Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengembangan dan pencarian sumber senyawa bioaktif terus menerus
dilakukan seiring dengan makin banyaknya penyakit-penyakit baru yang
bermunculan, mulai dari penyakit infeksi, kanker, dan beberapa penyakit
berbahaya lainnya. Senyawa bioaktif dapat diperoleh dari beberapa sumber,
diantaranya dari tumbuhan, hewan, mikroba dan organisme laut (Prihatiningtias
dan Sri 2011). Tanaman mangrove merupakan salah satu tanaman pesisir yang
memiliki kandungan metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Tanaman mangrove diketahui memiliki manfaat yang sangat banyak. Kandungan
metabolit sekunder yang dimiliki tanaman mangrove memiliki kemampuan
sebagai bahan antimikroba, antimalaria, antikanker, antioksidan, dll.
Mangrove jenis Avicennia spp. diketahui memiliki kandungan senyawa
metabolit sekunder berupa saponin, alkaloid, tannin, flavonoid, triterpenoid,
fenolik dan glikosida yang dapat dimanfaatkan sebagai antibiotik, antiradang,
antimikroba, dan sitotoksik (Darminto dkk 2009). Hasil skrining awal potensi
senyawa metabolit sekunder yang dimiliki oleh mangrove Avicennia spp. dapat
dijadikan landasan bahwa kemungkinan terjadi transfer genetik antara mangrove
Avicennia marina sebagai inangnya dengan mikroba yang hidup di dalam jaringan
batangnya (Tan & Zoe 2001 dalam Prihatiningtias dan Sri 2011).
Bakteri endofit merupakan bakteri yang hidup di dalam jaringan
organisme lain. Bakteri endofit merupakan salah satu langkah sumberdaya yang
dapat dikembangkan dalam pencarian sumber bahan aktif baru yang berasal dari
mikroorganisme. Upaya pencarian bahan aktif yang berasal dari bakteri endofit
sejauh ini dilakukan hanya pada tumbuhan darat seperti bakteri endofit PR-3 yang
berasal dari tanaman Pare (momordica charantia) (Pujiyanto dan Ferniah 2010),
bakteri endofit Ps. pseudomallei, B. mycoides, dan K. ozaenae yang berasal dari
tanaman Pulai (Alstonia scholaris) (Fatiqin 2009) dan juga daya antimikroba yang
berasal dari bakteri endofit tanaman sambung nyawa (Gynura procumbens)

1
2

(Simamarta dkk 2007). Sedangkan Utami dkk (2008), melakukan pencarian


sumber senyawa aktif antimikroba yang berasal dari bakteri endofit Bacillus
meganterium dan Hafnia alvei mangrove jenis Bruguiera gymnorrhiza.
Tumbuhan sebagai inang mikroba endofit harus memiliki proses seleksi
tertentu berdasarkan pengaruh lingkungannya, umur dan sejarah tumbuhan inang,
serta berdasarkan penggunaan tumbuhan inang secara etnobotani (Castillo et al.,
2002 dalam Prihatiningtias dan Sri 2011). Mangrove Avicennia marina sebagai
tanaman inang dari bakteri endofit, telah memiliki syarat baik berdasarkan
pengaruh lingkungan yaitu mampu bertahan hidup dalam lingkungan dengan
kadar salinitas tinggi karena selalu terendam air laut, serta telah memiliki sejarah
secara etnobotani dengan menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang
dimanfaatkan sebagai antibakteri, anti inflamasi, antioksidan, antivirus (Wibowo
dkk 2009).
Kemampuan mikroba endofit memproduksi senyawa metabolit sekunder
sesuai dengan tanaman inangnya merupakan peluang yang sangat besar. Selain
itu, mikroba endofit yang tumbuh pada tumbuhan hutan hujan tropis memiliki
potensi yang luar biasa sebagai sumber senyawa bioaktif berupa metabolit
sekunder seperti alkaloid terpen, steroid, flavonoid, kuinon, fenol dan lain
sebagainya (Tan & Zoe 2001 dalam Prihatiningtias dan Sri 2011).
Selain itu, keunggulan mikroba endofit sebagai sumber senyawa bioaktif
baru adalah siklus hidup mikroba endofit yang singkat dan senyawa-senyawa
yang dihasilkan dapat diproduksi dalam skala besar melalui proses fermentasi.
Isolasi senyawa bioaktif dari tumbuhan banyak menemui kendala dikarenakan
jumlahnya yang terbatas dan siklus hidup tumbuhan yang relatif lama. Oleh
karena itu, mikroba endofit memiliki prospek yang baik dalam penemuan
senyawa-senyawa baru salah satunya sebagai penghasil antibiotik (Prihatiningtias
dan Sri 2011).
Pencarian sumber antibiotik baru terus dilakukan seiring dengan
berkembangnya resistensi mikroorganisme serta sifat toksisitas yang ditimbulkan
oleh antibiotik sintetik. Penggunaan semua jenis antibiotik dalam industri
budidaya perikanan tidak dianjurkan. Departemen Kelautan dan Perikanan telah
3

