Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS yang berjenis kelamin perempuan
mempunyai prevalensi tertinggi pada usia 15-24 tahun dan kematian yang paling tinggi
pada usia 15-49 tahun (UNAIDS, 2012). Usia 15-24 tahun tergolong usia produktif bagi
perempuan untuk menjalani fungsi reproduksi, sehingga memungkinkan perempuan
untuk hamil dan meneruskan keturunan. Hal ini memungkinkan perempuan untuk
menularkan infeksi virus kepada bayi yang dikandungnya. Penularan kepada bayi dari ibu
yang mempunyai status HIV positif berkisar 15-45%. Kematian bayi akibat HIV/AIDS
tercatat pada tahun 2010 sebanyak 2% dan 90% penularan pada anak usia kurang 13
tahun berasal dari ibu pada saat prenatal (UNAIDS, 2013). Transmisi virus kepada anak
dari ibunya merupakan fokus WHO untuk membuat sebuah usaha menurunkan angka
kejadian tertular virus kepada anak, salah satunya dengan program PMTCT (Prevention
Mother to Child Transmission).
Program PMTCT dilakukan dengan pengobatan ARV kepada ibu secara teratur,
pemberian profilaksis kepada bayi, dan pemantauan CD4 selama kehamilan. Perencanaan
kehamilan menjadi permulaan agar dapat hamil sehingga mencapai keberhasilan program
hamil. Kehamilan yang diinginkan oleh ibu dan pasangan dapat menurunkan penularan
kepada bayi dari ibu HIV positif karena dapat mengontrol perkembangan virus
semakimal mungkin untuk tidak mencipatkan kondisi yang kurang baik kepada janin
(WHO, 2015). Persalinan dengan bedah sesar ditujukan untuk menurunkan penularan
HIV dari ibu kepada anaknya. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi pada saat
persalinan berlangsung.
Cara persalinan dengan bedah sesar sangat direkomendasikan, karena persalinan
dengan operasi akan mengurangi kontak cairan melalui kanal kulit serviks dan vagina,
serta meminimalkan penularan yang disebabkan oleh bayi menelan darah atau cairan lain
(Mulyana, 2008). Ibu dengan tindakan bedah sesar bisa mengalami beberapa masalah
seperti harga diri rendah, adanya perubahan konsep diri, gangguan menjadi orang tua,
munculnya perasaan cemas, ketakutan, gangguan rasa nyaman nyeri, gangguan proses
keluarga, rasa kesedihan, rasa tidak adekuat menjadi seorang ibu, dan adanya perpisahan
dengan bayi yang baru dilahirkan yang dapat mempengaruhi ikatan ibu dan bayi serta
perkembangan keterampilan melakukan perawatan diri (Reeder, 2011). Ibu dengan HIV
positif yang melakukan persalinan dengan bedah sesar akan semakin banyak masalah
yang dialami, karena status HIV yang dideritanya.

B. Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui dukungan Selama ibu hamil
- Untuk mendukung ibu pada hiv selama hamil

C. Manfaat Penulisan
- Agar mahasiswa dapat mengetahui dukungan pada ibu hamil dengan hiv
BAB II
LITERATUR REVIEW
A. Jurnal 1
1. Nama peneliti
Sunirah Setyowati, Imami Nur Rachmawati
2. Judul jurnal
Gambaran Cara Ibu Hamil Dengan HIV/AIDS dalam Menjalani Kehamilan: Studi
Fenomenologi
3. Metode penelitian
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif menggunakan
pendekatan fenomenologi deskriptif. Fenomenologi deskriptif mengeksplorasi secara
langsung pengalaman partisipan serta menganalisis dan mendeskripsikan fenomena yang
diteliti dengan intuisi peneliti (Afiyanti dan Rachmawati, 2014). Menurut Polit dan Beck
(2012) bahwa fenomenologi deskriptif terdiri dari empat tahap yaitu bracketing, intuiting,
analyzing, dan describing. Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan metode
purposive sampling. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah ibu hamil dengan HIV positif
yang telah dinyatakan oleh pengurus LSM dan pendamping , tidak mempunyai gangguan
kognitif, bisa menulis dan membaca dan dapat berbahasa Indonesia, tinggal di wilayah
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Partisipan yang terlibat pada
penelitian ini mencapai tujuh orang, dengan satu orang sebagai uji coba wawancara
sebelum melakukan pengumpulan data penelitian. Penelitian ini dimulai pada bulan Mei
2015 hingga Mei 2016. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
berlokasi di Jakarta.

