Anda di halaman 1dari 19

Kegagalan Guru di Indonesia dalam Membentuk Bangsa

Berkarakter

Oleh :

Gilar Cahya Nirmaya ( I24070053)

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Pendidikan di negara kita saat ini sangatlah memprihatinkan jika
dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan, Singapora, Jepang,
Taiwan, India, China dan Malaysia ataupun negara-negara lain yang sudah
mengalami kemajuan yang sangat pesat pada bidang pendidikan. Pada satu sisi,
betapa dunia pendidikan di Indonesia saat ini dirundung masalah yang besar,
sedangkan pada sisi lain tantangan memasuki milenium ketiga tidak bisa dianggap
main-main.
Masalah yang dihadapi pada dunia pendidikan di Indonesia saat ini meliputi :
mutu pendidikan kita yang masih rendah, sistem pembelajaran di sekolah-sekolah
yang belum memadai, krisis moral yang melanda masyarakat Indonesia. Sedangkan
tantangan yang dihadapi agar tetap “hidup” memasuki milenium ketiga adalah
perlunya diupayakan pendidikan yang tanggap terhadap situasi persaingan dan
kerjasama global, pendidikan yang membentuk pribadi yang mampu belajar seumur
hidup, pendidikan yang menyadari sekaligus mengupayakan pentingnya pendidikan
nilai (karakter).
Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat itu terletak pada kualitas
sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan berbudaya. Oleh karena
itu, peningkatan kualitas SDM sejak dini merupakan hal penting yang harus
dipikirkan secara sungguh-sungguh. Karakter bangsa merupakan aspek penting dari
kualitas SDM karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa.
Pendidikan secara substansial merupakan sesuatu yang dapat membentuk
karakter bangsa ini. Namun sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia masih
terkesan carut marut. Dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami perubahan
kurikulum. Setidaknya sudah tujuh kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah,
yakni Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi,
dan terakhir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Perubahan kurikulum tersebut
sejatinya bertujuan untuk menyempurnakan kualitas SDM bangsa Indonesia. Hanya
saja perkembangan selanjutnya, terdapat kasus yang muncul mengenai
ketidakmampuan anak didik dalam menyerap ilmu yang mereka dapatkan di
sekolah, dari yang mogok sekolah sebagai aksi protesnya hingga ingin bunuh diri,
hal tersebut menimbulkan pendapat bahwa dunia pendidikan gagal membentuk
karakter anak bangsa, meskipun berkali-kali terjadi perubahan kurikulum., benarkah
hal tersebut?
Dalam makalah ini, saya ingin mengkaji mengenai sistem kurikulum
pendidikan di Indonesia, berbagai pendapat pro dan kontra mengenai kurikulum
tersebut, dampak penerapan sistem kurikulum tersebut terhadap karakter anak
bangsa, serta solusi yang tepat untuk masalah pendidikan di Indonesia demi
terciptanya bangsa Indonesia yang berkarakter.

1.2 Perumusan Masalah

 Bagaimana sistem kurikulum pendidikan yang sedang digunakan di


Indonesia saat ini

 Apakah ada pro dan kontra dalam penggunaan kurikulum pendidikan


tersebut di Indonesia

 Bagaimana dampak impelementasi sistem kurikulum tersebut terhadap


karakter anak bangsa

 Bagaimana solusi yang tepat untuk masalah pendidikan di Indonesia


demi terciptanya bangsa Indonesia yang berkarakter

1.3 Tujuan

 Mengidentifikasi sistem kurikulum pendidikan yang sedang digunakan di


Indonesia saat ini

 Menganalisis pro dan kontra dalam penggunaan kurikulum pendidikan


tersebut di Indonesia

 Mengidentifikasi dampak implementasi sistem kurikulum tersebut


terhadap karakter anak bangsa
 Memberikan solusi yang tepat untuk masalah pendidikan di Indonesia
demi terciptanya bangsa Indonesia yang berkarakter

