Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KEKERASAN TERHADAP ANAK

KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya makalah yang berjudul “Kekerasan terhadap Anak” ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai
tugas untuk mata kuliah Pancasila.

Penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai


pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya
makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusun makalah ini masih jauh


dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu
diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat
bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Bantul, 21 September 2019

Penyusun

 /

 
  
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG

Anak adalah tumpuan dan harapan orang tua. Anak jugalah yang
akan menjadi penerus bangsa ini. Sedianya, wajib dilindungi maupun
diberikan kasih sayang. Namun fakta berbicara lain. Maraknya kasus
kekerasan pada anak sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan
pendapat bahwa anak perlu dilindungi. Begitu banyak anak yang
menjadi korban kekerasan keluarga, lingkungan maupun masyarakat
dewasa ini.

Pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas


kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminas”. Namun apakah pasal
tersebut sudah dilaksanakan dengan benar? Seperti yang kita tahu
bahwa Indonesia masih jauh dari kondisi yang disebutkan dalam pasal
tersebut.

Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti


kekerasan verbal, fisik, mental maupun pelecehan seksual. Ironisnya
pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang memiliki
hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman
sepermainannya sendiri. Tentunya ini juga memicu trauma pada anak,
misalnya menolak pergi ke sekolah setelah tubuhnya dihajar ole
gurunya sendiri.

Kondisi ini amatlah memprihatinkan, namun bukan berarti tidak


ada penyelesaiannya. Perlu koordinasi yang tepat di lingkungan
sekitar anak terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak
tanpa menggunakan kekerasan, menyeleksi tayangan televisi maupun
memberikan perlindungan serta kasih sayang agar anak tersebut tidak
menjadi anak yang suka melakukan kekerasan nantinya. Tentunya
kita semua tidak ingin negeri ini dipimpin oleh pemimpin bangsa
yang tidak menyelesaikan kekerasan terhadap rakyatnya.
Persoalannya adalah sejauhmana hukum atau perundang-
undangan Indonesia, mengapresiasi terhadap fenomena tersebut,baik
terhadap perbuatan, pelaku maupun anak sebagai korban kekerasan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan


permasalahan sebagai berikut:
 Pengertian Anak Menurut Undang-Undang
 Pengertian kekerasan terhadap anak menurut para ahli
 Faktor-faktor yang memicu kekerasan terhadap anak
 Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak
 Dampak kekerasan terhadap anak
 Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan
 solusi pencegahan kekerasan terhadap anak

3. Tujuan
 Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila
 Untuk mengetahui tentang pengamalan nilai-nilai pancasila

 
 
BAB II
PEMBAHASAN
 

3.1 Pengertian anak menurut UU

Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun


1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa :
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
tahun dan belum pernah kawin”.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan
dalam pasal 1 nomor 1 bahwa:
“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur
18 tahun danbelum pernah kawin”.
Pengertian anak menurut UU No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak tercantum dalam Pasal I butir I
UU No. 23/2002 berbunyi:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas tahun), termasuk anak yang masih dalam
kandungan”.
Dalam pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana
dirumuskan dalam pasal I butir I UU No.23/2002 ini tercakup
2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi anak, yakni:
 
Pertama, seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun. Dengan demikian, setiap orang yang telah
melewati batas usia 18 tahun, termasuk orang yang secara
mental tidak cakap, dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni
orang dewasa. Dalam hal ini, tidak dipersoalkan apakah
statusnya sudah kawin atau tidak.
Kedua, anak yang masih dalam kandungan. Jadi, UU
No.23/2002 ini bukan hanya melindungi anak yang sudah
lahir tetapi diperluas, yakni termasuk anak dalam kandungan.
Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002,
bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah
dewasa, dan siapa yang masih anak-anak. Sebaliknya, dengan
pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every human
being) yang berusia di bawah 18 tahun – selaku subyek
hukum dari UU No. 23/2002 – mempunyai hak atas
perlindungan dari Negara yang diwujudkan dengan jaminan
hukum dalam UU No. 23/2002.
Hak Dan Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
1. Hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan Negara. Hak-hak anak yang
tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 di antaranya adalah:
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri
dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk bribadah menurut agamanya,
berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak, atau dalam keadaan
terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat
sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental,
spiritual, dan sosial.

Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang
memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan
khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan dan didengar
pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan
dan kepatuhan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan
waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain,
berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan
tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali,
atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a.diskriminasi;
b.eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran
d. kekejaman, kekerasan, peng-aniaya-an
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan
segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya
sendiri, kecuali jika ada alasan dan /atau aturan hukum yang
sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan
terakhir.

Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang
tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai
dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak
hanya dilakukan apabila sesuai hukum yang berlaku dan
hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
(1)Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan
penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan
pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam
sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerassan
seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak
dirahasiakan.

Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum atau bantuan lainnya.

2. Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002


Kewajiban berasal dari kata dasar “wajib” yang artinya harus
melakukan; tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan).
Mendapat awalan ke- dan akhiran -an, menjadi kewajiban
yang artinya sesuatu yang harus dilaksanakan. Jadi, kewajiban
anak adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang
anak.
Di antara kewajiban yang harus dilakukan oleh anak menurut
UU No. 23 Tahun 2002 adalah:
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a.menghormati orang tua, wali, dan guru;
b.mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c.mencintai tanah air, bangsa, dan Negara;
d.menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e.melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Kewajiban Orang Tua Menurut UU No. 23 Tahun 2002


Orangtua sebagai orang terdekat anak berkewajiban
melaksanakan kewajibannya. Orangtua tidak boleh hanya
menuntut hak terhadap anak saja tetapi juga memiliki
kewajiban yang harus ia laksanakan. Dalam UU No. 23 Tahun
2002 terdapat kewajiban orangtua yaitu tercantum dalam
pasal 26 yang berbunyi:
(1) Orang tua berkewajiban dan berytanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui
keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka
kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
 3.2 Pengertian kekerasan terhadap anak menurut
paraahli
Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak adalah
perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan
menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak
berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari
orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan,
kesengsaraan, cacat/kematian. Kekerasan pada anak lebih
bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya
tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai
bentuk penganiayaan baik fiisk maupun psikis. Penganiayaan
fisik adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak dan
segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya.
Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan
merendahkan/meremehkan anak.
Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak
sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak dan
dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga
untuk mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas
hukum.
Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan
merupakan perlakuan yang salah dari orangtua. Patilima
mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala
perlakuan terhadap anak yang akibat dari kekerasannya
mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik
secara fisik, psikologi sosial maupun mental.
 
3.3 Faktor-faktor PenyebabTerjadinya Kekerasan
terhadap   Anak
Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan terhadap anak :

 Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam


menonton tv, bermain dll. Hal ini bukan berarti orang tua
menjadi diktator/over protective, namun maraknya
kriminalitas di negeri ini membuat perlunya
meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.
 Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku,
autisme, terlalu lugu

 Kemiskinan keluarga (banyak anak).

 Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian,


ketiadaan Ibu dalam jangka panjang.

 Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak


mampuan mendidik anak, anak yang tidak diinginkan
(Unwanted Child)atau anak lahir diluar nikah.

 Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu


sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang
sama

 Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan

 Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian


bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak

 Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.