4. Hasil penelitian
Hasil Penelitian Karakteristik Partisipan Karakteristik usia partisipan didapatkan tujuh
partisipan (semua) memiliki rentang usia dari 25- 38 tahun. Tingkat pendidikan didapatkan
tiga orang berpendidikan SMP, tiga orang berpendidikan SMA, dan satu orang
berpendidikan sarjana. Status pernikahan tujuh partisipan (semua) berstatus menikah,
dengan enam partisipan merupakan pernikahn ke-dua dan satu orang partisipan merupakan
pernikahan yang ke-tiga. Status pekerjaan didapatkan lima partisipan sebagai ibu rumah
tangga, sedangkan dua orang partisipan lainnya merupakan perempuan bekerja. Usia bayi
didapatkan semua bayi di usia sebelum enam bulan. Jumlah anak didapatkan satu orang
partisipan memiliki satu anak, enam orang lainnya memiliki anak lebih dari satu. Suku
didapatkan tiga orang partisipan bersuku Betawi, empat orang lainnya bersuku Jawa.
Tempat bersalin tiga partisipan di rumah sakit bertipe A, tiga partisipan di rumah sakit
bertipe B dan satu di rumah sakit tipe C. Tema yang pertama yaitu :
1. Tema Satu: Ibu Terlambat Mengetahui Status Diri dan Anak
Tema pertama ini dibentuk dari tiga kategori yaitu (1) mengetahui tertular HIV dari
suami disaat suami terdahulu sakit dan meninggal karena HIV; (2) mengetahui status ODHA
setelah ada status anak; (3) Mengetahui status anak HIV setelah mengetahui status dirinya.
Keterlambatan mengetahui status HIV adalah kondisi dimana ibu terlambat menyadari
bahwa ia adalah orang dengan HIV positif (ODHA). Hal ini digambarkan dengan pernyataan
subjektif ibu yang menyatakan bahwa dirinya adalah ODHA setelah suami terdahulu
meninggal akibat HIV positif sebanyak satu partisipan, meninggal dengan ciri-ciri AIDS
namun diagnosis belum ditegakkan sebanyak dua partisipan; setelah bercerai dan
mendapati mantan suami sakit sebanyak satu partisipan; ataupun anak sakit dan
terdiagnosa terlebih dahulu sebanyak dua partisipan. Pernyataan yang diungkapkan oleh
partisipan sebagai berikut: …awal positifnya saya tertular dari suami…., ..ketahuanlah, suami
uda meninggal (P1) …kemungkinan suami sy kena HIV AIDS stadium akhir kena tokso bagian
kepalanya, tapi berhubung bapak lagi kritis bu kan ga bisa ngelakuin tes gitu kan jadi ibu
yang dites apa ibu bersedia gaklo dites darah ..., …saya mau tes B20 waktu itu saya ke lab
terus saya keluar dari lab suami tidak tertolong…,... dan pas saya buka amplop itu ya bener
ibu terinfeksi HIV AID.
2. Tema Dua: Ibu Merawat Kehamilan melalui Program Prevention Mother to Child (PMTCT)
Persiapan kehamilan ibu dengan HIV positif merupakan sebuah upaya ibu untuk
berharap mendapatkan anak terlahir dengan HIV negatif. Persiapan dan perawatan selama
kehamilan adalah sebuah poin yang penting menjaga transmisi virus. Program MTCT
dimulai, yaitu pasangan melakukan konseling, baik dilakukan secara formal maupun tidak,
untuk mencari informasi seputar program kehamilan sesuai dengan PMTCT. Ketujuh
partisipan merupakan ibu dengan kehamilan multipara dari suami keduanya, dimana suami
sebelumnya telah pisah, baik bercerai hidup maupun bercerai mati. Empat dari tujuh suami
partisipan mengetahui kondisi status istrinya, dua orang yang tidak membuka status kepada
suaminya mempunyai keinginan agar tidak menularkan virus kepada calon bayinya. Tema ini
dibentuk dari enam kategori, yaitu: (1) Memutuskan untuk hamil sesuai dengan keinginan
suami sekarang; (2) melakukan konsultasi ke petugas kesehatan dan diskusi sesame teman
HIV tentang sebelum kehamilan; (3) mengikuti program kehamilan khusus dan terencana
bersama JNH, Vol 1 No 2 September 2017 48 pasangan; (4) membuka pengaman ketika
program hamil; (5) melibatkan suami dalam proses kehamilan hingga menyusui; (6)
memeriksakan viral load dan CD4 selama kehamilan. Berikut pernyataan partisipan
menegasakan melakukan persiapan sebelum kehamilan pada ibu HIV adalah … ya udah
akhirnya kita sama-sama tau.. kita konsul dulu, kalo mau, program aja PMTC. Tapi
sebenarnya sih harus periksa VL (viral load_ed) dulu, tapi kan test VL mahal jadi kita nunggu
ada program, kebetulan ada tu, pas saya umur kandungan.