mengeluarkan 11 jenis antibiotik yang dilarang digunakan dalam praktek


budidaya perikanan (secara langsung maupun lewat pakan), yaitu nitrofuran,
furazolidone, ronidozol, dapson, chloramphenicol, cholchicin, chlorpromazin,
chloroform, dimeltidazol, metronidazol, dan aristolochia. Kasus terbaru adalah
kontaminasi nitrofuran yang juga dialami oleh udang yang diekspor dari beberapa
negara seperti Thailand, Vietnam, Bangladesh, India termasuk Indonesia ke
negara-negara Uni Eropa. (Saprianto 2002). Pelarangan penggunaan antibiotik
tersebut tentunya dengan beberapa alasan karena antibiotik sintetis akan
menambah penyakit patogenik dan meningkatnya resistensi bakteri patogen
terhadap bahan kimia (antibiotik).
Pencarian sumber hayati baru yang dapat menghasilkan antibiotik dapat
menggantikan antibiotik yang telah dilarang oleh pemerintah dalam peredarannya.
Oleh karena itu, salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan pencarian
sumber bahan hayati lain seperti mikroba yang bersimbiosis di dalam jaringan
tanaman mangrove untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang sama
tanpa harus mengorbankan tanaman inangnya.

1.2 Identifikasi Masalah


1. Apakah terdapat bakteri endofit di dalam batang mangrove Avicennia marina?
2. Apakah senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh bakteri endofit yang tumbuh
pada batang mangrove Avicennia marina dapat digunakan sebagai alternatif
sumber antibiotik?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui dan mengidentifikasi keberadaan bakteri endofit yang terdapat
dalam jaringan batang Avicennia marina
2. Melihat efektivitas antibiotik dari bakteri endofit dibandingkan dengan
mangrove Avicennia marina sebagai inangnya
4

1.4 Kegunaan Penelitian


1. Dapat memberikan informasi jenis bakteri endofit pada Avicennia marina
yang dapat menghasilkan antibiotik
2. Mengetahui potensi bakteri tersebut sebagai penghasil antibiotik

1.5 Kerangka Pemikiran


Salah satu masalah yang sering menghambat budidaya ikan adalah
munculnya penyakit, antara lain disebabkan oleh parasit (Bunga dkk 2009 dalam
Wiyatno dkk 2012). Parasit yang timbul dalam kegiatan budidaya dikarenakan
oleh ketidakseimbangan interaksi antara faktor lingkungan, inang, dan agen
penyakit. Faktor lingkungan dalam hal ini dapat berperan sebagai pemicu
terjadinya stres bagi inang akibat perubahan fisik, kimia, dan biologis lingkungan
tersebut sehingga daya tahan tubuh menurun dan menjadi rentan terhadap
serangan penyakit (Irianto 2003 dalam Wiyatno dkk 2012).
Parasit merupakan organisme yang hidup pada atau di dalam organisme
lain dan mengambil makanan dari organisme yang ditumpanginya untuk
berkembang biak (Subekti dan Mahasri 2010 dalam Wiyatno dkk 2012). Parasit
dapat merugikan inangnya karena mengambil makanan pada tubuh inangnya
selain itu, parasit adalah suatu organisme yang mengambil bahan untuk kebutuhan
metabolismenya (makanan) dari tubuh inangnya dan merugikan bagi inang
tersebut. Sehingga parasit tidak dapat hidup lama di luar tubuh inangnya
(Alifuddin 2004 dalam Wiyatno dkk 2012). Parasit yang menginfeksi suatu
organisme tentunya akan berdampak merugikan bagi pembudidaya. Untuk
mengatasi timbulnya dampak berkepanjangan dari parasit, para pengelola
budidaya perikanan biasanya menggunakan antibiotik yang beredar di pasaran
untuk dicampurkan dengan pakan.
Pengembangan antibiotik baru dalam dunia perikanan penting dilakukan
hal ini karena Departemen Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan 11 jenis
antibiotik yang dilarang digunakan dalam praktek budidaya perikanan (secara
langsung maupun lewat pakan). Penyakit yang timbul dalam usaha akuakultur
tentunya akan sangat merugikan bagi para pembudidaya (Saprianto 2002).
5

