Anda di halaman 1dari 13

Hari/tanggal : Rabu, 18 Maret 2020

Dosen Praktikum : Dr. Aziiz Mardarian Rosdianto


S.Kep., Ners., MH.Kes., M.Si., AIF
Kelompok : 10 (Sepuluh)
Praktikum

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI


ABSORBSI, RESORPSI,
DETOKSIKASI, DAN EKSKRESI

DISUSUN OLEH
Ziazan Bevina Athallah
130210170045

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Dasar Teori


I.1.1 Absorpsi dan Resorpsi

Untuk sediaan yang diberikan melalui berbagai rute kecuali intra vena (iv),
obat yang bekerja bukan didaerah aplikasi diperlukan adanya suatu proses yang
dinamakan absorpsi. Absorpsi adalah suatu proses masuknya bioaktif kedalam sistim
sirkulasi darah menuju target organ melalui berbagai membran penghalang.
Kecepatan dan banyaknya obat yang diabsorpsi menentukan onset dan durasi suatu
sediaan.
Berbagai mekanisme terlibat dalam proses ini diantaranya adalah absorpsi
secara pasif tanpa memerlukan adanya energi dan proses yang memerlukan energi
yang disebut transportasi aktif. Selain dua mekanisme ini dikenal juga mekanisme
absorpsi lainnya diantaranya adalah absorpsi dengan transport konvektif, berfasilitas,
pasangan ion dan pinositosis. Proses ini dapat terjadi dikulit dan disaluran cerna
dengan kelengkapan yang berbeda.
Membran barier tempat masuknya bioaktif sebagian besar tersusun dari lemak
di bagian luar sehingga bersifat hidrofob. Umumnya obat yang bersifat lifofil atau
mudah larut lemak akan mudah diabsorpsi secara difusi pasif melalui membrane ini.
Oleh karena itu koefisien partisi yaitu kemampuan melarutnya obat dalam lemak dan
air menentukan banyaknya jumlah obat yang dapat diabsorpsi dengan mekanisme ini.
Sediaan obat sebagian besar bersifat basa lemah atau asam lemah mudah
berdisosiasi pada pH pelarut yang berlainan. Asam akan berdisosiasi dalam suasana
basa menjadi bentuk ion dan anion dan sebaliknya. Oleh karena bentuk anion mudah
larut dalam lemak maka, pH pelarut akan menentukan kecepatan dan banyaknya obat
yang diabsorpsi.
Lambung adalah bagian dari saluran pencernaan yang mempunyai fungsi
penguraian nutrient dengan melibatkan berbagai reaksi enzimatik Selain fungsi
tersebut diatas lambung juga menjalankan fungsi absorpsi secara terbatas dengan
mekanisme absorsi, difusi pasif, konvektif, berfasilitas dan sebagian kecil transpor
aktif.
HA +H2O = H3O+ + A- BA +H2O = H3O+ + B-
Ka = (H3O+) (A-) pH = log (B-) + pKa
(HA) (BH)
-
pH = log (A ) + pKa
(HA)
Prosen ionisasi = 100 .
1+ antilog (pKa- pH)

Prosen ionisasi = 100 .


1+ antilog (pH- pKa)

I.1.2 Detoksifikasi

Detoksikasi merupakan proses biotransformasi (transformasi metabolik).