Bab II
Tinjauan Pustaka

2.1 Pendidikan dan Tujuan Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu pilar kehidupan bangsa. Masa depan suatu
bangsa bisa diketahui melalui sejauh mana komitmen masyarakat, bangsa maupun
Negara dalam menyelenggarakan pendidikan nasional. Pendidikan adalah suatu
proses pembelajaran anak didik agar memperoleh suatu ilmu pengetahuan yang
memadai dan berorientasi pada pengembangan anak didik dalam rangka
memelihara dan meningkatkan martabat manusia dan budaya demi memuliakan
Tuhan. Pendidikan dilaksanakan sesuai dengan perkembangan anak. Kecepatan
perkembangan masing-masing tidak selalu sama. Sehingga dalam hal ini tidak lepas
dari perhatian pendidik. Pendidikan memberi perhatian kepada kemampuan masing-
masing anak didik. Anak didik kita tidak sama dalam kemampuannya. Oleh karena
itu pendidikan hendaknya melayani kebutuhan anak-anak yang begitu bervariasi.
Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk membantu generasi
muda menjadi manusia yang utuh dan pandai dalam pengetahuan, bermoral,
berbudi luhur, peka terhadap orang lain, beriman pada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu tujuan pendidikan tidak hanya menekankan pada segi pengetahuan saja
(Kognitif) tetapi harus juga menekankan segi emosi, rohani, hidup bersama dan lain-
lain. Pendidikan yang hanya menekankan segi pengetahuan akan mengakibatkan
anak didik tidak bisa berkembang menjadi manusia utuh. Akibatnya nanti bisa terjadi
suatu tindakan yang tidak baik seperti tawuran, perang, ketidak adilan, menyontek
dan lain-lain.

2.2 Kurikulum dan sejarah perubahan


Curriculum dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata Curir yang artinya
pelari; dan Curere yang artinya tempat berpacu. Curriculum di artikan jarak yang
harus di tempuh oleh pelari. Dari makna yang terkandung berdasarkan rumusan
masalah tersebut kurikulum dalam pendidikan di artikan sebagai sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan anak didik untuk memperoleh
ijasah. (Sudjana, 2005)
Terdapat banyak fungsi dari kurikulum. Pertama, kurikulum adalah pemberi
petunjuk kepada siswa, apa yang akhirnya harus dicapai dan melalui jalur yang
mana. Kedua, kurikulum berfungsi sebagai sarana yang disediakan untuk membantu
siswa berpindah dari suatu tempat ke tempat lain yang dipisahkan suatu rintangan
yang sukar diatasi. Ketiga, kurikulum merupakan suatu cetak biru mengenai sosok
manusia Indonesia yang diharapkan akan tumbuh dari diri siswa setelah menjalani
semua pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang digariskan dalam kurikulum.
Besar- kecilnya kesamaan antara bangunan yang akhirnya akan muncul dengan cita
tentang bangunan yang digambarkan dalam cetak biru itu, sangat bergantung pada
kecanggihan para pendidik, juga kepada mutu materi yang untuk mendirikan
bangunan itu. (Widiastono, 2004)
Kurikulum di sekolah telah mengalami berbagai perubahan. Perjalanan
kurikulum nasional dimulai dari tahun 1994 :
1. Kurikulum 1994
Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan
Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup
padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi). Akibat dari kecenderungan
kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya:
beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan
banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran, materi pelajaran
dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan
berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi
kehidupan sehari-hari.
2. Kurikulum Berbasis Kompetensi Versi Tahun 2002 dan 2004
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan
pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa,
penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya
pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Kurikulum Berbasis
Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan
muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang
bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan
kebutuhannya. Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau
dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus
menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan
berkelanjutan untuk menjadi kompeten.
3. Kurikulum Berbasis Kompetensi Versi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan)
sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya dengan
mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi
& misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan,
hingga pengembangan silabusnya. (www.rbaryans.wordpress.com)