 3.4. Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
1.Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena
akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical
abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan
terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan biasanya
meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda panas ke
tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti
ini selain menimbulkan luka dan trauma pada korban, juga
seringkali membuat korban meninggal
2. Kekerasan secara Verbal
Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan
dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai candaan.
Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian,
maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak
jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak
menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak
menjadi rendah diri.
3. Kekerasan secara Mental
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat,
namun dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara
verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12
tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%)
Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap
anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun
sering membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak
tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya
menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak
merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya
bisa iri tanpa mampu untuk bangkit. 
4.Pelecehan Seksual
Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh
orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga, tetangga,
guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan
eksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan
terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini
yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak
kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam,
juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.
Berikutnya hendak dikemukakan berbagai bentuk
kekerasan terhadap anak yang ditetapkan sebagai tindak
pidana sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada beberapa bentuk
kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan
seksual. Bentuk bentuk kekerasan terhadap anak tersebut
dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur
dalam Pasal 77 s/d Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana
kekerasan pada anak dalam UU Perlindungan Anak adalah
sebagai berikut:
(1) diskriminasi terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami kerugian
materiil maupun moril sehingga menghambat
fungsi sosialnya (Pasal 77);
(2)penelantaran terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami sakit atau
penderitaan fisk, mental, maupun social (Pasal
77);
(3) membiarkan anak dalam situasi darurat,
seperti dalam pengusian, kerusuhan, bencana
alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata
(Pasal 78);
(4) membiarkan anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,
anakyang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainya (napza), anak korban penculikan, anak
korban perdagangan, padahal anak tersebut
memerlukan pertolongan dan harus dibantu
(Pasal 78);
(5) pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan
Pasal 39 (Pasal 79);
(6)melakukan kekejaman, kekerasan atau
penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);
(7) melakukan kekerasan terhadap anak untuk
melakukan persetubuhan (Pasal 81)
(8) melakukan kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);
(9) memperdagangkan, menjual, atau menculik
anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (Pasal
83);
(10) melakukan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain, secara melawan hukum(Pasal 84);
(11) melakukan jual beli organ tubuh dan/atau
jaringan tubuh anak(Pasal 85);
(12) melakukan pengambilan organ tubuh
dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa
memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian
kesehatan yang menggunakan anak sebagai
objeknya tanpa mengutamakan kepentingan
yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum
(Pasal 85);
(13) membujuk anak untuk memilih agama lain
dengan menggunakan tipu muslihat atau
serangkaian kebohongan (Pasal 86);
(14) mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak
dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain (Pasal 88);
(15) menempatkan, membiarkan,
melibatkan,menuruh melibatkan anak dalam
penyalahgunaan produksi atau distribusi
narkotika, psikotropika, alkhohol, dan/atau zat
adiktif lainya (napza) (Pasal89).
3.5       Dampak dari Kekerasan pada Anak
Dampak kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh
orangtuanya sendiri atau orang lain sangatlah buruk antara
lain:
1.      Agresif.
Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku kekerasan.
Umumnya ditujukan saat anak merasa tidak ada orang yang
bisa melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap tidka bisa
melindunginya itu ada disekitarnya, anak akan langsung
memukul datau melakukan tindak agresif terhadap si pelaku.
Tetapi tidak semua sikap agresif anak muncul karena telah
mengalami tindak kekerasan.
2.      Murung/Depresi
Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis seperti
menjadi anak yang memiliki gangguan tidur dan makan,
bahkan bisa disertai penurunan berat badan. Ia akan menjadi
anak yang pemurung, pendiam, dan terlihat kurang ekspresif.
3. Memudah menangis
Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidka nyaman dan
aman dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan
figur yang bisa melindunginya, kemungkinan besar pada saat
dia besar, dia tidak akan mudah percaya pada orang lain.
4. Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain
Dari semua ini anak dapat melihat bagaimana orang dewasa
memperlakukannya dulu. Ia belajar dari pengalamannya,
kemudian bereaksi sesuai dengan apa yang dia alami.

