Anda di halaman 1dari 50

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana Pasal 33

ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hutan

sebagai salah satu kekayaan alam, sebagai karunia dan anugerah Tuhan Yang

Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang

dikuasai oleh negara dan memberikan manfaat bagi umat manusia yang wajib

disyukuri, dikelola, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemanfaatan dan penggunaan kawasan

hutan harus dilaksanakan secara tepat dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan

fungsi ekologis, sosial, dan ekonomis serta untuk menjaga keberlanjutan bagi

kehidupan sekarang dan kehidupan generasi yang akan datang. Telah terjadi

perusakan hutan yang disebabkan oleh pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan

hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

sebagaimana Konsideran Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang

Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (selanjutnya disingkat UU No. 18

Tahun 2013).

Perusakan hutan menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 18 Tahun 2013 adalah

“proses, cara, atau perbuatan merusakhutan melalui kegiatan pembalakan liar,

1
2

penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan

dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah

ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh

Pemerintah”.

Hutan mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat, sehingga perlu pencegahan dan pemberantasan

perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 18 Tahun 2013

dengan tujuan sebagai berikut:

Pencegahan dan pemberantasan Perusakan hutan bertujuan:


a. menjamin kepastian hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku Perusakan
hutan ;
b. menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga
kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya;
c. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan
memperhatikan keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat
sejahtera; dan
d. meningkatnya kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-
pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan Perusakan
hutan.

Pencegaran dan pemberantasan perusakan hutan tersebut diharapkan hutan tetap

lestari dan adanya suatu larangan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan

berakibat rusaknya hutan sesuai dengan Pasal 12 UU No. 18 Tahun 2013, yang

menentukan:
3

Setiap orang dilarang:


a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
izin pemanfaatan hutan ;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah;
d. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau
memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin;
e. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak
dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan ;
f. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
g. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnyayang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan
liar;
i. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara;
j. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara;
k. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau
memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar;
l. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal
dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; dan/atau
m. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau
memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil
atau dipungut secara tidak sah.
4

Di antara larangan perusakan hutan tersebut yakni menerima, menjual, menerima

tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang

berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Larangan

tersebut disertai sanksi bagi pelanggarnya berupa pidana sebagaimana Pasal 87 ayat

(1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013, yang menentukan:

Orang perseorangan yang dengan sengaja: menerima, menjual, menerima tukar,


menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal
dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf m dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00
(dua miliar lima ratus juta rupiah).

Kasus perusakan hutan terjadi tepatnya pada tanggal bulan Desember 2016

SU (terdakwa) bekerja sebagai wiraswasta di bidang usaha jual beli kayu mendapat

telepon dari RA yang mengabarkan kalau dia mau menjual kayu sengon sebanyak 8

potong berbagai ukuran dengan panjang kurang lebih 135 cm. SU menanyakan

kepemilikan kayu tersebut kepada RA dan dijawab bahwa kayu tersebut adalah milik

bertiga yaitu RA, SN dan IN. SU juga menanyakan keamanan perihal kayu tersebut

apabila dibeli, RA menjawab bahwa aman karena kayu tersebut adalah miliknya. SU

menawar kayu tersebut seharga Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan disetujui

oleh RA. SU akan membayar apabila kayu tersebut laku dijual dan dibayar pembeli

berikutnya.
5

RA menyuruh SU untuk pergi tempat penumpukan kayu di pinggir jalan

Houling PT. TH di Desa Pondok labu. Setelah SU sampai di lokasi, SU bertemu RA,

SN dan IN yang langsung menaikkan kayu sengon tersebut ke atas mobil pick up

yang dikendarai oleh SU. Setelah kayu sudah berada di atas mobil SU kemudian

pergi membawa kayu tersebut ke Palarang Kota Samarinda, namun di perjalanan

mobil SU diberhentikan oleh petugas Kepolisian yang sedang berpatroli. Petugas

tersebut menanyakan asal usul kayu yang berada di mobil SU, dan mengaku bahwa

kayu sengon tersebut dibeli dari RA, SN dan IN dan SU juga tidak bisa menunjukkan

izin untuk mengangkut kayu hasil hutan tersebut. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, SU

beserta barang bukti berupa kayu sengon 8 potong di bawa ke Polsek Tenggarong.

Dakwaan Jaksa, mendakwa SU telah melakukan perbuatan melanggar

ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 480 ke 1 KUHP,

dalam dakwaan tunggal. Pasal 480 ke-1 KUHP, menentukan:

Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah. Barang siapa membeli, menyewa, menukar,
menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, meyimpan atau
menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga
bahwa diperoleh dari kejahatan.

Pengadilan Negeri Tenggarong dalam putusannya Nomor 89/Pid.B/2017/ PN.

TRG., amarnya sebagai berikut:


6

1) Menyatakan SU telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana ”Penadahan”;

2) Menjatuhkan pidana kepada SU oleh karena itu dengan pidana penjara selama

1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan;

Memperhatikan uraian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa di satu sisi SU

yang menjual kayu sengon hasil kejahatan atau tindak pidana dapat dikatakan sebagai

telah melakukan penadahan, sehingga telah tepat dakwaan, tuntutan dan putusan

Pengadilan Negeri Tenggarong. Namun di sisi yang lain, bahwa kayu sengon yang

dijadikan obyek jual beli diambil dari hutan secara tidak sah, sehingga dapat

dikatakan telah menjual atau membeli kayu sengon yang diperoleh dari hasil

kejahatan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebagaimana latar belakang di atas, maka yang

dipermasalahkan adalah: Apakah tindakan SU yang menjual kayu sengon yang

diambil dari hutan secara tidak sah dapat dikenakan pidana berdasarkan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang

Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan ?

1.3. Alasan Pemilihan Judul

Skripsi ini berjudul “Tindakan SU Menjual Kayu Sengon Yang Diambil Dari

Hutan Secara Tidak Sah Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
7

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan

Perusakan Hutan”, dipilih dengan alasan:

Menjual kayu yang diperoleh dari hutan secara tidak sah sebagai telah

melakukan perusakan hutan, kepadanya dikatakan melanggar Pasal 87 ayat (1) huruf

c UU No. 18 Tahun 2013 dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat

1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp

500.000.000,00 dan paling banyak Rp2.500.000.000,00. Menampung kayu hasil

kejahatan dapat dikatakan sebagai telah melakukan penadahan melanggar Pasal 480

ke-1 KUHP, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda

paling banyak sembilan ratus rupiah. SU oleh Pengadilan Negeri Tenggarong diputus

dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan. Hal ini menarik untuk

dibahas, karena berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP, bahwa ketentuan

yang khusus mengalahkan ketentuan yang bersifat umum, sehingga dijadikan alasan

dipilihnya judul skripsi sebagaimkana tersebut di atas.

1.4. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini memiliki 2 (dua) tujuan :

a. Tujuan Akademis, untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar

Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Surabaya.

b. Tujuan Praktis, untuk mengetahui dan menganalisis tindakan SU yang menjual

kayu sengon yang diambil dari hutan secara tidak sah dapat dipidana berdasarkan

KUHP dan UU No. 18 Tahun 2013.


