Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LANDASAN TEORITIS

A. Konsep Dasar
1. Defenisi
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi
akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat
kedua-duanya. Biasanya mengeai kedua mata dan berjalan progresif.
(Arief Mansjoer, 1999: 62)
Katarak adalah terjadinya opasitas secara progresif pada lensa atau
kapsul lensa. Umumnya akibat dari proses penuaan yang terjadi pada semua
orang lebih dari 65 tahun.
(Marilynn E. Doenges, 1999: 412)
Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih dan
biasanya terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat kelahiran
(katarak kongenital).
(Brunner and Suddarth, 2001: 1996)

2. Etiologi
Penyebabnya bermacam-macam antara lain:
 Usia lanjut
 Dapat terjadi secara kongenital akibat infeksi virus dimasa pertumbuhan
janin
 Genetik
 Gangguan perkembangan
 Kelainan sistemik atau metabolik seperti DM, dan distrofi miofomik
 Traumatik
 Terapi kortikos teroid sistemik
 Rokok dan konsumsi alkohol
(Arief Mansjoer, 1999: 62)

1
3. Anatomi Dan Fisiologi
Mata adalah organ penglihatan, umumnya mata dilukiskan sebagai
bola. Tapi sebetulnya lonjong dan bukan bulat seperti bola. Bola mempunyai
garis tengah kira-kira 2,5 cm bagian dalam bening serta terdiri dari 3 lapisan
yaitu:
 Lapisan luar yaitu fibrus yang merupakan lapisan penyangga
 Lapisan tengah yaitu vaskuler
 Lapisan dalam yaitu lapisan saraf
Mata adalah suatu struktur yang sangat khusus dan kompleks,
menerima dan mengirimkan data ke korteks serebral. Seluruh lobus otak,
lobus oksipital ditujukan khusus untuk mencerminkan citra visual. Lebih
lanjut lagi ada 7 saraf otak (50) memiliki hubungan dengan mata: untuk
penglihatan 50 II), gerakan mata (50 III, IV dan VI), reaksi pupil (50 III).
Pengangkatan kelopak mata (50 III) dan penutupan kelopak mata (50 III).
Hubungan batang otak menunjukkan koordinasi gerakan mata.
Lensa tidak mengandung pembuluh darah, tidak berwarna dan hampir
bening, sempurna dengan tebal 4 mm dan diameter 9 mm, lensa terdiri dari
kira-kira 65% air lebih kurang dari 35% protein dan kadar kalium lebih
banyak di dalam lensa dibanding dengan sebagian besar jaringan lainnya di
dalam lensa tidak terdapat serabut rasa sakit maupun saraf.
(Brunner and Suddarth, 2001: 1996)

2
4. Patofisiologi
Faktor bertambahnya usia Faktor perubahan fisik dan kimia
↓ Mis: radiasi sinar ultraviolet B, obat-obatan
Nukleus megalami perubahan alkohol, merokok, diabetes dan
Warna menjadi coklat kekuningan asupan vitamin, antioksidan yang kurang
↓ ↓
Di sekitar opositas terdapat densitas mengakibatka hilangnya trasparansi
Seperti dari anterior dan posterior pada lensa
Nukleus ↓
Menimbulkan distrasi akibat adanya
Perubahan pada serabut halus yang
Memanjang dari badan silion
Sekitar daerah luar

Timbul koagulasi yang menghambat
Jalannya cahaya ke retina


Timbul opositas pada kapsul posterior
Yang merupakan bentuk katarak

(Brunner and Suddarth, 2001: 1996)

5. Manifestasi Klinik
Gejala utama pada katarak adalah gangguan peglihatan seperti
perubahan penglihatan atas. Warna mata yang menjadi miopi selama mata
terbatas cahaya yang terpancar, penglihatan yang semakin buruk, pandangan
kabur, berkurangnya ketajaman penglihatan dan kekeruhan lensa secara
bertahap.

