Anda di halaman 1dari 9

1.

Jelaskan perbedaan badan usaha berbadan hukum dan tidak berbadan hukum
Jawab:
Perbedaan Bentuk Usaha Berbadan Hukum dan Tidak Berbadan Hukum

Perbedaan yang mendasar dari bentuk Usaha berbadan hukum dan tidak berbadan hukum
adalah :
Usaha berbadan hukum adalah:

 Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan


hukum (rechtsbetrekking)
 Mempunyai harta kekayaan sendiri, dimana harta perusahaan dan harta pribadi
dipisahkan secara jelas.
 Mempunyai hak dan kewajiban
 Dapat digugat dan menggugat didepan pengadilan

Contoh : 
Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Perseroan (Persero),
Perusahaan Daerah (Prusda), Koperasi, dan Yayasan.

Sedangkan usaha tidak berbadan hukum adalah:

 Tidak dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan hukum karena bukan
merupakan subjek hukum
 Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum diletakan pada mitra atau sekutu dari
bentuk usaha tersebut, dengan pembatasan pengaturan yang ditetapkan oleh undang-
undang
 Harta kekayaan perusahaan dan pribadi tidak terpisah dengan jelas, atau pada
prinsipnya usaha ini tidak memiliki kekayaan sendiri.
 Tidak mempunyai hak dan kewajiban
 Tidak dapat digugat dan menggugat pada bentuk usaha ini tetapi dapat dilakukan pada
pemilik atau pengurusnya karena merekalah secara tidak langsung yang melakukan
hubungan hukum.

Contoh: 
Perusahaan Perseorangan, Persekutuan Perdata, Firma dan Persekutuan Komanditer (CV)
2. Jelaskan sanksi-sanksi yang diberikan apabila terjadi kegagalan konstruksi!

Sanksi Kegagalan Pekerjaan Konstruksi

            Sesuatu kebiasaan yang tidak terpuji tentang masalah kegagalan konstruksi di suatu
proyek, pihak-pihak yang terkait selalu ada cara untuk  memilih langkah-langkah
mengamankan dan menyelamatkan orang-orangnya yang terlibat dari pada mengamankan
atau menyelesaikan masalah-masalah itu sendiri. Tidak jarang kondisi alamlah yang
dikambing hitamkan untuk menyelamatkan kecerobohan dan kelalaian manusia-manusia
yang seharusnya bertanggung jawab dalam kegagalan konstruksi tersebut.

            Padahal kita telah memiliki peraturan-peraturan dan per Undang-undangan yang baik,
semestinya semua pihak yang terlibat harus sudah mulai menyadari pentingnya mengikuti
aturan Undang-Udang (UU), bukan sibuk meyelamatkan diri dengan mengorbankan
kepentingan negara dan bangsa ini atau demi penyelamatan diri yang mengorbankan
kepentingan orang banyak.

            Marilah kita lihat bunyi pasal-pasal yang berkaitan dengan sanksi kegagalan
konstriksi menurut UU RI No.18 tahun 1999 dan PP RI No.29 tahun 2000, antara lain sebagai
berikut;

UU RI No.18 Tahun 1999 (Kegagalan Konstruksi)

            UU RI No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (JAKON). Pada bab IV memuat
tentang kegagalan konstruksi, bunyi pasal 25, 26, 27 dan 28, adalah; Pasal 25, ayat 1,
Pengguna jasa konstruksi dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan
bangunan. Ayat.2, Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa
sebagaimana yang dimaksud pada ayat.1 ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir
pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Ayat.3, Kegagalan bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat.2 ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli.

            Pasal 26, ayat.1, Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan
perencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi
pihak lain, maka perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai
dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi. Ayat.2, Jika terjadi kegagalan bangunan
yang disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi, dan hal tersebut terbukti
menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab
sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi.

            Pasal 27, Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan kerena kesalahan
pengguna jasa dalam pengelolaan bangunan dan hal ini terbukti menimbulkan kerugian pada
pihak lain, maka pengguna jasa wajib bertanggung jawab dan dikenakan ganti rugi.

            Pasal 28, Ketentuan mengenai jangka waktu dan penilai ahli sebagaimana dimaksud
dalam pasal 25, tanggung jawab perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas
konstruksi sebagaimana dimaksud pada pasal 26 serta tanggung jawab pengguna jasa
sebagaimana simaksud dalam pasal 27 diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.

