Anda di halaman 1dari 4

GBHN dan Perubahan Konstitusi1

Saldi Isra2

Topik perubahan konstitusi (UUD 1945) menyeruak ke permukaan. Munculnya gagasan


ini tidak terlepas dari keinginan sejumlah kekuatan politik di Majelis Permusyawaratan Rakyat
menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara.
Langkah konkret ke arah perubahan, Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) telah selesai membahas usulan perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
(UUD 1945). Sebagaimana diwartakan, rapat pleno Badan Pengkajian MPR menyepakati lima
hal yang perlu diubah apabila usul perubahan konstitusi berhasil didukung minimal sepertiga
anggota MPR. Substansi perubahan meliputi: penghidupan Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN); penataan wewenang MPR, DPD, dan Komisi Yudisial; serta penegasan Pancasila
sebagai dasar negara dan sumber hukum.
Rencana mengubah konstitusi bukanlah sesuatu yang baru sama sekali. Jauh hari
sebelumnya, dalam "Jalan Berliku Menuju Amandemen Kelima" (2007), saya kemukakan,
secara obyektif banyak hasil penelitian ilmiah (misal: jurnal, tesis, dan disertasi) ihwal reformasi
konstitusi Indonesia menyimpulkan: UUD 1945 hasil perubahan lebih demokratis dibandingkan
sebelum perubahan. Meski begitu, hampir semua hasil penelitian, termasuk kajian Komisi
Konstitusi (KK), menyarankan dilakukan upaya penyempurnaan. Alasannya, sebagian substansi
hasil perubahan mempunyai kelemahan yang berpotensi merusak mekanisme checks and
balances.
Secara formal, gagasan untuk mengkaji hasil perubahan UUD 1945 (1999-2002) telah
dilakukan Komisi Konstitusi. Melalui Ketetapan No I/MPR/2002, MPR bersepakat membentuk
KK. Amanat utama KK: melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD
1945. Sebagaimana diketahui, hasil KK merekomendasikan dilakukan perubahan kelima. Tidak
hanya sebatas rekomendasi, lembaga ini juga menyusun draf usulan perubahan kelima UUD
1945. Namun, ide besar yang dihasilkan KK lenyap begitu saja tanpa pernah ditindaklanjuti
MPR.
Setelah hasil KK kandas, gagasan melakukan perubahan UUD 1945 dihidupkan kembali
oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pertengahan 2006, kamar kedua lembaga perwakilan
rakyat menggebrak dengan usul agar DPD dapat menyetujui atau menolak rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat-daerah; pembentukan,
pemekaran/penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lain; serta
perimbangan keuangan pusat- daerah yang telah disetujui oleh DPR.
Usul perubahan yang diajukan DPD ditolak hampir semua kekuatan politik di DPR.
Alasan penolakan, usul perubahan yang diusung DPD terbatas pada perbaikan wewenang DPD
1
Saldi Isra, 2016, GBHN dan Perubahan Konstitusi, Artikel Kompas terdapat dalam https://www.saldiisra.web.id,
dikunjungi 11 November 2019.
2
Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi, Menjabat pada 11 April 2017-Sekarang.
saja. Karena itu, sebagian kekuatan politik mendorong DPD menyusun usul perubahan yang
lebih komprehensif atau paling tidak lebih luas dari sebatas fungsi legislasi DPD. Ternyata,
usulan untuk menyusun naskah komprehensif lebih merupakan dalih untuk menolak usulan
DPD. Buktinya, ketika DPD berhasil merampungkan naskah komprehensif, usul perubahan pun
tidak pernah mendapat dukungan DPR. Meskipun keinginan melanjutkan perubahan UUD 1945
bukanlah hal baru, usul yang mengaitkan dengan menghidupkan kembali GBHN baru menguat
dalam beberapa tahun belakangan. Misalnya, kajian yang dilakukan KK atau usul naskah
komprehensif yang pernah dihasilkan DPD tidak pernah tebersit gagasan menghidupkan GBHN.
Bahkan, pemikiran sekitar GBHN muncul karena MPR tak begitu kelihatan peran konkretnya
dalam praktik penyelenggaraan negara. Karena itu, perkembangan terakhir yang berupaya
mengaitkan usul mengubah UUD 1945 dengan menghidupkan kembali GBHN sangat relevan
diperbincangkan.