3
Keluhan yang timbul adalah penuruan tajam penglihatan secara
progresif dan penglihatan seperti berasap sejak awal katarak dapat terlihat
melalui pupil yang telah berdilatasi dengan oftalmoskop, slit lamp atau
shadaw test, setelah katarak berkembang matang maka retina menjadi
semakin sulit dilihat sampai akhirnya refleks funduks tidak ada dan pupil
berwarna putih.
Pada katarak senil dikenal 4 stadium yang insipiens, imatur, matur dan
hipermatur. Pada stadium insipen dapat terjadi perbaikan penglihatan dekat
stadium pada katarak senil.

Insipien Imatur Matur Hipermatur


Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Mosif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
Tris Normal Terdorong Normal Tremulans (hy
bila janula putus)
Bilik mata Normal Dangkal Normal Dalam
depan
Sudut bilik mata Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow test Negatif Positif Negatif Pseudopositif
Penyulit - Glaukoma - Uneitis glaukoma
(Arief Mansjoer, 1999: 67)

6. Komplikasi
Komplikasi yang timbul jika penyakit primernya tidak dapat
pengobatan cepat maka akan timbul tanda katarak glaukoma dan radang di
dalam mata (uteitis). Di samping itu karakter dapat bersifat kongenital dan
harus didefenisikan awal karena bila tidak terdiagnosa dapat menyebabkan
ambliona dan kehilangan penglihatan permanen.
(Brunner and Suddarth, 2001: 1999 – 2000)

7. Pemeriksaan Diagnostik
 Kartu mata snelen / mesin telebinokular (tes ketajaman penglihatan dan
sentral penglihatan): mungkin terganggu dengan kerusakan kornea lensa,

4
akueus atau vitreus humor, kesalahan atau penyakit sistem saraf atau
penglihatan keretina atau jalan optik
 Lapang penglihatan: penurunan mungkin disebabkan oleh GSU, massa
tumor pada hipofisis / otak, karotis atau patologis serebral atau glaukoma
 Pengukuran tonografi: mengkaji intraokuler (T10) → (normal 12 – 25
mmHg)
 Pengukuran ginioskopi: membantu membedakan sudut terbuka dari sudut
tertutup glaukoma
 Tes provokatif: digunakan dalam menentukan adanya / tipe glaukoma bila
tio normal atau hanya meningkat ringan
 Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler, mencatat
atrofi lempeng optik, papiladema, perdarahan retina, dan mikro
organisme. Dilatasi dan pemeriksaan belahan lampu memastikan diagnosa
katarak
 Darah legkap, laju sedimentasi (LED): menunjukkan anemia sistemuk /
infeksi
 EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid: dilakukan untuk
memastikan aterosklerosis, PAK
 Tes toleransi glukosa ?FBS: menentukan adanya / kontrol diabetes
 A scan altrasound (enchography) dan hitung sel endotel sangat berguna
sebagai alat diagnostik, khususnya bila akan dilakukan pembedahan (H,
sel endotel 2000 sel / mm3)
(Marilynn E. Doeges, 1999: 413)

8. Penatalaksanaan
Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah menurun
sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila telah

