Anda di halaman 1dari 44

SISTEM PENCATATAN DATA KESEHATAN DI INDONESIA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Manajemen Informasi dan Organisasi
Pelayanan Kesehatan

DOSEN PEMBIMBING

Daniel Happy Putra, SKM, MKM

DISUSUN OLEH

Kelas 2B

1. Adinda Putri A P3.73.24.1.17.031


2. Pesona Indah W.P P3.73.24.1.17.050
3. Riska P3.73.24.1.17.051
4. Sri Anisa Rahmi P3.73.24.1.17.056

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN JURUSAN KEBIDANAN


POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA III
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
Kata Pengantar

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah Saw. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas
makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Sistem Manajemen Informasi dan Organisasi
Pelayanan Kesehatan. Makalah ini membahas mengenai Sistem Pencatatan Data Kesehatan
Di Indonesia Penulis sangat berharap makalah ini dapat membantu memudahkan penulis
lainnya untuk menambah referensi serta dapat menambah wawasan bagi pembaca di masa
mendatang.

Dalam menyusun makalah ini tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi, namun
penulis menyadari bahwa kelancaran dalam menyusun materi ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan, dan binaan dari pembimbing sehingga kendala-kendala penulis dapat teratasi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca, khususnya para mahasiswa. Kami sadar bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis sangat terbuka terhadap
masukan dan akan terus diperbaiki untuk penyempurnaan. Oleh karena itu, kami mengundang
para pembaca memberikan kritik, saran dan masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan
pada makalah berikutnya. Atas kontribusi tersebut, kami mengucapkan terima kasih. Mudah-
mudahan kita dapat menjadi bidan yang terbaik yang berperan besar bagi kemajuan dunia
kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia.

Bekasi, 12 Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
A. Latar belakang ............................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan ....................................................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................................................... 3
A. Sistem Pencatatan Data ............................................................................................................... 3
B. Sistem Pencatatan Data Kesehatan di Indonesia ......................................................................... 3
1. SIMRS ..................................................................................................................................... 3
2. SIMPUS .................................................................................................................................. 5
3. Sistem Surveilans .................................................................................................................... 8
4. P-Care .................................................................................................................................... 15
5. INA-CBGs............................................................................................................................. 16
6. Vital Health Registration ....................................................................................................... 27
C. Mekanisme Pencatatan Data Kesehatan Ibu dan Anak Khususnya Pada Kebidanan ............... 32
BAB III.................................................................................................................................................. 38
A. Kesimpulan ............................................................................................................................... 38
B. Saran.......................................................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 40

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada zaman sekarang, teknologi informasi mempunyai peranan penting dalam
bidang industri maupun kehidupan kita sendiri. Salah satu bidang industri yang
memanfaatkan berkembangnya teknologi informasi adalah bidang kesehatan. Teknologi
informasi sudah berkontribusi banyak dalam kehidupan kita, salah satu contohnya dalam
bidang kesehatan yaitu sistem pencatatatan data kesehatan yang digunakan oleh tenaga
kesehatan dalam menginput data data pasien. Tanpa teknologi informasi, pengumpulan
dan pengambilan data tersebut tidaklah mudah untuk rumah sakit yang mempunyai ribuan
pasien jika dilakukan secara manual. Teknologi informasi juga memudahkan komunikasi
jarak jauh dengan adanya internet. Seluruh rumah sakit akan mengakses database yang
berisi dengan data pasien, sehingga memudahkan pasien dan rumah sakit apabila pasien
menggunakan rumah sakit yang berbeda.
Setiap petugas kesehatan dituntut untuk membuat pencatatan tentang data kesehatan
sebaik mungkin. Adapun system criteria system pencatatan data kesehatan yang baik
mencakup hal / hal ini seperti Pencatatan harus sistematis, jelas, Ringkas dan mengacu
pada respon pasien terhadap kejadian penyakit atau intervensi yang diberikan, ditulis
dengan baik dan menghindari kesalahan, tepat waktu, ditulis segera setelah tindakan kegiatan
dilakukan. ditulis secara terperinci mencakup what, why, when, where, who and how serta
mencantumkan nama jelas dan tanda tangan setelah melakukan pencatatan. (Kron, T &
Gray 1987)

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Sistem Pencatatan Data?
2. Bagaimana Sistem Pencatatan Data Kesehatan di Indonesia
3. Bagaimana Sistem pencatatan data SIMRS?
4. Bagaimana Sistem pencatatan data SIMPUS?
5. Bagaimana Sistem pencatatan data Sistem Surveilans?
6. Bagaimana Sistem pencatatan data P-Care?
7. Bagaimana Sistem pencatatan data INA-CBGs?
1
8. Bagaimana Sistem pencatatan data Vital Health Registration?
9. Bagaimana Mekanisme Pencatatan Data Kesehatan Ibu dan Anak Khususnya
Pada Kebidanan?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui pengertian dari Sistem Pencatatan Data
2. Mengetahui Sistem Pencatatan Data Kesehatan di Indonesia
3. Mengetahui Sistem pencatatan data SIMRS
4. Mengetahui Sistem Pencatatan Data SIMPUS
5. Mengetahui Sistem Pencatatan Data Surveilans
6. Mengetahui Sistem Pencatatan Data P-Care
7. Mengetahui Sistem Pencatatan Data INA-CBGs
8. Mengetahui Sistem Pencatatan Data Vital Health Registration
9. Mengetahui Mekanisme Pencatatan Data Kesehatan Ibu dan Anak Khususnya
Pada Kebidanan

D. Manfaat Penulisan

Penyusunan makalah ini memberikan penulis pengetahuan lebih mengenai hal-


hal yang berkaitan dengan Sistem Pencatatan Data Kesehatan di Indonesia. Selain
itu, bagi para pembaca makalah ini dapat dijadikan salah satu referensi pemahaman
mengenai materi yang dijelaskan.

2
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Sistem Pencatatan Data


Pencatatan adalah kegiatan atau proses pendokumentasian suatu aktivitas dalam
bentuk tulisan. Pencatatan dilakukan diatas kertas,disket, pita nama dan pita film.
Bentuk catatan dapat berupa tulisan, grafik, gambar dan suara (syahlan : 253).
Sedangkan setiap kegiatan yang dilakukan diakhiri dengan pembuatan laporan.
Laporan adalah catatan yang memberikan informasi tentang kegiatan tertentu dan
hasilnya yang disampaikan ke pihak yang berwenang atau berkaitan dengan kegiatan
tersebut (syahlan : 256).
Pencatatan dan Pelaporan adalah kegiatan yang harus diperhatikan oleh tenaga
kesehatan dalam rangka memberikan pelayanan yang lebik baik bagi individu,
keluarga, dan masyarakat.Pencatatan dan pelaporan adalah indikator keberhasilan
suatu kegiatan. Tanpa ada pencatatan dan pelaporan, kegiatan atau program apapun
yang dilaksanakan tidak akan terlihat wujudnya. Output dari pencatatan dan pelaporan
ini adalah sebuah data dan informasi yang berharga dan bernilai bila menggunakan
metode yang tepat dan benar. Jadi, data dan informasi merupakan sebuah unsur
terpenting dalam sebuah organisasi, karena data dan informasilah yang berbicara
tentang keberhasilan atau perkembangan organisasi tersebut.
Sistem Pencatatan secara umum terbagi dalam 2 bagian, yaitu sistem Pencatatan
tradisional dan Sistem Pencatata non tradisional. Sistem Pencatatan tradisional adalah system
pencatatan yang memiliki catatan masing-masing dari setiap profesi atau petugas
kesehatan, dimana dalam system ini masing-masing disiplin ilmu (Dokter, Bidan,
Perawat, Ahli gizi, dll). Keuntungan system ini adalah Pencatatan dapat dilakukan
secara lebih sederhana. Kelemahan system ini adalah data tentang kesehatan yang
terkumpul kurang menyeluruh, koordinasi antar petugas kesehatan tidak ada dan
upaya pelayanan kesehatan secara menyeluruh dantuntas sulit dilakukan.

B. Sistem Pencatatan Data Kesehatan di Indonesia


1. SIRS
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1171/Menkes/Per/Vi/2011 tentang Sistem Informasi Rumah Sakit yaitu :

3
a. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit, setiap rumah sakit wajib melakukan pencatatan
dan pelaporan tentang semua kegiatan penyelenggaraan rumah sakit dalam
bentuk sistem informasi manajemen rumah sakit;
b. Bahwa pencatatan dan pelaporan yang dilakukan oleh Rumah Sakit dilakukan
dalam rangka meningkatkan efektifitas pembinaan dan pengawasan rumah
sakit di Indonesia;
c. Bahwa yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1410/MENKES/SK/X/2003 tentang Sistem Informasi Rumah Sakit (Sistem
Pelaporan Rumah Sakit) Revisi V, tidak sesuai lagi dengan perkembangan
yang ada sehingga perlu disesuaikan;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Sistem Informasi Rumah Sakit.

