Anda di halaman 1dari 7

Nama : Luckman andreciam

Nim : 181810050

Kelas : Psikologi B

KASUS : Minor Case B kasus 2 dan Major Case A

Case B (Minor Case)

Kasus 1

Pengalaman hidup stressful yang pertama dialami Dira adalah ketidaklekatannya dengan
orang tuanya. Ketidaklekatan itu terjadi karena saat lima tahun pertama Dira tidak diasuh
oleh orang tuanya. Selain itu, Dira mengalami pelecehan seksual dan merahasiakan hal
tersebut padasiapapun. Selain pelecehan seksual Dira juga mengalami peristiwa bullying
yang dilakukan temantemannya. Dira juga tidak melaporkan hal tersebut kepada siapapun.
Dira merasa sendirian dalam menghadapi apa yang dialaminya. Dira berusaha menarik
perhatian orang lain dengan berperilaku nakal, Dira bahkan rela melukai dirinya sendiri
(menyilet tangan) untuk mendapat perhatian dari teman-temannya di kelas. Mulai dari SMP,
Dira mulai marah-marah dan merasakan bahwa ada yang janggal dalam dirinya. Dira rajin
mencari tahu keadaannya lewat artikel-artikel yang ada di internet.

1. Gambaran diagnostic dan penjelasan teoritik dari kasus:


Diagnostic dari kasus diatas berupa:
 karena sering di bully dan pernah mengalami pelecehan seksual membuat nya
merasa sendirian
 Berusaha melukai diri sendiri agar mendapatkan perhatian dari orang lain.
 Mulai Merasa marah-marah dari smp.

Penjelasan teoritik dari kasus:


Self-injury adalah perilaku menyakiti dan melukai diri sendiri yang dilakukan secara
sengaja. Ini merupakan salah satu bentuk dari gangguan perilaku yang terkait dengan
sejumlah penyakit kejiwaan. Self-injury dilakukan untuk melampiaskan atau
mengatasi emosi berlebih yang tengah dihadapi, misalnya stres, marah, cemas, benci
pada diri sendiri, sedih, kesepian, putus asa, mati rasa, atau rasa bersalah. Bisa juga
sebagai cara untuk mengalihkan perhatian dari pikiran yang mengganggu. Berbagai
emosi tersebut bisa muncul akibat dari Masalah sosial Perilaku self-injury rentan
terjadi pada orang yang sedang mengalami kesulitan hidup dan masalah sosial,
misalnya menjadi korban bully (perundungan) di sekolah, atau tertekan dengan
tuntutan dari orang tua dan guru. Bisa juga karena sedang konflik dengan keluarga,
pasangan, dan teman, atau mengalami krisis identitas yang menyangkut orientasi
seksual. Trauma psikologis Kehilangan orang yang dicintai dan menjadi korban
kekerasan emosional, fisik, atau seksual bisa membuat seseorang merasa hampa, mati
rasa, dan rendah diri. Mereka menganggap dengan menyakiti diri sendiri bisa
mengingatkan dirinya bahwa ia masih hidup dan merasakan sesuatu layaknya orang
lain.

2. Penyebab dan penjelasannya:


Penyebabnya adalah multifaktorial meliputi
 Faktor lingkungan: Secara umum, keluarga adalah faktor yang cukup
berpengaruh, keluarga yang yang tidak responsif terhadap kebutuhan dan
kurangnya kasih sayang
 faktor perilaku: menarik perhatian orang lain dengan berperilaku nakal,bahkan
rela melukai dirinya sendiri (menyilet tangan) untuk mendapat perhatian
 faktor psikososial: mengalami peristiwa yang menyebabkan trauma atau stres,
seperti perundungan (bullying), kekerasan fisik, atau pelecehan seksual.

3. Penjelasan etiologi kasus gangguan tersebut:


Pada mulanya klien mengalami ketidaklekatannya dengan orang tuanya.
Ketidaklekatan itu terjadi karena saat lima tahun pertama klien tidak diasuh oleh
orang tuanya. Selain itu, klien mengalami pelecehan seksual dan merahasiakan hal
tersebut padasiapapun. Selain pelecehan seksual klien juga mengalami peristiwa
bullying yang dilakukan temantemannya. klien juga tidak melaporkan hal tersebut
kepada siapapun. klien merasa sendirian dalam menghadapi apa yang dialaminya.
klien berusaha menarik perhatian orang lain dengan berperilaku nakal, bahkan rela
melukai dirinya sendiri (menyilet tangan) untuk mendapat perhatian dari teman-
temannya di kelas.