Sampai sejauh ini, tindakan pengobatan dilakukan melalui pemberian


bahan kimia dan antibiotik. Meskipun kebanyakan tidak efektif karena pemberian
antibiotik akan menimbulkan resistensi dan pemberian bahan kimia berpotensi
meracuni ikan. Penanganan ikan yang terkena bakteri biasanya ditanggulangi
melalui pemberian antibiotika (quinolone atau tetracycline) dengan dosis
pengobatan. Pemberian antibiotik tersebut seringkali tidak efektif jika diberikan
langsung di kolam karena salah satunya takaran dosis yang tidak tepat. Sedangkan
pemberian antibiotika dalam pakan dengan dosis preventif yang dilakukan dalam
jangka panjang menimbulkan resistensi dan belum lagi memperhitungkan dampak
residu dalam daging. Oleh sebab itu upaya pencarian bahan aktif yang bersifat
alami dapat dijadikan sebagai salah satu upaya memelihara dan memperbaiki
kesehatan air yang secara tidak langsung akan meningkatkan kesehatan ikan
budidaya.
Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik dimana
wilayah ekosistem ini masih dipengaruhi oleh faktor darat dan juga faktor dari
laut. Hutan mangrove merupakan sumberdaya yang terbarukan (renewable
resource) yang mempunyai keanekaragaman hayati (flora dan fauna) yang cukup
tinggi. Sifat multifungsi dari ekosistem mangrove sebagai penstabilitas
lingkungan dan juga tempat tinggal dari beberapa biota perairan (breeding,
nursery, feeding ground) menjadikan ekosistem ini memiliki potensi
keanekaragaman yang tinggi (Wibowo dkk 2009). Salah satu jenis mangrove yang
memiliki tingkat kekhasan yang tinggi adalah pohon api-api (Avicennia marina)
yang juga merupakan jenis mangrove sejati dan pionir. Mangrove api-api
merupakan tumbuhan paling luar dari zonasi mangrove yang hidup pada substrat
pasir berlumpur dengan kadar salinitas yang cukup tinggi karena hidup selalu
terendam air laut.
Sejak dahulu upaya pencarian bahan aktif yang berasal dari mangrove
telah lama dilakukan. Sejumlah senyawa aktif yang berasal dari mangrove telah
diketahui diantaranya saponin, alkaloid, tannin, flavonoid, triterpenoid, fenolik
dan glikosida. Hasil skrining awal potensi Avicennia spp. tersebut juga telah
dimanfaatkan sebagai antibiotik, antiradang, antimikroba, dan sitotoksik
6

(Darminto dkk 2009).


Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap aktivitas pohon
mangrove diantaranya (Darminto dkk 2009) :
1) Kandungan saponin triterpenoid dari Acanthus illicifolius menunjukkan
aktivitas leukimia, paralysis, asma, rematik serta anti peradangan; dan
alkaloid dari Antrioleks vesicaria juga berkhasiat sebagai senyawa bakterisida
(Purnobasuki 2004).
2) Penelitian terhadap ekstrak metanol dari batang tumbuhan bakau jenis
Rhizophora spp. mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji Vibrio harveyi
dan A. hydrophyla (Alimuddin 2006).
3) Ekstrak metanol dari pelepah nipah juga mampu menghambat pertumbuhan
bakteri uji (inhibition zone) (Alimuddin dan Henny Linda, 2007).
Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan potensi tanaman mangrove
untuk diarahkan dalam mengkaji pemanfaatan sumber daya laut yang berpotensi
farmakologik.
Avicennia marina juga merupakan salah satu jenis mangrove yang telah
banyak digunakan oleh masyarakat pesisir sebagai pakan ternak (daun), sayuran,
dan makanan (biji dan buah), obat-obatan (getah) untuk antifertilitas/mencegah
kehamilan, salep dari biji untuk obat penyakit cacar/penyembuh luka, dan abu
kayu untuk sabun cuci (Wibowo dkk 2009). Kulit batang Avicennia mempunyai
khasiat terhadap penurunan produksi hormon seksual (afrodisiaka) dan juga sering
digunakan sebagai antifertilitas (Burkill 1935 dalam Yusuf 2010). Sedangkan di
dalam masyarakat Jawa dan Bali, mangrove api-api ini telah banyak dimanfaatkan
untuk kebutuhan hidup sehari-hari, diantaranya pemanfaatan kayu bakar untuk
mengasapi ikan. Hal ini karena kayu Avicennia sp. memiliki bau yang khas dan
sedap (Yusuf 2010). Selain itu, Paramudhita 2012, menyatakan bahwa batang
mangrove Avicennia memiliki kadar air sebesar 55%, kadar abu sebesar 6,7%,
kadar lemak sebesar 0,8%, dan kadar protein sebesar 2,9115 % serta positif
mengandung fenol hidrokuinon, ninhidrin, steroid, flavonoid, dan tanin. Dengan
demikian, daya anti bakteri ekstrak kulit batang dan tumbuhan Avicennia sp.
sebagai salah satu spesis tumbuhan mangrove dapat diujikan terhadap salah satu
7