3. Tema Tiga: Ibu Memutuskan Persalinan Sesar walaupun Ditawari Pilihan Persalinan
Normal Pengalaman partisipan sebelum
Pengalaman partisipan sebelumnya mendapati anak berstatus HIV positif, membuat ibu
sangat selektif memilih tindakan-tindakan khususnya tindakan yang berisiko. Lima dari tujuh
partisipan secara otonomi memilih persalinan sesar, walaupun kondisi ibu memungkinkan
untuk menjalani persalinan normal. Tema kedua ini dibentuk oleh tiga kategorik yaitu: (1)
mengalami trauma pengalaman anak sebelumnya berstatus HIV positif; (2) menyadari
bahwa resiko penularan virus melalui persalinan sesar lebih rendah; (3) ditawarkan
persalinan normal kepada ibu dikarenakan kondisi ibu baik. Partisipan merupakan anggota
dari LSM yang sudah mempunyai kondisi lebih baik karena telah terpapar informasi dan
telah melalui fase denial, kondisi yang baik ditandai dengan nilai viral load yang bagus.
Kondisi tersebut memungkinkan partisipan untuk melahirkan secara normal, seperti yang
telah dijelaskan dokter kandungan kepada dua partisipan, namun kemungkinan menularkan
pada persalinan sesar lebih rendah dibandingkan pada persalinan normal, ini disampaikan
oleh tiga partisipan, sehingga partisipan lebih memilih persalinan sesar. Keputusan
inidilatarbelakangi trauma masa lalu, diterangkan oleh dua partisipan memiliki trauma anak-
anak tertular HIV positif dari dirinya. Pilihan sesar menjadi point terpenting bagi ibu dalam
menghindari transmisi virus kepada bayinya sehingga memutuskan melahirkan sesar
walaupun ditawarkan persalinan normal, Seperti ungkapan yang diutarakan oleh partisipan
P1 sebagai berikut: Iya, tetep aku mau sesar, kalo emang mesti bayar, gak papah aku bayar,
aku bilang gitu. (P1) aku tuh gak mau trauma lagi seperti nomor 3. Apa, gimana caranya
anak ini biar gak seperti kakanya yang seperti itu, gak positif gitu(P.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Resum kasus
Hasil penelitian mendapatkan bahwa ibu mengetahui status tertular dari suami pada saat suami
sakit, sudah meninggal, ataupun dalam kondisi kritis. Ibu juga mengetahui status HIV Positif
setelah status anak positif dan keadaan ini yang menyebabkan ibu memeriksakan anaknya dan
mendapati anaknya pun berstatus positif. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Decker, et al (2014) yang mendapatkan bahwa perempuan menjadi korban perluasan penularan
penyakit-penyakit infeksi menular seksual seperti HIV dari pasangannya. Keterlambatan ini
dijelaskan dapat dikarenakan oleh tidak pernah terpapar dan tidak pernah merasa bahwa
penyakit HIV/AIDS mengancam mereka. Perempuan tidak pernah mendapat informasi terkait
HIV/AIDS sebelumnya. Perempuan cenderung merasa aman karena tidak mengira bahwa
mereka adalah populasi yang beresiko tinggi. Resiko penularan yang dialami perempuan
cenderung berasal dari penularan oleh suaminya. Meski peningkatan pelayanan kesehatan
terkait HIV/AIDS di daerah urban sudah mengalami perbaikan dan penyempurnaan dengan
perbanyakan layanan tes, konseling VCT dan kemajuan JNH, Vol 1 No 2 September 2017 49
teknologi pelayanan, perempuan masih merasa tidak perlu untuk memeriksakan serostatus
karena tidak pernah terpapar pentingnya hal ini bagi perempuan yang hamil (Halli et all, 2015).