8

1.5. Metode Penulisan

a. Tipe Penelitian

Tipe penelitian dalam skripsi ini menggunakan tipe penelitian hukum yuridis

normatif. Penelitian hukum yuridis normatif menurut Peter Mahmud Marzuki (2009,

h. 35) yaitu ”Suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip

hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”.

Pendekatan yang digunakan mengkaji dari Peter Mahmud Marzuki (2009, h. 95)

yaitu statute approach dan conceptual approach. Statute approach adalah pendekatan

yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dari regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dihadapi. Pendekatan secara

conceptual approach adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan

dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

b. Pendekatan Masalah

Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penulisan hukum ini adalah

pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual

(conceptual approach). Statute approach yaitu pendekatan yang dilakukan dengan

mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku

berkaitan dengan materi yang dibahas. Pendekatan secara conceptual approach yaitu

suatu pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana sebagai landasan

pendukung pembahasan.
9

c. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berupa

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum yang bersifat mengikat. Bahan hukum primer dalam hal ini adalah

KUHP, Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Tentang

Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang bersifat menjelaskan

bahan hukum primer, yang berupa buku-buku literatur, karya ilmiah dan

berbagai media cetak yang ada kaitannya dengan permasalahan yang

dibahas.

d. Langkah Penulisan

Langkah pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini adalah melalui studi

kepustakaan, yaitu diawali dengan mengumpulkan semua bahan hukum yang terkait

dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi dan memilah-milah

bahan hukum yang terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan

sistematisasi untuk lebih mempermudah dalam membaca, mempelajari, dan

melaksanakan studi pustaka.

Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang


10

bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum,

yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur, yang kemudian

diimplementasikan pada permasalahan yang dikemukakan, sehingga diperoleh

jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya digunakan

penafsiran sistematis dalam arti mengkaitkan pengertian antara peraturan perundang-

undangan yang ada serta pendapat para sarjana.

1.6. Pertanggungjawaban Sistematika

Bab 1. Pendahuluan, yang merupakan gambaran secara umum sebelum 10

maju menuju permasalahan dalam penulisan ini dan akan dilanjutkan dengan

penjelasan secara rinci pada bab-bab berikutnya. Pendahuluan ini berisikan gambaran

tentang permasalahan yang terjadi yang akan dibahas dan diletakkan dalam Rumusan

Masalah, Alasan Pemilihan Judul, Tujuan Penulisan yang terbagi dalam tujuan

praktis dan tujuan akademis, Metode Penulisan yang dipergunakan, serta

Pertanggungjawaban Sistematika yang menguraikan setiap bagian bab dalam

penulisan skripsi ini.

Bab 2. Pengertian Penadahan dan mengambil kayu di hutan, Tindak Pidana

Mengambil Kayu di Hutan secara tidak sah dan Perbarengan. Bab ini akan mengkaji

landasan teoritis dan hukum positif yang akan digunakan untuk dasar pembahasan

pada bab berikutnya yang terdiri dari dua sub bab yaitu: Ruang Lingkup Penadahan

dan mengambil katyu di hutan, Tindak Pidana Mengambil Kayu di Hutan secara

tidak sah dan Perbarengan.


11

Bab 3. Analisis tindakan SU yang menjual kayu sengon yang diambil dari

hutan secara tidak sah. Bab ini dibahas untuk menjawab pertanyaan apakah tindakan

SU yang menjual kayu sengon yang diambil dari hutan secara tidak sah dapat

dipidana berdasarkan KUHP dan UU No. 18 Tahun 2013. Sub babnya terdiri atas

kronologi kasus dan analisis masalah.

Bab 4, Kesimpulan dan saran, yang mengakhiri seluruh rangkaian uraian dan

pembahasan. Sub babnya terdiri atas simpulan, berisi jawaban atas masalah dan saran

sebagai alternatif pemecahan masalah yang dibahas dalam skripsi.


12

BAB 2

PENGERTIAN PENADAHAN DAN MENGAMBIL KAYU DI HUTAN,

TINDAK PIDANA MENGAMBIL KAYU DI HUTAN SECARA TIDAK SAH

DAN PERBARENGAN

2.1. Pengertian Penadahan Dan Mengambil Kayu Di Hutan

Penadahan menurut Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan

untuk menadah yaitu menerima barang apa yang jatuh atau dilemparkan,

menampung. Mengambil menurut Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai

memegang sesuatu dan kemudian membawa, mengangkat, memungut. Hal yang

ditadah dan diambil berupa kayu hasil hutan, hasil hutan menurut Pasal 1 angka 13

UU 18 Tahun 2013, adalah “hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu

olahan, atau kayu pacakan yang berasal dari kawasan hutan”.

Kayu diambil dari hutan, perihal hutan terdapat dua peraturan perundang-

undangan yang mengaturnya yaitu UU Tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun

2013, namun tidak satu pasalpun yang memberikan definisi tentang pengelolaan

hutan. Di dalam Penjelasan Umum UU Kehutanan disebutkan sebagai berikut:

Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata


bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi,
sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu
hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara
berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi
sekarang maupun yang akan datang.

12
13

Hal sebagaimana di atas dapat dijelaskan bahwa pengelolaan tersebut sebagai

suatu perbuatan melindungi dan memanfaatkan secara berkesinambungan hutan.

Pengelolaan menurut Kamus Bahasa Indonesia berasal dari kata “kelola” diartikan

sebagai pengurus, melakukan, penyelenggarakan, pengelola diartikan sebagai

pengurus, penyelenggara.

Pengelolaan sebagai suatu perbuatan melindungi dan memanfaatkan secara

berkesinambungan dan yang dikelola adalah hutan menurut Pasal 1 angka 2 UU

Kehutanan adalah “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Hutan menurut

Alam Setia Zain (1997, hal. 1) adalah “suatu lapangan pertumbuhan pohon yang

secara keseluruhan merupakan pesekutuan hidup alam hayati beserta alam

lingkungannya, dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan”.Hal ini berarti bahwa

yang disebut sebagai hutan apabila terdapat hamparan yang luas, berisi tumbuhan

alam yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan dan ditetapkan oleh pemerintah

sebagai hutan. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Alam Setia Zain (1997, hal. 2),

bahwa disebut sebagai hutan, jika terdapat unsur-unsur:

a. Suatu areal lapangan;

b. Terdapat tumbuhan dan satwa beserta alam lingkungannya;

c. Ditetapkan pemerintah sebagai hutan;

d. Mampu memberikan manfaat secara lestari.


14

Hutan dibedakan antara hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi.

