ASEAN Sebagai Organisasi Kawasan Regiona PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 5

ASEAN sebagai Organisasi Kawasan Regional Asia Tenggara dan

Liberalisme Institusional

Siti Asiyah

NIM. 071811233002
Departemen Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga

Esai ini ditulis sebagai tugas akhir mata kuliah Teori Hubungan Internasional (SOH 201).

Perang Dingin merupakan salah satu wujud dari krisisnya perdamaian pada tahun 1947, peperangan mulai
gencar dilakukan oleh negara untuk saling memperoleh kekuasaan agar dapat survive dalam sistem
internasional yang anarki. Meski perang merupakan salah satu bentuk dari cara negara dalam melindungi
interest dan warga negara, namun secara realita lebih besar kerugian yang harus dibayar daripada
keuntungan yang didapat. Keadaan dunia yang demikian menciptakan rasa ketidaknyamanan bagi
masyarakat internasional, terutama masyarakat Dunia Ketiga. Negara Dunia Ketiga yang paling besar
mengalami kerugian adalah negara kawasan Asia, terkhusus Asia Tenggara.

Kawasan Asia tenggara yang mengalami dampak besar adanya peperangan adalah Vietnam. Hal ini karena,
mereka melanjutkan tradisi Perang Dingin yang dibawa ke tanah mereka, yang mana Perang Dingin tersebut
merupakan perang antara Amerika Serikat (AS) dengan Uni Soviet (US). Latar belakang dari perang ini
tidak lain karena terdapat kecurigaan antara satu sama lain, yang berujung pada sikap saling menunjukkan
kekuatan terutama dalam hal militer. Menurut Robert McNamara (1989) konflik Perang Dingin tersebut
terjadi karena pihak AS salah berasumsi bahwa ideologi komunis yang lebih menekankan pada “class
struggle”. Selain itu, mengenai doktrin “socialism in one country”, yang mana oleh Barat diartikan bahwa
US menghendaki satu-satunya negara sosialis yang menguasai dunia (Mujiyati dkk, 2016: 43).
Kekhawatiran AS semakin memuncak tatkala banyak negara Dunia Ketiga yang kemudian menganut
ideologi komunis, seperti Cina, Polandia, Bulgaria, dan Rumania (1974), serta Cheko, Slovakia, dan
Hungaria. Meskipun demikian, pada akhirnya perang tetap dimenangkan oleh AS sebagai negara adikuasa.
Akibat dari perang tersebut, menimbulkan kerugian yang besar terutama di negara kawasan Asia yaitu
Korea, Afganistan, Indocina, dan Vietnam.

Kemudian Perang Vietnam, perang ini adalah perang selama 20 tahun sejak tahun 1954 sampai dengan
1975, sama seperti Korea, Vietnam juga terbagi ke dalam dua kubu yaitu Vietnam Utara yang menganut
ideologi komunis yang diduduki oleh US, Cina, dan Rusia. Serta Vietnam Selatan yang menganut ideologi
liberal yang ditempati oleh AS, Perancis, dan negara bagian Barat lainnya. Terbaginya Vietnam menjadi dua

1
bagian disebabkan oleh adanya perebutan kekuasaan antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan setelah
Vietnam merdeka dari Perancis. Oleh karena konflik diantara keduanya tidak berujung, maka Perancis
berhasil masuk kembali ke Vietnam Selatan. Hal ini yang kemudian membuat Vietnam Utara merasa perlu
kembali memperjuangkan kemerdekaannya. Oleh karena itu, AS yang sebelumnya tidak ikut terlibat dalam
hal ini pun turut ikut campur, dengan anggapan bahwa apabila Vietnam Selatan berhasil menang maka dia
akan bersedia mengikuti ajarannya ideologi sosialisme, begitu pula dengan Uni Soviet yang kemudian
membantu Vietnam Utara untuk mengalahkan Vietnam Selatan dan meraih kembali kemerdekaannya
dengan alasan satu ideologi komunis (Mujiyati dkk, 2016:48-51). Pada akhirnya yang memenangkan perang
tersebut adalah Vietnam Utara, yang mana Vietnam Selatan menyerah tanpa syarat kepada Vietnam Utara.
Hal tersebut sebagaimana yang disiarkan oleh stasiun BBC bahwa Presiden Doung Van Minh yang menjabat
baru tiga hari memberikan perintah kepada pasukannya untuk menjatuhkan senjata, setelah itu dia meminta
pada Vietnam Utara agar berdamai dengan Vietnam Selatan. Kekalahan dari Vietnam Selatan juga berarti
kekalahan bagi AS, dan berarti kemenangan bagi US. Walaupun US menang dalam perang Vietnam pada
alhirnya US mengalami keruntuhan yang disebabkan oleh faktor ekonomi yang semakin menurun, dan
terjadinnya ketidakstabilan dalam pemerintahan akibat para pejabat yang korupsi (Mujiyati dkk, 2016: 50).