5
menimbulkan penyakit seperti glaukoma dan uveinitis. Teknik yang umum
dilakukan adalah ekstraksi katarak ekstrakapsular dimana isi lensa
dikelauarkan melalui pemecahan atau perobekan kapsul lensa anterior.
Sehingga korteks dan nukleus lensa dapat dikeuarkan melalui robekan
tersebut korteks dan nukleus lensa dapat timbul penyulit katarak skunder.
Dengan teknik ekstraksi katarak intrakapsular tidak terjadi katarak
sekunder karena seluruh lensa bersama kapsul dikeluarkan, dapat dilakukan
pada katarak senil yang molur dan zanula zinn telah rapuh. Namun tidak
dilakukan pada pasien. Kurang dari 40 tahun, katarak imatur dan yang masih
memiliki zonula zinn.
Dapat pula dilakuka teknik ekstrakapsular dengan fakoemul sifikasi
yaitu fragmetasi nukleus lensa dengan gelombag ultrasonik sehingga hany
diperlukan insisi kecil dimana komplikasi pasca operasi lebih sedikit dan
rehabilitasi penglihatan pasien meningkat.
Penatalaksanaan pasca operasi terutama diajukan untuk mencegah
infeksi dan terbukanya luka operasi. Pasien diminta tidak banyak bergerak dan
menghindari mengangkat beban berat selama sebulan. Mata ditutup selama
beberapa hari atau dilindungi dengan kacamata atau pelindung pada siang hari
dan dengan pelindung logam pada malam hari.
(Arief Mansjoer, 1999: 63)

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
 Aktivitas / istirahat

6
Gejala:
Perubahan aktivitas biasanya / hobi sehubungan dengan gangguan
peglihatan.

 Makanan / cairan
Gejala:
Mual / muntah.

 Neurosensori
Gejala:
Gangguan penglihatan (kabur / tidak jelas) sinar terang menyebabkan silau
dengan kehilangan bertahap peglihatan perifer, kesulitan memfokuskan
kerja dengan dekat / merasa di ruang gelap

Tanda:
Tampak kecoklata atau putih susu pada pupil.

 Nyeri / kenyamanan
Gejala:
Ketidaknyamanan ringan / mata berair (glaukoma kronis)
Nyeri tiba-tiba / berat menetap atau tekanan pada daerah sekitar mata,
sakit kepala (glaukoma akut)
(Marilynn E. Doenges, 1999: 412)

2. Diagnosa Keperawatan

7
1) Gangguan sensori perseptual penglihatan b/d gangguan penerimaan
sensori atau status organ indera menurunnya ketajaman gangguan
penglihatan dan perubahan respons biasanya terhadap rangsangan
2) Resiko tinggi terhadap cidera b/d pendarahan intra okuler d/d pasien
mengatakan tidak dapat melihat dan aktivitas dibantu oleh perawat dan
keluarga
3) Resiko tinggi terhadap infeksi b/d prosedur ivasif (bedah pengangkatan
katarak) d/d luka operasi pada mata kanan, pasien tampak sering
memegangi mata yang diperban
4) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan b/d tidak
mengenal sumber informasi dan keterbatasan kognitif d/d pertanyaan dan
pernyataan salah konsepsi, tidak akurat mengikuti instruksi dan terjadi
komplikasi yang dapat dicegah

3. Intervensi / Perencanaan
Dx 1
Tujuan:
Gangguan akan sensori perseptual penglihatan teratasi.

Kriteria hasil:
 Meningkatkan hasil ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu
 Mengenal gangguan sensori dan berkompetensi terhadap perubahan
 Mengidentifikasi / memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan

Intervensi Rasionalisasi
 Tentukan ketajaman penglihatan  Kebutuhan individu dan pilihan
catat apakah kedua mata terlihat intervensi bervariasi sebab
kehilangan penglihatan terjadi
lambat dan progresif
 Orientasika pasien terhadap  Memberikan peningkatan

8
lingkungan staf, orang lain di kenyamanan dan kekeluargaan,
daerahnya menurunkan cemas dan
disorientasi pasca operasi
 Pertahankan tentang curam atau  Gangguan penglihatan / iritasi
penglihatan kabur dan iritasi dapat berakhir 1 – 2 jam setelah
mata, dimna dapat terjadi bila tetesan mata tetapi secara
menggunakan tetes mata bertahap menurun dengan
penggunaan
 Ingatkan pasien menggunakan  Perubahan ketajaman
kaca mata katarak yang tujuannya
memperbesar kurang lebih 25%,
peglihatan perifer hilang dan buta
titik makan ada

Dx 2
Tujuan:
Resiko tinggi terhadap cedera dapat teratasi.