Menurut Arifin Arief (1994, hal. 104), hutan menurut tujuan dikelompokkan menjadi:

1) Hutan produksi adalah kawasan hutan yang khusus dikelola untuk


menghasilkan jenis-jenis hasil hutan tertentu sebagai keperluan industry
dan ekspor. Contoh hutan jati, hutan pinus, hutan damar, hutan mahoni
dan sonokeling.
2) Hutan lindung, adalah kawasan hutan yang dikelola untuk kepentingan
perlindungan lingkungan dari bahawa banjir dan erosi serta untuk
mengusahakan kesuburan tanah dan pengaturan tata air. Hutan lindung
terdiri dari berbagai jenis pohon yang mempunyai tajuk rapat sehingga
tanah dapat terlindungi dari sinar matahari.
3) Hutan wisata, adalah kawasan hutan yang dibina, dipelihara, dan dikelola
secara khusus untuk kepentingan pariwisata atau perburuan secara
berkala.
4) Hutan suaka alam, adalah kawasan hutan yang karena sifat khasnya
diperuntukkan secara khusus bagi perlindungan dan pelestarian tipe-tipe
ekosistem tertentu guna menjamin stabilitas alam hayati dan menjamin
sumber plasma nutfah yang cukup bagi perkembangan flora dan fauna
secara alami.
Perihal pengelolaan hutan, UU Kehutanan tidak memberikan definisi mengenai

pengelolaan hutan, sebagaimana dikutip dari Kebijakan Kesatuan Pengelolaan Hutan

bahwa “pengelolaan hutan merupakan perpaduan antara aspek ekonomi, ekologi dan

sosial secara proporsional dan professional.Pengelolaan hutan bertujuan untuk

meningkatkan peran dan tanggungjawab pengelolaan secara lestari, sehingga

kelestarian ekosistem hutan bertujuan untuk memberikan arah pengelolaan sumber

daya hutan”. Hal ini berarti bahwa jika hutan tersebut dikelola meliputi dilindungi,
15

dimanfaatkan secara berkesinambungan, maka kepastian hutan terjaga.

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

memproduksi hasil hutan sebagaimana Pasal 1 angka 7 UU Kehutanan, hutan lindung

menurut Pasal 1 angka 8 UU Kehutanan adalah “kawasan hutan yang mempunyai

fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata

air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara

kesuburan tanah”. Hutan konservasi menurut Pasal 1 angka 9 UU Kehutanan adalah

“kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yangmempunyaifungsipokok pengawetan

keanekaragaman tumbuhan dan satwaserta ekosistemnya”.

Kawasan hutan menurut Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan adalah “wilayah

tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap”, sedangkan hasil hutan menurut Pasal 1 angka 13

UU Kehutanan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang

berasal dari hutan”. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat

yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi,

sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus

diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi

kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun generasi yang

akan datang. Kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan,

hutan telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan hidup umat

manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya.


16

Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata

bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, yang berarti bahwa hutan

merupakan salah satu pilar sistem penyangga kehidupan, kebijakan pengelolaan hutan

harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan

masyarakat. Sebagai salah satu pilar sistem penyangga kehidupan, kebijakan

pengelolaan hutan harus dilakukan menurut cara yang menjamin keserasian,

keselarasan, keseimbangan, serta berkesinambungan baik antara manusia dengan

Tuhan sebagai penciptanya, antara manusia dengan masyarakat, maupun antara

manusia dengan ekosistemnya. Pengelolaan hutan harus ditujukan tidak hanya untuk

memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan

masyarakat, namun juga harus mendukung kelestarian ekosistem dan konservasi

sumber daya alam hayati, sebagaimana dikutip dari Fatma Ulfatun Najicha Jurnal

Unversitas Sebelas Maret.

Penyelenggaraan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Kehutanan

bertujuan sebagai berikut:

Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakuran rakyat


yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
a. menjamin keberadaan hutan dengna luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional;
b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial,
budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
17

d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangakan kapasitas dan


keberdayaan masyarakat mampu menciptakan ketahanan sosial dan
ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Ketentuan Pasal 3 UU Kehutanan dijelaskan bahwa tujuan penyelenggaraan

kehutanan diantaranya adalah menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup

dan sebaran yang proporsional, sedangkan fungsi penyelenggaraan kehutanan adalah

untuk kepentingan konservasi, lindung, dan produksi untuk mencapai manfaat

lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari.

Hutan mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat, sehingga perlu pencegahan dan pemberantasan

perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 18 Tahun 2013

dengan tujuan sebagai berikut:

Pencegahan dan pemberantasan Perusakan hutan bertujuan:


a. menjamin kepastian hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku Perusakan
hutan ;
b. menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga
kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya;
c. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan
memperhatikan keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat
sejahtera; dan
d. meningkatnya kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-
pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan Perusakan
hutan.
18

Pencegaran dan pemberantasan perusakan hutan tersebut diharapkan hutan tetap

lestari dan adanya suatu larangan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan

berakibat rusaknya hutan sesuai dengan Pasal 12 UU No. 18 Tahun 2013, yang

menentukan:

Setiap orang dilarang:


a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
izin pemanfaatan hutan ;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah;
d. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau
memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin;
e. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak
dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan ;
f. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
g. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnyayang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan
liar;
i. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara;
j. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara;
k. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau
memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar;
19

l. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal


dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; dan/atau
m. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau
memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil
atau dipungut secara tidak sah.

Di antara larangan perusakan hutan tersebut yakni menerima, menjual,

menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan

kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.

Penadahan secara melawan hukum dijelaskan oleh Soesilo  (1997, hlm. 131)

bahwa yang “dinamakan “sekongkol” atau biasa disebut pula “tadah” dalam bahasa

asingnya “heling” itu sebenarnya hanya perbuatan yang disebutkan pada Pasal 480

ayat (1) KUHP”. Selanjutnya Soesilo (1997, hlm. 131) mengemukakan bahwa:

Elemen penting dari Pasal ini ialah: “terdakwa harus mengetahui atau patut dapat
menyangka”, bahwa barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan,
penipuan, pemerasan atau lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut
dapat menyangka (mengira, mencurigai), bahwa barang itu “gelap” bukan barang
yang terang.

Untuk membuktikan elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam prakteknya

biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli

dengan di bawah harga, dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut

ukuran di tempat itu memang mencurigakan. Orang dikatakan menadah apabila ia :


20

a. membeli, menyewa, menukari, menerima gadai, menerima sebagai hadiah,


sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang
itu diperoleh karena kejahatan; atau karena mau mendapat untung :
b. menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membaa, menyimpan
atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat
disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan.
Membeli yang dimaksud adalah memperoleh sesuatu dengan menukar/ membayar

dengan uang. Menyewa yang dimaksud adalah suatu persetujuan dengan mana pihak

yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya

kedayagunaan barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga,

yang oleh pihak penyewa disanggupi pembayarannya. Menukar yang dimaksud

adalah suatu persetujuan untuk memberikan barang secara timbal balik sebagai

gantinya suatu barang yang lain. Menerima gadai yang dimaksud adalah memberikan

pinjaman uang dalam batas waktu tertentu dengan menerima barang sebagai

tanggungan dan apabila batas waktu tiba ternyata tidak ditebus maka barang tersebut

menjadi hak yang memberikan pinjaman. Menerima hadiah yang dimaksud adalah

menerima pemberian dari seseorang Menjual yang dimaksud adalah memberikan

sesuatu dengan memperoleh pembayaran atau uang. Menyewakan yang dimaksud

adalah suatu persetujuan dimana salah satu pihak memberikan kepada pihak lain

kenikmatan dari barang, dengan menerima pembayaran sebagai gantinya.