Pasal 1
(1) Setiap rumah sakit wajib melaksanakan Sistem Informasi Rumah Sakit
(SIRS).
(2) SIRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah suatu proses pengumpulan,
pengolahan dan penyajian data rumah sakit.
Pasal 2
(1) SIRS merupakan aplikasi sistem pelaporan rumah sakit kepada Kementerian
Kesehatan yang meliputi :
a. Data identitas rumah sakit;
b. Data ketenagaan yang bekerja di rumah sakit;
c. Data rekapitulasi kegiatan pelayanan;
d. Data kompilasi penyakit/morbiditas pasien rawat inap; dan
e. Data kompilasi penyakit/morbiditas pasien rawat jalan.
(2) Untuk dapat menggunakan aplikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap rumah sakit wajib melakukan registrasi pada Kementerian Kesehatan.
(3) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pencatatan data
dasar rumah sakit pada Kementerian Kesehatan untuk mendapatkan Nomor
Identitas Rumah Sakit yang berlaku secara Nasional.

4
(4) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara online pada
situs resmi Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan.
Tujuan SIRS
Penyelenggaraan SIRS bertujuan untuk:
a. Merumuskan kebijakan di bidang perumahsakitan;
b. Menyajikan informasi rumah sakit secara nasional; dan
c. Melakukan pemantauan, pengendalian dan evaluasi penyelenggaraan rumah
sakit secara nasional. (permenkes 2011)

2. SIMPUS
Pada undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah
diamanatkan bahwa untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan
efisien diperlukan informasi kesehatan yang diselenggarakan melalui sistem
informasi kesehatan yang lintas sektor. Seiring dengan adanya era desentralisasi,
berbagai sistem informasi kesehatan telah dikembangkan baik di pemerintahan
pusat maupun daerah, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah masing-
masing.
Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 511 Tahun 2014 tentang
Strategi Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS) di era
otonomi daerah menegaskan, bahwa sasaran pengembangan SIKNAS pada akhir
tahun 2009 adalah telah tersedia dan dimanfaatkannya data dan informasi
kesehatan yang akurat, tepat, dan cepat dalam pengambilan keputusan atau
kebijakan bidang kesehatan di kabupaten/kota, provinsi, dan Departemen
Kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
SIMPUS adalah suatu tatanan yang menyediakan informasi untuk membantu
proses pengambilan keputusan dalam melaksanakan manajemen puskesmas untuk
mencapai sasaran kegiatannya (Depkes RI, 2004). SIMPUS bertujuan untuk
meningkatkan kualitas manajemen puskesmas dalam memberikan pelayanan
melalui pemanfaatan secara optimal.
SIMPUS merupakan program aplikasi yang dikembangkan khusus, dari
puskesmas, untuk puskesmas dengan melihat kebutuhan dan kemampuan
puskesmas dalam mengelola, mengolah dan memelihara data-data yang ada.
SIMPUS adalah sebuah sistem Informasi yang terintegrasi dan didesain multi user

5
yang disiapkan untuk menangani keseluruhan proses manajemen puskesmas.
Terdapat dua versi sekaligus yaitu berbasis desktop dan berbasis web. SIMPUS ini
terdiri atas berbagai modul, yaitu Admin Sistem (manajemen user), Loket, Poli
BP/umum, Poli Gigi, Lab/Radiologi, Apotek, Poli KIA, UGD, Rawat Inap,
Kegiatan Luar Gedung/UKM, Pojok Gizi, Pelayanan KB, Manajemen Aset, dan
Kepegawaian. Memungkinkan adanya koneksi online Dinas Kesehatan ke
Puskesmas secara real time, dikarenakan luasnya lingkup pekerjaan di puskesmas,
maka SIMPUS akan dikembangkan secara modular, atau terpisah antara program
kerja yang satu dengan program kerja yang lain.
Data dalam SIMPUS dapat menunjukan data pasien baru, data kunjungan
pasen, data keuangan, diagnosa yang dinput pada bagian poli (umum, gigi, KB,
KIA, Anak Lansia, Jiwa, Gigi, MTBS/Balita), BPJS, laporan bulanan, dan promosi
kesehatan.
a. Manfaat Penggunaan SIMPUS
Manfaat yang diterima bagi tenaga kesehatan maupun pasien dalam
sistem ini antara lain:
1) Bagi pegawai Puskesmas termasuk Dokter
a) Mempermudah pekerjaan dalam menyusun arsip-arsip kesehatan.
b) Tidak mengeluarkan biaya kertas dalam peyimpanan data.
c) Koneksi data antar bagian mempermudah penyampaian informasi
d) Tidak membuang waktu yang cukup banyak bagi para penyelenggara
kesehatan dalam pengolahan data ditingkat Puskesmas
e) Proses regristasi yang cepat dan mudah
f) Meningkatkan kevalidan data serta data tersimpan rapi.
2) Bagi pasien atau masyarakat
a) Proses regristrasi yang cepat sehingga masalah pasien cepat
teratasi/diobati
b) Data pasien tersimpan dengan baik, memudahkan pasien memperoleh
riwayat pengobatan
c) Munculnya kepuasan pasien dengan pola pelayanan berbasis sistem
3) Bagi pemerintah
a) Integrasi data membantu pemerintah lebih cepat memperoleh data
kesehatan disetiap pusat kesehatan.

6
b) Mengantisipasi kejadian luar biasa berdasarkan perolehan data laporan
harian atau pun bulanan, sehingga membantu menyelesaikan masalah
kesehatan masyarakat.
b. Dasar Hukum
Penerapan SIMPUS di Puskesmas merupakan bagian dari Inpres No 3
Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-
Government, dimana instasi yang memberikan pelayanan kepada publik
melalui pengelolaan berbasis digital. Disamping adanya Keputusan Menteri
Kesehatan No 511 Tahun 2014 tentang Strategi Pengembangan Sistem
Informasi Kesehatan Nasional. Selain itu, dalam pelaksanaan teknis
Puskesmas didasari oleh standar operasional prosedur (SOP). Setiap bagian
pelayanan di Puskesmas Sawangan memiliki SOP masingmasing, seperti
contoh SOP pendaftaran, SOP bagian Poli, SOP bagian Laboratorium, SOP
bagian farmasi dan SOP kasir.
c. Kendala Penerapan SIMPUS
Berbagai kendala dalam penerapan SIMPUS di beberapa Puskesmas
dapat menjadi masukan untuk menentukan model pengembangan SIMPUS.
Kendala-kendalanya sebagai berikut :
1) Pengoperasian SIMPUS membutuhkan jaringan internet, perangkat keras
seperti komputer dan kapasitas server yang cukup besar.
2) Pengelola data oleh SIMPUS dipengaruhi oleh data yang masuk atau data
yang di input oleh Pegawai atau Petugas, sementara proses input data
tersebut butuh proses kedisiplinan dan ketelitian yang cukup baik
sehingga memperoleh informasi yang baik.
3) SIMPUS adalah sistem yang dapat melakukan proses pengolahan, transfer
dan akses data secara otomatis, namun semua proses tersebut tidak akan
berjalan lancar tanpa campur tangan manusia dalam pengoperasiannya.
Hal ini menyebabkan kesalahan data yang disebabkan oleh error sistem
atau human error sehingga informasi yang muncul tidak sesuai dengan
data yang sebenarnya.
4) Penerapan SIMPUS di Puskesmas masih sering terkendala akibat down
server, atau down sistem yang menyebabkan terhambatnya pekerjaan di

7
Puskesmas, karena sebagian besar sistem kerja Puskesmas menggunakan
SIMPUS.

3. Sistem Surveilans
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis
data secara terus menerus dan sistematis yang kemudian disebarluaskan kepada
pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah
kesehatan lainnya (DCP2, 2008). Surveilans memungkinkan pengambil
keeputusan untuk memimpin dan mengelola dengan efektif. Surveilans kesehatan
masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi pengambil keputusan
dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu diperhatikan pada
suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting
untuk mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika
penyakit mulai menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian
kesehatan, kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana
populasi telah terlayani dengan baik (DCP2, 2008).
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah
kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan
dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Surveilans
dapat juga digunakan untuk memantau efektivitas program kesehatan. Tujuan
khusus surveilans adalah :
➢ Memonitor kecenderungan (trends) penyakit
➢ Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
outbreak
➢ Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease
burden) pada populasi
➢ Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan,
implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan
➢ Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan
➢ Mengidentifikasi kebutuhan riset
a. Jenis –Jenis Surveilans
Ada beberapa jenis dari surveilans, yaitu :
1) Surveilans Individu

