BAB 1
PENDAHULUAN
Bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hutan
sebagai salah satu kekayaan alam, sebagai karunia dan anugerah Tuhan Yang
Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang
dikuasai oleh negara dan memberikan manfaat bagi umat manusia yang wajib
fungsi ekologis, sosial, dan ekonomis serta untuk menjaga keberlanjutan bagi
kehidupan sekarang dan kehidupan generasi yang akan datang. Telah terjadi
perusakan hutan yang disebabkan oleh pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
Tahun 2013).
1
2
penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan
dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah
ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh
Pemerintah”.
Hutan mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi negara dan dipergunakan untuk
lestari dan adanya suatu larangan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan
berakibat rusaknya hutan sesuai dengan Pasal 12 UU No. 18 Tahun 2013, yang
menentukan:
3
tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Larangan
tersebut disertai sanksi bagi pelanggarnya berupa pidana sebagaimana Pasal 87 ayat
Kasus perusakan hutan terjadi tepatnya pada tanggal bulan Desember 2016
SU (terdakwa) bekerja sebagai wiraswasta di bidang usaha jual beli kayu mendapat
telepon dari RA yang mengabarkan kalau dia mau menjual kayu sengon sebanyak 8
potong berbagai ukuran dengan panjang kurang lebih 135 cm. SU menanyakan
kepemilikan kayu tersebut kepada RA dan dijawab bahwa kayu tersebut adalah milik
bertiga yaitu RA, SN dan IN. SU juga menanyakan keamanan perihal kayu tersebut
apabila dibeli, RA menjawab bahwa aman karena kayu tersebut adalah miliknya. SU
menawar kayu tersebut seharga Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan disetujui
oleh RA. SU akan membayar apabila kayu tersebut laku dijual dan dibayar pembeli
berikutnya.
5
Houling PT. TH di Desa Pondok labu. Setelah SU sampai di lokasi, SU bertemu RA,
SN dan IN yang langsung menaikkan kayu sengon tersebut ke atas mobil pick up
yang dikendarai oleh SU. Setelah kayu sudah berada di atas mobil SU kemudian
tersebut menanyakan asal usul kayu yang berada di mobil SU, dan mengaku bahwa
kayu sengon tersebut dibeli dari RA, SN dan IN dan SU juga tidak bisa menunjukkan
izin untuk mengangkut kayu hasil hutan tersebut. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, SU
beserta barang bukti berupa kayu sengon 8 potong di bawa ke Polsek Tenggarong.
ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 480 ke 1 KUHP,
Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah. Barang siapa membeli, menyewa, menukar,
menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, meyimpan atau
menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga
bahwa diperoleh dari kejahatan.
2) Menjatuhkan pidana kepada SU oleh karena itu dengan pidana penjara selama
yang menjual kayu sengon hasil kejahatan atau tindak pidana dapat dikatakan sebagai
telah melakukan penadahan, sehingga telah tepat dakwaan, tuntutan dan putusan
Pengadilan Negeri Tenggarong. Namun di sisi yang lain, bahwa kayu sengon yang
dijadikan obyek jual beli diambil dari hutan secara tidak sah, sehingga dapat
dikatakan telah menjual atau membeli kayu sengon yang diperoleh dari hasil
kejahatan.
diambil dari hutan secara tidak sah dapat dikenakan pidana berdasarkan Kitab
Skripsi ini berjudul “Tindakan SU Menjual Kayu Sengon Yang Diambil Dari
Hutan Secara Tidak Sah Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
7
Menjual kayu yang diperoleh dari hutan secara tidak sah sebagai telah
melakukan perusakan hutan, kepadanya dikatakan melanggar Pasal 87 ayat (1) huruf
c UU No. 18 Tahun 2013 dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
kejahatan dapat dikatakan sebagai telah melakukan penadahan melanggar Pasal 480
ke-1 KUHP, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah. SU oleh Pengadilan Negeri Tenggarong diputus
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan. Hal ini menarik untuk
dibahas, karena berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP, bahwa ketentuan
yang khusus mengalahkan ketentuan yang bersifat umum, sehingga dijadikan alasan
a. Tujuan Akademis, untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar
kayu sengon yang diambil dari hutan secara tidak sah dapat dipidana berdasarkan
a. Tipe Penelitian
Tipe penelitian dalam skripsi ini menggunakan tipe penelitian hukum yuridis
normatif. Penelitian hukum yuridis normatif menurut Peter Mahmud Marzuki (2009,
h. 35) yaitu ”Suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”.
Pendekatan yang digunakan mengkaji dari Peter Mahmud Marzuki (2009, h. 95)
yaitu statute approach dan conceptual approach. Statute approach adalah pendekatan
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dihadapi. Pendekatan secara
b. Pendekatan Masalah
berkaitan dengan materi yang dibahas. Pendekatan secara conceptual approach yaitu
suatu pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana sebagai landasan
pendukung pembahasan.