Gejala dari gangguan tersebut:


Gejala Self injury adalah tindakan yang dilakukan individu untuk melukai atau
menyakiti diri sendiri, namun hingga saat ini tidak terdapat kesepakatan secara
internasional mengenai definisi self injury. Secara ringkas self injury didefinisikan
sebagai mekanisme coping yang digunakan seorang individu untuk mengatasi rasa
sakit secara emosional atau menghilangkan rasa kekosongan kronis dalam diri dengan
memberikan sensasi pada diri sendiri.

4. Criteria diagnostic berdasarkan DSM-5:


Self Injury adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu untuk mengatasi
rasa sakit secara emosional dengan cara melukai dirinya sendiri, dilakukan dengan
sengaja tapi tidak dengan tujuan bunuh diri. Self injury biasa dilakukan sebagai
bentuk dari pelampiasan atau penyaluran emosi yang terlalu menyakitkan untuk
diungkapkan dengan kata-kata. Hal ini sesuai dengan pendapat Grantz (dalam Kanan
dkk, 2008: 68) perilaku self injury sering dilihat sebagai cara mengelola emosi
dimana seseorang tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaan yang terlalu
menyakitkan. Jika self injury berlangsung terus-menerus maka akan berubah menjadi
percobaan untuk bunuh diriu self injury. DSM-V menjelaskan bahwa seseorang
dikatakan pelaku self injury jika: (1) Seseorang telah terlibat self injury selama dua
belas bulan terakhir, setidaknya dilakukan pada lima hari yang berbeda (2) Self injury
bukan merupakan hal yang sepele (misalnya menggigit kuku), dan tidak merupakan
bagian dari sebuah praktek yang diterima secara sosial (misalnya menindik atau tato).
Menurut Knigge (1999: 1) prevelensi bentuk-bentuk self injury yang dilakukan oleh
pelakunya yaitu pemotongan 72%, pembakaran 35%, memukul 30%, menjambak
rambut 10%), mengganggu penyembuhan luka (22%), mematahkan tulang (8%).
Beberapa metode, termasuk dua atau lebih di atas (78%). Setelah subjek diputuskan
sebagai subjek penelitan, subjek telah melakukan dua episode self injury yaitu
penyayat pergelangan tangannya sendiri. Darah yang keluar dari bekas sayatan
kemudian digunakan untuk menulis kata-kata di tembok Destiana Midah /
Developmental and Clinical Psychology 2 (1) (2013) 8 oleh subjek dengan kalimat
“AKU BENCI HIDUPKU”. Kalimat yang dituliskan subjek ditembok menunjukkan
bahwa dirinya tidak dapat menerima keadaan hidupnya. Subjek mengaku sama sekali
tidak merasakan nyeri ketika dirinya menyayat, yang dirasakannya adalah perasaan
lega ketika melihat darah yang keluar dari lukanya. Perilaku self injury merupakan
suatu hal yang dirahasiakan bagi para pelakunya. Subjek tidak ingin orang lain
mengetahui bahwa dirinya seorang pelaku self injury dengan alasan rasa malu dan
takut atas anggapan orang lain yang menilai dirinya bodoh serta takut orang-orang
disekitarnya akan menjaughi dirinya. Kriteria subjek yang telah dijelaskan
berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal sesuai dengan kriteria pelaku self
injury pada umumnya

5. Asesmen yang bisa digunakan dan penjelasannya:


1. Asesmen Perilaku
Orang yang mengalami Self injury mengalami masalah pada perilakunya ,
sehingga asesmen perilaku dapat digunakan pada orang yang mengalami self
injury . Karena asesmen perilaku berfokus pada: pada pengamatan klinis terhadap
suatu perilaku dalam kondisi tertentu Ditujukan untuk melihat perilaku individu
di dalam situasi yang hampir sama dengan situasi sebenarnya (situasi di
kondisikan “sama”) Pengetahuan ttg triger masalah klien (penyebab masalah
muncul) membantu memperbaiki kondisi klien
Case A (Major Case)