PP RI No.29 Tahun 2000

            Peraturan Pemerintah RI No.29 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Pada


bagian kelima memuat tentang Kegagalan Pekerjaan konstruksi, bunyi pasal 31, 32, 33, dan
34, adalah; Pasal 31, Kegagalan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang
tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja
konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau
penyedia jasa.

            Pasal 32, ayat.1, Perencana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau
memperbaiki kegagalan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 yang disebabkan
kesalahan pengguna jasa, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi. Ayat.2 Pelaksana
konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana
konstruksi dan pengawas konstruksi. Ayat 3, Pengawas konstruksi bebas dari kewajiban
untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal
31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi dan pelaksana konstruksi.
Ayat 4, Penyedia jasa wajib mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 yang disebabkan kesalahan Penyedia Jasa atas biaya
sendiri.
            Pasal 33, Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila pekerjaan
konstruksi mengakibatkan kerugian dan atau gangguan terhadap keselamatan umum.

            Pasal 34, Kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi,
baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan
kesehatan kerja, dan, atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan 
atau Pengguna Jasa  setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi.

UU RI No.18 Tahun 1999 (Sanksi)

            Undang-Undang RI No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pada bab X tentang
Sanksi, bunyi pasal 41, 42, dan 43, adalah;  Pasal 41, Peyelengara pekerjaan konstruksi dapat
dikenakan sanksi administrasi dan/atau pidana atas pelanggaran Undang-undang ini.

            Pasai 42, ayat 1, Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 yang
dapat dikenakan kepada penyedia jasa berupa; peringatan tertulis, penghentian sementara
pekerjaan konstruksi, pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi, pembekuan izin usaha
dan/atau profesi, dan pencabutan izin usaha dan/atau profesi. Ayat 2, Sanksi administrasi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 yang dapat dikenakan kepada pengguna jasa berupa;
peringatan tertulis, penghentian sementara pekerjaan konstruksi, pembatasan kegiatan usaha
dan/atau profesi, larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi, pembekuan izin
usaha dan/atau profesi, dan pencabutan izin usaha dan/atau profesi. Ayat 3, Ketentuan
mengenai tata laksana dan penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

            Pasal 43, ayat 1, Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi
yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan
konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara
atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.

Ayat 2, Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan
atau tidak memenuhi ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan
kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5
(lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai
kontrak.
Ayat 3, Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan
sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksankan pekerjaan konstruksi
melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya
kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5
(lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai
kontrak.***
Perbedaan badan usaha yang berbadan hukum dengan badan usaha yang
tidak berbadan hukum

Bahwa tidak semua badan usaha merupakan suatu badan hukum, disini kami akan sedikit
memberikan penjelasan secara singkat mengenai perbedaan antara badan usaha yang telah
berbadan hukum dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum, sebagai berikut:

Badan Usaha Yang Berbadan Hukum :

1. Subjek hukumnya adalah badan usaha itu sendiri ,karena ia telah menjadi badann hukum
yang juga termasuk subyek hukum di samping manusia.

2. Harta kekayaa perusahaan terpisah dari harta kekayaan pribadi para pengurus/anggotanya.
Akibatnya kalau perusahaannya pailit, yang terkena sita hanyalah harta perusahaan saja
(harta pribadi pengurus /anggotanya tetap bebas dari sitaan)

3. Badan usaha yang termasuk badan hukum yaitu Perseroan Terbatas, Perusahaan Negara,
Perusahaan Daerah, Koperasi, Perum, Perjan, Persero dan Yayasan.

Badan Usaha Yang Bukan Badan Hukum :

1. Subjek hukumnya adalah orang-orang yang menjadi pengurusnya, jadi bukan badan hukum
itu sendiri karena ia bukanlah hukum sehingga tidak dapat menjadi subjek hukum.

2. Harta perusahan bersatu dengan harta pribadi para pengurus/anggotanya. Akibatnya kalau
perusahaannya pailit, maka harta pengurus/anggotanya ikut tersita juga.

3. Badan usaha yang bukan badan hukum adalah Firma, CV


KEGAGALAN KONSTRUKSI

Atap Bangunan Ruang Kelas SMKN 1 Malingping yang ambruk.