Melihat kondisi kawasan Asia Tenggara yang cukup memprihatinkan seperti Vietnam. Maka dengan
berpandangan sama satu sama lain sebagai negara yang senasib, negara-negara kawasan Asia Tenggara pada
akhirnya membentuk ASEAN (Association of South East Asia) yang dibentuk pada 8 Agustus 1967 di
Bangkok Thailand, dengan menandatangani Deklarasi ASEAN yang berisi lima negara pendiri yaitu
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Anggota yang pada mulanya hanya berisi lima
negara kemudian berubah menjadi sepuluh negara, dengan lima negara pendatang yakni Brunei Darussalam
(1984), Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), dan Kamboja (1999). Adapun tujuan ASEAN yang
tercantum dalam Deklarasi Bangkok antara lain. Pertama, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi,
kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara. Kedua, meningkatkan
perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum. Ketiga,
Meningkatkan kerjasama yang aktif dan saling membantu dalam masalah yang menjadi kepentingan
bersama. Keempat, saling memberikan pelatihan dalam bentuk sarana pelatihan dan penelitian. Kelima,
bekerjasama yang efektif. Keenam, memajukan pengkajian tentang Asia Tenggara. Tujuh, berupaya sebaik
mungkin dalam memelihara kerjasama yang erat dan berguna bagi organisasi internasional dan regional
(ASEAN, 2017).

Pada dasarnya terdapat empat tesis yang dikemukakan oleh Kluster dalam perspektif liberalisme. Pertama
Republican Liberalism Thesis, tesis yang mengemukakan bahwa demokrasi liberal akan lebih
mengutamakan perdamaian daripada bentuk-bentuk pemerintahan yang lain. Kedua pluralist atau
sociological liberalism thesis, beranggapan bahwa adanya ketimpangan sosial yang tinggi, maka akan

2
mendorong terjadinya konflik internasional. Ketiga commercial atau interdependence liberalism thesis.
Keempat regulatory atau institutional liberalism thesis menyatakan bahwa hukumm dan institusi
internasional akan mendorong dalam penyesuaian dan kerjasama internasional (Dugis, 2016:66). Sementara
itu, mekanisme yang dapat digunakan sebagai sarana memfasilitasi kepentingan individu, kelompok, dan
negara adalah institusi politik. Kaum liberal percaya bahwa cara mengatasi sistem internasional yang anarki
bukanlah dengan berperang melainkan dalam bentuk kerjasama. Sehingga dibentuklah organisasi-organisasi
internasional baik tingkat regional maupun internasional. ASEAN adalah salah satu organisasi regional yang
berada di Asia Tenggara, tentu hal ini bertujuan untuk menjaga perdamaian dan mencegah terjadinya perang
di kawasan Asia Tenggara. Di bentuknya ASEAN juga merupakan wujud dari tesis keempat regulatory
yang dikemukakan oleh Kluster.

Dengan adanya kerjasama maka komunikasi akan terjalin dengan baik, tidak ada misconception seperti yang
terjadi antara AS dan US dalam Perang Dingin. Komunikasi yang dihasilkan melalui interaksi, dalam
liberalisme institution diyakini dapat mencegah efek polar sistem anarki. Dalam hal ini, institusi mampu
menyediakan forum bernegosiasi bagi negara-negara anggota hingga konflik dapat dihindari (Jackson &
Sorensen, 1999: 122, dalam Dugis, 2016: 74). ASEAN juga memberikan sarana dan prasarana bagi negara
anggotanya untuk melakukan forum diskusi, konferensi, dan perundingan lainnya. Seperti KTT (Konferensi
Tingkat Tinggi) yang diadakan ASEAN pada 30 Oktober 2003, yang menghasilkan Deklarasi ASEAN
Concord II (Bali Concord II), yang mana negara ASEAN sepakat dalam membentuk tiga pilar komunitas
yaitu Komunitas Ekonomi (ASEAN Economic Community/ AEC), Komunitas Sosial dan Culture (ASEAN
Sosio-Cultural Community/ ASCC), dan Komunitas Politik dan Keamanan (ASEAN Political and Security
Council/APSC) (Wibisono, Pusat Studi ASEAN UI). Hal ini dilakukan dalam upaya untuk mempermudah
dalam penanganan masalah dikemudian hari agar dapat diselesaikan sesuai dengan bidang dan peraturan
yang telah disepakati.