jenis bakteri patogen.


Batang dari Avicennia marina mempunyai cabang-cabang horizontal yang
menunjukkan pertumbuhan yang terus-menerus tetapi pemanfaatan secara terus
menerus tanpa upaya rehabilitasi tentunya akan berdampak negatif bagi
keseimbangan ekosistem mangrove dan lingkungannya. Maka dari itu perlu
dilakukan alternatif pencarian sumber senyawa aktif dengan manfaat yang sama
tetapi sumber yang jauh lebih ramah lingkungan. Salah satu sumber senyawa aktif
yang belum dimanfaatkan adalah pencarian bahan aktif yang berasal dari mikroba
endofit tanaman mangrove.
Mikroba endofit merupakan mikroorganisme yang tumbuh dalam jaringan
tumbuhan. Mikroba endofit dapat diisolasi dari jaringan akar, batang dan daun.
Mikroba endofit dapat menghasilkan senyawa-senyawa bioaktif yang sangat
potensial untuk dikembangkan menjadi obat. Mikrobia endofit memiliki potensi
yang besar dalam pencarian sumber-sumber obat baru. Hal ini karena mikroba
merupakan organisme yang mudah ditumbuhkan, memiliki siklus hidup yang
pendek dan dapat menghasilkan jumlah senyawa bioaktif dalam jumlah besar
dengan metode fermentasi (Prihatiningtias dan Sri 2011).
Mikroba endofit dapat ditemukan hampir di semua tumbuhan di muka
bumi ini, dan merupakan mikroba yang tumbuh di dalam jaringan tumbuhan.
Mikroba endofit dapat diisolasi dari akar, batang dan daun suatu tumbuhan.
Bakteri dan fungi adalah jenis mikroba yang umum ditemukan sebagai mikroba
endofit, akan tetapi yang banyak diisolasi adalah golongan fungi. Hubungan
antara mikroba endofit dan inangnya dapat berbentuk simbiosis mutualisme
sampai hubungan yang patogenik (Strobel, 2003 dalam Prihatiningtias dan Sri
2011).
Hubungan simbiosis mutualisme ditandai dengan hubungan yang saling
menguntungkan antara mikroba endofit dan tumbuhan inangnya. Mikroba endofit
dapat melindungi tumbuhan inang dari serangan patogen dengan senyawa yang
dikeluarkan oleh mikroba endofit. Senyawa yang dikeluarkan mikroba endofit
berupa senyawa metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif dan dapat
berfungsi untuk membunuh patogen. Tumbuhan inang menyediakan nutrisi yang
8