Seorang laki-laki, berusia 18 tahun, beragama Islam, pelajar SMU di kota X, diantar oleh
ibunya ke poliklinik jiwa karena sering mengulangulang suatu perbuatan, yang dinilai oleh
orang tuanya sudah mengganggu diri klien. Kurang lebih 3 bulan sebelum datang ke RS,
klien mulai menunjukkan perubahan perilaku berupa sering mengulang-ulang
perbuatan/aktivitas sehari-hari seperti wudhu, sholat, cuci tangan. Pada awalnya, gejala
pengulangan hanya ringan (tidak terlalu sering), tetapi akhir-akhir ini makin memberat. Pada
bulan Romadhon, klien berulang-ulang membuang ludah karena khawatir jika ada air yang
tertelan dan dapat membatalkan puasanya. Saat mandi klien merasa belum bersih, sehingga
mengulang-ulang mengguyur tubuhnya. Demikian juga klien cebok dan cuci tangan
berulang-ulang karena khawatir belum bersih. Klien mengulang wudhu berkali-kali karena
khawatir wudhunya belum sempurna. Saat mengerjakan sholat, klien mengulang-ulang
takbirotul ihram sampai beberapa kali, sehingga sering tertunda untuk memulai sholatnya.
Hal tersebut dilakukannya, karena ia merasa niat sholatnya belum benar/belum mantap. Klien
khawatir sholatnya tidak sah. Namun jika klien sudah berhasil memulai sholatnya, maka klien
akan bisa meneruskan sholatnya sampai selesai, dengan tidak mengulang lagi dan
mengabaikan keraguannya. Pengulangan kegiatan terebut dilakukan setiap hari, pengulangan
dilakukan karena di dalam pikirannya selalu muncul dorongan untuk berbuat demikian. Ia
menyadari bahwa pikiran/dorongan tersebut berasal dari dirinya sendiri, bukan karena adanya
pikiran lain yang menyisipi pikirannya atau karena mendengar suara yang memerintahnya.
Ia berusaha melawan/mengabaikan pikiran tersebut tetapi tidak bisa. Munculnya pengulangan
dorongan-dorongan tersebut membuatnya tidak tenang/gelisah dan merasa menderita. Jika
tidak dilakukan secara berulang-ulang timbul kecemasan / kegelisahan. Pengulangan akan
menimbulkan perasaan lega, tetapi bukan rasa senang. Semua kegiatan yang dilakukan secara
berulang tersebut sering menimbulkan dampak/ mengganggu dirinya dan orang lain. Klien
belum pernah mengalami gangguan seperti ini sebelumnya dan gangguan jiwa lainnya, Tidak
didapatkan riwayat panas dan kejang, trauma kepala yang memerlukan perawatan atau
keracunan zat. Juga tidak ada riwayat penyakit medis lainnya. Klien belum pernah merokok,
menggunakan alkohol maupun Napza. Perkembangan masa kanak-kanak normal. Norma
nilai-nilai benar-salah dipegangnya cukup kuat. Prestasi akademiknya baik, hampir selalu
masuk peringkat 5 besar. Klien mempunyai banyak teman dan cukup akrab. Klien rajin
mengikuti pengajian yang secara rutin diselenggarakan di sekolahnya. Olah raga yang
disukainya adalah sepak bola. Ia juga akrab dengan adik-adiknya dan lebih mandiri. Klien
mengalami mimpi basah saat kelas 1 SLTP, dan sudah tertarik dengan lawan jenis, tetapi
tidak sampai pacaran. Pengalaman masa puber membuat rasa ingin tahu klien menjadi lebih
besar, klien suatu kali menonton film yang menampilkan adegan dewasa dan hal ini di
lakukannya beberapa kali sampai klien pernah merasakan onani. Seak saat itu klien merasa
dirinya tidak bersih dan merasa kotor Klien bila mengerjakan sesuatu ingin dilakukan dengan
sebaik-baiknya. Bila tidak dikerjakan dengan baik (sesuai standarnya), ia merasa tidak puas.
Ia sangat menyukai kebersihan, juga memegang teguh nilai-nilai norma sosial dan norma
agama. Saat ini klien tinggal di sebuah rumah kontrakan di kota Yogyakarta, berdekatan
dengan sekolahnya, bersama ibu dan ketiga adiknya. Ayahnya bekerja di Jakarta sebagai
karyawan rumah makan milik kakak kandungnya. Sebenarnya ibunya ingin agar ayahnya
tetap di Yogya, membantu warung makan yang dikelola ibunya. Hal ini sering menimbulkan
konflik pada kedua orang tuanya. Secara ekonomi termasuk kurang. Pemeriksaan status
mental didapatkan bahwa klien selalu menyatakan adanya pikiran berulang yang
mengganggu dan harus dikerjakan agar merasa lega. Pada status internus dan status
neurologikus belum ditemukan adanya kelainan.