Era Headstart adalah pendidikan yang lebih berfokus kepada kecerdasan


otak kiri (IQ), sedangkan era Heartstart adalah pendidikan yang lebih berfokus
kepada kecerdasan otak kanann (EQ).
Karakter berasal dari kata Yunani, charassein, yang berarti mengukir
sehingga terbentuk sebuah pola. Terbentuknya karakter manusia ditentukan oleh
dua faktor, yaitu (1) nature (faktor alami atau fitrah), (2) nurture (sosialisasi dan
pendidikan). Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak
agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi positif kepada
lingkungannya. (Megawangi, 2004)
Bab III

Metodologi Penulisan

3.1 Tahapan penulisan

Penulisan dilakukan dengan melalui beberapa tahapan yaitu yang pertama


pencarian data dan fakta mengenai permasalahan. Selajutnya data disusun sesuai
dengan subbab yang sesuai dengan ketentuan penulisan tugas ilmiah. Setelah itu
data di analisis scara kritis mengenai permasalahan dan ditambahkan solusi yang
dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan.

3.2 Jenis dan Cara Pengambilan Data

Jenis tulisan ini adalah berupa tulisan ilmiah dengan menggunakan data
sekunder dan analisis kritis mengenai permasalahan kegagalan kurikulum
pendidikan di Indonesia dalam membentuk bangsa berkarakter. Pengambilan data
dilakukan dengan cara pencarian data sekunder yang berasal dari beberapa buku,
skirpsi dan artikel yang berkenaan mengenai topik. Setelah itu, data diperkuat
dengan melakukan penelusuran melalui searching internet terkait dengan topik.
Bab IV
Pembahasan

4.1 Deskripsi Data dan Permasalahan


Indonesia termasuk sebagai salah satu negara gagal jika merunut World
Ekonomi Forum dan studi Universitas Harvard 2002 dengan ciri-ciri : tingginya angka
kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, miskinnya opini publik, suasana
ketidakpastian yang tinggi, ketidakefisienan yang parah dalam mengatur modal dan
tenaga kerja dan ketidakmampuan melakukan distribusi/pengadaan pelayanan dan
barang dasar bagi penduduk ekonomi lemah serta kemiskinan dan pengangguran
yang berkepanjangan.
Tahun 2006, kualitas SDM (Human Development Index) Indonesia (nomor
108 dari 177 negara) jauh di bawah Malaysia (nomor 61). Survey PERC tahun 2006
di dua belas negara, Indonesia berada di urutan terbawah, dan berada di bawah
negara Vietnam. Hasil survey matematika di 38 negara Asia, Australia, dan Afrika
oleh TIMSS-R, Indonesia menduduki peringkat 34.
Ada suatu fenomena alam yang menarik untuk disimak, yaitu bentuk kurva
bel. Kurva bel ini menggambarkan bahwa ada keragaman dalam fenomena alam,
misalnya tinggi badan, berat badan, pendapatan, kecerdasan IQ, dll. Untuk IQ
misalnya, dalam setiap populasi yang beragam, ada kecenderungan distribusi IQ
pada nilai rata-rata 100. semakin tinggi IQ, makin kecil proporsinya, dan orang jenius
seperti einstein, proporsinya hanya nol koma nol sekian persen, begitu pula
sebaliknya, orang yang betul- betul bodoh adalah sedikit sekali.
Jack chizmar telah menghitung proporsi populasi yg IQ-nya antara 85-115,
jumlah proporsi populasinya sebesar 68,20%, dan yang diatas 115 adalah 15,87%.
Artinya, dengan prinsip kurva bel ini, dapat dikatakan bahwa sebagaian besar
manusia (hampir 85%) mempunyai kecerdasan dibawah 115. Kurikulum yang ada di
Indonesia memakai asumsi egaliter bahwa kemampuan anak adalah seragam, yaitu
IQ di atas 110, makanya mata ajaran yang diberikan sebenarnya hanya dapat
diserap oleh anak terpandai yang proporsinya hanya sebesar 20%. Hampir seluruh
mata pelajaran lebih banyak berkisar di pembahasan teori, yg tujuannya mencetak
SDM yg menguasai iptek, mungkin sekaliber einstein. Oleh karena itu, kebanyakan
murid tidak mengetahui bagaimana manfaat ilmunya dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah puluhan tahun energi kita terbuang sia-sia untuk menciptakan manusia
indonesia yg menguasai iptek dengan segala macam kurikulum yang luar biasa
beratnya. padahal jika seseorang yang potensi IQ-nya hanya 90, diberi pelajaran
tambahan berapapun, tidak akan mencapai 120. (Megawangi, 2004)
IQ SCORE DISTRIBUTION