8
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan
memonitor individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit
serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis.
Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional
segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat
dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional
yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat
tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode
menular. Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama
masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional
pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS. Dikenal
dua jenis karantina, yaitu:
a) Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang
terpapar penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah
kontak dengan orang yang tak terpapar.
b) Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif,
berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya
transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah
penularan penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus
bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan,
sedang di pospos lainnya tetap bekerja.
2) Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit,
melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-
laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus
perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
3) Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit,
bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan
deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang
bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik

9
mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-
gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka
sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu
penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional,
maupun nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala
nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like
illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam
surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan skrining
pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk 4 atau
sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus,
jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah
total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk memonitor
aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan
antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan
sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung
(Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
4) Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan
menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan
melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium
sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi
outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang
mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).
5) Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan
semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/
kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans
terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama,
melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan
pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap
memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakitpenyakit

10
tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006). Karakteristik dari
surveilans terpadu adalah :
a) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services)
b) Menggunakan pendekatan solusi majemuk
c) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural
d) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan,
pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans
(yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi,
manajemen sumber daya)
e) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit.
Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap
memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans
yang berbeda (WHO, 2002).
b. Manajemen Surveilans
1) Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-
langkah intervensi kesehatan 5 masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup
deteksi, pencatatan, pelaporan data, analisis data, konfirmasi
epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah
intervensi kesehatan masyarakat mencakup respons segera (epidemic type
response) dan respons terencana (management type response).
2) Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan, supervisi,
penyediaan sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber
daya, dan komunikasi (WHO, 2001; McNabb et al., 2002).
Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan.
Karena itu sifat dari masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan
implementasi sistem surveilans. Sebagai contoh, jika tujuannya mencegah
penyebaran penyakit infeksi akut, misalnya SARS, maka manajer program
kesehatan perlu melakukan intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu
dibutuhkan suatu sistem surveilans yang dapat memberikan informasi
peringatan dini dari klinik dan laboratorium. Sebaliknya penyakit kronis dan
perilaku terkait kesehatan, seperti kebiasaan merokok, berubah dengan lebih
lambat. Para manajer program kesehatan hanya perlu memonitor
perubahanperubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu. Sebagai contoh,

11
sistem surveilans yang menilai dampak program pengendalian tuberkulosis
mungkin hanya perlu memberikan informasi sekali setahun atau lima tahun,
tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa diperoleh dari survei
rumah tangga.
c. Pendekatan Surveilans
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis:
1) Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan
data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di
fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah
dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan
melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga
dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit
internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam
mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung
under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan
biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab
utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-
masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu
dibuat sederhana dan ringkas.
2) Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan
berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga
medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan
mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan
kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan
surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan
oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan
tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi
outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit
untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Menurut Wuhib et al., 2002, karakteristik surveilans sebagai berikut :
a) Kecepatan

12
Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu
(timely) memungkinkan tindakan segera untuk mengatasi masalah yang
diidentifikasi. Investigasi lanjut hanya dilakukan jika diperlukan informasi
tertentu dengan lebih mendalam. Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan
melalui sejumlah cara sebagai berikut :
➢ Melakukan analisis sedekat mungkin dengan pelapor data primer,
untuk mengurangi “lag” (beda waktu) yang terlalu panjang antara
laporan dan tanggapan
➢ Melembagakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit tertentu
(notifiable diseases)
➢ Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan
➢ Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat
menggunakan hasil surveilans
➢ Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah
dan segera.
b) Akurasi
Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil
mungkin terjadi hasil negatif palsu. Aspek akurasi lainnya adalah
spesifisitas, yakni sejauh mana terjadi hasil positif palsu. Pada umumnya
laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan “false alarm”
(peringatan palsu). Karena itu sistem surveilans perlu mengecek kebenaran
laporan awam ke lapangan, untuk mengkonfirmasi apakah memang tengah
terjadi peningkatan kasus/ outbreak.. Akurasi surveilans dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu :
➢ Kemampuan petugas
➢ Infrastruktur laboratorium. Surveilans membutuhkan pelatihan
petugas. Contoh, para ahli madya epidemiologi perlu dilatih tentang
dasar laboratorium, sedang teknisi laboratorium dilatih tentang prinsip
epidemiologi, sehingga kedua pihak memahami kebutuhan surveilans.
Surveilans memerlukan peralatan laboratorium standar di setiap
tingkat operasi untuk meningkatkan kemampuan konfirmasi kasus.
c) Standar, seragam, reliabel, kontinu.

13
Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar penting
dalam sistem surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten. Sistem
surveilans yang efektif mengukur secara kontinu sepanjang waktu,
bukannya intermiten atau sporadis, tentang insidensi kasus penyakit untuk
mendeteksi kecenderungan. Pelaporan rutin data penyakit yang harus
dilaporkan (reportable diseases) dilakukan seminggu sekali.
d) Representatif dan lengkap
Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang
sesungguhnya terjadi pada populasi. Konsekuensinya, data yang
dikumpulkan perlu representatif dan lengkap. Keterwakilan, cakupan, dan
kelengkapan data surveilans dapat menemui kendala jika penggunaan
kapasitas tenaga petugas telah melampaui batas, khususnya ketika waktu
petugas surveilans terbagi antara tugas surveilans dan tugas pemberian
pelayanan kesehatan lainnya.
e) Sederhana, fleksibel, dan akseptabel
Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis, baik
dalam organisasi, struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus
relevan dan terfokus. Format pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak
berguna dibuang. Sistem surveilans yang buruk biasanya terjebak untuk
menambah sasaran baru tanpa membuang sasaran lama yang sudah tidak
berguna, dengan akibat membebani pengumpul data. Sistem surveilans
harus dapat diterima oleh petugas surveilans, sumber data, otoritas terkait
surveilans, maupun pemangku surveilans lainnya. Untuk memelihara
komitmen perlu pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala
pada setiap level operasi.
f) Penggunaan (uptake)
Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi
surveilans digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan,
maupun pemangku surveilans pada berbagai level. Rendahnya penggunaan
data surveilans merupakan masalah di banyak negara berkembang dan
beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi problem ini adalah
membangun network dan komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat
kebijakan, dan pengambil keputusan.

14
4. P-Care
Aplikasi Primary Care BPJS Kesehatan diterapkan sejak berlakunya
Jaminan Kesehatan Nasional Januari 2014. Data dan informasi kesehatan
merupakan salah satu faktor yang handal dalam pengambilan keputusan, untuk
penentuan kebijakan dan perencanaan program bidang kesehatan. Oleh sebab
kebutuhan akan data dan informasi yang akurat merupakan suatu keharusan dalam
pelaksanaan pelayanan bidang kesehatan. Informasi adalah data yang telah
dikumpulkan, diolah, dianalisis dan dikemas, sehingga dapat menghilangkan
keragu-raguan dalam pengambilan keputusan (Herlina 2014).
Dalam memenuhi kebutuhan akan informasi ini, pengembangan Sistem
Informasi Kesehatan, harus dibangun dengan komitmen setiap unit infrastruktur
pelayanan kesehatan agar setiap Sistem Informasi kesehatan berjalan dengan baik
Sistem berbasis komputer, telah lama dikenal diaplikasikan di bidang kesehatan,
bahkan di level puskesmas telah mengenal beberapa aplikasi komputer yang
dipergunakan untuk pengolahan data program kesehatan seperti Simpus (sistem
informasi puskesmas) SP3 (sistem pencatatan dan pelaporan puskesmas), dan
Primary care BPJS Kesehatan.
Primary Care atau P-Care adalah Sistem informasi pelayanan pasien yang
ditujukan umtuk pasien BPJS Kesehatan berbasis internet. P-care dipublikasikan
untuk Pelayanan primer untuk puskesmas dan mencakup pelayanan dasar seperti
entry data Pasien dan pengolahan data ,mencakup: pendaftaran pasien dan
pelayanan pasien: yang mencakup pemeriksaan pasien, penegakan diagnosa,
pemberian terapi /obat, pemeriksaan laboratorium, sampai tahap pemberian
rujukan. Konsep yang mendasari adanya P-Care diharapkan semua data
kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan pelayanan pasien bersifat real
time, terintegrasi dari setiap bagian di suatu institusi pelayanan kesehatan sampai
ke Institusi Pelayanan Kesehatan Rujukan. Terlampir disertakan buku panduan
aplikasi P-Care BPJS Kesehatan yang dikelaurkan oleh Tim Pembangunan
Aplikasi P-Care BPJS Kesehatan. Adanya P-Care mempermudah BPJS Kesehatan
dalam melakukan pemantauan aktifitas pelayanan. Bagi Puskesmas yang belum
memiliki Sistem Informasi berbasis komputer, adanya P-Care ini meningkatkan
profesionalitas dalam pemberian pelayanan kepada pasien. Namun bagi
Puskesmas yang Telah memiliki Sistem Informasi berbasis komputer seperti

