Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori

Teknologi kloning merupakan tero-bosan baru di bidang rekayasa genetika.


Menurut Winarno dan Agustinah (2007), kloning adalah pengembangbiakan
suatu mahluk hidup yang persis sama dengan induknya tanpa melalui
pembuahan, seperti stek pada tanaman, tetapi kloning melalui rekayasa
genetika jauh lebih rumit. Muladno (2002) menjelaskan, bahwa pada
prinsipnya kloning DNA adalah proses penggandaan jumlah DNA
rekombinan melalui proses perkembangbiakan sel bakteri (biasanya E. coli).
Proses penggandaan tersebut dila-kukan dengan memasukkan DNA re-
kombinan ke dalam E.coli, diikuti dengan inkubasi sel E.coli pada suhu
optimal sehingga sel berkembangbiak secara eksponensial. Selanjutnya
dijelaskan pula, bahwa menggandakan jumlah molekul DNA tidak hanya
dapat dilakukan dengan memanfaatkan mekanisme kehidupan
mikroorganisma, tetapi dapat juga dilakukan melalui teknik PCR
(Polymerase Chain Reaction).

Perkembangan teknologi molekuler (seperti kloning) yang sangat pesat telah membuka
era baru dalam menghasilkan berbagai jenis vaksin maupun obat yang dibutuhkan oleh
hewan maupun manusia. Penggunaan teknologi tersebut telah memudahkan
dihasilkannya berbagai sub unit vaksin yang jauh lebih efektif jika dibandingkan dengan
vaksin yang dihasilkan dengan teknologi konvensional meng-gunakan mikroorganisme
virulen yang dilemahkan ataupun telah dibunuh.

2.1.1 Hepatitis B
2.1.3

2.1.3

2.1.3.1 Total Error allowable (Tea)

Spesifikasi kualitas laboratorium sering didefinisikan dalam batas kesalahan

total yang diijinkan atau Total Error allowable (Tea) merupakan target Statistical

6
7

Quality Control (SQC) untuk mendeteksi random error dan systematic error untuk

mengukur total error yang tidak boleh melibi batas Tea. Batasan Tea dapat dilihat

dari konsensus yang di terbitkan organisasi laboratorium seperti Clinical

Laboratory Improvement Amandment (CLIA) atau oleh badan profesional yang

dapat digunakan sebagai guidlines. (13)

2.1.3.2 Akurasi

Akurasi atau ketepatan yaitu kemampuan untuk mengukur dengan tepat.

Ketepatan menunjukkan seberapa dekat hasil pengukuran dengan hasil yang

sebenarnya. Akurasi (ketepatan) atau inakurasi (ketidaktepatan) dipakai untuk

menilai adanya kesalahan sistematik, kesalahan acak dan keduanya (total).

Akurasi dapat diniai dari hasil pemeriksaan bahan kontrol dan dihitung nilai

biasnya (d%) seperti rumus berikut. (14,15)

d% = ( x – NA ) : NA

Keterangan:

x : hasil pemeriksaan bahan kontrol

NA : nilai aktual / sebenarnya dari bahan control

d% : nilai bias
8

Nilai d% dapat negatif dan positif. Ketidaktepatan (inakurasi) suatu

pemeriksaan umumnya lebih mudah dinyatakan daripada ketepatan (akurasi).

Ketepatan merupakan pemeriksaan terutama yang dipengaruhi oleh adanya

spesifitas dengan metode pemeriksaan dan kualitas larutan standar. Bias adalah

perbedaan sistematis antara hasil yang diperoleh dengan uji laboratorium terhadap

hasil dari metode referensi yang diterima, referensi tersebut dapat diperoleh dari

referensi konsensus seperti program profisiensi atau program perbandingan rekan


(10)
antar laboratorium.

2.1.3.3 Presisi

Presisi terkait dengan reprodusibilitas pemeriksaan, ketelitian adalah


merupakan kesesuaian hasil pemeriksaan yang ada dilaboratorium di peroleh
apabila pemeriksaan dilakukan berulang-ulang, (CV) dihitung dengan rumus
berikut:(13)

SD x 100
V=
X

Keterangan : SD = Standar Deviasi

X = Mean

Koefisien variasi yang merupakan suatu variabilitas yang bersifat relatife

dan dinyatakan dalam satuan persen. Koefisien variasi dikenal sebagai related

standard deviation. Koefisien dapat dihitung dari simpangan baku dan nilai rerata.