IQ Range   0-70 = 2.27%    (Mentally Retarded)


IQ Range   71-84 =13.59%
IQ Range   85-115=68.26%  (Average)
IQ Range   116-129=13.59%
IQ Range   130 & > =2.27% (Gifted)
Berdasarkan laporan UNESCO, yang dirilis Kamis (29/11/07), peringkat
Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di
dunia. Education Development Index (EDI) Indonesia hanya 0.935 yang berada di
bawah negeri jiran kita Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).
(http://sawali.info/2007/12/28/quo-vadis-kurikulum-pendidikan-kita-sebuah-
refleksi-akhir-tahun/)
Konsep pendidikan yang dicetuskan oleh sistem pendidikan nasional
(Indonesia) melahirkan sejumlah kurikulum. Tujuannya adalah untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional. Adapun kurikulum yang dicetuskan itu kemudian
melahirkan sejumlah pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut misalnya Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA). Setelah pendekatan ini ditengarai tidak mampu
menghasilkan tujuan pendidikan yang diharapkan, kurikulum diubah lagi dengan
model pendekatan pembelajaran yang baru.
Perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia sejatinya dilakukan setiap
sepuluh tahun sekali. Akan tetapi dalam dekade ini, kurikulum sudah berubah
sesuka hati pemerintah, setiap pergantian Menteri Pendidikan. Karena itu, kurikulum
pendidikan yang pada tahun 2004 dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) hanya dapat bertahan tiga tahun. Setelah itu diganti lagi dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Acuan Pembelajaran (KTSP).
Kendala kemudian adalah hasil pendidikan di Indonesia tidak berubah
sehingga kurikulum-kurikulum yang dianggap sangat handal memajukan pendidikan
itu mendapat pelesetan. KBK dipelesetkan menjadi Kasih Buku Keluar. Maksudnya,
guru-guru di sekolah hanya pintar memberikan buku panduan (modul) kepada siswa,
lalu keluar dari ruangan. Hal ini tidak jauh beda dari pemelesetan CBSA sebagai
Catat Buku Sampai Abis. Adapun KTSP yang masih dipakai sebagai kurikulum di
Indonesia sekarang mulai dipelesetkan menjadi Kasih Tugas Suruh Pulang.
Bapak Trisno S.Susanto dalam surat terbukanya terhadap Mendiknas yang
dimuat di harian Suara Pembaruan pada tanggal 18 Juni 2005 yang berjudul “Tolong
Anak Saya Bukan Anak Jenius!” mengeluhkan mengenai beratnya kurikulum
pendidikan saat ini hingga anaknya mogok sekolah. Kurikulum di Indonesia dipenuhi
oleh jumlah mata pelajaran yang terlalu banyak, dengan kandungan informasi yang
sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun kognitif anak,
sesuai tahap-tahap perkembangannya, membuat guru mengajar dengan metode
“telan mentah-mentah dan hafal mati”. Bahkan, teman anak bapak Trisno sampai
hampir mau bunuh diri karena frustasi menghafal mata pelajaran biologi.
(Depdiknas, 2006)
Belum lagi ditambah dengan adanya standarisasi pendidikan, yaitu
penentuan kelulusan siswa hanya melalui nilai ujian nasional. Hal ini menimbulkan
kecurangan di berbagai daerah, baik dilakukan oleh siswa maupun oleh pihak
sekolahnya. Salah satu contoh seperti dikutip di harian Kompas pada Selasa, 21
April 2009 dalam artikel Praktik Kecurangan UN Meluas, "Laporan dari tim
investigasi kami ada guru yang sengaja membagi jawaban di depan kelas kepada
murid. Ini terjadi di SMK swasta di Sidikalang (Kabupaten Dairi), SMA swasta di
Kabupaten Humbang Hasundutan, SMK swasta di Siborongborong (Tapanuli Utara),
dan SMA swasta di Simalungun," tutur Anggota Dewan Kehormatan Komunitas Air
Mata Guru (KAMG), Deni Boy Saragih, Selasa (21/4) di Medan.

