Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muhammad Mizan Aufa

NIM : 110000219410039

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.

RELASI ANTARA TRADISI, PARADIGMA, TEORI, KONSEP DAN METODE

PENELITIAN HUKUM.

Metodologi penelitian menjelaskan tentang upaya pengembangan ilmu bedasarkan tradisi-

tradisinya. Demikian pula tentang hasil-hasil yang dicapai, yang disebut pengetahuan atau

knowledge, baik yang bersifat deskriptif (kualitatif dan kuantitatif) maupun yang bersifat

hubungan (proporsi tingkat rendah, prporsi tingkat tinggi, dan hukum-hukum). Beberapa hal

pokok dalam metode ilmiah yang digunakan dalam suatu penelitian perlu diperhatikan dengan

memngacu pada prinsip bahwa penelitian adalah sebuah proses pencarian, sehingga penggunaan

istilah proses penelitian akan lebih tepat dibandingkan dengan metode peneilitian.1

Terdapat tiga klister tradisi penelitian yaitu :

1. Tradisi behaviorism

Tradisi behaviourism mendominasi proses penelitian yang dilakukan oleh para ahli

hingga tahun 1960. Disebutkan karakteristiknya sebagai berikut:

a. Proses-proses mental peneliti diabaikan (disgrarded) karena proses-proses tersebut

tidak dapat terkait dengan pengamatan eksternal, melainkan terlau subjektif, terlalu

tersembunyi untuk pengamatan, pengukuran dan verifikasi.

b. Proses mental yang tidak dapat dievaluasi secara eksternal disingkirkan dari

investigasi ilmiah.

1
Suteki, 2018, Metedologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan Praktik), Depok: PT Raja Grafindo Persada,
hlm.4.
c. Perilaku subjek dimanipulasi untuk memunculkan respons-respons yang kemudian

ditafsirkan oleh peneliti sesuai dengan pertanyaan dan metode penelitiannya.

d. Hubungan statistical ditempatkan di antara stimuli dan respons stimuli ditetapkan

sebagai independent variable (dapat dipilih dan dikontrol oleh peneliti) sedangkan

respons ditetapkan sebagai dependent variable.

e. Subjek yang diteliti diperlakukan sebagai objek seperti dalam eksperimen

laboratorium.

f. Pemikiran subjek, penafsiran mereka tentang perilaku yang muncul selama

eksperimen, diabaikan secara total sebab terlau subjektif, tidak ilmiah dan tidak andal

(unreliable).

Tradisi sekunder yang dihasilkan dari tradi behaviorism ini adalah tradisi penilitian

kuantitatif, melalui pengukuran logic-statistical. Berdasarkan karakteristik tradisi ini,

paradigma yang diturunkan adalah paradigma positivisme

2. Tradisi Cognitive-Computation

Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan filsafat Cartesian yang memiliki prinsip

fundamental, yang terkenal dengan motto: Cogito Ergo Sum dengan tokoh utama Renne

Descartes. Tradisi ini memiliki beberapa asumsi-asumsi pokok, yaitu:

a. Pemisahan antara pikiran (mind) dan tubuh (body), yang disebut dualitas

b. Ada dua realitas, dua dunia: yaitu dunia materiil (the human body) yang dapat diamati

oleh manusia dan dunia mental (the human mind) termasuk didalamnya adalah emosi

dan proses mental.


c. The human mind disadari menjadi superior terhadap the human body sehingga

menyebabkan menjadi focus penelitian ilmiah, dan ini berlawanan dengan tradisi

behaviourism.

d. Penggunaan hypothetico-deductive untuk mengatasi penggalian proses mental yang

diabaikan oleh tradisi behaviourism.

e. Berlawanan dengan tradisi behaviourism, peneliti dalam tradisi ini

mempertimbangkan penafsiran-penafsiran oleh subjek dan fenomena mentalnya

untuk menganalisis temuan-temuannya.

f. Subjek bahkan dapat diminta untuk menggunakan intuisi mereka dalam menafsirkan

fenomena penelitian.

Tradisi sekunder yang dihasilkan dari tradisi ini adalah tradisi penelitian kuantitatif.

Salah satu pendekatan yang termasuk dalam tradisi ini adalah pendekatan empiris. Dalam

pendekatan ini, meskipun aspek mental (the human mind) menjadi objek utama

penelitian, namun aspek dunia materiil (the human body) tetap mendapat tempat yang

eksis, bahkan sering kali the human mind diukur dengan cara kuantifikasi

3. Tradisi Dialogical

Tradisi ini berasumsi adanya realitas jamak yang ditafsirkan secara berbeda oleh individu

yang berbeda. Relaitas jamak tmbul karena manusia hidup dalam lingkungan yang

berbeda baik dari segi sosiokultural maupun tata letak kelembagaanya, di mana mereka

menuntut Bahasa dan kelakuan yang berbeda.

Tradisi ini memekankan betapa pentingnya konteks social budaya, politik, sejarah dan

konteks kelembagaan untuk penegembangan pengetahuan manusia, sehingga teknik


dialektikal anta inter dan intrapsikological dan transformasi antara satu dan lainnya

menjadi sangat penting.

Berdasarkan pada karakter tradisi penelitian dialogical ini, maka dapat diturunkan

beberapa paradigma penelitian, yakni :

a. Paradigma Kritikal

b. Paradigma Konstruktivisme

c. Pastisipatoris-Kooperatif

Adapun jenis pendekatan dalam penelitian yang tergabung di dalam tradisi ini, yaitu:

a. Discursive (Harre and Gillet, 1994)

b. Hermeneutics (Young, 1999; Markee, 1994; Ochsner, 1979)

c. Hermeneutics-dialectical (Rommetviet, 1987)

d. Dialogically based social-cognitive (Rommetviet, 1992)

e. Cultural (Bruner, 1996)

Anda mungkin juga menyukai