Biotransformasi adalah proses kimia yang terjadi di dalam tubuh yang umumnya
merubah senyawa asal menjadi metabolit dan selanjutnya akan membantuk konjugat
(produk yang dibentuk antara zat/metabolit zat dengan senyawa endogen). Metabolit
yang terjadi :
- Aktivitasnya sama dengan zat asalnya (metamphetamin à amphetamin).
- Umumnya kurang/tidak toksik à detoksikasi.
- Lebih aktif dari senyawa asalnya à bioaktivasi (fluoro acetat à fluoro citrat).
Biotransformasi/detoksikasi pada umumnya berlangsung melalui tahapan/reaksi,
yakni:
Fase I : dapat berlangsung dengan cara oksidasi, reduksi atau hidrolisa.
Fase II : berlangsung dengan cara konjugasi (reaksi antara senyawa/metabolitnya
dengan zat endogen).
Sebagian hasil Reaksi kimia pada phase I akan mengalami reaksi fase II.
Biotransformasi ini pada umumnya merubah senyawa yang umumnya bersifat lipofilik
menjadi hidrofilik sehingga kemudian dapat diekskresikan melalui ginjal sebab bila
tidak, akan mengalami absorbsi kembali oleh tubulus ginjal.

Reaksi fase I :
- Oksidasi (enzimatis/non enzimatis à cytochrom P450, oksigenase dan lain-
lain). Menyisipkan fungsionil group : -OH, -NH2, -COOH, -SH. Reaksi
oksidasi (oksidas ialifatik, hidroksilasi aromatik, epoksidasi, deaminasi
oksidatif, N dealkilasi, S dealkilasi, N oksidasi, N hidroksilasi, P oksidasi,
sulfoksidasi, desulfurasi, oksidasi amin dan lain-lain).
- Reaksi reduksi (reduksi nitro, reduksi azo).
- Reaksi hidrolisa (hidrolisa terhadap eter).

Reaksi fase II : melibatkan beberapa jenis metabolit endogen (pembentukan


glukoronat, konjugasi sulfat, metilasi, asetilasi, konjugasi asam amino, konjugasi
glutation).

Biotransformasi adalah suatu proses yang umumnya mengubah senyawa asal


menjadi metabolit kemudian membentuk konjugat. Namun yang terjadi mungkin
hanya salah satu reaksi saja. Misalnya benzen mengalami oksidasi pada reaksi fase I
menjadi
fenol, kemudian berkonjugasi dengan sulfat pada reaksi fase II. Apabila yang masuk
ke dalam tubuh adalah fenol hanya akan terjadi konjugasi dengan sulfat tanpa reaksi
fase I.
Pada umumnya senyawa kimia yang masuk ke dalam tubuh (Xenobiotica)
mengalami reaksi kimia phase I kemudian dilanjutkan reaksi phase II akan tetapi ada
senyawa yang mengalami reaksi phase II terlebih dahulu, baru kemudian dilanjutkan
reaksi phase I (INH asetilasi à N asetil hidrolisa à asam nikotinat).
Metabolit dan konjugat hasil dari biotransformasi biasanya lebih larut dalam air dan
lebih polar, karenanya lebih mudah diekskresi. Karena itu biotransformasi dapat
dianggap sebagai mekanisme detoksikasi dari senyawa kimia yang masuk ke dalam
tubuh.
Laju dan jenis biotransformasi suatu senyawa kimia berbeda antar spesies, bahkan
berbeda dari satu strain ke strain lainnya. Ini fakta yang mendasari adanya perbedaan
toksisitas pada hewan. Umur dan jenis kelamin mungkin akan mengubah
biotransformasi dari senyawa kimia.
Tempat yang paling utama untuk biotransformasi senyawa kimia yang masuk ke
dalam tubuh adalah hati dan hanya dalam jumlah yang sangat rendah terjadi di dalam
organ/jaringan lain seperti usus, ginjal, paru-paru, limpa, otak, kulit dan darah.
I.1.3. Ekskresi
Obat yang diabsorpsi sebagian langsung diekskresi, sebagian lagi mengalami
metabolisme dan setelah bereaksi dengan reseptor baru diekskresi. Kecepatan absorpsi
dan ekskresi akan menentukan durasi efek suatu sediaan obat. Tempat terjadiya
ekskresi adalah urin, feces, kulit, kelenjar ludah, saluran pernapasan, dan air susu.
Saluran pernapasan merupakan tempat ekskresi obat yang bersifat volatile, Karena
luas permukaannya cukup besar banyak obat yang diEkskresi melaui jalur ini secara
cepat.
H2S adalah senyawa yang bersifat volatile ekskresinya dapat terjadi melalui
saluran pernapasan.