Menukarkan yang dimaksud adalah salah satu pihak yang membantu pihak lain untuk

dapat menukarkan suatu barang dengan pihak ketiga, dimana pihak pertama tahu

bahwa barang itu merupakan hasil penadahan. Menggadaikan yang dimaksud adalah
21

meminjam uang dalam batas waktu tertentu disertai barang hasil penadahan sebagai

tanggungan. Mengangkut yang dimaksud adalah memuat dan membawa atau

mengirimkan. Menyimpan yang dimaksud adalah  menaruh di tempat yang aman.

Menyembunyikan yang dimaksud adalah membuat sesuatu tersebut tidak terlihat

atau tidak dapat diketahui orang lain. Diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa

diperoleh dari kejahatan penadahan. Menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda

yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan

Sehingga dikatakan menadah apabila ia:

Membeli, menyewa, menukari, menerima gadai, menerima sebagai hadiah,

sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu

diperoleh karena kejahatan atau karena mau mendapat untung.

Menjual, menyewakan, menukarkan, mengadaikan, membawa, menyimpan atau

menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya

bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan.

Selain perbuatan-perbuatan diatas yang dapat digolongkan sebagai perbuatan

menadah, orang yang mengambil untung dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya

atau patut dapat disangkanya bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan, dapat pula

dikatakan “menadah”.

2.2. Tindak Pidana Mengambil Kayu Di Hutan Secara Tidak Sah

Tindak pidana berasal dari istilah Belanda “strafbaar feit” oleh para ahli

hukum di Indonesia menurut Sianturi (1986, hal. 204) diterjemahkan:


22

a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum;

b. Peristiwa pidana;

c. Perbuatan pidana dan tindak pidana.

Perbuatan pidana menurut Roni Wiyanto (2012, hlm. 160) Strafbaar feit

merupakan istilah bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

dengan berbagai arti di antaranya, “yaitu: tindak pidana, delik, perbuatan pidana,

peristiwa pidana, maupun perbuatan yang dapat dipidana”, tindak pidana menurut

Simon dikutip dari Andi Hamzah (2008, hlm. 160), didefinisikan sebagai suatu

“perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,

bertentangan dengan hukum (onrechtmatig), dilakukan dengan kesalahan oleh

seseorang yang mampu bertanggungjawab).

Perbuatan pidana, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP menentukan bahwa:

“suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan

perundang-undangan pidana yang telah ada”, yang dikenal dengan sebutan asas

legalitas dalam hukum pidana, maksudnya suatu perbuatan dapat disebut sebagai

tindak pidana, jika tindakan tersebut telah dirumuskan terlebih dahulu sebagai

perbuatan pidana.

Perbuatan yang dapat/boleh dihukum; peristiwa pidana; dan perbuatan

pidana dan tindak pidana menurut Moeljatno (2000, hal. 54) mempunyai arti yang

sama yaitu "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan

tersebut”. Adanya sanksi menurut Roni Wiyanto (2012, hal. 2) “merupakan


23

karakteristik daripada hukum pidana, yaitu suatu sarana untuk mempertahankan atau

memulihkan nilai-nilai kemanusiaan dan rasa keadilan”. Hal tersebut berarti bahwa

perbuatan tersebut dilarang untuk dilakukannya, larangan mana disertai dengan

sanksi pidana bagi yang melanggar larangan tersebut.

Di dalam tindak pidana terkait dengan sanksi, bahwa perbuatan yang dilarang

dan larangan tersebut ditujukan kepada perbuatannya, yaitu suatu keadaan atau

kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau perbuatan seseorang. Ancaman

pidananya atau sanksinya ditujukan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana

yang biasanya disebut dengan perkataan "barangsiapa" yaitu pelaku perbuatan pidana

sebagai subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban dalam bidang hukum.

Unsur subyektif dalam tindak pidana menurut Roni Wiyanto (2012, hlm. 166) adalah

“unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku (dader) tindak pidana. Unsur subyektif

ini pada dasarnya merupakan hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat ditemukan di

dalam diri si pelaku termasuk ke dalam kategori ini adalah keadaan jiwa atau batin si

pelaku”. Perihal unsur subyektif dalam tindak pidana, Sathohid Kartenegara (1999,

hlm. 86) membedakan menjadi dua macam, yaitu: kemampuan bertanggung jawab

dan kesalahan.

Barangsiapa sebagai pelaku tindak pidana. Pelaku tindak pidana menurut pasal

55 ayat (1) KUHP menentukan:

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:


1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan;
24

2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan


menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman
atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pelaku tindak pidana menurut Pasal 55 KUHP di atas oleh Sugandhi

(1997, hlm. 68-70) dibedakan menjadi empat bagian, yaitu:

a. orang yang melakukan (pleger),


b. orang yang menyuruh melakukan (doen pleger),
c. orang yang turut melakukan (mede pleger) dan
d. orang yang dengan pemberian (uitlokker).
Masing-masing dijelaskan sebagai berikut:

a. Orang yang melakukan. Orang yang melakukan dalam hal ini adalah seorang
yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala unsur dari peristiwa pidana.
b. Menyuruh melakukan yaitu melakukan perbuatan dengan perantaraan orang
lain, sedang perantaraan ini hanya diumpamakan sebagai alat (mittel) si
pembuat tidak melakukan perbuatan itu sendiri, tetapi menggunakan orang
lain sebagai perantara. Dalam doen plegen ini termasuk 2 pihak, yaitu :
1) Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger, middeldelijkedader,
auctor intellectualis, auctor moralis, manus domina, tangan kuat).
2) Pembuat langsung atau pembuat materiil (anmiddelijkedader, auctor
physicus, manus ministra, tangan yang mengabdi).
Pada orang yang disebut dalam nomor 1, ialah yang menyuruh atau
menghendaki terjadinya delik, terdapat unsur melakukan perbuatan secara
physik, ialah perbuatan pelaksanaan.Jadi yang pokok (yang menjadi tanda
25

ciri) dalam menyuruh melakukan ini ialah bahwa alat (pembuat materiil)
tidak dapat dipertanggungjawabkan atau perbuatannya atau tidak dapat
dipidana.Jika pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan (dalam
hukum pidana) atas perbuatannya atau dapat dipidana, maka hal tersebut
tidak terdapat doen plegen.Hal tersebut yang membedakan menyuruh
melakukan dari pada uitloakken (penganjuran). Pada penganjuran juga ada
dua orang (pihak) ialah penganjur (uitlokker) dan pembuat materiil, akan
tetapi di sini pelaku dan alat (pembuat materiil) keduanya dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

c. Turut serta melakukan adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau

turut mengerjakan terjadinya (sesuatu). Turut mengerjakan terjadinya tindak

pidana berarti bersama-sama dengan orang lain atau orang-orang lain

mewujudkan tindak pidana.

Dalam mewujudkan tindak pidana itu ada 3 kemungkinan.

1. Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan

delik.Mereka ini masing-masing dapat juga disebut melakukan delik.