15
SIMPUS, SI Rekam Medis, Aplikasi ini akan menimbulkan beban kerja tambahan
bagi Petugas puskesmas. Double entry tak bisa dihindarkan. (Novelia 2014)

5. INA-CBGs
Terdapat dua metode pembayaran rumah sakit yang digunakan yaitu metode
pembayaran retrospektif dan metode pembayaran prospektif. Metode pembayaran
retrospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan
yang diberikan kepada pasien berdasar pada setiap aktifitas layanan yang
diberikan, semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan semakin besar biaya
yang harus dibayarkan. Metode pembayaran prospektif adalah metode
pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang besarannya sudah
diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan.
Di Indonesia, metode pembayaran prospektif dikenal dengan Casemix (case
based payment) dan sudah diterapkan sejak Tahun 2008 sebagai metode
pembayaran pada program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Sistem
casemix adalah pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan mengacu pada ciri
klinis yang mirip/sama dan penggunaan sumber daya/biaya perawatan yang
mirip/sama, pengelompokan dilakukan dengan menggunakan software grouper.
Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun 2006
dengan nama INA-DRG (Indonesia- Diagnosis Related Group). Implementasi
pembayaran dengan INA-DRG dimulai pada 1 September 2008 pada 15 rumah
sakit vertikal. Pada tanggal 31 September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur
dari INA-DRG (Indonesia Diagnosis Related Group) menjadi INA-CBG
(Indonesia Case Based Group).
INA CBG (Indonesia Case Based Group) adalah sebuah model pembayaran
yang digunakan BPJS Kesehatan untuk mengganti klaim yang ditagihkan oleh
rumah sakit. INA-CBG merupakan sistem pembayaran dengan sistem "paket",
berdasarkan penyakit yang diderita pasien. Rumah Sakit akan mendapatkan
pembayaran berdasarkan tarif INA CBGs yang merupakan rata-rata biaya yang
dihabiskan oleh untuk suatu kelompok diagnosis

16
a. Struktur Kode INA-CBGs
Dasar pengelompokan dalam INA-CBGs menggunakan sistem kodifikasi dari
diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi output pelayanan, dengan acuan
ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk tindakan/prosedur. Pengelompokan
menggunakan sistem teknologi informasi berupa Aplikasi INA-CBG sehingga
dihasilkan 1.077 Group/Kelompok Kasus yang terdiri dari 789 kelompok kasus rawat
inap dan 288 kelompok kasus rawat jalan. Setiap group dilambangkan dengan kode
kombinasi alfabet dan numerik dengan contoh sebagai berikut :

Gambar 1
Struktur Kode INA-CBG
Keterangan :
1) Digit ke-1 merupakan CMG (Casemix Main Groups)
2) Digit ke-2 merupakan tipe kasus
3) Digit ke-3 merupakan spesifik CBG kasus
4) Digit ke-4 berupa angka romawi merupakan severity level
Struktur Kode INA-CBGs terdiri atas :
1) Case-Mix Main Groups (CMGs)
➢ Adalah klasifikasi tahap pertama
➢ Dilabelkan dengan huruf Alphabet (A to Z)
➢ Berhubungan dengan sistem organ tubuh
➢ Pemberian Label Huruf disesuaikan dengan yang ada pada ICD 10
untuk setiap sistem organ
➢ Terdapat 30 CMGs dalam UNU Grouper (22 Acute Care CMGs, 2
Ambulatory CMGs, 1 Subacute CMGs, 1 Chronic CMGs, 4 Special
CMGs dan 1 Error CMGs)
➢ Total CBGs sampai saat ini sebanyak 1220.
➢ 31 CMGs yang ada dalam INA-CBGs terdiri dari :
17
Tabel 1
Casemix Main Groups (CMG)

18
2) Case-Based Groups (CBGs):
Sub-group kedua yang menunjukkan tipe kasus (1-9)
Tabel 4
Group Tipe Kasus dalam INA-CBGs

3) Kode CBGs
Sub-group ketiga menunjukkan spesifik CBGs yang dilambangkan
dengan numerik mulai dari 01 sampai dengan 99.
4) Severity Level
Sub-group keempat merupakan resource intensity level yang
menunjukkan tingkat keparahan kasus yang dipengaruhi adanya
komorbiditas ataupun komplikasi dalam masa perawatan. Keparahan kasus
dalam INA-CBG terbagi menjadi :
a) “0” Untuk Rawat jalan
b) “I - Ringan” untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 1 (tanpa
komplikasi maupun komorbiditi)
c) “II - Sedang” Untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 2 (dengan
mild komplikasi dan komorbiditi)
d) “III - Berat” Untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 3 (dengan
major komplikasi dan komorbiditi)

19
Gambar 2
Contoh kode INA-CBGs

Istilah ringan, sedang dan berat dalam deskripsi dari Kode INA-CBGs
bukan menggambarkan kondisi klinis pasien maupun diagnosis atau
prosedur namun menggambarkan tingkat keparahan (severity level) yang
dipengaruhi oleh diagnosis sekunder (komplikasi dan ko- morbiditi).
Kode INA-CBGs dan deskripsinya tidak selalu menggambarkan
diagnosis tunggal tetapi bisa merupakan hasil satu diagnosis atau kumpulan
diagnosis dan prosedur.

b. Tarif INA-CBGs Dalam Jaminan Kesehatan Nasional


Tarif INA-CBG mempunyai 1.077 kelompok tarif terdiri dari 789 kode
grup/kelompok rawat inap dan 288 kode grup/kelompok rawat jalan, menggunakan
sistem koding dengan ICD-10 untuk diagnosis serta ICD-9-CM untuk
prosedur/tindakan. Pengelompokan kode diagnosis dan prosedur dilakukan dengan
menggunakan grouper UNU (UNU Grouper). UNU- Grouper adalah Grouper
casemix yang dikembangkan oleh United Nations University (UNU).
Tarif INA-CBGs yang digunakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) per 1 Januari 2014 diberlakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan,
dengan beberapa prinsip sebagai berikut :
1) Pengelompokan Tarif 7 kluster rumah sakit, yaitu :
a) Tarif Rumah Sakit Kelas A
b) Tarif Rumah Sakit Kelas B
c) Tarif Rumah Sakit Kelas B Pendidikan
d) Tarif Rumah Sakit Kelas C
e) Tarif Rumah Sakit Kelas D
f) Tarif Rumah Sakit Khusus Rujukan Nasional
g) Tarif Rumah Sakit Umum Rujukan Nasional
20
Pengelompokan tarif berdasarkan penyesuaian setelah melihat besaran
Hospital Base Rate (HBR) sakit yang didapatkan dari perhitungan total biaya
pengeluaran rumah sakit. Apabila dalam satu kelompok terdapat lebih dari satu
rumah sakit, maka digunakan Mean Base Rate.
2) Regionalisasi, tarif terbagi atas 5 Regional yang didasarkan pada Indeks Harga
Konsumen (IHK) dan telah disepakati bersama antara BPJS Kesehatan dengan
Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan
3) Terdapat pembayaran tambahan (Top Up) dalam sistem INA-CBGs versi 4.0
untuk kasus – kasus tertentu yang masuk dalam special casemix main group
(CMG), meliputi:
a) Special Prosedure
b) Special Drugs
c) Special Investigation
d) Special Prosthesis
e) Special Groups Subacute dan Kronis
Top up pada special CMG tidak diberikan untuk seluruh kasus atau
kondisi, tetapi hanya diberikan pada kasus dan kondisi tertentu. Khususnya
pada beberapa kasus atau kondisi dimana rasio antara tarif INA-CBGs yang
sudah dibuat berbeda cukup besar dengan tarif RS. Penjelasan lebih rinci
tentang Top Up dapat dilihat pada poin D.