Koefisien variasi dapat membandingkan kinerja alat, metode maupun pemeriksaan

yang beda.
9

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketelitian yaitu : alat, metode

pemeriksaan, volume atau kadar bahan yang diperiksa, waktu pengulangan

dengan tenaga pemeriksa Simpangan baku yang merupakan ukuran nilai–nilai

hasil pemeriksaan secara seri pada sampel yang terdistribusi, sedangkan CV

adalah SD yang menyatakan dalam persen terhadap nilai rata – rata. Nilai SD dan

dari bahan kontrol (serum kontrol). Bahan kontrol merupakan CV diperoleh bahan

yang digunakan untuk melihat atau memantau adanya ketepatan suatu untuk

mengawasi kualitas hasil pemeriksaan atau pemeriksaan yang di laboratorium

sehari – hari. (14)

2.1.3.4 QC Rule

Westgard dan kawan-kawan menyajikan suatu aturan untuk membantu

evaluasi pemeriksaan grafik kontrol. Seri aturan tersebutt dapat digunakan pada

penggunaan ke satu level kontrol, dua level maupun tiga level. Beberapa banyak

level yang akan dipakai sangat tergantung pada kondisi laboratorium, namun

perlu dipikirkan mengenai kerugian dan keuntungan masing-masing. Pemetaan

dan evaluasi hasil dari kedua level kontrol secara simultan yang akan memberikan

terdeteksinya shift dan trendlebih awal dibandingkan jika hanya menggunakan

satu level. Diagram aplikasi Westgard multirules quality control adalah sebagai

berikut: (10,16)
10

Gambar 2.1 Diagram aplikasi Westgard multirules Quality Control


(Westgard, 2000)

Menurut Westgard aturan umumnya dipilih ketika laboratorium telah

menggunakan satu atau dua level kontrol yang masingmasing diperiksa satu atau
(15)
dua kali setiap run. Saat ini telah dikembangkan prosedur QC baru yang

memperhitungkan kualitas suatu pemeriksaan untuk menentukan karakteristik

penolakan berbagai aturan kontrol dan jumlah pengukuran kontrol yang berbeda

sesuai dengan nilai sigma, prosedur QC ini dengan nama ‘Westgard Sigma Rules’

sebagai berikut:

a. Rule 6 Sigma : Kualitas 6 sigma hanya membutuhkan aturan kontrol

tunggal, 1-3s, dengan 2 pengukuran kontrol dalam setiap kali run.

b. Rule 5 Sigma : Kualitas 5 sigma membutuhkan 3 aturan, 1-3s, 2-2s, R-4s

dengan 2 pengukuran kontrol dalam setiap kali run.

c. Rule 4 Sigma : Kualitas 4 sigma membutuhkan penambahan aturan 4 dan

implementasi dari multirule 1-3s, 2-2s, R-4s, 4-1s, dengan 4 pengukuran

kontrol dalam setiap kali run ( N = 4, R = 1 ), atau alternatifnya,

pengukuran 2 kontrol dalam 2 kali run ( N=2 R = 2 ).

d. Rule < 4 sigma: Kualitas < 4 sigma membuthkan prosedur multirule yang

mencakup aturan 8x, yang dapat diimplementasikan dengan 4 pengukuran

kontrol dalam 2 kali run ( N=4, R=2 ) atau alternatifnya dengan

pengukuran 2 kontrol di masing-masing dengan 4 kali run ( N=2, R=4 ).


11

2.2 Kerangka Konsep

Performa Kualitas Analitik


Analisis Six Sigma
Laboratorium

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

2.3 Hipotesis

Ho : Didapat hasil Analisis Six Sigma sebagai penilaian performa kualitas analitik

di Laboratorium Klinik labora

2.4 Definisi Operasional

Tabel 2.1 Definisi operasional


Hasil Skala
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur
Ukur Ukur

1 Presisi Deviasi hasil Long Therm SD x 100 % Rasio


pengukuran berulang x
(CV)

2 Akurasi Selisih nilai hasil Long Therm (x−na) % Rasio


pengukuran dengan na
nilai sebenarnya (d%)

3 TEa Nilai konsensus yang Long Therm - % Rasio


diterbitkan organisasi
Laboratorium
12

4 Sigma Perhitungan Akurasi, (TEa−d % ) % Rasio


Presisi dan TEa CV

Anda mungkin juga menyukai