Keterlambatan mengetahui status juga menyebabkan ibu terlambat mengetahui status anaknya,
dan tidak menyadari dirinya adalah sumber penularan kepada anaknya. Penularan ini didasari
karena kurangnya pengetahuan dan tidak mengikuti program. Karena bila ibu itu mengetahui
sedari awal, ia mungin akan melakukan upaya untuk mencegah transmisi tersebut dan bisa
mengupayakan anak yang lahir berstatus negatif. Penjelasan ini sama dengan yang diungkapkan
Nguefack, et al. (2016), bahwa terjadinya penularan terhadap anak, dikarenakan tidak mengikuti
program PMTCT, sedangkan PMTCT adalah paket intervensi yang menuntut kepatuhan oleh ibu
supaya didapatkan hasil yang efektif dan efesien untuk mencegah penularan. Penerapan
program PMTCT di kota besar adalah program yang berfokus utama dalam menurunkan kasus
HIV/AIDS. Kebanyakan perempuan yang akan memiliki anak salah melakukan tindakan, didasari
kurangnya pengetahuan.
B. Korelasi artikel terhadap kasus kelolaan
Penularan kepada bayi diakibatkan pada saat fase-fase penting dan kritis seperti saat
persalinan dan menyusui. Namun menurut laporan, kejadian yang paling sering terjadi adalah
pada fase post natal, yaitu saat menyusui dibandingkan dengan intra natal. Hasil penelitian
mendapatkan bahwa merawat kehamilan melalui program PMTCT dimulai dengan keputusan
untuk hamil, melakukan konsultasi ahli, diskusi dengan teman sebaya, mengikuti program
khusus dan terencana pada fase perinatal, membuka pengaman untuk hamil, keterlibatan suami
serta pemeriksaan viral load dan CD4. Rangkaian program ini ditujukan agar mempunyai anak
dengan status negatif.
Pada hasil penelitian ini didapatkan kondisi yang mendasari keputusan partisipan untuk
hamil adalah keinginan suami dan persepsi bahwa kehadiran anak adalah sesauatu yang bernilai
dalam sebuah ikatan pernikahan, karena pernikahan sekarang adalah dengan pasangan yang
baru. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian Kirshenbaum, et al. (2014) yang menemukan
bahwa perempuan HIV positif cenderung memiliki keinginan yang lebih rendah untuk hamil
dibandingkan dengan perempuan HIV negatif. Data juga melaporkan bahwa perempuan HIV
positif lebih cendrung berkeinginan menggugurkan kehamilannya Memutuskan mempunyai
anak merupakan keputusan yang kompleks bagi penderita HIV, karena sebagai seorang
pengidap HIV yang berisiko menularkan virus kepada bayinya dengan pengalaman terdahulu,
karena anak terdahulu berstatus positif. Namun ibu-ibu masih tetap memutuskan untuk
memiliki anak, ini dikarenakan persepsi nilai anak dalam keluarga. Hasil Ini sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Kirshenbaum, et al. (2014) bahwa perempuan dengan HIV positif di daerah
perkotaan cenderung memiliki anak dikarenakan keinginan untuk menambah jumlah anggota
keluarga dan kesuksesan melahirkan pada anak sebelumnya. Pendapat lainnya menyebutkan
bahwa keinginan untuk memiliki anak merupakan penerimaan norma sosial bagi perempuan
sehingga perempuan merasa diterima.
Ketika seorang perempuan tidak memiliki anak akan dianggap belum lengkap sebagai
seorang wanita oleh norma sosial, sehingga perempuan HIV positif berada dalam pilihan yang
sulit. Satu sisi ia mengkondisikan sebagai seorang perempuan dalam masyarakat dan sebagai
seorang penderita HIV yang berada dalam kekawatiran akan resiko tertularnya virus kepada
bayinya bila ia hamil. Pencegahan transmisi virus sebaiknya dilakukan dengan merencanakan
kehamilan, karena semua dipersiapkan dengan baik, dari kondisi ibu, kondisi suami maupun
persiapan konseling dan konsultasi. Persiapan ini terlihat dari ungkapan partsipan yang
menjelaskan bahwa trauma mempunyai anak yang berstatus psoitif, menuntut ibu untuk
mempersiapkan kehamilan hingga menyusui dengan baik agar anak yang dilahirkan tidak
berstatus positif.