1. Gambaran diagnostic dan penjelasan teoritik dari kasus:


Diagnostic dari kasus diatas berupa:
 Terus menerus Mengulang suatu perbuatan karena dalam pikirannya selalu
muncul dorongan
 Selalu Merasa dirinya tidak bersih dan kotor
 Tidak puas dengan perbuatan nya Merasa lega apabila telah mengulang suatu
perbuatan.

Penjelasan teoritik dari kasus:


Obsessive compulsive disorder (OCD) adalah gangguan mental yang
menyebabkan penderitanya merasa harus melakukan suatu tindakan secara berulang-
ulang. Bila tidak dilakukan, penderita OCD akan diliputi kecemasan atau
ketakutan.Gangguan obsesif kompulsif dapat dialami oleh siapa saja. Meski lebih
sering terjadi di awal usia dewasa, OCD juga bisa terjadi pada anak-anak atau remaja.
Penderita OCD terkadang sudah menyadari bahwa pikiran dan tindakannya tersebut
berlebihan, tetapi tetap merasa harus melakukannya dan tidak dapat
menghindarinya.Gejala OCD adalah gangguan pikiran yang menimbulkan rasa cemas
atau takut terus menerus, dan perilaku yang dilakukan berulang kali guna
menghilangkan kecemasan tersebut. Sebagai contoh, penderita OCD yang takut
terkena penyakit, akan mencuci tangan secara berlebihan atau terlalu sering
membersihkan rumah. Gejala ini perlu dibedakan dengan OCPD (obsessive
compulsive personality disorder). Psikiater akan melakukan wawancara secara
mendalam mengenai pikiran dan perilaku yang timbul, serta menggali dampaknya
pada kehidupan penderita. Psikiater juga akan memastikan dengan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan lanjutan

2. Penyebab dan penjelasannya:


Penyebabnya adalah multifaktorial meliputi
 faktor biologi: Menderita gangguan kecemasan, gangguan bipolar, depresi,
atau sindrom Tourette.
 faktor perilaku: Memiliki kepribadian yang sangat disiplin, terlalu teliti
3. Penjelasan etiologi kasus gangguan tersebut:

Pada mulanya Klien mengalami mimpi basah saat kelas 1 SLTP, dan sudah tertarik
dengan lawan jenis, tetapi tidak sampai pacaran. Pengalaman masa puber membuat
rasa ingin tahu klien menjadi lebih besar, klien suatu kali menonton film yang
menampilkan adegan dewasa dan hal ini di lakukannya beberapa kali sampai klien
pernah merasakan onani. Seak saat itu klien merasa dirinya tidak bersih dan merasa
kotor Klien bila mengerjakan sesuatu ingin dilakukan dengan sebaik-baiknya. Bila
tidak dikerjakan dengan baik (sesuai standarnya), ia merasa tidak puas. Ia sangat
menyukai kebersihan, juga memegang teguh nilai-nilai norma sosial dan norma
agama. Saat ini klien tinggal di sebuah rumah kontrakan di kota Yogyakarta,
berdekatan dengan sekolahnya, bersama ibu dan ketiga adiknya. Ayahnya bekerja di
Jakarta sebagai karyawan rumah makan milik kakak kandungnya. Sebenarnya ibunya
ingin agar ayahnya tetap di Yogya, membantu warung makan yang dikelola ibunya.
Hal ini sering menimbulkan konflik pada kedua orang tuanya. Secara ekonomi
termasuk kurang. Pemeriksaan status mental didapatkan bahwa klien selalu
menyatakan adanya pikiran berulang yang mengganggu dan harus dikerjakan agar
merasa lega. Pada status internus dan status neurologikus belum ditemukan adanya
kelainan.