4.2 Analisis Kritis Permasalahan


Di tengah-tengah keprihatinan terhadap dunia pendidikan kita, secara
mendadak Mendiknas meluncurkan Peraturan Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006
tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan pelaksanaannya
pada awal tahun ajaran 2006/2007 lalu. Melalui ketiga Permendiknas tersebut,
sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA) harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) berdasarkan panduan yang disusun oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP).
KTSP, yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004 (KBK),
adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing
satuan pendidikan/sekolah (Muslich, 2007). KTSP yang dipercayakan pada setiap
tingkat satuan pendidikan hampir senada dengan prinsip implementasi KBK, perlu
dipayungi oleh Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Artinya, hal tersebut
merupakan pelimpahan wewenang yang besar kepada sekolah untuk memperbaiki
mutu pendidikannya, baik dengan menyusun dan mengembangkan kurikulum,
maupun dengan mendorong guru untuk berinovasi, dan mengajak partisipasi
masyarakat.(http://okvina.wordpress.com/2008/02/18/analisis-sistem-evaluasi-hasil-
belajar-siswa-yang-menghambat-pengembangan-karakter-siswa-sma)
Adapun kelebihan dari KTSP ini adalah mendorong terwujudnya otonomi
sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan, mendorong para guru, kepala sekolah,
dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam
penyelenggaraan program-program pendidikan, memungkinkan bagi setiap sekolah
untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang
akseptabel bagi kebutuhan siswa, memberikan peluang yang lebih luas kepada
sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan. Kondisi tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi sekolah untuk
menghasilkan generasi yang berkualitas dengan mengoptimalkan semua
sumberdaya yang dimiliki oleh sekolah.
Seperti dua model kurikulum yang sebelumnya, KTSP pun menuai banyak
kritik dari berbagai pihak. KTSP dinilai diperlakukan oleh guru dengan ‘seenak
perut’. Kurikulum ini sebenarnya mengharapkan model pendekatan Pembelajaran
Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM). Keaktifan yang
dimaksudkan masih pada siswa sebagai peserta didik, kemudian inovatif dan kreatif
dalam menemukan hasil pembelajaran yang dimaksudkan sehingga pembelajaran
tidak hanya dititikberatkan dalam ruangan (kelas) semata. Proses pembelajaran
yang efektif untuk mencapai output pendidikan pun memberikan keluwesan kepada
siswa untuk mengaitkan materi pembelajaran sesuai dengan apa yang diamati dan
dialami siswa (kini dan di sini).
Akan tetapi, konsep ini juga salah dimengerti oleh guru sehingga keaktifan,
kekreatifan, dan keefektifan pembelajaran diukur dengan aktif dan kreatifnya siswa
menyelesaikan tugas. Akibatnya, siswa kelimpungan menerima tugas dari guru
saban kali masuk kelas sehingga KTSP dipelesetkan menjadi Kasih Tugas Suruh
Pulang. Maksudnya, guru hanya berpikir bagaimana memberikan tugas kepada
siswa, lalu siswa dipersilakan pulang mengerjakan tugas tersebut. Padahal, seorang
guru dituntut menjadi mediator dan sekaligus fasilitator, yang mengarahkan siswa
menemukan output pendidikan.
Dari model/konsep yang salah diartikan tersebut menimbulkan beragam
dampak kepada peserta didik. Sudah jelas, proses pembelajaran tidak akan dapat
membuahkan hasil seperti harapan, jika guru hanya menyerahkan pembelajaran
