Sebagai seorang ulama yang tinggal di negeri terjajah, KH. Ahmad Dahlan
melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Di suatu sisi, beliau berjuang membangun
ukhuwah Islamiyah sesama muslim. Di sisi lain, beliau juga berjuang menyejahterakan
masyarakat secara umum tanpa memandang perbedaan agama.
Perjuangan KH. Ahmad Dahlan tidak semerta-merta muncul begitu saja. Ada
proes panjang dibalik semua perjalanan beliau dan faktor yang mempengaruhinya.
Mulai dari lingkungan, keluarga, pendidikan, dan orang-orang yang dekat dengannya.
Semuanya berpngaruh pada proses pembentukan pribadi KH. Ahmad Dahlan. Hingga
akhirnya beliau memutuskan untuk berjuang dengan berlandaskan Islam untuk
menyejahterakan kaum muslim dan masyrakat pada umumnya.
KH. Ahmad Dahlan dikenal sebagai kiai yang berbeda dengan kiai-kiai pada
umumnya. Sebagai contoh, ketika kiai-kiai lain mengaharamkan ilmu pengetahuan
barat, malah sebaliknya KH. Ahmad Dahlan justru mempelajarinya dengan tekun. Beliau
memiliki prinsip, belajar dari mana saja dan kapan saja. Maka wajar jika beliau belajar
organisasi, sekolah belanda, dan kalangan Kristen.
Selain itu, KH. Ahmad Dahlan juga termasuk muslim yang taat. Ilmu
pengetahuan umum yang telah beliau pelajari tidak melunturkan ketaatannya sebagai
muslim. Justru sebaliknya, ilmu pengetahuan beliau gunakan untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat, dengan menggunakan prinsip ajaran Islam. Sehingga, perpaduan
anatara ajaran agama dan ilmu pengetahuan banyak menghasilkan karya seperti, rumah
sakit, sekolah, dan panti asuhan.
Kelahiran Muhammad Darwis
Di kampung yang bernuansa religi ini, Khatib Amin Kiai Abu Bakar dianugerahi
seorang anak laki-laki yang diberi nama Muhammad Darwis. Ia merupakan anak
keempat dari 7 bersaudara yang kesmuanya perempuan kecuali adik bungsu Dalam
tradisi Keraton,anak lelaki pertama akan mewarisi profesi ayahnya ketika wafat nanti.
Ketika ayah Muhammad darwis ini meninggal, ia diberi amanah untuk menjadi khatib
amin Masjid Gede.
Muhammad Darwis Masa Kecil
Sebagai anak dari seorang khatib amin Masjid gede, Pendidikan agama Darwis
kecil sangat diperhatikan. Semenjak kecil dia sudah terbiasa mempelajari kitab klasik
karangan ulam Nusantara, termasuk kitab karya Syeikh Khatib al-Minangkabawi. Ia juga
terbiasa dengan para kiai, karena kakak-kakak iparnya iparnya merupakan kiai.
Kondisi masyarakat pada waktu itu meski beraga Islam, tapi masih kuat
kepercayaan animismenya. Dalam beragama, masyarakat masih cenderung taklid
dengan tradisi leluhur. Sehungga upacara keagamaan tetap dilakukan dengan anggapan
bahwa hal tesebut merupakan kewajiban. Seperti, tahlilan, yasisnan, dan ruwatan.
Beberapa tradisi keagamaan tersebut merupakan usaha para wali dalam syiar
agama Islam di Nusantara. Kala itu, para wali mengenalkan ajaran agama Islam dengan
manyusup ke dalam tradisi masyarakat. Walaupun ajaran mengenai shalat, puasa, dan
sebagainya telah diberikan tetapi para wali belum sempat menjelaskan hikmah dan
faedah ibadah-ibadah tersebut. Karena itu, ibadah waktu itu baru menjadi upacara
keagamaan dan belum dipahami maksud dan tujuannya. Masyarakat menerima begitu
saja tradisi yang telah ada. Bahkan anggapan bahwa tradisi-tradisi tersebut merupakan
suatu kewajiban telah mewabah di masyarakat tersebut. Sehingga, ibadah dianggap
tidak sah apabila tidak menjalankan tradisi tertentu.
Semangat Menimba Ilmu Darwis Muda
Kebiasaan seorang santri pada masa itu adalah mengembara dengan untuk
berguru dengan kiai-kiai. Tidak hanya dengan kiai-kiai Nusantara, namun juga di Makkah
al-Mukarramah, maka begitu pula dengan darwis muda. Ia disarankan oleh kiai Kholil
Bangkalan untuk menimba ilmu dengan kiai Soleh Darat.
Kiai Soleh Darat adalah panggilan akrab untuk Syekh Muhammad Sholih bin
Umar as-Samarani. Ia hidup di akhir abad ke-19. Keluasan ilmu yang tak pernah padam
menjadikan kiai Soleh Darat disebut-sebut sebagai ulama besar, wali, pejuang, dan
pujangga.
Kedalaman ilmu dan spiritual kiai Soleh Darat dibuktikan dengan banyaknya
murid yang berguru padanya. Ia bahkan disebut sebagai guru dari para kiai Nusantara.
Sejumlah ulama tercatat pernah berguru padanya, antara lain yaitu KH. Ahmad Dahlan
dan Hasyim Asy’ari. Tokoh emansipasi wanita, raden Ajeng Kartini bahkan terbuka
matanya pada ajaran Islam ketika mengikuti pengajian Kiai Soleh Darat tentang surta al-
Faatihah.
Beberapa ilmu, baik ilmu agama maupun umum is pelajari disana. Ilmu hadist ia
dalami dengan berguru pada kiai Mahfud Termas dan Syekh Khayat. Ilmu qira’ah
didapat dari Syekh Amin dan Sayyid Bakri Syata. Ia juga mendalami ilmu falak pada
Dahlan Semarang. Selain itu, dari Syekh Hasan ia belajar tentang mengatasi racun
binatang.