I.2. Tujuan Praktikum


I.2.1 Absorbsi dan Resorpsi
1. Mempelajari pengaruh pH terhadap banyaknya obat yang diabsorsi
dilambung
2. Mempeajari ekskresi H2S sebagai prototipe sediaan obat yang diekskresi
melalui paru paru
3. Mempelajari pengaruh pH terhadap banyaknya obat yang diabsorsi
dilambung

I.2.2. Detoksifikasi
Mempelajari hati sebagai organ yang mendetoksikasi xenobiotika

I.2.3 Ekskresi
Mempelajari ekskresi Na2S sebagai prototipe sediaan obat yang diekskresi
melalui paru paru.
BAB II
MATERI DAN METODE

II.1. Materi
II.1.1. Absorpsi dan Resorpsi
Alat dan bahan yang digunakan yaitu tikus, Asam salisilat dalam suasana asam
dan suasana basa, FeCl3, larutan NaCl fisiologis, standar asam salisilat, Spoit,
Stopclock, alat bedah, kertas saring, corong gelas, alat ukur.

II.1.2. Detoksikasi
Alat dan bahan yang digunakan yaitu hewan coba mencit, larutan pentothal 2%,
larutan CCl4 20% dalam mineral oil

II.1.3. Ekskresi
Alat dan bahan yang digunakan yaitu kelinci, Na2S, larutan Pb Asetat, kertas
saring, cawan petri spoit

II.2 Metode
II.2.1. Absorpsi dan Resorpsi
1. Anestesi Tikus yang telah dipuasakan selama 24 jam dengan urethane
dosis 1.25 g/kg bb ip atau dengan campuran xylazin ketamin (0.25 ml
xylazin +0.75 ml ketamin ) sebanyak 0.3 ml
2. Telentangkan dalam papan fiksasi kemudian ikat keempat kakinya
3. Cukur bulu yang terdapat disekitar abdomen
4. Sayat kulit dibagian linea alba dari bawah sampai kebagian dibawah tulang
rusuk
a. Hati hati jangan sampai merobek diafragma
5. Keluarkan Lambungnya dan ikat bagian esofagus dengan benang
6. Lubangi duodenum kira kira 1 cm dibawah pilorus
7. Masukkan pipa kaca yang dihubungkan dengan selang karet de stop cock
kemudian ikat bagian pilorusnya dengan kuat, satunya lagi buat ikatan 0.5-1
cm dibawah tempat pipa dimasukkan
8. Bilas lambung dengan cairan NaCl fisiologis sampai bersih, kemudian
dikosongkan
9. Masukkan Asam salisilat dalam suasana asam atau dalam suasana basa
sebanyak 4 cc. Kocok sampai homogen. Ambil 1,5 cc kemudian saring
dengan kertas saring
10. Tambahkan 5 bagian FeCl3 kedalam 1 bagian filtrat yang diperoleh
11. Bandingkan Warna yang terbentuk dengan warna standar (bening).
Konsentrasi yang diperoleh merupakan konsentrasi sediaan ada t0
12. Biarkan selama 1 jam
13. Cairan yang tersisa diambil kemudian disaring
14. Tambahkan 5 bagian FeCl3 kedalam 1 bagian filtrat yang diperoleh
15. Warna yang terbentuk dengan warna standar. Konsentrasi yang diperoleh
merupakan konsentrasi sediaan ada t1

Jumlah obat yang diabsorpsi = Ct0-CT1 x 100


i. CT0

Ct0= konsentrasi obat pada waktu awal pemberian (to)