Kehamilan dan program terencana ini diperkuat dengan hasil penelitian yang mendapati
bahwa kejadian seorang ibu HIV positif dengan kehamilan tak terencana atau tidak diinginkan
cenderung akan menunjukkan perasaaan negatif, keinginan untuk mengakhiri kehamilan dan
motivasi yang rendah untuk memikirkan prosedur persalinannya kelak. Melakukan konsultasi
ahli dan diskusi kepada teman untuk memulai kehamilan dilakukan partisipan sebagai sebuah
strategi untuk memulai program kehamilan yang aman dan melakukan langkahlangkah yang
aman untuk mempunyai anak yang berstatus HIV negatf. Hasil ini diperkuat dengan hasil
penelitian yang menjabarkan bahwa partisipan melakukan konsultasi dengan dokter kandungan,
serta dengan teman sebaya yang HIV Positif. Hasil penelitian mendapatkan bahwa program
kehamilan yang diikuti oleh ibu HIV positif untuk mencegah penularan virus ibu hamil ke bayinya
dilakukan oleh partisipan dengan mengikuti PMTCT. Program ini adalah program yang
diselenggrakan WHO dan diadopsi menjadi PPIA di Indonesia. Program PMTCT diyakini oleh
partsisipan dapat menjadi strategi untuk menghindari transmisi virus HIV. Mariciana (2015)
menemukan bahwa PMTCT terbukti meningkatkan angka penularan ibu HIV positif kepada
anaknya (71,2 % ibu hamil mendapatkan program PMTCT, 67,1 % diantaranya berlanjut hingga
proses persalinan, 82,6% diantaranya berlanjut hingga proses menyusui). Ibu hamil HIV negatif
atau ibu HIV positif yang belum mengetahui statusnya pada awalnya merasa aneh dengan
program PMTCT yang dijalaninya.
C. Implikasi keperawatan
Hasil penelitian menggambarkan perawatan selama kehamilan pada ibu hamil yang
berstatus HIV positif dalam penelitian ini didapati sama dengan perawatan pada ibu hamil yang
status negatif. Perbedaan yang dijelaskan partisipan adalah pemeriksaan viral load dan CD4 dan
penerapan keteraturan terapi ARV. Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan Patel et all.
(2015), menyatakan bahwa penerapan ARV sebagai upaya pencegahan penularan ibu ke anak
(PMTCT) merupakan suatu penemuan yang besar dalam mengurangi transmisi vertikal dari ibu
ke anaknya. Di negaranegara maju jumlah infeksi baru dari bayi dikarenakan oleh penularan ibu
turun hingga 93%, pada negara berkembang dan miskin masih menunjukkan angka yang
signifikan, contohnya di Boswana 21% angka penularan terjadi. Pencapaian tujuan untuk
menurunkan setidak nya 90% penularan pada bayi di dunia, memerlukan peran aktif
pemerintah, pelaksana program dan petugas kesehatan dalam mengatasi hambatan yang
muncul dan meningkatkan akselarasi pelayanan kesehatan. Upaya PMTCT dalam menanggulangi
kasus HIV memiliki beberapa aspek penting yang dilakukan oleh ibu dan petugas kesehatan,
yakni pengecekkan sero status HIV setiap ibu hamil, pemberian ARV sebagai profilaksis serta
perawatan bagi ibu HIV positif, mengurangi stigma dan diskriminasi, pemberian dukungan, serta
bantuan struktural dan ekonomi.
Hasil penelitian mendapatkan keterlibatan suami dalam proses merawat ibu sejak
kehamilan hingga menyusui meliputi pemberian dukungan psikologi, mengingatkan minum ARV,
tanggap bila anak dan ibu sakit untuk mendapatkan pengobatan, penerimaan status ibu dan
anak terdahulu, dukungan finansial dan mau bekerja sama dengan istri dalam merawat bayinya.