2. Salah seorang memenuhi rumusan delik/unsur-unsur dan ada orang lain

turut serta.

3. Tidak seorangpun melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur

delik seluruhnya, tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu.

Untuk adanya turut serta melakukan diperlukan dua syarat:

1) Adanya kerjasama secara sadar;

2) Adanya pelaksanaan bersama-sama physik (jasmaniah)


26

d. Orang yang dengan pemberian. Orang tersebut harus sengaja membujuk orang

lain, sedang membujuknya harus memakai salah satu dari unsur-unsur seperti

dengan pemberian, salah memakai kekuasaan.

Penyertaan (deelneming) terjadi menurut Loebby Loqman (1995, hlm. 59)

apabila dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Sehingga harus

dicari pertanggung jawaban masing-masing orang yang tersangkut dalam tindak

pidana tersebut, yaitu seseorang ingin melakukan suatu tundak pidana, akan

tetapi ia tidak melaksanakannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk

melaksanakannya. dalam penyertaan ini orang yang disuruh tidak akan dipidana,

sedang orang yang menyuruhnya dianggap sebagai pelakunya. Dialah yang

bertanggungjawab atas peristiwa pidana karena suruhannyalah terjadi suatu

tindak pidana.

Istilah “barangsiapa” ditujukan kepada pelaku tindak pidana yang

melakukan kesalahan, Perihal kesalahan dapat dilakukan atas dasar kesengajaan dan

karena kelalaiannya. Kesengajaan merupakan perbuatan manusia mempunyai

kesalahan, terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu

kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Perbuatan dilakukan dengan sengaja

adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran.

Kesengajaan menurut Lamnintang (2003, hlm. 194) adalah “kemauan untuk

melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau

diperintahkan oleh undang-undang, kesengajaan itu adalah dengan sadar berkehendak


27

untuk melakukan suatu kejahatan tertentu, yang dimaksud dengan yang dikehendaki

dan diketahui” adalah: Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja

harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta menginsyafi atau mengerti (weten)

akan akibat dari perbuatan itu.

Unsur obyektif dalam tindak pidana menurut Lamintang (2003, hlm. 194)

adalah “unsur-unsur yang berasal dari luar diri si pelaku, sebagaimana halnya pada

unsur subyektif, beberapa ahlipun di dalam menjabarkan unsur-unsur yang terdapat di

luar diri si pelaku berbeda-beda”. Selanjutnya Lamintang (2003, hlm. 194) merinci

bentuk unsur obyektif tindak pidana sebagai berikut:

a. sifat melanggar hukum;


b. kualitas dari pelaku;
c. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindak pidana sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Tindak pidana bidang perusakan hutan di antaranya diatur dalam Pasal 87 ayat

(1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013, yang menentukan:

Orang perseorangan yang dengan sengaja: menerima, menjual, menerima tukar,


menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal
dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf m dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00
(dua miliar lima ratus juta rupiah).

Ketentuan Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013 tersebut di

dalamnya terkandung unsur-unsur sebagai berikut:


28

1) Orang perseorangan, menurut Pasal 1 angka 21 UU No. 18 Tahun 2013 Setiap

orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan

perbuatan Perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia

dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia. Korporasi adalah

kumpulan orang dan/atau kekayaan yang teroganisasi, baik berupa badan

hukum maupun bukan badan hukum. Setiap orang dalam hukum pidana

sebagai unsur subyektif menurut Roni Wiyanto (2012, hlm. 166) adalah

“unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku (dader) tindak pidana. Unsur

subyektif ini pada dasarnya merupakan hal-hal atau keadaan-keadaan yang

dapat ditemukan di dalam diri si pelaku termasuk ke dalam kategori ini adalah

keadaan jiwa atau batin si pelaku”. Setiap orang atau korporasi sebagai pelaku

tindak pidana sebagaimana dimaksud oleh Pasal 55 KUHP, sebagaimana telah

dijelaskan pada uraian sebelumnya.

2) Unsur dengan sengaja, menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan,

menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan

hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah, sebagai unsur obyektif,

menurut Lamintang (2003, hlm. 194) adalah “unsur-unsur yang berasal dari

luar diri si pelaku, sebagaimana halnya pada unsur subyektif, beberapa

ahlipun di dalam menjabarkan unsur-unsur yang terdapat di luar diri si pelaku

berbeda-beda”. Unsur obyektif Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18 Tahun

2013, terdiri dari:


29

a. dengan sengaja, maksudnya adalah perbuatan yang dikehendaki dan

dilakukan dengan penuh kesadaran.

b. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,

dan/atau memiliki. Menerima menurut Kamus Bahasa Indonesia diartikan

sebagai menyambut, mengambil, menampung sesuatu yang diberikan.

Menjual maksudnya memberikan sesuatu dengan mendapat ganti rugi

uang.

c. hasil hutan kayu, menurut Pasal 1 angka 13 UU No. 18 Tahun 2013 adalah

hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu olahan, atau

kayu pacakan yang berasal dari kawasan hutan .

d. berasal dari kawasan hutan, menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 18 Tahun

2013 adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

e. diambil atau dipungut secara tidak sah, maksudnya kayu yang diambil dari

hutan tersebut, pengambilannya dilakukan tanpa izin pemangku hutan.


30

BAB 3

ANALISIS TINDAKAN SU YANG MENJUAL KAYU SENGON YANG

DIAMBIL DARI HUTAN SECARA TIDAK SAH

3.1. Kronologi Kasus

Perusakan hutan terjadi dan disangkakan kepada SU, ketika itu tepatnya pada

bulan Desember 2016 mendapat telepon dari RA, isi telepon mengabarkan kalau RA

akan menjual kayu jenis sengon sebanyak 8 (delapan) potong, berbagai macam

ukuran dengan panjang kurang lebih 135 cm. SU menanyakan kepada RA mengenai

kepemilikan kayu tersebut dan dijawab oleh RA bahwa kayu yang ditawarkan untuk

dijual tersebut adalah milik bertiga yaitu RA, SN dan IN.

SU juga menanyakan keamanan perihal kayu tersebut jika dibeli, RA

menjawab bahwa kayu tersebut adalah miliknya, sehingga dijamin aman. SU

kemudian menawar kayu dengan harga Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan

disetujui oleh RA. SU bersedia membayar setelah kayu tersebut dijual lagi dan

dibayar untuk pembelian berikutnya.

RA menyuruh SU pergi ke tempat penumpukan kayu di pinggir jalan houling

PT. TH di Desa Pondok labu. Setelah SU sampai di lokasi, bertemu RA, SN dan IN

yang langsung menaikkan kayu sengon tersebut ke atas mobil pick up yang

dikendarai oleh SU. Setelah kayu telah dinaikan ke mobil SU kemudian pergi

membawa kayu ke Palarang Kota Samarinda, namun di perjalanan mobil SU

diberhentikan oleh petugas Kepolisian yang sedang berpatroli. Petugas tersebut

30
31

menanyakan asal usul kayu yang berada di mobil SU, dan mengaku bahwa kayu

sengon tersebut dibeli dari RA, SN, IN dan SU juga tidak bisa menunjukkan izin

untuk mengangkut kayu hasil hutan tersebut. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, SU

beserta barang bukti berupa kayu sengon 8 (delapan) potong di bawa ke Polsek

Tenggarong.

