Anda di halaman 1dari 9

A.

Pembagian Hadits Sesuai dengan Perbedaan


Derajat
1. Hadits Shahih
a) Pengertian Hadits Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha –
yashihhu – suhhan wa sihhatan artiya sembuh, sehat,
selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara istilah yaitu :

‫َن‬
ْ ‫طع‬ ِ ِ ‫ضاب‬
َ ‫ل ال‬ ِ ْ ‫عد‬َ ‫ل ال‬ِ ‫ق‬ْ َ ‫سنَدُهُ بِن‬ َ ‫ل‬ َ ‫ص‬
َ َّ ‫ما اِت‬ َ
‫ة‬ َّ
ٍ ‫عل‬ ِ َ ‫وال‬
َ ‫و ٍذ‬ ُ ‫ر‬
ْ ُ ‫شذ‬ َ ‫ن‬
ِ ْ ‫غي‬ ْ ‫م‬ِ ُ‫هاه‬ َ َ ‫منْت‬ُ ‫لى‬
َ ِ‫ه إ‬ >ِ ِ ‫مثْل‬ ِ
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil,
dhobit ( memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir
sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat”
B. Syarat-syarat Hadits Shahih
1) Sanadnya Bersambung
setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits
dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu
berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu
hadits. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir
sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang
menerima hadits langsung dari Nabi,bersambung dalam
periwayatannya.
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila
terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para
perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah
seorang rawi yang dha’if, sehingga hadits yang
bersangkutan tidak shahih.
2) Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat
yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu
senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan
larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu senantiasa
berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain
yang dapt merusak harga dirinya.
3) Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut
1
mempunyai daya ingat yang sempurna terhadap hadits
yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah
mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah
didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan
tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya,
bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara
utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian
mampu menyampaikannya kepada orang lain atau
meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
4) Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang
bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau
lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di
mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang lebih
kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik
dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka
lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus
diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah
penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang
bersangkutan.
5) Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau
terdapat penyakit karena tersembunyi atau samar-samar,
yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-
samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits
tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits
tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak
shahih. Dengan demikian, yang dimaksud hadits tidak
ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya tidak terdapat
kesamaran atau keragu-raguan. ‘Illat hadits dapat terjadi
baik pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya
secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling
banyak terjadi adalah pada sanad.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;

ْ َ ‫ال أ‬
‫خب َ َرنَا‬ َ ‫ق‬ َ ‫ف‬َ ‫س‬
ُ ‫و‬ْ ُ‫ن ي‬ُ ْ‫ه ب‬
ِ ‫عبْدُالل‬َ ‫حدَّثَنَا‬
َ
‫ر‬
ِ ْ ‫جبَي‬
ُ ‫ن‬ ِ ْ‫د ب‬ِ ‫م‬َّ ‫ح‬َ ‫م‬
ُ ‫َن‬
ْ ‫اب ع‬
ٍ ‫ه‬ َ ‫ش‬ِ ‫ن‬ ِ ْ ‫َن اب‬
ِ ‫كع‬ ٌ ِ ‫م ال‬ َ
2
َ ‫و‬
‫ل‬ َ ‫ق‬ َ ‫ه‬ َ ِ ْ‫مط‬
ْ ‫س‬
ُ ‫ت َر‬ ُ ‫ع‬
ْ ‫م‬
ِ ‫س‬َ ‫ال‬ ِ ْ ‫َن أبِي‬ْ ‫عم ِ ع‬ ُ ‫ن‬ ِ ْ‫ب‬
َ
‫ر‬ ْ ُّ‫ب بِالط‬
ِ ‫و‬ ِ ‫ْر‬ َ ْ ‫في ال‬
ِ ‫مغ‬ ِ ‫ق َرأ‬َ ‫م‬.‫ه ص‬ ِ ‫الل‬
‫“(رواه البخاري‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata:
telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari
Muhammad bin jubair bin math’ami dari ayahnya ia berkata: aku
pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat
maghrib surat at-thur” (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
2. Hadits Hasan
a) Pengertian Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat
“al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang
dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani
yaitu:

‫َف‬
َّ ‫ي خ‬ ْ ‫ذ‬ِ َّ ‫ل ال‬
ِ َ ‫عد‬َ ْ ‫ل ال‬ ْ َ ‫سنَدُهُ بِن‬
ِ ‫ق‬ َ ‫ل‬ َ ‫ص‬ َ َّ ‫ما اِت‬َ
‫ر‬ َ ‫ن‬
ِ ْ ‫غي‬ ْ ‫م‬ ِ ُ‫هاه‬ َ َ ‫منْت‬ َ
ُ ‫ه إِلى‬ ِ ِ ‫مثْل‬
ِ ‫َن‬ْ ‫هع‬ ُ
ُ ‫ضبْط‬ َ
ٍ َّ ‫عل‬
‫ة‬ ِ َ ‫وال‬
َ ‫و ٍذ‬ْ ُ ‫شذ‬ ُ “.
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil,
hafalannya yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan
tidak syad dan tidak pula cacat”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada
perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada hadits
hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit.
Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan
hadits shahih adalah sama.
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:

‫ان‬
َ ‫م‬َ ْ ‫سلَي‬
ُ ‫ن‬ َ ‫ع‬
ُ ْ ‫ف ُر ب‬ ْ ‫ج‬َ ‫حدَّثَنَا‬ َ ‫ة‬ ُ ‫حدَّثَنَا‬
>ُ َ ‫قتَيْب‬
‫َن أَبِي‬
ْ ‫ونِي ع‬ َ ْ ‫ان ال‬
ْ ‫ج‬ ِ ‫م َر‬ ْ ‫ع‬
ِ ‫ي‬ َ
ْ ِ ‫َن أب‬ ْ ‫عي ع‬ ِ َ ‫ضب‬
ُّ ‫ال‬
3
َ ‫ق‬
: ‫ال‬ َ ‫ي‬ ْ َ ‫سي اأْل‬ َ ْ ‫بَك‬
ْ ‫ر‬ ِ ‫ع‬َ ‫ش‬ َ ‫و‬ ْ ‫م‬ ُ ‫ن أبِي‬ ِ ْ‫ر ب‬ ِ
َ ‫ق‬
‫ال‬ َ :‫ل‬ ُ ‫و‬ ُ َ‫و ي‬ َ
ْ ‫ق‬ ِّ ُ‫عد‬ َ ‫ة ال‬ ِ ‫ض َر‬ْ ‫ح‬ َ ِ ‫ت أبِي ب‬ ُ ‫ع‬ ْ ‫م‬ِ ‫س‬ َ
‫ت‬ ْ َ ُ ‫و‬
َ ‫ح‬ْ َ‫ة ت‬ِ َّ ‫جن‬
َ ‫اب ال‬ َ ‫و‬ َ ْ ‫ن أب‬ َّ ِ ‫ إ‬: ‫ه ص م‬ ِ ‫ل الل‬ ْ ‫س‬ ُ ‫َر‬
‫ الحديث‬..… ‫ف‬ ِ ‫و‬ ْ ُ ‫السي‬
ُّ ِ َ ‫“ ظِال‬
‫ل‬
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan
kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu
bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku
berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda :
sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan
pedang…”  (HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).

3. Hadits Dhoif
a) Pengertian Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah,
sedangkan secara istilah yaitu;

‫ط‬ َ ‫د‬
ِ ‫ش ْر‬ ْ ‫ف‬
ِ ‫ق‬ َ ِ ‫ ب‬،‫ن‬
ِ ‫س‬ َ ْ ‫ة ال‬
َ ‫ح‬ َ ‫ص‬
ُ ‫ف‬ ِ ‫ع‬ ْ ‫م‬َ ‫ج‬ْ َ‫م ي‬ْ َ ‫ما ل‬
َ
‫ه‬
ِ ِ ‫وط‬ ْ ‫ش ُر‬ُ ‫ن‬ ْ ‫م‬ ِ
“Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi)
dengan cara hilangnya satu syarat dari syarat-syarat hadits
hasan”
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits
itu menjadi tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang
hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut
dapat dinyatakan sebagai hadits dhai’if yang sangat lemah.
Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak
menjadikannya sebagai dasar hukum.
Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;