100% kepada siswa. Seharusnya, guru menjadi pemandu, motivator, sekaligus
fasilitator. Selain itu, banyaknya beban tugas yang diberikan kepada siswa dapat
mendorong siswa untuk berperilaku jelek, seperti mencontek atau minta dibuatkan
oleh orang lain misalnya. Siswa menghalalkan berbagai cara agar tugas-tugasnya
yang begitu banyak bisa cepat selesai.
Secara jujur harus diakui, implementasi KTSP masih jauh dari harapan.
Kesenjangan informasi antardaerah, keragaman kompetensi guru, atau sarana-
prasarana sekolah menjadi “cacat” utama. Ketika “lonceng” KTSP dipukul, idealnya
semua “properti” dan sumber daya manusia-nya sudah dalam kondisi siap.
Sosialisasi harus lebih dini dilakukan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Meski
sudah diluncurkan oleh Menteri, masih banyak sekolah, lebih-lebih yang ada di
daerah, yang masih simpang-siur dalam memahami KTSP. KTSP yang seharusnya
berlangsung mulus seiring dengan kebijakan otonomi sekolah agaknya juga
stagnan.
Untuk menyusun silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
saja mesti mengacu pada produk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Memang seharusnya hanya sekadar menjadi model. Namun, tampaknya silabus
model BSNP telah menjadi acuan baku untuk dilaksanakan di seluruh penjuru tanah
air. Akibatnya, KTSP yang seharusnya berbeda di setiap daerah, bahkan di setiap
sekolah, yang terjadi justru telah terjadi penyeragaman. Budaya kopi-paste
berlangsung sukses. KTSP pun menjadi Kurikulum yang Tetap Sama Produk-nya.
(http://sawali.info/2007/12/28/quo-vadis-kurikulum-pendidikan-kita-sebuah-refleksi-
akhir-tahun)
Peranan KTSP pada mutu pendidikan di negara kita juga belum ada
pengaruhnya. Karena peringkat Indonesia masih dibawah jauh dari negara-negara
seperti Korea, Singapura, Jepang, Taiwan, China, India, Malaysia dan masih banyak
negara lain yang peringkatnya ada diatas negara kita. Salah satu penyebabnya
adalah kurang berperannya guru didalam mengembangkan KTSP ini dengan baik.
Masih banyak guru yang menggunakan metode ceramah sehingga cara berfikir anak
serasa mati. Selain itu juga kurang tanggung jawabnya seorang guru pada mata
pelajaran yang mereka berikan. Sebagian besar guru masih ada yang hanya
memikirkan materi yang menjadi tanggung jawabnya itu selesai tepat waktu sesuai
dengan silabus dan program semester tetapi tidak memikirkan apakah materi yang
mereka sampaikan itu bisa difahami dan diserap oleh siswa dengan baik atau tidak.
Sehingga tidak relevan dengan tujuan KTSP itu sendiri dimana guru harus mampu
mengembangkan KTSP yang bisa menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi
yang kuat.
Menurut saya,KTSP termasuk ke dalam paradigma pendidikan era
Headstart. Walaupun pendidikan yang diberikan kepada siswa-siswanya tergantung
pada masing-masing sekolah, namun dapat dikatakan bahwa sebagian besar sistem
pendidikan sekolah-sekolah di Indonesia masih menekankan pada pendidikan
akademik (kognitif atau otak kiri) dan mengecilkan pentingnya pendidikan karakter.
Hal ini dapat terlihat dari kualitas lulusan yang rendah, tingkat stress remaja yang
tinggi, tawuran, dan sebagainya. Terlalu mengharapkan keberhasilan akademik
anak yang diukur dengan pencapaian angka dan ranking, bukan kepada proses
belajar anak, akan menyebabkan orangtua dan guru memaksa anak untuk belajar
keras karena harus mencapai target. Dua kesalahan mendasar dalam sistem
pendidikan di Indonesia adalah melanggar hukum alam kurva bel dan tidak
seimbangnya pengembangan porsi otak kiri dan otak kanan.