Kriteria hasil:
 Menyatakan pemahaman faktor yang terlibat dalam kemungkinan cidera
 Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor
resiko dan untuk melindungi diri dari cidera
 Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan

Intervensi Rasionalisasi
 Diskusikan apa yang terjadi pada  Membantu mengurangi rasa takut
pasca operasi tentang nyeri, dan meningkatkan kerja sama
pembatasan aktivitas, penampilan dalam pembatasan yang
dan balutan mata diperlukan
 Batasi aktivitas seperti  Menurunka stress pada area

9
menggerakkan kepala tiba-tiba, operasi / menurunkan tio
menggaruk mata membengkak
 Dorong nafas dalam, batuk untuk  Batuk meningkatkan tio
bersikan paru
 Pertahankan perlindungan mata  Digunakan untuk melindungi dari
sesuai indikasi cedera kecelakaan dan
menurunkan gerakan mata

Dx 3
Tujuan:
Resiko tinggi terhadap infeksi tidak terjadi.

Kriteria hasil:
 Meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu, bebas drainase purulen,
eritema dan demam
 Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah dan menurunkan resiko
infeksi

Intervensi Rasionalisasi
 Diskusikan pentingnya mencuci  Menurunkan jumlah bakteri pada
tangan sebelum meyentuh / tangan mencegah kontaminasi
mengobati mata area operasi
 Gunakan atau tunjukkan teknik  Teknik aseptik menurunkan
yang tepat untuk membersihkan resiko penyebaran bakteri dan
mata dari dalam keluar dengan kontaminasi silang
tissue basah usapan, ganti balutan,
dan masukkan lensa kontak bila
menggunakan
 Tekankan pentingnya untuk tidak  Mencegah kontaminasi dan
menyentuh / menggaruk mata kerusakan sisi operasi

10
yang dioperasi
 Observasi tanda terjadinya infeksi  Ifeksi mata terjadi 2 – 3 hari
mis; kemerahan kelopak bengkak setelah prosedur dan memerlukan
upaya intervensi

Dx 4
Tujuan:
Kurangnya pengetahuan akan kondisi, prognosis dan pengobatan dapat
teratasi.

Kriteria hasil:
 Menyatakan pemahaman kondisi / proses penyakit dan pengobatan
 Melakukan dengan prosedur benar dan menjelaskan alasan tindakan

Intervensi Rasionalisasi
 Kaji informasi tentang kondisi  Meningkatkan pemahaman dan
individu prognosis dan tipe meningkatkan kerja sama dengan
prosedur program pasca operasi
 Tekankan pentingnya evaluasi  Pengawasan periodik menurunkan
perawatan rutin, beritahu untuk resiko komplikasi serius
melaporkan penglihatan berawan
 Informasi pasien untuk  Dapat bereaksi silang atau campur
menghindari tetes mata yang dengan obat yang diberikan
dijual bebas
 Diskusikan kemungkinan efek /  Penggunaan obat mata topikal
interaksi antara obat, mata dan menyebabkan TD meningkat pada
masalah medis pasien pasien hipertensi

(Marilyn E. Doenges, 1999: 414 – 417)

11
BAB III
PEMBAHASAN

1. Pengkajian
Pada tahap pengkajian teoritis yang di dapat adalah riwayat kesehatan yang
meliputi penggambaran lengkap tentang masalah telinga termasuk infeksi, otalgia

12
(nyeri telinga), ototthoe (telinga berair) dan kehilangan pendengaran. Data juga
dikumpulkan mengenai durasi, intensitas masalah dan penyebab serta penanganan
sebelumnya. Informasi perlu diperoleh mengenai masalah kesehatan lain dan
semua obat yang diminum pasien. Selain itu riwayat alergi, obat dan riwayat
keluarga juga harus dipertanyakan. Pengkajian fisik juga dilakukan meliputi
observasi adanya eritema (gatal), edema (pembengkakan), otorrhoe, leri dan bau
cairan yang keluar.
Pada tahap pengkajian keperawatan yang ada di kasus tidak jauh berbeda
dengan teori. Pada kasus tidak ditemukan sedangkan pada teori tuli konduktif ada
ditemukan. Dimana dapat disimpulkan bahwa karena proses peradangan yang
berulang yang tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan timbulnya episode
otitis media akut yang berulang.