Penerimaan pasangan terhadap status ibu HIV positif dan anak dari pernikahan sebelumnya
membuat ibu tenang dalam menjalani kehamilannya. Penerimaan ini tidak hanya pada suami
yang berstatus positif tapi juga pada suami yang mempunyai status positif (SIC_ed). Temuan ini
bertolak belakang dengan penemuan Joshua (2015) bahwa tantangan lainya pasangan dengan
hanya salah satu saja berstatus HIV positif adalah resiko emosional yang akan terjadi, pasangan
cenderung lebih bersifat emosional dikarenakan stressor terkait penyakit, stigma, jaringan
sosial, dan kekurangan dukungan dari pelayanan kesehatan. Belum ada pelaporan mengenai
perpisahan akibat perkawinan dengan salah satu pasangan yang berstatus HIV positif, fenomena
ini juga memperlihatkan bahwa kondisi ini belum menjadi fokus bahasan dalam kehidupan
ODHA. Beberapa penelitian mengemukan bahwa semakin berrtahannya hubungan perkawinan
pada pasangan yang hanya satu saja berstatus HIV positif semakin meningkatkan kejadian
penularan HIV kepada pasangan lainnya melalui hubungan seksual. Ekspresi ibu saat
menggambarkan keterlibatan suami, partisipan menunjukkan ekspresi bahagia, dan kepuasaan.
Mengucapkan syukur mempunyai suami yang menerima dan berkontribusi dalam proses sejak
awal hingga anaknya lahir.
Dukungan ini menyebabkan ketenangan bagi ibu dalam menjalani proses kehamilan
hingga proses pasca bedah sesar. Penjelasan Mosack dan Katie, (2016) dapat diketahui bahwa
dukungan suami penting untuk mengurangi gangguan kesehatan fisik dan mental. Upaya
dukungan tersebut dapat dinilai dari muncul konflik dan usaha menyelesaikan konflik,
komunikasi individu dan pasangan, penanganan tanda dan gejala muncul pada kehamilan serta
persepsi terhadap perjalanan kehidupan istrinya. Penjelasan dari Mandelson,et al.(2015), bahwa
perkembangan dalam perawatan dan pencegahan HIV turut berkontribusi dalam stabilisasi
kehidupan ODHA. Salah satu cara menjaga kestabilitas kehidupan ODHA dengan menjaga
keharmonisan pasangan yaitu regulasi kontak seksual yang aman antar pasangan.
Hasil penelitian mendapatkan bahwa Ibu memutuskan persalinan sesar meskipun
mendapatkan pilihan persalinan normal. Keputusan ini dilandasi karena traumatik mendapti
anak terdahulu berstatus positif. Ibu sebagai sumber penularan ke anaknya adalah kondisi yang
berat, karena status posistif anak membuat ibu merasa sangat bersalah. Kondisi anak yang
menderita penyakit seumur hidup akibat dirinya. Partisipan menggambarkan dalam pemahaman
yang ia punya sesar dapat mengurangi resiko penularan virus sebanyak 5%, sehingga walaupun
kecil tapi lebih baik dibandingkan persalinan normal. Pendapat pasrtisipan tersebut sesuai
dengan penjelasan Buchman, et al. (2014) yang menyatakan bahwa pengurangan angka
mortalitas dan morbilitas dari kasus maternal HIV/AIDS, persalinan dengan sesar memainkan
peran serius dalam pengurangan kematian ibu hamil dengan HIV. Metode persalinan sesar yang
menjadi pilihan oleh ibu HIV/AIDS didaasari oleh harapan ibu agar tidak menularkan virus
HIV/AIDS kepada bayinya. Dampak negatif yang ada tidak menjadikan bahan pertimbangan yang
menurunkan keinginan ibu untuk melahirkan secara sesar. Keputusan ini ditunjang dengan
ketersedian fasilitas kesehatan yang didapati ibu hamil berisiko seperti HIV positif oleh Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang menanggung persalinan sesar secara gratis bagi pemegang
layanan Badan Penyelanggara Jaminan Sosial. Jaminan ini yang membuat partisipan merasa
tenang memilih persalinan sesar tanpa memikirkan ketersedian dana untuk pembiayaan.
Namun dua partisipan pun siap membiayai secara mandiri persalinan sesar bila tidak
diperbolehkan persalinan sesar oleh dokter, terlihat jelas kecemasan akan dampak persalinan
normal untuk penularan virus lebih besar. Lain halnya terjadi pada hasil Survey analisis dalam
Thompson, et all. (2015) yang dilakukan pada ibu hamil HIV positif di Philadelpia tahun 2013
hanya setengah dari jumlah Ibu hamil, yang melakukan sesar dengan jumlah viral load yang
tidak diketahui atau jumlah viral load lebih dari 1000 kopi/dl.