Jaksa Penuntut Umum mendakwa SU dalam dakwaan tunggal telah

melakukan perbuatan pidana melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam

pidana dalam Pasal 480 ke 1 KUHP, dalam dakwaan tunggal. Pasal 480 ke-1 KUHP,

menentukan:

Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah. Barang siapa membeli, menyewa, menukar,
menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, meyimpan atau
menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga
bahwa diperoleh dari kejahatan.

Pengadilan Negeri Tenggarong dalam putusannya Nomor 89/Pid.B/2017/ PN.

TRG., amarnya sebagai berikut:

1) Menyatakan SU telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana ”Penadahan”;

2) Menjatuhkan pidana kepada SU oleh karena itu dengan pidana penjara selama

1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan;

Memperhatikan uraian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa di satu sisi SU


32

yang menjual kayu sengon hasil kejahatan atau tindak pidana dapat dikatakan sebagai

telah melakukan penadahan, sehingga telah tepat dakwaan, tuntutan dan putusan

Pengadilan Negeri Tenggarong. Namun di sisi yang lain, bahwa kayu sengon yang

dijadikan obyek jual beli diambil dari hutan secara tidak sah, sehingga dapat

dikatakan telah menjual atau membeli kayu sengon yang diperoleh dari hasil

kejahatan.

3.2. Analisis Masalah

SU didakwa telah melakukan tindak pidana melanggar ketentuan Pasal 480 ke 1

KUHP tentang Penadahan dan Pengadilan Negeri Tenggarong dalam putusannya

Nomor 89/Pid.B/2017/ PN. TRG., amarnya menyatakan SU telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”Penadahan”. Dikaitkan dengan

asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa: “Tiada

suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-

undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Berdasarkan uraian tersebut

di atas, maka dapat dipahami bahwa asas legalitas merupakan asas yang fundamental

dalam hukum pidana sebab untuk menentukan apakah suatu perbuatan merupakan

perbuatan pidana atau tidak. Mengetahui hal ini, dalam hukum pidana dianut asas

legalitas yaitu asas yang menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan perbuatan

pidana apabila terdapat suatu aturan yang mengatur hal tersebut yang telah ada

sebelum perbuatan dilakukan. Pada kasus di atas bahwa SU melakukan perbuatan

pidana “penadahan, melanggar ketentuan Pasal 480 ke 1 KUHP, sehingga asas


33

legalitas telah terpenuhi.

Mengenai asas legalitas, Moeljatno (2000, hal. 54) mengemukakan bahwa:

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”.

Adanya sanksi menurut Roni Wiyanto (2012, hal. 2) “merupakan karakteristik

daripada hukum pidana, yaitu suatu sarana untuk mempertahankan atau memulihkan

nilai-nilai kemanusiaan dan rasa keadilan”. Hal tersebut berarti bahwa perbuatan

tersebut dilarang untuk dilakukannya, larangan mana disertai dengan sanksi

pidana bagi yang melanggar larangan tersebut.

Sehubungan dengan tindak pidana penadahan sebagaimana melanggar Pasal

480 ke 1 KUHP sebagaimana tersebut di atas, barang yang ditadah berupa kayu yang

diambil dari hutan secara tidak sah karena tanpa izin. Kayu tersebut diambil dari

hutan, sehingga yang terjadi adalah adanya perusakan hutan, sehingga melanggar

ketentuan yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 2013.

Mengenai perusakan hutan menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 18 Tahun 2013

adalah “proses, cara, atau perbuatan merusakhutan melalui kegiatan pembalakan

liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan

dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah

ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh

Pemerintah”.
34

Hutan mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat, sehingga perlu pencegahan dan pemberantasan

perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 18 Tahun 2013

dengan tujuan sebagai berikut:

Pencegahan dan pemberantasan Perusakan hutan bertujuan:


a. menjamin kepastian hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku Perusakan
hutan ;
b. menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga
kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya;
c. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan
memperhatikan keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat
sejahtera; dan
d. meningkatnya kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-
pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan Perusakan
hutan.

Pencegaran dan pemberantasan perusakan hutan tersebut diharapkan hutan tetap

lestari dan adanya suatu larangan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan

berakibat rusaknya hutan sesuai dengan Pasal 12 UU No. 18 Tahun 2013, yang

menentukan:

Setiap orang dilarang:


a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
izin pemanfaatan hutan ;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah;
35

d. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau


memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin;
e. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak
dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan ;
f. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
g. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnyayang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan
liar;
i. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara;
j. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara;
k. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau
memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar;
l. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal
dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; dan/atau
m. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau
memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil
atau dipungut secara tidak sah.

Perbuatan SU yang menjual kayu sengon yang diambil dari hutan secara tidak sah

dengan cara membeli dari RA untuk dijual kembali, namun setelah SU menaikkan

kayu ke mobil miliknya dan pergi membawa kayu tersebut ke Palarang Kota

Samarinda, namun di perjalanan mobil SU diberhentikan oleh petugas Kepolisian

yang sedang berpatroli. Petugas tersebut menanyakan asal usul kayu yang berada di
36

mobil SU, dan mengaku bahwa kayu sengon tersebut dibeli dari RA, SN dan IN dan

SU juga tidak bisa menunjukkan izin untuk mengangkut kayu hasil hutan tersebut.

Untuk pemeriksaan lebih lanjut, SU beserta barang bukti berupa kayu sengon 8

potong di bawa ke Polsek Tenggarong.

Perbuatan yang dilakukan oleh SU, yaitu menjual kayu sengon yang diambil

dari hutan secara tidak sah, merpakan perbuatan yang dilarang sebagaimana Pasal 87

ayat (1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013, yang menentukan:

Orang perseorangan yang dengan sengaja: menerima, menjual, menerima tukar,


menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal
dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf m dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00
(dua miliar lima ratus juta rupiah)

Ketentuan Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013, di dalamnya terkandung

unsur sebagai berikut:

1) Orang perseorangan, menurut Pasal 1 angka 21 UU No. 18 Tahun 2013 Setiap

orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan

perbuatan Perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia

dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia. Korporasi adalah

kumpulan orang dan/atau kekayaan yang teroganisasi, baik berupa badan

hukum maupun bukan badan hukum. Setiap orang termasuk sebagai unsur
37

subyektif perbuatan pidana, menurut Roni Wiyanto (2012, hlm. 160) adalah

unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku (dader) tindak pidana. Unsur

subyektif ini pada dasarnya merupakan hal-hal atau keadaan-keadaan yang

dapat ditemukan di dalam diri si pelaku termasuk ke dalam kategori ini adalah

keadaan jiwa atau batin si pelaku. Setiap orang atau korporasi sebagai pelaku

tindak pidana sebagaimana dimaksud oleh Pasal 55 KUHP, sebagaimana telah

dijelaskan pada uraian sebelumnya.