Dengan dikeluarkannya UU-RI No.18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi dan
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah
No.29 Tahun 2000, maka timbul berbagai komentar dari berbagai Asosiasi Profesi
terutama perihal definisi dari “Kegagalan Bangunan” (“Building Failure”) serta
penerapan dari Undang-Undang tersebut. Dampak ini melanda pengguna Jasa
Konstruksi dan pihak Asuransi, karena definisi yang ditentukan dalam Undang-
Undang tersebut spektrumnya sangat luas sehingga sulit untuk diterapkan.
Sejak tahun 2000 telah dilakukan pembahasan mengenai “Kegagalan Bangunan”
khususnya perihal definisinya dengan berbagai Asosiasi Profesi dan pihak Sekber
Jasa Asuransi, dan HAKI (Himpunan Akhli Konstruksi Indonesia) berpartisipasi dalam
aktivitas tersebut. Tetapi setelah berlangsung sekian lama, pembahasan tidak dapat
menghasilkan sesuatu yang konkrit karena pembahasan masih berputar disekitar
definisi “Kegagalan Bangunan” yang ternyata sangat kompleks dan tidak
sesederhana seperti yang diungkapkan dalam Undang-Undang.
Untuk memungkinkan terlaksananya Undang-Undang tersebut maka perlu dibuat
rambu-rambu mengenai kriteria dan Tolok Ukur Kegagalan Bangunan yanglebih
realistis dan spesifik.
UU-RI No.18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, Bab 1, Pasal 1 ayat 6 adalah:
Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserah
terimakan oleh penyedia jasa kepada penguasa jasa, menjadi tidak berfungsi
baiksecara keseluruhan maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan
yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang
menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa.
Menurut Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Jasa Konstruksi, Peraturan
Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Bab V
Pasal 34 adalah:
Kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik
secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan
kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia
jasa dan atau Pengguna jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi.
Kualitas baja ringan yang tidak sesuai dengan perhitungan beban.
Catatan:
Perihal tanggung jawab, jangka waktu tanggung jawab, Pihak Ketiga selaku penilai
dan ganti rugi dapat dilihat pada Bab V, Pasal 35s/d 48.
 Menyamakan persepsi tentang ‘kegagalan bangunan’ sangat penting, istilah
tersebut dapat berbeda antara satu profesi dengan yang lainnya.
Menurut UUNo.18/1999 tentang JASA KONSTRUKSI, Pasal 1:“Kegagalan bangunan
adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa
kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik sebagian atau secara
keseluruhan dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak
kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan
penyedia jasa dan/atau pengguna jasa;”. Sedangkan menurut Pasal 6: “Bidang
usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural dan/atau sipil dan/atau
mekanikal dan/atau elektrikal dan /atau tata lingkungan, masing-masing beserta
kelengkapannya”.
 Dari definisi di atas tentunya menarik untuk dipertanyakan, bagaimana dengan
kasus kegagalan yang terjadi selama pelaksanaan konstruksi, karena hal tersebut
sering terjadi dan diberitakan (sumber: www.detiknews.com), misalnya: Ambruknya
atap 3 ruang kelas SMKN 1 Malingping, Banten.
 Apakah kejadian-kejadian tersebut diluar pembahasan UU No.18 /1999 tentang
kegagalan bangunan ? Selanjutnya dalam konteks permasalahan ini akan diulas
‘kegagalan bangunan’ dari sudut pandang pekerjaan sipil. Dalam kaca mata profesi
teknik sipil, fungsi utama bangunan adalah memikul beban-beban dan pengaruh
lingkungan luar. Jadi bangunan yang gagal adalah jika tidak mampu memikul beban
atau rusak akibat pengaruh lingkungan luar. Adapun tolok ukurnya
adalah kekuatandan kekakuan struktur, dan tidak terbatas setelah waktu
penyerahan saja tetapi telah dimulai sejak pelaksanaan.
 Selanjutnya istilah lain yang sepadan adalah ‘kegagalan struktur’ atau structural
failure. Meskipun hanya dipandang dari satu sudut saja tetapi memegang peran
yang utama, jika bangunan dari segi kekuatan dan kekakuan tidak berfungsi maka
fungsi lainnya pasti juga terganggu. Hanya kegagalan struktur yang berdampak
besar terhadap keselamatan jiwa (dan juga kerugian harta benda). Menurut
Ensiklopedia Wikimedia, kegagalan struktur adalah kondisi dimana ada satu atau dua
komponen struktur, atau bahkan struktur tersebut secara keseluruhan kehilangan
kemampuan menahan beban yang dipikulnya. Umumnya dipicu oleh adanya beban
berlebih yang menyebabkan kekuatan (strength) struktur mencapai kondisi batas
sehingga menimbulkan fraktur atau lendutan yang besar. Para profesional
menyebutnya sebagai keruntuhan struktur.

Anda mungkin juga menyukai