Setengah dari ibu hamil dengan HIV positif diusia kehamilan lebih dari 38 minggu tidak
dapat dilakukan persalinan sesar karena keterbatasan layanan pemberian sesar. Kondisi ini
terjadi akibat kasus kehamilan pada ibu HIV positif adalah kasus minoritas yang belum
mempunyai kebijakan yang mendukung. Disamping itu persalinan pervaginam sebagai pilihan
lain dalam persalianan ibu hamil juga menjadi isu yang patut dibahas. Pada penelitian ini
ditemukan keengganan tidak melakukan persalinan pervaginam. Walaupun persalinan sesar
tidak menjamin anak yang dilahirkan akan berstatus negatif, tapi persalinan pervaginam
mempunya resiko yang lebih besar dari pada persalinan sesar. Persepsi partisipan ini pada
kondisi saat ini harus diluruskan karena ibu HIV positif pun bisa melakukan persalinan normal
dengan persyaratan terstentu. Persalinan pervagina bisa dijalani jika ibu mau menjalani terapi
ARV yang teratur. Peningkatan persalinan pervagina pada ibu hamil dengan HIV positif
meningkat hingga 52% dari 17% sementara persalinan sesar elektif menurun dari 65% menjadi
27%. Pemahanan mengenai persalinan sesar lebih normal oleh partsipan dalam penelitian ini
harus diimbangi oleh kondisi pasca sesar yang bisa ditemui dan lebih kompleks. Penjelasan
Ziruma dan Gidiri, (2014), menyampaikan bahwa persalinan melalui bedah sesar pada ibu hamil
positif HIV juga menjadi hal kompleks yang harus diperhatikan perkembangannya, sehingga
yang paling penting dalam persalinan ini adalah bagaimana ibu bisa mengontrol kondisi
kesehatannya, yang terlihat dari viral load dan CD4 sebagai hasil dari keteraturan pelaksanaan
terapi ARV. Hal ini menyumbang peranan yang paling tinggi mengurangi penularan virus
dibanding hanya mempermasalahkan metode persalinan, karena sesar yang dipandang lebih
aman oleh Ibu HIV/AIDS, juga mempunyai efek yang tidak diharapkan.
Persalinan sesar juga akan meninggalkan masalah lainya, seperti yang dijelaskan Kourtis
et, al. (2014), menyatakan bahwa persalinan sesar akan menimbulkan komplikasi yang lebih
bayak dibandingkan dengan persalinan normal, seperti infeksi luka bedah, pendarahan berlanjut
dan truma intra operasi, sehingga dapat memperpanjang hari rawatan, peningkatan biaya dan
peningkatan angka kematian ibu. Komplikasi infeksi dan trauma bedah saat persalinan sesar
ditemukan angka yang cukup tinggi dibandingkan pada ibu HIV negatif. Oleh karena itu
dibutuhkan pemantauan petugas kesehatan secara intensif kepad ibu HIV positif pasca sesar,
untuk menjaga komplikasi tersebut.Tidak ada perbedaan dalam perawatan luka baik ibu HIV
negatif ataupun positif (Kourtis., et, al.(2014).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian ini menemukan tiga tema yang berkaitan
dengan tujuan penelitian, tema tersebut menggambarkan usaha ibu hamil dengan HIV/AIDS
dalam menjalani kehamilan pada tema satu, dua dan tiga, yaitu (1) Ibu terlambat mengetahui
status ibu dan anak karena terlambat mengetahui sumber penularan ke ibu serta cara penularan
ke anak; (2) Ibu merencanakan kehamilan melalui program Pervention Mother to Child (PMTCT);
(3)Ibu memutuskan persalinan sesar walaupun ditawari pilihan persalinan normal.
B. Saran
Penjelasan ini disampaikan Aebipopp, (2013) yang menyebutkan rata-rata PMTCT
dinegara Eropa hingga tahun 2010 persalinan pervagina dapat dilakukan pada ibu hamil dengan
HIV positif dengan viral load yang rendah atau tidak terdeteksi sehingga tidak harus ibu
HIV/AIDS menjalani sesar.
DAFTAR PUSTAKA
Setyowti, Sunirah. (2017). Gambaran cara ibu hamil dengan HIV/AIDS menjalani kehamilan :
Studi fenomenologi. http://jnh.Stikesbanisaleh.ac.id

Anda mungkin juga menyukai