Setiap orang sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dalam Pasal

55 KUHP, yang menentukan:

Pelaku tindak pidana menurut pasal 55 ayat (1) KUHP menentukan:

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:


1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang
turut serta melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya

Apabila dikaitkan dengan kasus, SU merupakan orang perorangan

yang melakukan tindak pidana terjemahan dari bahasa Belanda “Strafbaar

Feit” yang dalam bahasa Inggris dari kata “Criminal Act” = Offense. Roni
38

Wiyanto (2012, hlm. 2) mengenai pengertian tindak pidana mengemukakan

bahwa tindak pidana berasal dari istilah “strafbaar feit” merupakan istilah

bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan

berbagai arti di antaranya, yaitu: tindak pidana, delik, perbuatan pidana,

peristiwa pidana, maupun perbuatan yang dapat dipidana”. Tindak pidana

menurut Simon dikutip dari Andi Hamzah (2008, hlm. 97), didefinisikan

sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh

undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig), dilakukan

dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. Perbuatan

pidana, diartikan oleh Moeljatno (2000, hlm. 54) sebagai "perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut".

SU menjual kayu sengon yang diambil dari hutan secara tidak sah, menjual

kayu tidak sah merupakan suatu perbuatan melanggar hukum sebagai suatu

perbuatan yang kepada pelukunya dalam hal ini SU dapat dihukum, sehingga

unsur orang peroangan dalam UU No. 18 Tahun 2013 telah terpenuhi

2) Unsur dengan sengaja, menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan,

menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan

hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah, sebagai unsur obyektif,

menurut Lamintang (2003, hlm. 194) adalah “unsur-unsur yang berasal dari

luar diri si pelaku, sebagaimana halnya pada unsur subyektif, beberapa


39

ahlipun di dalam menjabarkan unsur-unsur yang terdapat di luar diri si pelaku

berbeda-beda”. Unsur obyektif Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18 Tahun

2013, terdiri dari:

1) Dengan sengaja. Dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan

dilakukan dengan penuh kesadaran. Kesengajaan merupakan perbuatan

manusia yang sebagai subjek hukum. Perbuatan dilakukan dengan sengaja

adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh

kesadaran. Dalam kesengajaan dalam melakukan tindak pidana menurut

Moeljatno (2000, hlm. 54) dapat di kualifikasikan menjadi 3 butir, sebagai

berikut:

1. kesengajaan dengan maksud (dolus derictus);

2. kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan

3. kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).

Selanjutnya menurut Moeljatno (2000, hlm. 177), menjelaskan

mengenai kesengajaan tersebut sebagai berikut:

1. Kesengajaan sebagai maksud, yakni si pembuat menghendaki adanya


akibat yang dilarang dari perbuatannya.
2. Kesengajaan sebagai kepastian, yaitu si pembuat hanya dapat
mencapai tujuan dengan melakukan perbuatan lain dan perbuatan
tersebut juga merupakan perbuatan yang dilarang.
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan, yaitu si pembuat mengetahui
adanya kemungkinan terjadinya tindak pidana lain, namun tidak
menghalangi maksud dari si pembuat untuk melakukan perbuatannya.
40

Apabila diterapkan dalam kasus yang dibahas, SU melakukan

tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja. Tindak pidana yang

dilakukan oleh SU termasuk dalam kesengajaan sebagai maksud SU

dalam melakukan tindak pidana menjual kayu sengon dari hasil hutan

yang diperoleh dengan tidak sah dilakukan dengan sengaja. Karena SU

dalam memperoleh kayu sengon tersebut tidak bisa bisa menunjukkan izin

untuk mengangkut kayu hasil hutan tersebut, sehingga unsur dengan

sengaja telah terpenuhi.

2) Menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,

dan/atau memiliki. Menerima menurut Kamus Bahasa Indonesia diartikan

sebagai menyambut, mengambil, menampung sesuatu yang diberikan.

Menjual maksudnya memberikan sesuatu dengan mendapat ganti rugi

uang.

Apabila dikaitkan dengan kasus, SU yang membeli kayu sengon

dari RA dengan tujuan untuk dijual kembali. Disepakati pembelian kayu

sengon tersebut sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan akan

dibayarkan setelah kayu itu laku dijual. Saat SU membawa kayu yang

telah dibeli dari RA, diberhentikan oleh petugas kepolisian yang sedang

berpatroli. Saat diperiksa, SU tidak bisa menunjukkan izin untuk

mengangkut kayu hasil hutan tersebut.

3) Hasil hutan kayu, menurut Pasal 1 angka 13 UU No. 18 Tahun 2013


41

adalah hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu olahan,

atau kayu pacakan yang berasal dari kawasan hutan. Kayu sengon yang

dibeli oleh SU dari RA merupakan hasil hutan. Oleh karena itu, setiap

kayu yang diperoleh dari hasil hutan memeiliki surat izin dari pihak yang

berwenang, namun saat petugas kepolisian yang sedang berpatroli

memberhentikan mobil milik SU yang membawa 8 kayu sengon tidak

dilengkapi surat izin untuk mengangkut kayu hasil hutan, sehingga unsur

hasil hutan kayu telah terpenuhi.

4) Berasal dari kawasan hutan, menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 18 Tahun

2013 adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kayu sengon yang

dibeli oleh SU dari RA merupakan kayu sengon yang diambil dari

kawasan hutan di daerah Tenggarong, sehingga unsur berasal dari

kawasan hutan telah terpenuhi.

5) Diambil atau dipungut secara tidak sah, maksudnya kayu yang diambil

dari hutan tersebut, pengambilannya dilakukan tanpa izin pemangku

hutan. Kayu sengon yang diambil oleh RA dipungut dari kawasan hutan

secara tidak sah, dengan bukti bahwa RA juga tidak bisa menunjukkan

surat izin dalam memperoleh kayu hasil hutan, sehingga unsur diambil

atau dipungut secara tidak sah telah terpenuhi.

Memperhatikan uraian sebagaimana penjelasan tersebut diatas, dapat


42

dijelaskan bahwa SU telah memenuhi keseluruhan unsur melakukan perbuatan

melanggar Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013. Atas terpenuhinya

keseluruhan unsur tersebut, sehingga SU dapat dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00

(dua miliar lima ratus juta rupiah). Hal sebagaimana tersebut di atas menunjukan

bahwa jika SU oleh Pengadilan Negeri Tenggarong dalam putusannya Nomor

89/Pid.B/2017/ PN. TRG., amarnya sebagai berikut:

1) Menyatakan SU telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana ”Penadahan”;

2) Menjatuhkan pidana kepada SU oleh karena itu dengan pidana penjara selama

1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan.