4.3 Analisis Solusi


Kurikulum pendidikan di Indonesia seharusnya bukan lagi menjadi suatu
masalah jika saja pemerintah mau untuk menerapkan pendidikan karakter secara
eksplisit dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter adalah sebuah
usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak
dan mempraktekkanya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat
memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Menghadapi tantangan perubahan kurikulum yang tujuannya adalah untuk
memudahkan sekolah untuk mengoptimalkan seluruh sumberdaya yang ada, upaya
yang dapat dilakukan sekolah dalam mengimplementasikan KTSP sekaligus dalam
mengembangkan karakter siswanya dapat ditempuh melalui cara sebagai berikut
(Lickona dalam Megawangi,2004):
1. Pendidikan karakter harus mengandung nilai-nilai yang dapat membentuk “Good
Character”
2.   Pendidikan karakter harus didefinisikan secara menyeluruh yang termasuk
aspek “Thinking,Feeling, dan Action”
3.   Pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan komprehensif, dan
terfokus dari aspek guru sebagai “role model” disiplin sekolah, kurikulum, proses
pembelajaran, manajemen kelas dan sekolah, integrasi materi karakter dalam
seluruh aspek kehidupan kelas, kerjasama orang tua dan masyarakat, dan
sebagainya.
4.   Sekolah harus menjadi model “masyarakat yang damai dan harmonis”. Sekolah
merupakan miniature dari bagaimana seharusnya kehidupan di masyarakat, di
mana masing-masing individu dapat saling menghormati, bertanggung jawab,
saling peduli, dan adil. Hal ini dapat diciptakan dengan berbagai cara yang
tersedia pada buku-buku petunjuk pendidikan karakter.

5.   Untuk mengembangkan karakter, para murid memerlukan kesempatan untuk


mempraktekkannya; bagaimana berperilaku moral. Misalnya bagaimana berlatih
untuk bekerja sosial (memberikan sumbangan ke panti asuhan, panti wreda,
membersihkan lingkungan, dan sebagainya), menyelesaikan konflik, berlatih
menjadi individu yang bertanggung jawab dan sebagainya.
6.   Pendidikan karakter yang efektif harus mengikutsertakan materi kurikulum yang
berarti bagi kehidupan anak, atau berbasis kompetensi (life skills) sehingga anak
merasa mampu menghadapi dan memecahkan masalah kehidupan.

7.   Pendidikan karakter harus membangkitkan motivasi internal dari diri anak,


misalnya dengan membangkitkan rasa bersalah pada diri anak kalau mereka
melakukan tindakan negatif, atau membangkitkan rasa empati agar anak sensitif
terhadap kesulitan orang lain.
8.   Seluruh staf sekolah harus terlibat dalam pendidikan karakter. Peran kepala
sekolah sangat besar dalam mobilisasi staf untuk menjadi bagian dari proses
pendidikan karakter.
9.   Pendidikan karakter di sekolah memerlukan kepemimpinan moral dari berbagai
pihak; pimpinan, staf, dan para guru.
10. Sekolah harus bekerjasama dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya.

11. Harus ada evaluasi berkala mengenai keberhasilan pendidikan karakter di


sekolah. Sekolah harus mempunyai standar keberhasilan dari pendidikan
karakter, yang mencakup aspek bagaimana perkembangan guru/staf sebagai
pendidik karakter, dan bagaimana perkembangan karakter murid-murid. Khusus
untuk guru/staf sebagai model “person of character” adalah sangat krusial
terhadap keberhasilan pendidikan karakter di sekolah. Oleh karena itu,
pemahaman dan pelatihan kepada guru amat penting untuk dilakukan.
Dalam memasukkan nilai-nilai karakter pada siswa, hal yang tidak dapat
dipisahkan adalah peran guru. Guru sebagai pendidik karakter harus mendapatkan
pelatihan khusus, dan menggunakan modul atau kurikulum yang sudah tersedia
untuk diterapkan di sekolahnya. Menurut Karen Bohlin, Deborah Farmer, dan Kevin
Ryan dalam Megawangi (2004), ada tujuh kompetensi yang harus dimiliki oleh para
pendidik atau guru karakter:

1.      Para pendidik harus dapat menjadikan dirinya sebagai contoh berkarakter yang
baik dan mempunyai komitmen untuk menegakkan kebenaran

2.      Para pendidik harus mampu menjadikan tujuan pembentukan karakter muridnya
sebagai suatu yang prioritas dan merupakan bagian terpenting dari pekerjaan
profesionalnya
3.     Para pendidik harus senantiasa mengadakan diskusi tentang isu-isu moral
dengan murid-muridnya, tentang bagaimana seharusnya menjalankan hidup,
serta menjelaskan apa yang baik dan apa yang buruk.