Ct1 = konsentrasi obat pada waktu 1 jam paska pemberian

II.2.2. Detoksikasi
1. Tiap kelompok mahasiswa mendapatkan 2 ekor mencit (satu ekor mencit
hatinya normal, sedang yang lainnya hatinya telah dirusak dengan
memberikan CCl4 per oral, 24 dan 48 jam sebelum percobaan, sebanyak
0.01-0.05 ml/gr BB.
2. Setelah diamati keadaanya sebelum percobaan, kemudian suntiklah masing-
masing mencit dengan larutan pentothal (thiopental) 2% secara subkutan,
dengan dosis 100 mg/kg BB.
3. Bandingkan onset dan durasi anaesthesi pada kedua ekor mencit tersebut
akibat pemberian pentothal tersebut

II.2.3. Ekskresi
1. Celupkan kertas saring pada larutan Pb asetat kemudian letakkan didepan
hidung kelinci
2. Suntikkan Na2S secara iv pada telinga kelinci
3. Amati apa yang terjadi.
BAB III
HASIL

III.1 Absorpsi dan Resorpsi

Jenis Obat Volume Awal Volume Akhir Presentase


absorpsi
Salisilat dalam asam 3cc 2,75 cc 8,3%
Salisilat dalam basa 3cc 1,3 cc 56%

III.2 Detoksikasi
Status Tikus Onset Durasi
Tikus 3 menit 15 menit
Tikus CCl4 15 menit 3 menit

III.3 Ekskresi
BAB IV
PEMBAHASAN

IV.1 Absorpsi dan Resorpsi

Asam salisilat merupakan obat yang biasa dikenal dengan nama aspirin, dimana
asam salisilat dapat diabsorpsi oleh tubuh dengan cara difusi pasif dalam bentuk utuh dan
molekulnya tidak terionkan. Menurut literatur, kondisi lingkungan juga akan
mempengaruhi kecepatan absorpsi obat dimana obat atau senyawa kimia yang bersifat
asam akan berdisosiasi dalam suasana basa menjadi ion dan anion, begitupula obat atau
senyawa kimia yang bersifat basa akan terdisosiasi menjadi ion dan anion dalam suasana
asam. Ionisasi dipengaruhi oleh pH, dimana semakin tinggi pH maka akan semakin mudah
molekul dari obat tersebut untuk terdisosiasi menjadi ion-ion dan semakin sulit untuk
diabsorpsi oleh organ target. Menurut Goodman, (2007), derajat keasaman merupakan
salah satu faktor yang dapat memengaruhi proses absorpsi suatu obat untuk dapat
didistribusikan ke target organ. Hal inilah yang akan memengaruhi koefisien partisi atau
kemampuan melarutnya obat dalamlemak dan air yang menentukan banyaknya jumlah
obat yang dapat diabsorbsi dengan mekanisme secara difuse pasif melalui membran barier.
Menurut literatur, asam salisilat yang dilarutkan dengan pelarut suasana asam akan lebih
mudah untuk diserap oleh lambung karena lambung juga memiliki pH yang rendah.
Molekul tidak akan terdisosiasi sehingga lambung akan mudah mengabsorpsi asam
salisilat. Berbeda dengan asam salisilat yang dimasukkan kedalam suasana basa. Suasana
basa akan membuat kesetimbangan reaksi bergeser kearah produk ionisasi sehingga
kualitas absorpsi menjadi rendah. Molekul-molekul obat akan lebih cepat terdisosiasi
menjadi ion dan anion, dimana dalam bentuk tersebut obat tidak dapat diserap secara
maksimal. (Pradyot, 2002)
Kemurnian asam salisilat dapat diuji dengan menggunakan besi(III) klorida
(FeCl3). Besi(III) klorida bereaksi dengan gugus fenol membentuk kompleks berwarna
ungu. Asam salisilat akan berubah menjadi ungu jika FeCl3 ditambahkan, karena asam
salisilat mempunyai gugus fenol. Pengujian konsentrasi awal dengan konsentrasi
akhir menunjukkan derajat kepekatan warna yang menurun ketika dibandingkan dengan
standar. Hal ini berarti konsentrasi awal lebih tinggi dari konsentrasi akhir, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terjadi proses absorpsi asam salisilat oleg lambung sehingga
menurunkan konsentrasinya (Pradyot 2002).
Berdasarkan hasil yang didapatkan, terlihat bahwa asam salisilat dalam kondisi
basa memiliki presentase absorpsi yang lebih besar yaitu 56%, sementara asam salisilat
dalam konisi asam memiliki presentase absorpsi 33%. Hal ini tidak sesuai dengan literatur,
dimana menurut literatur, dimana obat akan diserap dalam bentuk utuh dalam suasana
asam, dan pada suasana basa akan terjadi absorpsi yang lebih lambat. Ketidaksesuaian ini
dapat terjadi karena pembersihan lumen lambung menggunakan cairan NaCl fisiologis
yang tidak maksimal sehingga terdapat zat-zat lain yang menghambat proses absorpsi,
ataupun suasana asam yang terlalu tinggi sehingga bukan mempermudah absorpsi obat,
melainkan membuat iritasi pada lambung.