Meskipun putusan Pengadilan Negeri Tenggarong tersebut telah tepat

menurut hukum pidana, karena perbuatannya tersebut memenuhi keseluruhan unsur

Pasal 480 ke 1 KUHP, namun karena barang yang ditadah atau diterima, dijual ,

disimpan dan/atau dimiliki tersebut berupa kayu yang diambil dari hutan tanpa izin

mengakibatkan hutan tersebut rusak, maka perbuatan SU tersebut juga memenuhi

keseluruhan unsur Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013. SU yang

melakukan satu perbuatan yakni melakukan penadahan kayu dari hasil hutan yang

diambil tanpa izin, telah melakukan dua peraturan perundang-undangan, yakni

melakukan perbuatan melanggar Pasal 480 ke 1 KUHP sebagai aturan yang bersifat
43

umum dan melakukan pula perbuatan melanggar Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18

Tahun 2013 sebagai aturan yang bersifat khusus. Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat

(2) KUHP, yang menentukan: “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana

yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus

itulah yang diterapkan”. Ketentuan Pasal 480 ke 1 KUHP dengan ancaman pidana

berupa pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak

sembilan ratus rupiah, sebagai aturan yang bersifat umum dan melanggar ketentuan

Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013 sebagai aturan bersifat khusus

dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5

(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Pengadilan Negeri Tenggarong dalam putusannya Nomor 89/Pid.B/2017/ PN. TRG.,

amarnya menjatuhkan pidana kepada SU oleh karena itu dengan pidana penjara

selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan, jika didasarkan atas ketentuan Pasal 87 ayat

(1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013 ancaman pidananya penjara paling singkat 1

(satu) tahun.
44

TINDAKAN SU MENJUAL KAYU SENGON YANG DIAMBIL DARI


HUTAN SECARA TIDAK SAH DITINJAU DARI KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN
2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
PERUSAKAN HUTAN

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Oleh :
ERFAN MIRZA AULIA RACHMAN

120115159

PROGRAM KEKHUSUSAN PERADILAN


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
2019
45

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta,Rineka Cipta

Lamintang, 2011, PAF. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya,


Bandung.

Purwoleksono, Didik Endro, 2014, Hukum Pidana, Airlangga University Press,


Surabaya

Sahetapy, J.E. 2003, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.

Schaffmeister, D. et.all, 2011, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Wiyanto, Roni, 2012, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
46

1. Bagaimana pengaturan pemungutan/pengambilan hasil hutan yang sah?


Jelaskan dengan dasar hukum!
Pasal 1 angka 12 UU No. 18 Tahun 2013 menentukan “surat keterangan sahnya
hasil hutan adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan
pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan”. Sedangkan hasil
hutan kayu menurt Pasal 1 angka 13 UU No. 18 Tahun 2013 adalah “hasil hutan
berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu olahan, atau kayu pacakan yang berasal
dari kawasan hutan.
Pasal 75 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan
Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan
Penggunaan Kawasan Hutan
1. Setiap pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan wajib dilengkapi
bersama-sama dengan dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan yang
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.
2. Setiap pengangkutan hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
sesuai dengan alamat tujuan yang tertulis di dalam dokumen Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) atau Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa
Liar (SATS).
3. Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak sama dengan keadaan fisik dari jenis, jumlah
maupun volume hasil hutan, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak
mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.
4. Dokumen surat yang wajib dilengkapi bersama-sama dengan hasil hutan yang
diangkut, dikuasai atau dimiliki sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) untuk hasil hutan yang
berasal dari hutan negara;
b. Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar (SATS) untuk tumbuhan dan
satwa liar;
c. Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk hasil hutan yang berasal dari
hutan hak.

2. Bagaimana membuktikan pemungutan hasil hutan yang tidak sah di kasus


ini ?
SN mendapat telepon dari RA mau menjual kayu sengon. SN menanyakan
kepemilikan kayu tersebut, RA menjawab bahwa kayu tersebut adalah miliknya dan
aman karena kayu tersebut adalah miliknya. RA menyuruh SN untuk pergi tempat
47

penumpukan kayu di pinggir jalan houling PT. TH di Desa Pondok labu. SN bertemu
RA, SU dan IN yang langsung menaikkan kayu sengon tersebut ke atas mobil pick
up. Setelah kayu sudah berada di atas mobil SN, SN pergi membawa kayu tersebut ke
Palarang Kota Samarinda, namun di perjalanan mobil SN diberhentikan oleh petugas
Kepolisian yang sedang berpatroli. Petugas tersebut menanyakan asal usul kayu yang
berada di mobil SN, SN mengaku bahwa kayu sengon tersebut dibeli dari RA, SU
dan ID dan SN juga tidak bisa menunjukkan izin untuk mengangkut kayu hasil hutan
tersebut.
3. Bagaimana SU dibohongi berarti SU tidak mengetahui kayu tersebut illegal
Sesuai dengan ketentuan Pasal 12 huruf d UU No 18 Tahun 2013 dilarang
memuat/mengangkut kayu hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin SU
melakukan perbuatan tersebut yakni mengangkut kayu hasil penebangan di kawasan
hutan tanpa izin.
48

NAMA NRP JUDUL RUMUSAN MASALAH


ERIEC 2120242 TINDAKAN AS MEMILIKI DAN Apakah tindakan tindakan AS
OKTRA memiliki dan memanfaatkan
MEMANFAATKAN HASIL
TAMA hasil hutan kayu yang berasal
HUTAN KAYU YANG BERASAL dari pembalakan liar ditinjau dari
pasal 83 ayat (2) huruf a dan
DARI PEMBALAKAN LIAR
pasal 83 ayat (2) huruf c Undang-
DITINJAU DARI PASAL 83 AYAT Undang Nomor 18 Tahun 2013
Tentang Pencegahan Dan
(2) HURUF A DAN PASAL 83
Pemberantasan Perusakan Hutan
AYAT (2) HURUF C UNDANG-
UNDANG NOMOR 18 TAHUN
2013 TENTANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN
49

PERUSAKAN HUTAN

ERFAN 120115159 TINDAKAN SU MENJUAL KAYU Apakah tindakan SU yang


MIRZA menjual kayu sengon yang
SENGON YANG DIAMBIL DARI
AULIA diambil dari hutan secara tidak
RACHM HUTAN SECARA TIDAK SAH sah dapat dikenakan pidana
AN berdasarkan Kitab Undang-
DITINJAU DARI KITAB
Undang Hukum Pidana dan
UNDANG-UNDANG HUKUM Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 Tentang Pencegahan
PIDANA DAN UNDANG-
Dan Pemberantasan Perusakan
UNDANG Hutan ? DITINJAU DARI Pasal
480 ke 1 KUHP jo Pasal 87 ayat
(1) UU No. 18 Tahun 2013
50

ERFAN MIRZA AULIA RACHMAN

120115159

1) Izin yang tidak dipenuhi yakni izin pemanfaatan hutan sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 UU No. 18 Tahun 2013
2) Pengaturan pengambilan hasil hutan yang sah yakni melakukan penebangan
pohon dalam kawasan hutan yang sesuai dengan izin pemanfaatan hutan ;
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan memiliki izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; melakukan penebangan pohon
dalam kawasan hutan secara sah sebagaimana Pasal 12 UU No. 18 Tahun 2013
3) Bukti pengambilan hasil hutan yang sah menunjukan Izin Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu adalah izin usaha yang diberikan oleh Menteri untuk
memanfaatkan hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan
pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran
sebagaimana Pasal 1 angka 11 UU No. 18 Tahun 2013.

Anda mungkin juga menyukai