2. Diagnosa Keperawatan
Secara teoritis diagnosa keperawatan ada 8 yaitu:
1) Gangguan rasa nyaman nyeri b/d pembedahan mastoid
2) Perubahan persepsi sensori b/d potensial kerusakan nervus fasialis (nervus
kranialis VII) dan saraf korda timpani
3) Perubahan persepsi auditorius b/d kelainan telinga atau pembedahan telinga
4) Ansietas b/d prosedur pembedahan, potensial kehilangan pendengaran,
potensial gangguan pengecap dan potensial kehilangan gerakan fasial
5) Resiko terhadap trauma b/d kesulitan keseimbangan atau vertigo selama
periode pasca operatif segera
6) Resiko terhadap infeksi b/d mastoidektomi, protesis dan trauma bedah
terhadap jaringan dan struktur sekitarnya
7) Kerusakan integritas kulit b/d pembedahan telinga, insisi dan tempat graft
8) Kurang pengetahuan tentang penyakit mastoid, prosedur bedah dan asuhan
pasca operatif b/d kurangnya informasi

13
Sedangkan diagnosa pada kasus yang ditemukan ada 7 yaitu 4 diagnosa pada
pre operatif dan 3 diagnosa pada post operatif.
 Diagnosa pre operatif
1) Gangguan rasa nyaman nyeri b/d kerusakan tulang pendengaran dan
mastoiditis kronik d/d klien mengatakan nyeri pada daerah telinga kiri,
klien tampak meringis kesakitan menahan sakit dan skala nyeri 6 – 7
2) Gangguan persepsi sesori pendengaran b/d kerusakan pendengaran d/d
klien mengatakan tidak jelas mendengarkan suara perawat, tampak sulit
mengartikan apa yang dikatakan oleh lawan bicara
3) Gangguan pemenuhan istirahat tidur b/d nyeri d/d klien mengatakan sulit
tidur baik pada siang maupun malam hari dan dapat tidur menjelang subuh
3 – 4 jam, klien tampak gelisah dan mata klie tampak cekung serta wajah
kelihatan pucat dan lemah.
4) Cemas b/d kurang pengetahuan d/d klien tampak khawatir karena akan
dioperasi

 Diagnosa post operatif


1) Gangguan rasa nyaman yeri b/d luka operasi d/d klien mengatakan bahwa
rasa nyeri pada daerah bekas operasi, klien kelihatan gelisah dan tampak
bendung masih ada di daerah kepala klien dan bekas operasi masih
diperban dan skala yeri 4 - 5
2) Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik d/d klien mengatakan belum bisa
melakukan aktivitas sendiri, klien tampak berbaring di tempat tidur dan
belum turun di tempat tidur serta aktivitas di bantu keluarga dimana
standar perawatan diri mis: makan: 2, berpakaian: 2, kebersihan diri: 2 dan
elimiasi: 2.
3) Resiko tinggi terjadinya infeksi b/d luka insisi d/d luka bekas operasi
belum sembuh dan tampak diperban