Beberapa Kelemahan
Sejak selesainya rangkaian empat kali perubahan UUD 1945, tahun 2002, perbincangan
guna melanjutkan reformasi konstitusi tak pernah usai. Alasan mendasar, naskah yang dihasilkan
memiliki sejumlah kelemahan. Misalnya, dalam tampilan teks UUD 1945 yang dihasilkan, bagi
sebagian pihak yang tak paham model legal drafting, struktur penyusunan beberapa pasal
menimbulkan kebingungan. Paling tidak, ketaklaziman bisa dilihat dari Pasal 28 dengan
tambahan huruf "A" sampai huruf "J". Secara keseluruhan, soal hak asasi manusia ini terdiri atas
10 pasal.
Selain soal struktur beberapa pasal, secara substantif, UUD 1945 hasil perubahan
menyisakan desain pola hubungan antar-lembaga menyulitkan membangun mekanisme checks
and balances. Di antara yang paling menonjol, pola hubungan di kalangan internal lembaga
legislatif. Contoh paling umum adalah relasi yang tidak seimbang antara DPR dan DPD dalam
membentuk UU. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 22D UUD 1945, dalam membentuk UU,
DPD hanya dapat mengajukan usul dan kemudian ikut membahas. Karena desain tersebut,
sebagaimana sering dikemukakan, kehadiran DPD lebih merupakan aksesori di internal legislatif.
Melihat desain yang menyulitkan DPD menindaklanjuti aspirasi daerah, gagasan
melakukan reformasi konstitusi untuk menyempurnakan dasar penyelenggaraan negara menuju
kehidupan yang lebih demokratis dan modern melalui mekanisme checks and balances tak
mungkin tercapai. Bahkan merujuk fungsi legislasi DPD, upaya penguatan melalui putusan
Mahkamah Konstitusi pun tidak digubris DPR. Karena persoalan sesungguhnya ada di level
konstitusi, jawaban untuk memperkuat peran legislasi DPD hanya mungkin dilakukan dengan
mengubah Pasal 22D UUD 1945.
Masih di ranah pemegang kuasa legislatif, beberapa ketentuan dalam UUD 1945
menjadikan DPR begitu hegemonik. Salah satu ketentuan yang acap kali menjadi sorotan adalah
Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan DPR. Jika hendak menggunakan cara berpikir argumentum a contrario, karena
yang dilarang hanyalah DPR, presiden dapat membekukan dan/atau membubarkan DPD.
Masalah lain, yang menunjukkan hegemoni tersebut, adanya ketentuan pertimbangan DPR dalam
menerima penempatan duta negara lain.

Tak hanya ranah legislatif, frasa kepala daerah "dipilih secara demokratis" yang diatur
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 telah menyebabkan munculnya ketidakpastian dalam model
pemilihan kepala daerah. Ihwal masalah ini, juga memunculkan perdebatan yang tidak kalah
rumitnya, yaitu dengan adanya pandangan sejumlah kekuatan politik di DPR bahwa pemilihan
kepala daerah tidak termasuk dalam rezim pemilihan umum. Masalah ini selalu menimbulkan
pro-kontra, terutama di sekitar pembahasan undang-undang pemilihan kepala daerah. Dengan
adanya pendapat bukan rezim pemilihan umum, soal penyelesaian sengketa hasil pemilihan
kepala daerah pun dikatakan tidak masuk wilayah wewenang MK.

