raya, karena keberadaan mereka di jalanan sangat mengganggu keamanan serta
ketertiban lalu lintas. Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak dinas
sosial mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat.
Menurut pengamatan peneliti pada saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi
para gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka
takut berhadapan dengan polisi, karena pada dasarnya para gelandangan dan
pengemis (gepeng) dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan
kemudian dipenjarakan.
iii. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis
yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru
ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
v. Pemukiman lokal
b. Usaha represif
adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan
dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah
meluasnya di dalam masyarakat. Usaha represif yang di lakukan sesuai PP No. 31
Tahun1980 Pasal 9 adalah razia, penampungan sementara untuk di seleksi, dan
pelimpahan. Dalam pasal 12 disebutkan bahwa setelah gelandangan di seleksi,
tindakan selanjutnya terdiri dari :
c. Usaha Rehabilitatif
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 7 di jelaskan bahwa
pelaksanaan penanggulangan gelandangan di atur lebih lanjut oleh Menteri Sosial,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara
bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E.T., & McFarlane, J. (2001). Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan
Praktik Ed. 3. Jakarta: EGC
Maurer, Frances A., Smith, Claudia M. 2009. Community/ Public Health Nursing Practice
Health For Families And Populations. 4th ed. Canada: Saunders Elsevier.
P. Agus. A., (2015). Perdagangan Anak dan Perempuan untuk Tujuan Seksual di Riau Harus
Disikapi Serius. Artikel ini diakses melalui:
http://www.goriau.com/berita/umum/perdagangan-anak-dan-perempuan-untuk-tujuan-seksual-
di-riau-harus-disikapi-serius.html#sthash.CghCmBzW.dpuf
Ramandhana, N. (2010). Gepeng, Anak Jalanan, Pemerintah, dan UUD 1945 Pasal 34
Ayat 1. Artikel di akses melalui :
http://www.kompasiana.com/niko_ramandhana/gepeng-anak-jalanan-pemerintah-dan-uud-
1945-pasal-34-ayat-1_54ff5aa6a333114e4a50ffa1 pada tanggal 6 maret 2015 pukul 20.00
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta :
Kencana.Buku Ajar