Diperjelas juga bahwa liberalisme institusional dapat mencapai perdamian dan kesejahteraan apabila negara-
negara memusatkan sumber-sumbernya atau sebagian kedaulatannya agar komunitas terintegrasi dapat
terbentuk, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan dan permasalahan-permasalahan regional
bersama dapat diselesaikan (Lamy, 2001: 89; dalam Dugis, 2016: 74). ASEAN dengan komunitas ekonomi
AEC dapat mengintegrasi dan mendistribusikan kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2015
pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah agenda integrasi ekonomi regional yang
menawarkan peluang pasar bebas US $ 2,6 Triliun dan lebih dari 622 juta orang. Sementara tahun
sebelumnya 2014, MEA menjadi perekonomian ketiga terbesar di Asia dan terbesar ketujuh di dunia Hal ini
tertuang dalam Blue Print AEC 2025, yang diadopsi dari pemimpin ASEAN pada KTT ASEAN ke-27
November 2015 di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada Blue Print AEC 2025 terdapat arahan atau langkah-
langkah strategis untuk MEA dari tahun 2016 sampai 2025 (ASEAN, 2017).

3
Secara umum prinsip dari kontinuitas dan estabilishmen dari liberalisme institusional, yakni globalisasi
dapat meningkatkan rata-rata tingkat demokrasi, interdependensi, dan IGOs involvement yang tidak hanya
sekedar representasi melainkan juga berperan dalam hubungan internasional sebagaimana peran negara,
tetapi yang mendominasi peraturan adalah institusi (Steans et al, 2013:107). Hal ini didasarkan pada asumsi
dasar liberalisme bahwa aktor bukan hanya negara tetapi juga non-negara, ditambah lagi dengan asumsi
dasar yang self-restrain assumption yang mana dimaksud bahwa negara pada dasarnya memiliki sifat yang
sama seperti manusia, negara dapat menahan diri dan mengendalikan berbagai kepentingannya dengan
menggunakan rasionalitas dalam mengambil keputusan. Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh institusi
internasional yang mana memiliki struktur dan sistem yang membantunya bekerja dan mengambil kebijakan
sesuai dengan pertimbangan resiko yang akan diambil.

Hal terpenting yang dapat diambil dari relevansi antara ASEAN dengan liberalisme institusion yakni bahwa
setelah ASEAN berdiri kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara mengalami peningkatan, yang mana
sebelumnya negara-negara Asia Tenggara yang tingkat GDP rendah dan mengalami krisis ekonomi dapat
muncul dipermukaan dengan hasil olahan Ekspor maupun Impor. Dengan adanya institusi seperti ASEAN
perang yang selalu muncul di kawasan regional Asia Tenggara dapat diminimalisir, seperti perang saudara
Vietnam, perang Indonesia-Malaysia dalam perebutan wilayah perbatasan, dan lain sebagainya. Rasa
ketegangan, kekhawatiran, dan kecemasan antara satu sama lain mulai terminimalisir. Karena timbul rasa
kepercayaan pada masing-masing anggota. Tingkat pemenuhan kebutuhan nasional mudah terpenuhi, tidak
hanya itu ASEAN mampu menjaga stabilitas negara dalam perdamaiannya, dan menciptakan kenyamanan
dan menjauhkan bayang-bayang peperangan kawasan regional Asia Tenggara yang sebelumnya menjadi
tempat perang Eropa dan perebutan kekuasaan seperti yang terjadi di Vietnam pasca Perang Dingin.

Daftar Pustaka

Buku dan Artikel dalam Buku.

Dugis, Vinsensio. 2016. Teori Hubungan Internasional Perspektif-Perspektif Klasik. Surabaya: Cakra Studi
Strategis Global Strategis (CSGS).

Steans et al. 2013. International Relation Theories Discipline and Diversity. [Edisi Ketiga]. Oxford
University Press.

Artikel Jurnal

Mujiyati, Novita dkk. 2016. “United States During The Cold War 19545-1990”. Dalam Jurnal Historia,
Vol. 4, No. 1, ISSN 2337-47-13 (e-ISSN 2442-8728).

Wibisono1, Ali Abdullah. “Pengelolaan Peran Kehadiran Aktor Ekstra-Regional dan Konstruksi Komunitas
Keamanan Asean”. Artikel [Online] tersedia dalam

4
file:///C:/Users/hp/Downloads/599d5ebfa71ed-presentasi-2-paper-psa-universitas-indonesia.pdf.
Pusat Studi ASEAN Universitas Indonesia. Diakses [Rabu, 12 Juni 2019, Pukul 19. 48].

Publikasi Online

ASEAN. 2017. “ASEAN Economic Community”. [Online] Tersedia dalam http://asean.org/asean-


economic-community/. [Diakses pada Rabu 12 Juni 2019, Pukul 22.00 WIB].

Anda mungkin juga menyukai