4) Tidak ada perbedaan tarif antara rumah sakit umum dan khusus, disesuaikan
dengan penetapan kelas yang dimiliki untuk semua pelayanan di rumah sakit
berdasarkan surat keputusan penetapan kelas yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan RI.
5) Tarif INA-CBGs merupakan tarif paket yang meliputi seluruh komponen
sumber daya rumah sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis maupun
non-medis.
Untuk Rumah Sakit yang belum memiliki penetapan kelas, maka tarif INA-
CBGs yang digunakan setara dengan Tarif Rumah Sakit Kelas D sesuai
regionalisasi masing-masing. Penghitungan tarif INA CBGs berbasis pada data
costing dan data koding rumah sakit. Data costing didapatkan dari rumah sakit
terpilih (rumah sakit sampel) representasi dari kelas rumah sakit, jenis rumah sakit
maupun kepemilikan rumah sakit (rumah sakit swasta dan pemerintah), meliputi
21
seluruh data biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit, tidak termasuk obat yang
sumber pembiayaannya dari program pemerintah (HIV, TB, dan lainnya). Data
koding diperoleh dari data koding rumah sakit PPK Jamkesmas. Untuk penyusunan
tarif JKN digunakan data costing 137 rumah sakit pemerintah dan swasta serta 6
juta data koding (kasus).

c. Regionalisasi
Regionalisasi dalam tarif INA-CBGs dimaksudkan untuk mengakomodir
perbedaan biaya distribusi obat dan alat kesehatan di Indonesia. Dasar penentuan
regionalisasi digunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari Badan Pusat Statistik
(BPS), pembagian regioalisasi dikelompokkan menjadi 5 regional. Kesepakatan
mengenai pembagian regional dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
(PERSI) dengan hasil regionalisasi tingkat propinsi sebagai berikut :

Tabel 3
Daftar regionalisasi tarif INA-CBGs

Regionalisasi untuk mengakomodir perbedaan biaya distribusi obat dan alat


kesehatan di Indonesia. Dasar penentuan regionalisasi digunakan Indeks Harga
Konsumen (IHK) dari Badan Pusat Statistik (BPS).

22
d. Aplikasi INA-CBGs 4.0
Aplikasi INA-CBGs merupakan salah satu perangkat entri data pasien yang
digunakan untuk melakukan grouping tarif berdasarkan data yang berasal dari
resume medis. Aplikasi INA-CBGs sudah terinstall dirumah sakit yang melayani
peserta JKN, yang digunakan untuk JKN adalah INA-CBGs 4.0 Untuk
menggunakan aplikasi INA-CBGs , rumah sakit sudah harus memiliki kode
registrasi rumah sakit yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Upaya
Kesehatan, selanjutnya akan dilakukan aktifasi software INA-CBGs setiap rumah
sakit sesuai dengan kelas rumah sakit serta regionalisasinya. Bagi rumah sakit yang
ingin melakukan aktifasi aplikasi INA-CBGs dapat mengunduh database rumah sakit
sesuai dengan data rumah sakit di website buk.depkes.go.id. Proses entri data pasien
ke dalam aplikasi INA-CBGs dilakukan setelah pasien selesai mendapat pelayanan
di rumah sakit (setelah pasien pulang dari rumah sakit), data yang diperlukan berasal
dari resume medis, sesuai dengan alur bagan sebagai berikut :

Gambar 3
Alur entri data software INA-CBGs 4.0

Proses entri aplikasi INA-CBGs 4.0 dilakukan oleh petugas koder atau petugas
administrasi klaim di rumah sakit dengan menggunakan data dari resume medis,
perlu diperhatikan juga mengenai kelengkapan data administratif untuk tujuan
keabsahan klaim. Operasionalisasi aplikasi INA-CBGs 4.0 :

23
Memasukkan variabel data yang diperlukan untuk proses grouping :

Gambar 4
Software INA-CBGs 4.0

24
Catatan :
1) Setelah mengentrikan data sosial sampai dengan variabel Tarif RS atau ADL
(bila ada) harus disimpan.
2) ADL (Activity Daily Living) merupakan nilai yang menggambarkan
ketidakmapuan pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari, penilaian dengan
menggunakan perangkat WHO-DAS dilakukan pada pasien yang termasuk
dalam kasus subakut dan kronis.
3) Kemudian memasukkan kode Diagnosis dengan ICD 10 dan prosedur dengan
ICD 9 CM yang dikoding dari resume medis pasien
4) Setelah data Diagnosis dan Prosedur dimasukkan DIHARUSKAN menekan
tombol “ REFRESH ” kemudian dilakukan pengecekan ada atau tidak special
CMG pada kasus tersebut, lalu klik tombol “Simpan”.
Gambar 5
Menu Special CMG dalam Software INA-CBGs 4.

25
Catatan :

1) Variabel ADL (Activity Daily Living) digunakan sebagai salah satu faktor
dalam perhitungan besaran tarif pada Special CMG untuk kasus Sub Akut dan
Kronis, dengan kriteria hari rawat atau Length of Stay melebihi 42 hari di rumah
sakit. Pada variable ADL diisi dengan memilih angka yang menjadi hasil
penilaian terhadap status fungsional pasien atau kemampuan pasien dalam
melakukan aktivitas sehari-hari, menggunakan instrumen WHO-DAS.
(terlampir)
2) Special CMG merupakan kelompok khusus dari beberapa item pelayanan
tertentu yang mendapatkan tambahan pembayaran (top up payment), dengan
kategori antara lain drugs, prosthesis, investigation dan procedure. Item
pelayanan yang termasuk kedalam Special CMG akan muncul setelah dilakukan
input data diagnosis serta tindakan (bila ada) yang terkait dengan item Special
CMG yang dilanjutkan dengan klik Refresh. Setelah dipilih item Special CMG
yang muncul, klik Simpan kembali lalu proses Grouping.

Gambar 6
Hasil Proses Grouping Software INA-CBGs 4.0

26
Catatan :

1) Pada kasus contoh tersebut adalah kasus yang mendapatkan Special CMG
untuk prosedur, sehingga ada penambahan besaran tarif diluar tarif dasar,
sehingga Total Tarif merupakan penjumlahan dari Tarif + Tarif Special CMG
2) Apabila pada kasus yang dientri bukan termasuk dalam kasus yang mendapat
special CMG maka tarif special CMG tidak akan muncul.

6. Vital Health Registration


Sistem pelaporan dan pencatatan sipil (registrasi sipil) adalah sumber data
yang dapat diandalkan, efektif dan efisien. Sistem tersebut mencakup seluruh
penduduk, dilakukan secara terus menerus, dan berkekuatan hukum serta digunakan
sebagai basis data statistik yang dapat diandalkan. Kejadian kelahiran, kematian,
termasuk penyebab kematian sangat penting untuk membuat perencanaan
pembangunan ekonomi dan sosial, termasuk sektor kesehatan (WHO, 2012).
Namun di negara berkembang termasuk Indonesia, sistem seperti ini sering lemah
atau datanya tidak lengkap, sehingga sistem registrasi sipil ini belum memadai
untuk menghasilkan statistik vital. Untuk melengkapi kebutuhan tersebut
menggunakan alternatif dari sumber data lain, termasuk sensus penduduk, dan
survei rumah tangga sampel (UNSD, 2001).
Dalam undang-undang Nomor 24 tahun 2013 menyebutkan dalam salah satu
pasalnya bahwa semua kepala lingkungan harus aktif mencatat semua kejadian
kematian warganya, dan melaporkan ke instansi di atasnya. Statistik kelahiran,
kematian, perpindahan, perkawinan, perceraian, adopsi, yang direkam melalui
Sistem Registrasi Sipil pemerintah menciptakan catatan permanen dari setiap
peristiwa. Catatan tersebut merupakan dokumen hukum yang dibutuhkan oleh
warga sebagai bukti fakta, dan sebagai landasan membentuk sistem statistik vital
suatu negara (WHO, 2012). Selanjutnya statistik vital digunakan sebagai dasar
memperoleh berbagai ukuran demografi dan epidemiologi dalam perencanaan
nasional di berbagai sektor. Sistem Registrasi Sipil dan Statistik Vital (Civil
Registrations and Vital Statistics/ CRVS) yang baik menjadi dasar untuk
perencanaan, monitoring dan evaluasi program pembangunan (UNSD, 2001).
Pada sektor kesehatan, statistik vital merupakan inti dari Sistem Informasi
Kesehatan (SIK) suatu negara. Sektor kesehatan membutuhkan registrasi sipil untuk
27
menunjang SIK. SIK mencakup antara lain data-data prevalensi dan distribusi
kematian akibat penyakit dan cedera, status kesehatan, kesenjangan dan prioritas,
pemantauan tren, evaluasi dampak dan efektivitas program kesehatan. SIK penting
dalam menjawab tantangan kesehatan yang muncul yang disebabkan karena
penyakit tidak menular, cedera dan lainnya yang cenderung meningkat sementara
penyakit menular masih tinggi. SIK juga penting dalam mengaktifkan pelacakan
strategi nasional seperti reformasi sektor kesehatan, kemiskinan dan pengembangan
usaha; mendukung perencanaan, pemantauan dan evaluasi di sistem desentralisasi
kesehatan, dengan memberikan informasi mengenai kondisi kesehatan di wilayah.
a. Fungsi Sistem Registrasi Kematian
Dasar hukum yang digunakan untuk landasan registrasi kematian dan
penyebab kematian di daerah mengacu pada:
1) UU No 23 Tahun 2006, tentang Penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan
2) PP No.37 Tahun 2007, tentang pelaksanaan UU No. 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan
3) Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil
4) UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No 23. Tahun 2006
tentang Adminduk.
Sebagian besar daerah langsung mengacu undang-undang tersebut dalam
penyelenggaraan registrasi kematian dan penyebab kematian. Namun beberapa
daerah sudah memiliki peraturan daerah tentang penyelenggaraan administrasi
kependudukan terutama daerah yang sistem registrasi kematiannya lebih bagus.
Walau peraturan daerah tersebut tidak selalu berupa perda, bisa juga berupa
perwali ataupun hanya sekedar surat edaran, karena untuk menghasilkan suatu
perda membutuhkan waktu yang relatif lama. Harapannya daerah mempunyai
perda yang mengatur mengenai mekanisme registrasi kematian dan penyebab
kematian dijalankan di daerah. Kenyataannya sampai saat ini baru beberapa
daerah yang mempunyai perda.
Dalam beberapa perda yang ada sudah mencantumkan kewajiban untuk
mencatatkan dan melaporkan setiap kelahiran dan kematian sesuai dengan
undang-undang administrasi kependudukan di Indonesia. Namun peraturan ini