 3.6.Perlindungan hukum terhadap anak korban


kekerasan
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan
situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan
kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti
dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan
haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup,
bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak
dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya.
(Arief Gosita, 1996:14).
Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat  hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada umumnya, upaya  perlindungan anak dapat dibagi
menjadi perlindungan langsung dan tidak langsung, dan 
perlindungan yuridis dan non-yuridis.Upaya-upaya
perlindungan secara langsung di antaranya meliputi:
pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan
dari  sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala
sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak,
pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya
atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial),
pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan
(asah, asih, asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam
peraturan perundang-undangan.(Arief Gosita, 1996:6)
Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain
meliputi: pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan
kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-
undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenai
manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai
pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang
menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan sosial)
para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam
pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang
menghalangi usaha perlindungan anak.(Arief Gosita, 1996:7)
Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam
hal bentuk upaya perlindungannya. Perbedaan antara
keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu sendiri.
Objek dalam upaya perlindungan langsung  tentunya adalah
anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak
langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan
berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua,
petugas dan pembina.
Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya
perlindungan ini ditempuh dari dua jalur, yaitu dari jalur
pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam
perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak
secara langsung oleh para partisipan tersebut.
Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena
bagaimana mungkin pelaksanaan perlindungan terhadap anak
dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait seperti
orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu
dibina dan dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai
cara melindungi anak dengan baik.
Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga
dapat dibedakan dari menjadi: perlindungan yang bersifat
yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata
dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-
yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang
kesehatan dan bidang pendidikan. (Maulana Hassan
Waddong, 2000:40)
Upaya perlindungan anak korban kekerasan
baru mulai mendapat perhatian penguasa,
secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya
UU Perlindungan Anak, meski perlindungan itu
masih memerlukan instrumen hukum lainnya
guna mengoperasionalkan perlidunngan
tersebut.
Di samping adanya perlindungan yang
bersifat abstrak (secara tidak langsung) melalui
pemberian sanksi pidana kepada pelaku
kekerasan terhadap anak, UU Perlindungan Anak
juga menetapkan beberapa bentuk perlindungan
yang lain terhadap anak korban kekerasan. Pasal
17 ayat (2) yang berbunyi:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan
seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak
dirahasiakan”.
Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
tindak pidana berhak memperoleh bantuan
hukum dan bantuan lainnya”.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU
(Pasal 17 ayat 2 dan Pasal 18) hanya berupa
kerahasiaan si anak, bantuan hukum dan
bantuan lain. Hanya sayang, bahwa makna
kerahasiaan tersebut tidak ada penjelasan lebih
lanjut.
Kemudian perlindungan yang berupa bantuan
lainnya, dalam penjelasann Pasal 18, hanya
disebutkan bahwa: “bantuan lainnya dalam
ketentuan ini termasuk bantuan medik,, sosial,
rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”.
Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan
Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk
perlidungan anak yang mencakup perlindungan
agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Dalam
perlindungan tersebut tidak disebutkan secara
khusus tentang perlindungan bagi anak korban
kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59-
71) diatur tentang perlindungan khusus, namun
sayangnya dalam ketentuan ini juga ditegaskan
tentang bentuk perlidungan
khusus bagi anak korban kekerasan.
Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan
tentang proses dan pihak yang
bertanggungjawan atas perlindungan anak
korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak
korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya
ditentukan prosesnya, yaitu melalui:
(1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga
maupun di luar lembaga;
(2) upaya perlindungan dari pemberitaan
identitas melalui media massa dan
menghindari labelisasi;
(3) pemberian jaminan keselamatan bagi
saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental
maupun sosial; dan
(4) pemberian aksesibilitas untuk
mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan
yang berupa eksploitasi anak secara ekonomi
dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan
dilakukan melalui:
(1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi
ketentuan peraturan perundangundangan
yang berkaitan dengan perlindungan anak
yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual;
(2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian
sanksi; dan
(3) pelibatan pemerintah dan masyarakat
dalam penghapusan eksploitasi anak secara
ekonomi dan/atau seksual.
Pihak yang bertanggung jawab dalam
perlindungan tersebut, semuanya hanya
ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat.
Perlindungan yang diberikan oleh UU ini pada
dasarnya juga masih bersifat abstrak, tidak
secara langsung dapat dinikmati oleh korban
kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan
tidak memperoleh perlindungan yang berupa
pemenuhan atas kerugian yang dideritanya.
Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan
Anak (Pasal 74-76) juga belum menunjukkan
adanya upaya pemberian perlindungan terhadap
anak korban kekerasan, sebab komisi ini
tentunya juga hanya tergantung dari ada
tidaknya perlindungan yang yang berupa
pemenuhan atas kerugian atau penderiataan
anak korban kekerasan.Pemberian perlindungan
terhadap anak korban kekerasan, khususnya
yang berupa pemenuhan ganti kerugian, baik
melalui pemberian kompensasi dan/atau restitusi
seharusnya memperoleh perhatian dari pembuat
kebijakan.
Berbagai bentuk ganti rugi tersebut bukan
semata-mata diberikan untuk perlindunagn
korban. Oleh karena itu perlu ada perhatian dari
pembuat UU tentang pemberian perlindungan
korban kejahatan (kekerasan) secara
langsung.Pelindungan ini sangat diperlukan bagi
korban kekerasan yang memang sangat
memerlukan pemulihan kerugian, baik ekonomi
maupun fisik, sementara korban tidak mampu.
Seperti dikemukakan di atas, meski kedua
UU tersebut sudah menetapkan berbagai bentuk
perlindungan anak korban kekerasan, namun
bentuk perlindungan yang bersifat langsung, baik
dari negara ataupun dari pelaku kekerasan
belum nampak secara jelas. Oleh karenanya
perlu ditetapkan model pemberian perlindungan
anak korban kekerasan baik dalam UU
Perlindungan Anak secara jelas dan tegas ,
sehingga dalam kehidupan selanjutnya anak
koban kekerasan benar-benar mendapat jaminan
hukum yang jelas.
 3.7. Solusi Mencegah Terjadinya Kekerasan pada Anak
Agar anak terhindar dari bentuk kekerasan seperti diatas
perlu adanya pengawasan dari orang tua, dan perlu
diadakannya langkah-langkah sebagai berikut:

 Jangan sering mengabaikan anak, karena sebagian


dari terjadinya kekerasan terhadap anak adalah
kurangnya perhatian terhadap anak. Namun hal ini
berbeda dengan memanjakan anak.