Perubahan Mendasar
Jika dibaca lingkup usulan perubahan yang dihasilkan Badan Pengkajian MPR di atas,
usul penghidupan GBHN pasti akan berkait dengan penataan wewenang MPR. Artinya,
penghidupan kembali GBHN tidak mungkin dilakukan selama posisi MPR tidak menjadi
lembaga tertinggi negara sebagaimana diatur UUD 1945 sebelum perubahan. Seperti pernah
diuraikan dalam "Wacana Menghidupkan GBHN" (Kompas, 12/1/2016), merujuk konstruksi
yuridis Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 3 serta penjelasannya sebelum perubahan, pembentukan
GBHN tidak terlepas dari posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan sebagai lembaga
tertinggi negara.
Jika keinginan membentuk GBHN tidak berbeda jauh dengan GBHN ketika era Orde
Lama dan Orde Baru, penataan wewenang MPR diperlukan, yaitu mengembalikan MPR pada
posisi sebagai lembaga tertinggi dan sekaligus sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Pengalaman
GBHN pada kedua era tersebut hanya mungkin dihindarkan jika upaya menghidupkan GBHN
dilakukan dengan paradigma baru. Namun, selama berpikir memberikan dasar hukum dengan
Ketetapan MPR, posisi MPR sebagai lembaga tertinggi akan secara otomatis hidup kembali.
Dalam soal ini penting dicatat, desain GBHN seperti zaman Presiden Soekarno dan Presiden
Soeharto hanya mungkin diterima dengan cara mengadopsi posisi MPR dalam UUD 1945
sebelum perubahan.
Paradigma baru yang mungkin bisa ditawarkan untuk menghindari reinkarnasi GBHN
adalah memperbaiki kelemahan pada UU yang terkait dengan sistem perencanaan nasional.
Apabila model ini yang dipilih, tidak perlu dilakukan perubahan UUD 1945. Cara lain,
perubahan UUD 1945 tetap dilakukan dengan maksud memasukkan dan mendetailkan prinsip-
prinsip dan arah pembangunan nasional dalam konstitusi. Pilihan model kedua ini, misalnya,
diadopsi oleh Pasal II Konstitusi Filipina (1987) yang secara eksplisit memuat "Declaration of
Principles and State Policies".
Sekiranya hendak menganut model Filipina, perubahan konstitusi dimaksudkan untuk
merinci tujuan bernegara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi rincian pasal-
pasal konstitusi. Pilihan model Filipina menjadi menarik karena selama ini belum pernah
dilakukan upaya nyata merincikan atau menurunkan secara detail tujuan bernegara menjadi
norma konstitusi. Dengan memilih model kedua, tak perlu muncul agenda penataan wewenang
MPR. Bagaimanapun, melihat suasana di MPR, apabila upaya penataan wewenang MPR
dilakukan melalui perubahan UUD 1945, pendulum menuju lembaga tertinggi sulit dihindarkan.
Persoalan mendasar yang perlu direnungkan, menjadikan MPR sebagai lembaga negara tertinggi
akan kembali menggeser lokus pengelolaan negara ke tangan lembaga perwakilan. Bilamana
lokus kekuasaan bergeser ke lembaga perwakilan, sistem pemerintahan yang dipraktikkan akan
bergeser menjadi sistem parlementer. Dalam posisi demikian, tak bisa dihindarkan jika GBHN
dibuat MPR, pihak yang menjalankan kuasa eksekutif (presiden) terikat dan harus bertanggung
jawab kepada pembuat GBHN. Dalam teori ilmu politik dan hukum tata negara, apabila
pemegang kuasa eksekutif tunduk dan bertanggung jawab kepada lembaga legislatif, maka
sistem pemerintahannya adalah sistem parlementer.
Dengan demikian, yang paling dikhawatirkan, gagasan penghidupan GBHN dengan
melakukan penataan wewenang MPR akan menghadirkan praktik sistem parlementer di negeri
ini dalam pengertian yang sesungguhnya. Karena itu, jika sejumlah pihak mulai khawatir rencana
perubahan akan bermuara pada perubahan proses pemilihan presiden dari langsung menjadi
pemilihan dengan sistem perwakilan menjadi cukup masuk akal. Bagaimanapun,
mempertahankan pemilihan langsung dengan keharusan presiden untuk menjalankan GBHN
yang dibuat MPR akan menghadirkan persoalan serius dalam desain demokrasi presidensial.
Oleh karena itu, sebelum telanjur melangkah terlalu jauh, gagasan penghidupan GBHN
dengan menjadi kewenangan MPR harus dipikirkan dan dikunyah dengan lebih matang. Tanpa
itu, konstitusi yang dihasilkan berpotensi berubah jadi jebakan baru dalam penyelenggaraan
negara.

Soal
1. Badan Pengkajian MPR menyepakati lima hal yang perlu diubah, termasuk tentang penataan
wewenang DPD dan KY. Menurut Saudara/I bagaimana seharusnya penataan wewenang
DPD, dan Komisi Yudisial?
2. Dalam Pasal 2 Ayat 1 UUD NRI disebutkan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR dan
anggota DPD……” Apa akibatnya jika frasa “anggota” dihapus sehingga berbunyi “MPR
terdiri atas DPR dan DPD”. Berikan analisis Saudara/I?

Anda mungkin juga menyukai