IV.2 Detoksikasi

Fungsi hati dalam tubuh adalah detosifikasi, sehingga jika hati mengalami
kerusakan maka fungsi tersebut tidak akan terlaksana. Karbon tetraklorida (Ccl4)
merupakan senyawa yang bersifat toksin dan biasa digunakan dalam campuran bahan
pemadam kebakaran, atau sebagai bahan pendingin. Menurut penelitian oleh Panjaitan, et
al. (2007), pemberian senyawa ini pada tikus dapat menyebabkan kerusakan pada hati,
ditandai dengan kenaikan kandungan protein total, bilirubin, ALT, AST, dan ALP dalam
darah, dan secara histopatologis ditemukan meningkatkan degenerasi perlemakan,
pembengkakan hepatosit, tertekannya sinusoid dan vakuolisasi sitoplasma, nekrosis, serta
infiltrasi sel radang. Efek toksisitas yang tinggi disebabkan karena pembetukan radikal
yang toksik, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada membran hepatosit dan organel
lain, dimana kerusakan akan berbanding lurus dengan dosis yang diberikan. Hal ini dapat
menimbulkan kerusakan hepatosit yang masif dan berujung dengan menurunnya fungsi
hati terutama homeostasis.

Dari hasil praktikum, dapat terlihat bahwa tikus normal yang tidak diberikan Ccl4
memiliki onset obat (pentothal) 3 menit, lebih cepat daripada tikus yang diberikan Ccl4
yang memiliki onset selama 15 menit. Hal ini tidak sesuai dengan literatur, dimana
seharusnya tikus yang diberi Ccl4 memiliki onset yang lebih cepat dibandingkan dengan
tikus normal, karena tikus normal masih memiliki fungsi hati yang baik sehingga masih
mudah menetralisir dan memetabolisme zat-zat asing yang masuk kedalam hati dan
meminimalisir efeknya terhadap kondisi fisiologis tubuh, sehingga pentothal yang
masukpun akan memiliki durasi yang lambat karena hati akan menetralisir efek yang
disebabkan oleh zat tersebut, dimana pentothal merupakan depresan pernapasan yang
potensial dan dapat menurunkan kepekaan pusat pernapasan di medulla terhadap
karbondioksida (Elvan&Gulden, 2003). Sementara pada tikus yang telah diberi Ccl4 telah
mengalami kerusakan hati sehingga proses detoksifikasi pentothal juga terhambat, dan
pentothal akan terus bersirkulasi didalam tubuh dan cenderung memiliki durasi yang lama,
karena hati yang rusak tidak akan mampu mendetoksifikasi racun-racun atau zat yang
dimasukkan kedalam tubuh, sehingga seringkali zat tersebut akan lolos dan kembali
beredar di peredarah darah (BPOM, 2004)