 Tanamkan sejak dini pendidikan agama pada anak.


Agama mengajarkan moral pada anak agar berbuat
baik, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut tidak
menjadi pelaku kekerasn itu sendiri.
 Sesekali bicaralah secara terbuka pada anak dan
berikan dorongan pada anak agar bicara apa
adanya/berterus terang. Hal ini dimaksudkan agar
orang tua bisa mengenal anaknya dengan baik dan
memberikan nasihat apa yang perlu dilakukan
terhadp anak, karena banyak sekali kekerasan pada
anak terutama pelecehan seksual yang terlambat
diungkap.

 Ajarkan kepada anak untuk bersikap waspada seperti


jangan terima ajakan orang yang kurang dikenal dan
lain-lain.

 Sebaiknya orang tua juga bersikap sabar terhadap


anak. Ingatlah bahwa seorang anak tetaplah seorang
anak yang masih perlu banyak belajar tentang
kehidupan dan karena kurangnya kesabaran orang
tua banyak kasus orang tua yang menjadi pelaku
kekerasan terhadap anaknya sendiri.
 
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan

Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari keluarga,


masyarakat maupun pemerintah. Dalam penyelenggaraan
perlindungan anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002
maka semua pihak mempunyai kewajiban untuk melindungi anak dan
mempertahankan hak-hak anak. Pemberlakuan Undang-undang ini
juga di sempurnakan dengan adanya pemberian tindak pidana bagi
setiap orang yang sengaja maupun tidak sengaja melakukan tindakan
yang melanggar hak anak. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan
bahwa semua anak mendapat perlakuan yang sama dan jaminan
perlindungan yang sama pula, dalam hal ini tidak ada diskriminasi
ras, etnis, agama, suku dsb. Anak yang menderita cacat baik fisk
maupun mental juga memiliki hak yang sama dan wajib dilindungi
seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb.

Undang-undang No.23 tahun 2002 juga menjelaskan mengenai


hak asuh anak yang terkait dengan pengalihan hak asuh anak,
perwalian yang diperlukan karena ketidakmampuan orang tua
berhubungan dengan hukum, pengangkatan anak yang sangat
memperhatikan kepentingan anak, serta penyelenggaraan
perlindungan dalam hal agama, kesehatan, pendidikan, sosial dan
perlindungan khusus. 

2. Saran

Undang-undang ini telah dibuat dengan baik dan


memperhatikan atau peduli terhadap hak-hak anak namun pemerintah
kurang mensosialisasikan dan merealisasikan isi undang-undang ini.
Pemerintah dan masyarakat kurang berperan dalam menjalankan
undang-undang ini sebab anak masih dalam pengawasan dan
pengasuhan keluarga jadi pihak lain belum menjalankan tanggung
jawab seperti yang telah tercatum diatas.  
Kita sebagai bangsa Indonesia harus selalu menerapkan nilai-
nilai Pancasila dalam diri kita, karena Pancasila itu mencakup segala
aspek dalam kehidupan kita sehingga kalau kita bisa menerapkan dan
mengamalkan Pancasila maka perbuatan atau tindakan pelanggaran
HAM itu tidak akan terjadi dan tindakan-tindakan yang di larang
lainnya. Dan dalam hal-hal lain yang kita kerjakan kita akan tau mana
yang baik dan mana yang benar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
Karena kita tahu Negara ini tidak akan berkembang jauh lebih baik
tanpa kualitas penduduk bangsannya yang baik pula.
Hendaknya kemauan untuk mengimplementasikan nilai-nilai
Pancasila secara baik ditumbuhkan dalam diri pribadi manusia
Indonesia, ditanamkan dalam jiwa pemuda Indonesia, lalu
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat menjadi insan
yang pancasilais.

 
DAFTAR PUSTAKA
Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan
Hukum Bagi Anak,Jakarta:PT.Gramedia Indonesia

Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam


Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti

Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah “Hukum Acara


Peradilan Anak”,

Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum


Perlindungan Anak, Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000

Rani, (5 Oktober 1996) Makalah “ Masalah perlindungan anak “ ,

Arief, Barda Nawawi,  (1998) Beberapa Aspek Kebijakan


Penegakan Dan
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung:  Citra Aditya Bakti.

Undang-undang terdiri atas:

KUHP

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

vv

Anda mungkin juga menyukai