14
Diagnosa keperawatan yang ada pada kasus hampir bersmaan dengan yang
pada teori yang ada meski tidak semua diagnosa yang ada di teori muncul pada
kasus yang ada. Dan terdapat juga diagnosa yang muncul di kasus melainkan di
teori tidak muncul, yaitu:
 Diagnosa keperawatan 5 pada teori: resiko terhadap trauma b/d kesehatan
keseimbagan atau vertigo selama periode pasca operatif segera. Hal ini tidak
ditemukan pada kasus karena pasien tidak ada menunjukkan resiko trauma
dan klien mengalami kesulitan keseimbangan dan klien mampu mengontrol
keseimbangannya.
 Diagnosa keperawatan 7 pada teori: kerusakan integritas kulit b/d
pembedahan telinga, insisi dan tampak grapt. Kasus karena pasien tidak ada
menunjukkan kerusakan pada kulit
 Diagnosa keperawatan 8 pada teori: kurang pengetahuan tentang penyakit
mastoid, prosedur bedah dan asuhan pasca operatif b/d kurangnya informasi.
Hal ini tidak ditemukan pada kasus karena pasien menunjukkan
 Diagnosa keperawatan 3 pada kasus: gangguan pemenuhan istirahat tidur b/d
nyeri d/d klien mengatakan sulit tidur baik pada siang maupun malam hari dan
dapat tidur menjelang subuh 3 – 4 jam, klien tampak gelisah dan mata klien
tampak cekung serta wajah kelihatan pucat dan lemah. Hal ini ditemukan pada
kasus karena nyeri yang dirasakan klien pada telinga menyebabkan klien tidak
dapat beristirahat
 Diagnosa keperawatan 6 pada kasus intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik
d/d klien mengatakan belum bisa melakukan aktivitas sendiri, klien tampak
berbaring di tempat tidur dan belum turun dari tempat tidur serta aktivitas
dibantu keluarga dimana standar perawatan diri misal makan: 2, kebersiha
diri: 2 dan eliminasi: 2. Hal ini ditemukan pada kasus karena pasien
mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas perawatan diri akibat
kelemahan fisik.

3. Intervensi

15
Peulis melaksanakan intervensi keperawatan dengan rumusan diagnosa
keperawatan pada kasus antara lain:
 Diagnosa keperawatan pre operatif
Diagnosa keperawatan 1
 Kaji tingkat nyeri yang dirasakan klien (skala nyeri 6 – 7)
 Pertahankan tirah baring selama fase akut
 Pantau tanda-tanda vital klien
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
 Alihkan perhatian klien dari sakitnya
 Berikanlah tindakan nyaman (pijatan dahi) dan bantu aktivitas perawatan
diri
 Observasi tingkat cemas, terangsang dan gelisah

Diagnosa keperawatan 2
 Berikan tempat tidur yang nyaman dan beberapa milik pribadi seperti
bantal
 Tentukan dan pantau kebiasaan tidur pada biasanya dan perubahan yang
terjadi
 Tingkatkan regimen kenyamanan waktu tidur mis: minum segelas susu
hangat
 Instruksi tindakan relaksasi
 Kurangi kebisingan dan cahaya lampu
 Dorong posisi nyaman dan bantu dalam mengubah posisi

Diagnosa keperawatan 3
 Kaji tingkat ansietas dan diskusikan penyebabnya bila memungkinkan
 Tentukan sikap pasien / orang terdekat ke arah penerimaan pada fasilitas
diharapan masa depan
 Instruksikan pasien dalam efek pengobatan

16
 Berikan upaya kenyamanan dan aktivitas yang menyebabkan stress

Diagnosa Keperawatan 4
 Kaji tingkat pendengaran dengan menyatakan pertanyaan
 Observasi selalu kebersihan telinga
 Kaji kemampuan untuk berbicara dan memberikan tanggapan terhadap
stimulus
 Berikan komunikasi dan verbal untuk menyampaikan tujuan misalnya:
sentuh dan gerak tangan

 Diagnosa keperawatan post operatif


Diagnosa Keperawatan 1
 Kaji tingkat nyeri yang dirasakan klien
 Pertahankan tirah baring selama fase akut
 Pantau tanda vital klien
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy
 Berikan tindakan nyaman untuk pasien misalnya: beri posisi yang nyaman
untuk klien