28
masih memerlukan peraturan tambahan, karena belum ada satupun perda yang
mewajibkan penyebab kematian harus ditetapkan dalam Surat Keterangan
Kematian (SKPK) atau dicatatkan pada pendaftaran kematian. Dalam peraturan
tersebut juga belum tercantum secara tegas batas waktu dan sanksi tertib
administrasi. Persyaratan tersebut penting karena memacu masyarakat lebih
aktif untuk selain melaporkan kejadian kematian ke kelurahan/adminduk
mereka juga akan melapor ke puskesmas untuk dibuatkan penyebab
kematian/COD (sebagai dasar keluarnya SKPK). Kendala selama ini karena
catatan kejadian kematian di kelurahan belum lengkap (belum tercatat semua)
dan belum tepat waktu, Petugas puskesmas yang mempunyai tanggungjawab
membuat COD kesulitan mendapatkan data kejadian kematian.
Bukti pelaporan kematian di tingkat yang paling dasar tidak selalu
teradministrasikan dengan baik. Kelurahan dan jajarannya mencatat di buku
besar atau dengan form tertentu, kadang lupa mencatatnya. Masjid, Modin,
hanya lisan tanpa dicatat terus diumumkan ke masyarakat lebih kepada
pemenuhan fungsi sosial. Gereja lebih teratur, karena laporan kematian dari
jemaatnya dicatat di buku gereja. Pencatatan di tingkat dasar tersebut tanpa
diminta bukti diri yang meninggal untuk tertib administrasi kecuali yang akan
mengurus dalam jenjang yang lebih tinggi. Lembaga resmi adminduk dan
jajarannya tidak berkoordinasi dengan lembaga-lembaga masyarakat seperti
gereja, banjar, masjid untuk mendapatkan data kematian. Hanya sebagian kecil
(sekitar 10%) masyarakat mengurus akte kematian ke Dukcapil, kecuali
beberapa daerah perkotaan. Pengurusan itupun dilakukan jauh hari setelah
kejadian kematian (tidak tepat waktu).
Adanya santunan kematian di beberapa daerah mendorong masyarakat
melapor ke RT/RW/Kelurahan/ Kecamatan. Daerah yang memberikan
santunan kematian cenderung pelaporan kejadian kematian meningkat, namun
tetap berpotensi kehilangan data karena penarikan santunan/asuransi/dana
pensiun/warisan hanya cukup mensyaratkan surat keterangan kematian bukan
akte kematian, tanpa batas waktu yang jelas, tanpa surat keterangan dan
penyebab kematian dari puskesmas/rumah sakit, tanpa mensyaratkan adanya
akte kematian. Seharusnya kejadian kematian yang bukan di fasilitas
kesehatan, penyebab kematian tetap dikeluarkan oleh dokter. Kerjasama antar

29
badan dan lembaga pemerintahan yang berbeda dalam menjalankan
tanggungjawabnya terhadap sistem registrasi kematian dan sistem penyebab
kematian pada umumnya belum bersinergi dengan cukup baik. Diperlukan
upaya peningkatan kerjasama antar badan dan lembaga pemerintahan dalam
menjalankan tanggungjawab yang berkaitan dengan sistem registrasi kematian
dan penyebab kematian.
b. Fungsi Sistem Penyebab Kematian
Format laporan pencatatan kematian yang ada di pusat pelayanan
kesehatan belum sama dengan format laporan yang ada di instansi
kependudukan seperti kelurahan, kecamatan dan Dukcapil. Format pencatatan
kependudukan hanya mencantumkan jumlah yang meninggal sedangkan jenis
penyakit penyebab kematian hanya berdasar pengakuan warga (misalnya: sakit
tua, kecelakaan). Sedangkan format pencatatan kependudukan kesehatan sudah
menggunakan ICD 10. Seharusnya hal ini dikombinasikan. Tugas dan
tanggungjawab adminduk mencatat kejadian kematian, sedangkan penulisan
penyebab kematian menjadi tanggungjawab dinas kesehatan (puskesmas dan
rumah sakit). Dalam format laporan kejadian kematian yang ada di adminduk
tercantum penyebab kematian dengan format yang tidak sesuai dengan SKPK.
Jalan keluarnya format yang selama ini ada di adminduk sebaiknya
disempurnakan, sesuai dengan SKPK. Karena itu setiap masyarakat yang
melapor dan meminta surat keterangan kematian wajib melampirkan SKPK.
Dengan begitu di samping masyarakat melapor ke kelurahan, masyarakat
dengan sendirinya akan melapor ke puskesmas untuk dibuatkan SKPK, apabila
meninggal di luar rumah sakit. Apabila meninggal di rumah sakit, SKPK
dikeluarkan oleh rumah sakit. Dengan adanya mekanisme kerjasama tersebut
dapat memperbaiki cakupan pencatatan penyebab kematian.
Buku ICD yang digunakan masih edisi lama dengan Bahasa Inggris.
Dokter adalah penanggungjawab penggunaan ICD. Dinkes penanggungjawab
memberikan pelatihan pengkodean ICD namun tenaga pelatih tidak tersedia.
Saat ini ICD yang digunakan adalah ringkasan diagnosa pada Piker BPJS.
Informasi penyebab kematian merujuk pada SKPK dan penyebab dasar
kematian. Belum ada mekanisme tertulis tentang kualitas SKPK.
Kabupaten/kota tidak ada kewajiban dalam membuat SKPK, kecuali Kota

30
Metro. Hal ini menyebabkan tidak ada penyebab kematian yang tercatat dalam
kantor catatan sipil. Namun dinkes sudah mengumpulkan data penyebab
kematian melalui SKPK yang disediakan oleh dinkes. Petugas kesehatan yang
mengisi formulir SKPK. Data penyebab kematian yang dikumpulkan oleh
dinkes ditentukan oleh petugas medis di puskesmas dan di rumah sakit.
Penyajian penyebab kematian antara puskesmas dan rumah sakit tidak
dipisahkan tersendiri.
SKPK yang digunakan telah merujuk standar internasional sesuai dengan
yang dianjurkan dalam buku ICD (Internasional Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problems) baik kematian di rumah sakit maupun
di luar rumah sakit. Dalam pengisian SKPK terkadang masih dijumpai dokter
yang tidak tahu bagaimana menuliskan surat keterangan penyebab kematian
secara benar dan lengkap, termasuk urutan penyebab dan penyebab dasar.
Ketidaktahuan dokter untuk mengisi format SKPK sesuai dengan aturan/
standar disebabkan tidak tersedia buku saku/ brosur/pedoman lainnya untuk
dokter sebagai penuntun dalam menentukan penyebab kematian berdasarkan
ICD, kecuali dokter yang pernah dilatih oleh Balitbangkes karena ada kegiatan
penelitian pengembangan sistem registrasi kematian dan penyebab kematian ini
sebelumnya. Masalahnya apabila dokter yang sudah dilatih tersebut pindah (ke
luar wilayah kabupaten/ kota), melanjutkan pendidikan, selesai masa tugasnya,
dokter penggantinya belum paham SKPK, karena memang tidak diajarkan
dalam kurikulum pendidikannya. Semua dokter belum dilatih SKPK karena
memang masih dalam masa pengembangan sistem, belum masuk ke dalam
sistem rutin.
Kedepannya diharapkan SKPK masuk kedalam kurikulum kedokteran,
baik dalam dalam mata ajar tersendiri, menempel pada mata pelajaran yang
sudah ada, atau menempel pada kurikulum pembekalan pre klinik. Bila hal ini
dilakukan, apabila sistem ini nantinya sudah menjadi sistem rutin, kendala
kekurangan dokter yang paham pengisian SKPK akan bisa diatasi. Kemanapun
dokter tersebut ditempatkan, pindah sudah paham SKPK tidak usah menunggu
adanya pelatihan.