4
َ
َِ ‫حكِيْم‬ َ “‫ق‬ ِ ْ ‫ري‬ ِ َ‫ن ط‬ ْ ‫م‬ ِ ‫ي‬ ْ ‫ذ‬ ِ ْ ‫مي‬ِ ‫ه الت ِّ ْر‬
َ
ُ ‫ج‬َ ‫ْر‬
َ ‫ماأخ‬ َ
َ
‫َن أبِي‬ ْ ‫مي ع‬ ِ ْ ‫جي‬ َ ‫ه‬ ُ ‫ة ال‬ ِ ‫م‬َ ْ ‫مي‬ِ َ ‫َن أبِي ت‬ ْ ‫األث ْ َرمِ”ع‬
‫ن أتَي‬ َ َ ‫ق‬ َ ‫يصم‬
ْ ‫م‬َ ” : ‫ال‬ ِّ ِ ‫َن النَّب‬ ِ ‫ه َري ْ َرةَ َع‬ ُ
َ
َ ‫ف‬
ْ ‫قد‬ َ ‫هنَا‬ ُ ‫و كَا‬ْ ‫ها أ‬ َ ‫ر‬ِ ُ ‫في دُب‬ ِ ً‫م َرأة‬ ْ ِ‫و ا‬ْ ‫حائِضا ً أ‬ َ
َ
‫د‬
ٍ ‫م‬ ِّ ‫ح‬َ ‫م‬ ُ ‫ل عَلَى‬ َ ‫ما أن ْ َز‬ َ َ‫“ ك‬
َ ِ ‫ف َر ب‬
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-
atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi
saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau
seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka
sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan
kepada nabi Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini :
“ kami tidak mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim
al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari
segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami
sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut
Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang
yang bermuka dua.

Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal:


1) Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun
terbagi atas 2 bagian yang perama adalah terputus
secara dzhohir (nyata) :
(a) Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik
satu rawi atau lebih secara berurutan.
(b) Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu
orang sesudah tabi’in (Sahabat).
(c) Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau
lebih secara berurutan.
(d) Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.

5
Sedangkan yang kedua terputus secara khofi
(tersembunyi) yaitu:
(a) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya
dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.
(b) Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu
atau sezaman dengannya apa yang ia tidak pernah dengar
dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya
seperti qaala.
2) Sebab penyakit pada rawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam
‘adalah dan dhobit (hafalannya), adapun yang pertama penyakit
pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
(a) Pendusta
(b) Tertuduh dusta
(c) Fasiq
(d) Bid’ah
(e) Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
(a) Jelek hafalannya
(b) Lalai
(c) Menyelisihi yang tsiqat
(d) Ucapan yang menipu

b) Klasifikasi Hadits Dha’if


1) Dha’if karena tidak bersambung sanadnya
(a) Hadits Munqathi
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada
sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal.
(b) Hadits Mu’allaq
       Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal
sanadnya secara berturut-turut.
6
(c) Hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud
dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan.
Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits
dari Rasul saw.
(1) Mursal al-Jali
Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan
oleh tabi’in besar.
(2) Mursal al-Khafi
Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih
kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in
tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat, tetapi ia
tidak pernah mendengar sebuah hadits.
(3) Hadits Mu’dhal
hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut,
baik sahabat bersama tabi’i, tabi’i bersama tabi’ al-tabi’in
maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi’iy.
(4) Hadits Mudallas
yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan
bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.

2) Dha’if karena tiadanya syarat adil


(a) Hadits al-Maudhu’
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang
ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan
dusta, baik sengaja maupun tidak.
(b) Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta
(terhadap hadits yang diriwayatkannya), atau tanpak
kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun perkataannya, atau
orang yang banyak lupa maupun ragu.
3) Dha’if karena tiadanya Dhabit.
(a) Hadits Mudraj
hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan
(bagian dari) hadits
(b) Hadits Maqlub
hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi,
7
atau sanadnya. Kemudian didahulukan pada penyebutannya,
yang seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan
penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan
diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
(c) Hadits Mudhtharib
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal
dari satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih
yang berdekatan tidak bisa ditarjih.
(d) Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan hadits
riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan
bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits Muharraf yaitu hadits
yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal
kata sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.

4) Dha’if karena Kejanggalan dan kecacatan


(a) Hadits Syadz
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang
kualitasnya lebih utama.
(b) Hadits Mu’allal
hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan
penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat
5) Dha’if dari segi matan
(a) Hadits Mauquf
hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik
sanadnya bersambung maupun terputus.
(b) Hadits Maqthu
hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya,
baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain, hadits
maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.
c) Kehujahan Hadits Dhoif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat
semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa
hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
1) Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya
8
dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang
mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang
bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan
syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya
tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul
a’mal (keutamaan amal).
2) Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai
dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits
lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh
hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash
yang sudah shahih.
3) Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-
annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak
boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW
atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa
kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari
Rasulullah SAW.

Anda mungkin juga menyukai