Diagnosa Keperawatan 2
 Identifikasi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan mis: makan dan
berpakaian
 Dorong dan motivasi keluarga klien untuk membantu dalam memenuhi
kebutuhan klien
Diagnosa Keperawatan 3
 Tetap pada fasilitas kontrol infeksi sterilitasi dan prosedur aseptik
 Periksa kulit untuk memelihara adanya infeksi yang terjadi
 Identifikasi gangguan pada tehnik aseptik dan diatasi dengan segera pada
waktu terjadi

17
4. Pelaksanaan
Dalam pelaksanaan seluruh intervensi dapat dilaksanakan dengan baik
dikarenakan adanya kerja sama yang baik antara pasien, keluarga pasien dan
perawat. Sedangkan hambatan yang ditemukan dari pihak rumah sakit yaitu
terlambatnya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Misalnya tindakan operasi yang
lama dan pemeriksaan lainnya yang belum dilakukan sehingga dapat
memperlambat proses pelaksanaan untuk penyembuhan dari pihak pasien
hambatannya yaitu: keluarga pasien dan pasien kurang mampu berbahasa
Indonesia dan pasien hanya mengerti dengan menggunakan bahasa daerah
(Batak).

5. Evaluasi
Evaluasi bertujuan untuk mengetahui kebersihan untuk mencapai tujuan yang
dilakukan secara terus-menerus. Dalam hal ini penulis menjelaskan bahwa dari 7
diagnosa keperawatan yang ada, ada 2 diagnosa keperawatan yang masalahnya
sebagian teratasi yaitu (diagnosa post operatif)
1) Resiko tinggi terjadinya infeksi b/d luka insisi d/d luka bekas operasi belum
sembuh dan masih diperban
2) Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik d/d klien mengatakan belum bisa
melakukan aktivitas sendiri
3) Klien tampak berbaring di tempat tidur serta aktivitas dibantu keluarga
4) Dimana standar keperawatan diri misalnya: makan: 2, berpakaian: 2,
kebersihan diri: 2, dan eliminasi: 2.

Adapun diagnosa keperawatan yang belum teratasi ada 5 yaitu (diagnosa pre
operatif):
1) Gangguan rasa nyaman nyeri b/d kerusakan tulang pendengaran dan
mastoiditis d/d klien merasakan nyeri pada telinga kiri, klien tampak meringis
kesakitan menahan sakit dan skala nyeri 6 – 7

18
2) Gangguan persepsi sensori pendengaran b/d pembentukan koleosteoton d/d
klien mengatakan tidak jelas mendengar suara perawat, tampak sulit
mengartikan apa yang dikatakan lawan bicara dan klien mengalami tuli
konduktif
3) Gangguan pemenuhan istirahat tidur b/d nyeri d/d klien mengatakan sulit tidur
baik siang maupun malam hari dan dapat tidur menjelang subuh 3 – 4 jam,
klien tampak gelisah dan mata klien tampak cekung serta wajah kelihatan
pucat dan lemah
4) Cemas b/d kurang pengetahuan d/d klien tampak khawatir dioperasi
5) Gangguan rasa nyaman nyeri b/d operasi d/d klien mengatakan terasa nyeri
pada luka bekas operasi, klien tampak gelisah dan tampak bandge masih ada
di daerah kepala klien akan luka operasi masih diperban dengan skala nyeri 4
– 5.

DAFTAR PUSTAKA

-          Brunner &Suddarths. (2000) Textbook of Medical Nursing. 4th ed


Philadelphina: Lipponcot

19
-          Smeltzer, Suzanne C. 2001. BUKU AJAR Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth Vol. 2. Jakarta : EGC

-          Soeparman,sarwono wasparji. 1990. Ilmu penyakit dalam jilid 2. Balai


penerbit FKUI: Jakarta

20

Anda mungkin juga menyukai