31
C. Mekanisme Pencatatan Data Kesehatan Ibu dan Anak Khususnya Pada
Kebidanan
PWS telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1985. PWS dimulai dengan
program imunisasi, berhasil dengan baik, dibuktikan dengan tercapainya Universal
Child Imunization (UCI) di Indonesia tahun 1990. Program Imunisasi berjalan,
berkembang menjadi PWS KIA, PWS Gizi Namun, pelaksanaan PWS dengan
indikator Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) tidak secara cepat dapat menurunkan Angka
Kematian Ibu (AKI) secara bermakna, karena adanya faktor-faktor lain sebagai
penyebab kematian ibu (ekonomi, pendidikan dan sosial budaya). (Depkes RI, 2010)
Pemantauan Wilayah Setempat dapat digunakan sebagai alat manajemen
program KIA untuk memantau cakupan pelayanan KIA di suatu wilayah kerja secara
terus menerus, agar dapat ditindak lanjuti secara cepat dan tepat. Penyajian PWS KIA
dapat dipakai sebagai alat motivasi dan komunikasi kepada sektor terkait yang
berkaitan terhadap pelaksanaan kesehatan ibu dan anak. Program PWS KIA dapat
membantu tugas bidan dalam memantau program KIA yang meliputi pelayanan ibu
hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga berencana,
bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, serta bayi, dan balita. Sasaran yang
digunakan dalam PWS KIA berdasarkan kurun waktu 1 tahun dengan prinsip konsep
wilayah (misalnya: untuk provinsi memakai sasaran provinsi, untuk kabupaten
memakai sasaran kabupaten). (Depkes RI, 2010)
1. Indikator Pemantauan Program PWS KIA
Beberapa indikator pemantauan program KIA yang dipakai untuk PWS KIA
meliputi indikator yang dapat menggambarkan keadaan dalam program pokok
KIA antara lain:

a. Akses pelayanan antenatal (K1)


Adalah cakupan ibu hamil yang pertama kali mendapat pelayanan
antenatal oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu. Indikator akses ini digunakan untuk mengetahui jangkauan
pelayanan antenatal serta kemampuan program dalam menggerakkan
masyarakat.
b. Cakupan pelayanan ibu hamil (K4)
Adalah cakupan ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal
sesuai dengan standar, paling sedikit empat kali dengan distribusi waktu 1
32
kali pada trimester ke-1, 1 kali pada trimester ke¬2 dan 2 kali pada trimester
ke-3 disuatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Indikator ini dapat
menentukan cakupan pelayanan antenatal secara lengkap, menggambarkan
tingkat perlindungan ibu hamil di suatu wilayah, serta menggambarkan
kemampuan manajemen ataupun kelangsungan program KIA.
c. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (PN)
Adalah cakupan ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan, di suatu wilayah
kerja dalam kurun waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat diperkirakan
proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan dan ini
menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam pertolongan
persalinan sesuai standar.

d. Cakupan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan (KF3)


Adalah cakupan pelayanan kepada ibu pada masa 6 jam sampai dengan
42 hari pasca bersalin sesuai standar paling sedikit 3 kali dengan distribusi
waktu 6 jam – 3 hari, 8 – 14 har dan 36 – 42 har setelah bersalin di suatu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Dengan menggunakan indikator
tersebut, dapat diketahui cakupan pelayanan nifas secara lengkap (memenuhi
standar pelayanan dan menepati waktu yang ditetapkan), yang
menggambarkan jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu nifas, di
samping menggambarkan kemampuan manajemen ataupun kelangsungan
program KIA.
e. Cakupan pelayanan neonatus pertama (KN 1)
Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar
pada 6 – 48 jam setelah lahir di suatu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu. Dengan indikator ini dapat diketahui akses/jangkauan pelayanan
kesehatan neonatal.
f. Cakupan pelayanan neonatus Lengkap (KN Lengkap).
Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar
sedikitnya tiga kali yaitu 1 kali pada 6 – 48 jam, 1 kali pada hari ke 3 – har ke
7 dan 1 kal pada hari ke 8 – har ke 28 setelah lahir disuatu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat diketahui efektifitas dan
kualitas pelayanan kesehatan neonatal.
33
g. Deteksi faktor risiko dan komplikasi oleh Masyarakat
Adalah cakupan ibu hamil dengan faktor risiko atau komplikasi yang
ditemukan oleh kader atau dukun bayi atau masyarakat serta dirujuk ke
tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Indikator
ini menggambarkan peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam
mendukung upaya peningkatan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas.
h. Cakupan Penanganan komplikasi Obstetri (PK)
Adalah cakupan Ibu dengan komplikasi kebidanan di suatu wilayah
kerja pada kurun waktu tertentu yang ditangani secara definitif sesuai dengan
standar oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan
rujukan. Penanganan definitif adalah penanganan/pemberian tindakan terakhir
untuk menyelesaikan permasalahan setiap kasus komplikasi kebidanan.
Indikator ini mengukur kemampuan manajemen program KIA dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara professional kepada ibu hamil
bersalin dan nifas dengan komplikasi.
i. Neonatus dengan komplikasi yang ditangani
Adalah cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani secara
definitif oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan
rujukan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Penanganan
definitif adalah pemberian tindakan akhir pada setiap kasus komplikasi
neonatus yang pelaporannya dihitung 1 kali pada masa neonatal. Kasus
komplikasi yang ditangani adalah seluruh kasus yang ditangani tanpa melihat
hasilnya hidup atau mati. Indikator ini menunjukkan kemampuan sarana
pelayanan kesehatan dalam menangani kasus – kasus kegawatdaruratan
neonatal, yan kemudian ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya, atau
dapat dirujuk ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi.
j. Cakupan kunjungan bayi (29 hari – 11 bulan)
Adalah cakupan bayi yang mendapatkan pelayanan paripurna minimal
4 kali yaitu 1 kali pada umur 29 hari – 2 bulan 1 kal pada umur 3 – bulan, dan
satu kali pada umur 6 – 8 bulan dan 1 kal pada umur 9 – 11 bulan sesuai
standar di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Dengan indikator

34
ini dapat diketahui efektifitas, continuum of care dan kualitas pelayanan
kesehatan bayi.
k. Cakupan pelayanan anak balita (12 – 59 bulan)
Adalah cakupan anak balita (12 – 59 bulan) yang memperoleh pelayanan
sesuai standar, meliputi pemantauan pertumbuhan minimal 8x setahun,
pemantauan perkembangan minimal 2 x setahun, pemberian vitamin A 2 x
setahun

2. Pencatatan Program PWS KIA


Menurut Depkes RI (2010), kegiatan utama yang harus dilakukan dalam
menjalankan program PWS KIA yaitu pengumpulan dan pengelolaan data. Data
yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan PWS KIA meliputi data sasaran
dan data pelayanan KIA. Sedangkan Langkah pengolahan data meliputi
pembersihan data (melihat kelengkapan dan kebenaran pengisian formulir yang
tersedia), validasi (melihat kebenaran dan ketepatan data) dan pengelompokan
(sesuai dengan kebutuhan data yang harus di laporkan)
a. Data Sasaran

Data sasaran diperoleh sejak saat Bidan memulai pekerjaan di


desa/kelurahan. Seorang Bidan di desa/kelurahan dibantu para kader dan dukun
bersalin/bayi, membuat peta wilayah kerjanya yang mencakup denah jalan,
rumah serta setiap waktu memperbaiki peta tersebut dengan data baru tentang
adanya ibu yang hamil, neonatus dan anak balita. Data sasaran juga diperoleh
bidan di desa/kelurahan hingga dari para kader dan dukun bayi yang
melakukan pendataan ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir, bayi dan anak
balita dimana sasaran tersebut diberikan buku KIA dan bagi ibu hamil dipasang
stiker P4K di depan rumahnya. Selain itu data sasaran juga dapat diperoleh
dengan mengumpulkan data sasaran yang berasal dari lintas program dan
fasilitas pelayanan lain yang ada di wilayah kerjanya.