IV.3 Ekskresi

Ekskresi merupakan salah satu proses absorpsi yang memiliki hasil buangan.
Mekanisme yang diamati pada praktikum ini adalah melalui pernapasan, yaitu paru-paru.
Pada kelinci yang telah diinjeksikan Na2S pada vena auricularis di telinganya akan
menimbulkan bercak hitam pada kertas saring yang sebelumnya sudah dicelupkan kedalam
larutan Pb-asetat. Hal ini dapat terjadi karena saat Na2S dimasukan kedalam tubuh kelinci
secara intravena, Na2S akan bersirkulasi didalam peredaran darah dan akan bereaksi
didalam darah membantuk CgH2S dalam bentuk gas dan CMBBH2S yang terbentuk
ketika H2S terlarut dalam darah dan bergabung dengan hemoglobin. Menurut Klingerman
(2013), senyawa ini dapat terbentuk akibat kompleksasi sulfida dengan monobromobimane
pada hemoglobin. CgH2S berbentuk gas akan dieksresikan melalui paru-paru secara difusi
sederhana, dan ketika kertas saring yang sebelumnya dibasahi dengan Pb asetat ketika
didekatkan ke hidung kelinci, akan muncul bintik-bintik berwarna hitam yang merupakan
hasil reaksi ikatan antara Pb2+ dengan S2-dengan reaksi:
H2S + Pb( CH3 COO)2 H2O PbS + 2CH3COOH
Ikatan PbS ini akan membentuk bintik-bintik warna hitam pada kertas saring.
BAB V
PENUTUP
V.1. Kesimpulan
V.1.1. Absorpsi dan Resorpsi
Absorpsi dan resorpsi dari obat akan lebih mudah terjadi dalam suasana asam,
karena pada suasana basa, molekul obat akan mudah terdisosiasi menjadi ion dan anion
dimana kondisi tersebut akan mempersulit molekul obat untuk menyerap kedalam organ
target.
V.1.2. Detoksikasi
Detoksikasi adalah proses pengeluaran racun oleh hati, dimana jika diberi paparan
berupa Ccl4 yang merupaka toksin pada hati, dapat merusak hati dan menganggu fungsi
dari hati yaitu menetralisir dan metabolisme zat-zat asing yang masuk kedalam tubuh,
sehingga pemberian anastetikum pada hewan yang hatinya rusak akan memiliki onset lebih
cepat dan durasi lebih lama karena hati tidak mampu untuk menetralisir efek dari zat asing
tersebut pada kondisi fisiologis tubuh.
V.1.3. Ekskresi
Eksresi dapat terjadi melalui paru-paru dengan sistem difusi sederhana dan zat-zat
yang berupa gas dan cairan didalam tubuh dapat dengan mudah diekskresikan melalui
sistem pernapasan.
DAFTAR PUSTAKA

Elvan, MD. Gulden, U. 2003. Propofol Not Thiopenton or Etomidate with


Remifentanil Provides adequate intubating condition the absence of neuromuscular
blockade. Can J Anesthesi. 50: 108-15.

Goodman, Gilman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi Edisi ke-10. Penerjemah:


Amalia. Jakarta (ID): EGC.

Klingerman, Candice M , Neil Trushin, Bogdan Prokopczyk, Philippe Haouzi.


2013. H2S concentrations in the arterial blood during H2S administration in relation to its
toxicity and effects on breathing. Americ J Phys. 305: 630-638.

Panjaitan RGP, Manalu W, Zakiah Z, Masriani, Chairul, Handharyani E. 2007.


Pengaruh Pemberian Karbon Tetraklorida Terhadap Fungsi Hati Dan Ginjal Tikus. Makara
Kesehatan 11(1): 11-16.

Pradyot P. 2002. Handbook of Inorganic Chemicals. Philadelphia (US): McGraw-


Hill.

Anda mungkin juga menyukai