dibutuhkan oleh mikroba endofit untuk melengkapi siklus hidupnya


(Prihatiningtias dan Sri 2011).
Pada penelitian terbaru Wibowo dkk (2009) dilakukan pengkajian yang
memanfaatkan pohon magrove Avicennia spp. sebagai bahan pangan dan obat.
Hasilnya menyebutkan bahwa Avicennia spp. memiliki kandungan senyawa aktif
seperti alkaloid, flavonoid, tannin, dan saponin yang dapat dimanfaatkan sebagai
senyawa potensial bahan baku industri obat-obatan seperti antibakteri,
antiinflamasi, antioksidan, antivirus dll. Sedangkan untuk mikroba endofit
menjanjikan dalam penemuan obat-obat baru, karena senyawa-senyawa bioaktif
yang dikandungnya. Mikroba endofit mampu menghasilkan senyawa metabolit
sekunder seperti alkaloid, terpen, steroid, flavonoid, kuinon, fenol dan lain
sebagainya. Senyawa-senyawa ini sebagian besar mempunyai potensi yang besar
sebagai senyawa bioaktif (Prihatiningtias dan Sri 2011).
Menurut Tan & Zou (2000) dalam Prihatiningtias dan Sri (2011), mikroba
endofit memang dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang karakternya mirip
atau sama dengan inangnya. Hal ini disebabkan adanya pertukaran genetik yang
terjadi antara inang dan mikroba endofit secara evolusioner. Mikroba endofit
terutama yang hidup di lingkungan yang spesifik atau bahkan di lingkungan yang
tidak umum sering digunakan sebagai sumber penemuan senyawa bioaktif baru.
Beberapa tumbuhan dapat menurunkan senyawa bioaktif yang dikandungnya
kepada mikroba endofit yang tumbuh dalam jaringannya, sehingga mikroba
endofit tersebut dapat menghasilkan senyawa yang sama dengan inangnya.
Bakteri sendiri memainkan peran penting dalam ekosistem mangrove.
Keberadaan dan keanekaragaman bakteri dalam ekosistem mangrove dipengaruhi
oleh faktor salinitas, pH, fisik, iklim, vegetasi, nutrisi dan lokasi. Diketahui
beberapa bakteri fotosintesis memainkan peranan dalam ekosistem mangrove
melalui proses fotosintesis, fiksasi nitrogen, metanogenesis, produksi enzim dan
penghasil antibiotik (Lyla dan Ajmal 2006). Selain bersifat menguntungkan dalam
ekosistem mangrove, tidak sedikit juga bakteri yang bersifat merugikan. Bakteri
yang merugikan bersifat patogen yakni dapat mengacaukan fisiologi normal
hewan atau tumbuhan maupun menginfeksi organisme uniselular.
9

Pemanfaatan mikroba endofit sebagai sumber senyawa potensial penghasil


antibiotik akan sangat menguntungkan baik untuk keberadaan ekosistem
mangrove Avicennia marina dan juga sebagai bahan pengembangan bioteknologi
bahan aktif dari laut sebagai sumber antibiotik baru.
Pada penelitian Haniah 2008, menyebutkan bahwa dari 9 isolat jamur
endofit berhasil diisolasi dari daun sirih (P. betel L) dan memperlihatkan bahwa
semua isolat dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus sebesar 31,76 mm
dan bakteri E. coli sebesar 23,44 mm.
Pada isolasi bakteri endofit yang berasal dari daun dan kulit tanaman pulai
(Alstonia scholaris) disebutkan memiliki potensi menghasilkan senyawa senyawa
antibakteri terhadap bakteri S. aureus dengan rata-rata menghasilkan zona hambat
sebesar 1-3 mm (Fatiqin 2009). Bakteri endofit yang berasal dari tanaman kedelai
mampu mengendalikan penyakit busuk pada tanaman dengan besarnya
penghambatan 9-12% (Tarigan dan Kuswandi 2012). Berdasarkan penjabaran
kerangka pemikiran diatas maka dapat disederhanakan dalam Gambar 1.

Penyakit pada Ikan


 Daya tahan tubuh menurun dan menjadi rentan terhadap
serangan penyakit
 Berdampak merugikan bagi pembudidaya

Mangrove

 Pemanfaatan secara terus menerus tanpa rehabilitasi akan


mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem
 Memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder yang dapat
digunakan sebagai antibiotik, antiradang, antiinflamasi
Bakteri Endofit
 Bakteri yang hidup / berada dalam jaringan organisme
 Diharapkan terjadi transfer genetik sehingga memiliki potensi
yang sama seperti organisme inangnya
Penghasil Antibiotik
 Antibiotik sintentik cenderung bersifat lebih berbahaya
 Antibiotik alami belum banyak dikembangkan

Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran


10

1.6 Hipotesis
Mangrove Avicennia marina telah diketahui memiliki potensi metabolit
sekunder sebagai antibiotik terhadap bakteri Vibrio harveyi dan Staphylococcus
aureus, maka diduga bakteri endofit yang berasal dari Avicennia marina akan
memiliki potensi metabolit sekunder sebagai antibiotik yang sama seperti tanaman
inangnya (mangrove Avicennia marina)

Anda mungkin juga menyukai