4.     Para pendidik harus dapat menyampaikan secara diplomasi (bijak) mengenai


posisinya pada isu-isu etika, tanpa harus membebani mereka dengan pendapat
dan opini pribadi
5.     Para pendidik harus dapat mengajarkan empati terhadap orang lain, yaitu
mengajaknya untuk keluar dari diri mereka dan melihat dari perspektif orang lain
6.     Para pendidik harus dapat menciptakan suasana kelas yang bernuansa karakter,
yang menerapkan standar etika tinggi dan penghormatan untuk semua
7.     Para pendidik harus dapat membuat serangkaian aktivitas untuk mempraktekkan
nilai-nilai karakter di rumah, di sekolah, dan di komunitas lingkungan, agar
mereka bisa tumbuh menjadi manusia yang peduli untuk selalu melakukan
kebajikan.
Bab V
Penutup

5.1 Kesimpulan
Saat ini sistem kurikulum pendidikan yang sedang digunakan di Indonesia
adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP adalah kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan
pendidikan/sekolah. Kelebihan KTSP adalah mendorong terwujudnya otonomi
sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan, mendorong para guru, kepala sekolah,
dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam
penyelenggaraan program-program pendidikan, memungkinkan bagi setiap sekolah
untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang
akseptabel bagi kebutuhan siswa. Namun sayangnya, implementasi KTSP masih
jauh dari harapan. Kesenjangan informasi antardaerah, keragaman kompetensi
guru, atau sarana-prasarana sekolah menjadi “cacat” utama. KTSP yang
seharusnya berbeda di setiap daerah, bahkan di setiap sekolah, yang terjadi justru
telah terjadi penyeragaman.
Konsep kemandirian yang diunggulkan dalam KTSP pun banyak
disalahartikan oleh para guru. Guru hanya berpikir bagaimana memberikan tugas
kepada siswa, lalu siswa dipersilakan pulang mengerjakan tugas tersebut. Padahal,
seorang guru dituntut menjadi mediator dan sekaligus fasilitator, yang mengarahkan
siswa menemukan output pendidikan. Hal tersebut menyebabkan siswa merasa
amat terbebani oleh banyaknya tugas yang diberikan oleh guru sehingga memicu
terjadinya tindak kecurangan, seperti mencontek atau minta dibuatkan oleh orang
lain misalnya. Siswa menghalalkan berbagai cara agar tugas-tugasnya yang begitu
banyak bisa cepat selesai. Belum lagi ditambah oleh penetapan standar kelulusan
yang memicu berbagai tindak kecurangan seperti terdapat guru yang sengaja
membagi jawaban di depan kelas kepada murid.
Kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia
merupakan cikal bakal terbentuknya bangsa yang tidak berkarakter karena sekolah
merupakan tempat seseorang pertama kali bersosialisasi. Untuk membentuk bangsa
berkarakter melalui sekolah, maka haruslah diterapkan pendidikan karakter secara
eksplisit dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Daftar Pustaka

Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat Untuk Membangun


Bangsa. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation.

Muslich, M. 2007. KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: Bumi


Aksara

Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Teropong


Pendidikan Kita. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional

Sudjana, Nana. 2005. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah.


Bandung : Sinar Baru Algensindo

Widiastono, Tonny D. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku


Kompas

Anonim. 2009. www.rbaryans.wordpress.com. [20 Februari 2010]

_______. 2007. Quo vadis kurikulum pendidikan kita sebuah refleksi akhir
tahun.http://sawali.info. [20 Februari 2010]

_______. 2008. Analisis sistem evaluasi hasil belajar siswa yang menghambat
pengembangan karakter siswa sma. http://okvina.wordpress.com. [20
Februari 2010]

Anda mungkin juga menyukai