35
Gambar 7
Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

(Sumber: Depkes RI, 2009)

Gambar 8
Sticker 4Pk

(Sumber: Depkes RI, 2009)

b. Data Pelayanan
Bidan di desa/kelurahan mencatat semua detail pelayanan KIA di dalam
kartu ibu, kohort Ibu, kartu bayi, kohort bayi, kohort anak balita, kohort KB,
dan buku KIA. Pencatatan harus dilakukan segera setelah bidan melakukan

36
pelayanan. Pencatatan tersebut diperlukan untuk memantau secara intensif dan
terus menerus kondisi dan permasalahan yang ditemukan pada para ibu, bayi
dan anak di desa/kelurahan tersebut, antara lain nama dan alamat ibu yang
tidak datang memeriksakan dirinya pada jadwal yang seharusnya, imunisasi
yang belum diterima para ibu, penimbangan anak dan lain lain. Selain hal
tersebut bidan di desa juga mengumpulkan data pelayanan yang berasal dari
lintas program dan fasilitas pelayanan lain yang ada di wilayah kerjanya.
(Depkes RI, 2009)
Gambar 9
Alur Pencatatan Pelayanan KIA oleh Bidan

Depkes RI. 2009. Pedoman Pengawasan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu


dan Anak (PWS KIA)

37
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan:

1. Sistem Pencatatan secara umum terbagi dalam 2 bagian, yaitu sistem Pencatatan
tradisional dan Sistem Pencatata non tradisional. Sistem Pencatatan tradisional adalah system
pencatatan yang memiliki catatan masing-masing dari setiap profesi atau petugas
kesehatan, dimana dalam system ini masing-masing disiplin ilmu (Dokter, Bidan,
Perawat, Ahli gizi, dll).
2. SIRS merupakan aplikasi sistem pelaporan rumah sakit kepada Kementerian
Kesehatan yang meliputi :
a. Data identitas rumah sakit;
b. Data ketenagaan yang bekerja di rumah sakit;
c. Data rekapitulasi kegiatan pelayanan;
d. Data kompilasi penyakit/morbiditas pasien rawat inap; dan
e. Data kompilasi penyakit/morbiditas pasien rawat jalan.
3. SIMPUS merupakan program aplikasi yang dikembangkan khusus, dari puskesmas,
untuk puskesmas dengan melihat kebutuhan dan kemampuan puskesmas dalam
mengelola, mengolah dan memelihara data-data yang ada.
4. Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data
secara terus menerus dan sistematis yang kemudian disebarluaskan kepada pihak-
pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan
lainnya (DCP2, 2008).
5. Primary Care atau P-Care adalah Sistem informasi pelayanan pasien yang ditujukan
umtuk pasien BPJS Kesehatan berbasis internet. P-care dipublikasikan untuk
Pelayanan primer untuk puskesmas dan mencakup pelayanan dasar seperti entry data
Pasien dan pengolahan data ,mencakup: pendaftaran pasien dan pelayanan pasien:
yang mencakup pemeriksaan pasien, penegakan diagnosa, pemberian terapi /obat,
pemeriksaan laboratorium, sampai tahap pemberian rujukan.
6. INA CBG (Indonesia Case Based Group) adalah sebuah model pembayaran yang
digunakan BPJS Kesehatan untuk mengganti klaim yang ditagihkan oleh rumah
38
sakit. INA-CBG merupakan sistem pembayaran dengan sistem "paket", berdasarkan
penyakit yang diderita pasien
7. Sistem pelaporan dan pencatatan sipil (registrasi sipil) adalah sumber data yang dapat
diandalkan, efektif dan efisien. Sistem tersebut mencakup seluruh penduduk,
dilakukan secara terus menerus, dan berkekuatan hukum serta digunakan sebagai
basis data statistik yang dapat diandalkan. Kejadian kelahiran, kematian, termasuk
penyebab kematian sangat penting untuk membuat perencanaan pembangunan
ekonomi dan sosial, termasuk sektor kesehatan (WHO, 2012).
8. Pemantauan Wilayah Setempat dapat digunakan sebagai alat manajemen program
KIA untuk memantau cakupan pelayanan KIA di suatu wilayah kerja secara terus
menerus, agar dapat ditindak lanjuti secara cepat dan tepat. Penyajian PWS KIA
dapat dipakai sebagai alat motivasi dan komunikasi kepada sektor terkait yang
berkaitan terhadap pelaksanaan kesehatan ibu dan anak. Program PWS KIA dapat
membantu tugas bidan dalam memantau program KIA yang meliputi pelayanan ibu
hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga berencana,
bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, serta bayi, dan balita.

B. Saran
Bidan sebagai tenaga medis terlatih yang ditempatkan ditengah masyarakat
diharapkan mengerti bagaimana sistem pencatatan data kesehaan di Indonesia. Selain itu
diharapkan bidan mengikuti perkembangan yang ada, sehingga bidan dapat memberikan
informasi yang sesuai dengan perkembangan yang ada kepada pasien ataupun
masyarakat.

39
DAFTAR PUSTAKA

DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease
Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf

deaths and cause of death-resource kit; 2012.

Departemen Kesehatan. 2004. Sistem Informasi Manajemen Puskesmas. Depkes.go.id

Depkes RI. 2009. Pedoman Pengawasan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS
KIA)

Handayani, Nida. 2016. Penerapan Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS)


dalam Meningkatkan Pelayanan di Puskesmas Sawangan Depok. Jakarta

Herlina, Purba. 2014. Perancangan Integrasi Primary CareBPJS Kesehatan dan


Simpus di Puskesmas Bogor Timur, Kota Bogor.
HMN, WHO, The UQ Australia. Strengthening civil registration and vital statistics for birth,

JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The Johns
Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies.

Kemenkes Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang nomor 36 tahun 2009. Kesehatan.

Kepmenkes Republik Indonesia. 2014. Keputusan Menteri KEsehatan Republik Indonesia


No. 511. Tahun 2014. Kebijakan dan Strategi Pengembangan SIKNAS.

Kron, T & Gray. A. (1987). The Management of Patient Care. Philadelphia


Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc

Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F, Pavlin JA,
Gesteland PH, Treadwell T, Koski E, Hutwagner L, Buckeridge DL , Aller RD, Grannis
S (2004). Implementing syndromic surveillance: A practical guide informed by the
early experience. J Am Med Inform Assoc., 11:141–150.

McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-Kulis V,


Rodier G (2002). Conceptual framework of public health surveillance and action and its
application in health sector reform. BMC Public Health, 2:2 http://www.biomedcentral.
Com

Ministry of Home Affair. Population Law No. 23 of 2006


40
Novelia, E. (2014). Bahan Paparan. Pertemuan Pembinaan dan Kemitraan Faskes
Tingkat I.Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1171/Menkes/Per/Vi/2011
tentang Sistem Informasi Rumah Sakit.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk
Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs)

Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber DJ, Howard
K (2006). Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using
billing data. Ann Fam Med 2006;4:351-358.

Sulistiyowati, et. al. 2016. Akurasi Sistem Registrasi Kematian dan Penyebab Kematian
(Studi Tipikal Sejumlah Daerah Indonesia) Masih Perlu Banyak Peningkatan: Sistem
Registrasi Kematian dan Penyebab Kematian di Beberapa Daerah, Indonesia 2014.
Jakarta. Media Litbangkes.

United Nations Statistics Division. Principles and recommendations for a vital statistics
system. Revision 2, Series: M, No.19/Rev.2. New York, United Nations; 2001. Sales
No.01.XVI.10. http://unstats.un.org/unsd/ Publication/SeriesM/ SeriesM_19rev2E.pdf

WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly


epidemiological record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer _____ (2002). Surveillance:
slides. http://www.who.int

Wibowo, B. 2014. Perubahan Tarif INA BCGs. Info BPJS Kesehatan Edisi VII Tahun 2014.
Jakarta Pusat.

Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002). Assessment of
the infectious diseases surveillance system of the Republic of Armenia: an example of
surveillance in The Republics of the former Soviet Union. BMC Public Health, 2:3
http://www.biomedcentral.com.

41

Anda mungkin juga menyukai