4. Gejala dari gangguan tersebut:

Gejala OCD meliputi pikiran yang mengganggu dan timbul terus menerus (obsesif),
serta perilaku yang dilakukan berulang-ulang (kompulsif). Namun, beberapa penderita
OCD hanya mengalami pikiran obsesif tanpa disertai perilaku kompulsif, atau
sebaliknya.Pikiran dan perilaku ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, pekerjaan,
dan hubungan sosial penderita, baik disadari maupun tidak.Pikiran ObsesifObsesif
adalah gangguan pikiran yang terjadi terus menerus dan menimbulkan rasa cemas
atau takut. Semua orang kadang mengalami hal ini, tetapi pada penderita OCD,
pikiran tersebut muncul berulang-ulang dan menetap. Pikiran obsesif bisa tiba-tiba
muncul ketika penderita OCD sedang memikirkan atau melakukan hal lain.

5. Criteria diagnostic berdasarkan DSM-5:


OCD biasanya melibatkan obsesi dan kompulsi. Namun, terdapat juga kemungkinan
penderitanya hanya memiliki gejala obsesif atau hanya gejala kompulsif. Penderita
OCD bisa jadi sadar, bahkan tidak menyadari bahwa sikapnya berlebihan dan tidak
masuk akal. Penderita juga dapat menghabiskan banyak waktu karena perilakunya
tersebut yang pastinya berdampak pada rutinitas sehari-hari, serta pekerjaan, maupun
kehidupan sosial.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima
(DSM-5) yang menjadi panduan untuk Asosiasi Psikiater Amerika (American
Psychiatrist Association), obsesi pada penderita OCD didefinisikan sebagai
pemikiran-pemikiran, dorongan-dorongan, ataupun gambaran-gambaran yang
menganggu, tidak diinginkan, dan terjadi secara terus-menerus serta menimbulkan
kecemasan. 

Penderita OCD biasanya mempunyai satu tema atau pola tertentu, misalnya, ketakutan
akan terkontaminasi oleh kuman yang menyebabkan penderita mencuci tangan
berulang-ulang secara kompulsif. OCD biasanya mulai terjadi pada usia remaja atau
dewasa muda. Beberapa contoh tanda dan gejala obsesi meliputi Stres yang berat jika
suatu objek tidak rapi atau tidak pada tempatnya, Rasa ragu dan tindakan selalu
memeriksa hal berulang kali, misalnya mengecek pintu yang sebenarnya sudah
dikunci, atau mengecek kompor yang sudah dimatikan, Gambaran yang meliputi
menyakiti diri sendiri atau orang lain yang tidak diinginkan dan membuat penderita
tidak nyaman,Ketakutan akan terkontaminasi kotoran karena menyentuh benda yang
telah disentuh orang lain, Perasaan tertekan karena timbulnya gambaran-gambaran
seksual yang tidak menyenangkan secara berulang-ulang di dalam pikiran
penderita.Gejala berdasarkan perilaku kompulsif Terdapat beberapa pola atau tema
pada perilaku kompulsif, seperti: Keteraturan.Rutinitas yang ketat,dan membersihkan
anggota tubuh maupun barang-barang, Penghitungan pola-pola tertentu,Memeriksa
berulang-ulang kali,Memastikan berulang-ulang kali.

6. Asesmen yang bisa digunakan dan penjelasannya:


2. Asesmen kognitif
Orang yang mengalami OCD mengalami masalah pada pikirannya, sehingga asesmen
kognitif dapat digunakan pada orang dengan OCD. Karena asesmen kognitif berfokus
pada pengukuran pikiran, keyakinan & sikap dalam mengidentifikasi pikiran yang
terganggu. Asesmen yang melibatkan kognisi, keyakinan dan sikap Membantu pola
pikir yang irrasional menjadi rasional

Anda mungkin juga menyukai