9
c. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berupa
hukum yang bersifat mengikat. Bahan hukum primer dalam hal ini adalah
bahan hukum primer, yang berupa buku-buku literatur, karya ilmiah dan
dibahas.
d. Langkah Penulisan
Langkah pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini adalah melalui studi
kepustakaan, yaitu diawali dengan mengumpulkan semua bahan hukum yang terkait
bahan hukum yang terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan
bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum,
maju menuju permasalahan dalam penulisan ini dan akan dilanjutkan dengan
penjelasan secara rinci pada bab-bab berikutnya. Pendahuluan ini berisikan gambaran
tentang permasalahan yang terjadi yang akan dibahas dan diletakkan dalam Rumusan
Masalah, Alasan Pemilihan Judul, Tujuan Penulisan yang terbagi dalam tujuan
Mengambil Kayu di Hutan secara tidak sah dan Perbarengan. Bab ini akan mengkaji
landasan teoritis dan hukum positif yang akan digunakan untuk dasar pembahasan
pada bab berikutnya yang terdiri dari dua sub bab yaitu: Ruang Lingkup Penadahan
dan mengambil katyu di hutan, Tindak Pidana Mengambil Kayu di Hutan secara
Bab 3. Analisis tindakan SU yang menjual kayu sengon yang diambil dari
hutan secara tidak sah. Bab ini dibahas untuk menjawab pertanyaan apakah tindakan
SU yang menjual kayu sengon yang diambil dari hutan secara tidak sah dapat
dipidana berdasarkan KUHP dan UU No. 18 Tahun 2013. Sub babnya terdiri atas
Bab 4, Kesimpulan dan saran, yang mengakhiri seluruh rangkaian uraian dan
pembahasan. Sub babnya terdiri atas simpulan, berisi jawaban atas masalah dan saran
BAB 2
DAN PERBARENGAN
untuk menadah yaitu menerima barang apa yang jatuh atau dilemparkan,
ditadah dan diambil berupa kayu hasil hutan, hasil hutan menurut Pasal 1 angka 13
UU 18 Tahun 2013, adalah “hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu
Kayu diambil dari hutan, perihal hutan terdapat dua peraturan perundang-
2013, namun tidak satu pasalpun yang memberikan definisi tentang pengelolaan
12
13
Pengelolaan menurut Kamus Bahasa Indonesia berasal dari kata “kelola” diartikan
pengurus, penyelenggara.
Kehutanan adalah “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Hutan menurut
Alam Setia Zain (1997, hal. 1) adalah “suatu lapangan pertumbuhan pohon yang
lingkungannya, dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan”.Hal ini berarti bahwa
yang disebut sebagai hutan apabila terdapat hamparan yang luas, berisi tumbuhan
alam yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan dan ditetapkan oleh pemerintah
sebagai hutan. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Alam Setia Zain (1997, hal. 2),
Hutan dibedakan antara hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi.
Menurut Arifin Arief (1994, hal. 104), hutan menurut tujuan dikelompokkan menjadi:
bahwa “pengelolaan hutan merupakan perpaduan antara aspek ekonomi, ekologi dan
daya hutan”. Hal ini berarti bahwa jika hutan tersebut dikelola meliputi dilindungi,
15
fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap”, sedangkan hasil hutan menurut Pasal 1 angka 13
UU Kehutanan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang
berasal dari hutan”. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat
yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi,
sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus
akan datang. Kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan,
hutan telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan hidup umat
bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, yang berarti bahwa hutan
merupakan salah satu pilar sistem penyangga kehidupan, kebijakan pengelolaan hutan
manusia dengan ekosistemnya. Pengelolaan hutan harus ditujukan tidak hanya untuk
memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan
sumber daya alam hayati, sebagaimana dikutip dari Fatma Ulfatun Najicha Jurnal
kehutanan diantaranya adalah menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup
Hutan mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi negara dan dipergunakan untuk
lestari dan adanya suatu larangan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan
berakibat rusaknya hutan sesuai dengan Pasal 12 UU No. 18 Tahun 2013, yang
menentukan:
kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
Penadahan secara melawan hukum dijelaskan oleh Soesilo (1997, hlm. 131)
ayat (1) KUHP”. Selanjutnya Soesilo (1997, hlm. 131) mengemukakan bahwa:
Elemen penting dari Pasal ini ialah: “terdakwa harus mengetahui atau patut dapat
menyangka”, bahwa barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan,
penipuan, pemerasan atau lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut
dapat menyangka (mengira, mencurigai), bahwa barang itu “gelap” bukan barang
yang terang.
Untuk membuktikan elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam prakteknya
biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli
dengan di bawah harga, dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut
dengan uang. Menyewa yang dimaksud adalah suatu persetujuan dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya
kedayagunaan barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga,
adalah suatu persetujuan untuk memberikan barang secara timbal balik sebagai
gantinya suatu barang yang lain. Menerima gadai yang dimaksud adalah memberikan
pinjaman uang dalam batas waktu tertentu dengan menerima barang sebagai
tanggungan dan apabila batas waktu tiba ternyata tidak ditebus maka barang tersebut
menjadi hak yang memberikan pinjaman. Menerima hadiah yang dimaksud adalah
adalah suatu persetujuan dimana salah satu pihak memberikan kepada pihak lain
Menukarkan yang dimaksud adalah salah satu pihak yang membantu pihak lain untuk
dapat menukarkan suatu barang dengan pihak ketiga, dimana pihak pertama tahu
bahwa barang itu merupakan hasil penadahan. Menggadaikan yang dimaksud adalah
21
meminjam uang dalam batas waktu tertentu disertai barang hasil penadahan sebagai
atau tidak dapat diketahui orang lain. Diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa
diperoleh dari kejahatan penadahan. Menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda
yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan
sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu
menadah, orang yang mengambil untung dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya
atau patut dapat disangkanya bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan, dapat pula
dikatakan “menadah”.
Tindak pidana berasal dari istilah Belanda “strafbaar feit” oleh para ahli
b. Peristiwa pidana;
Perbuatan pidana menurut Roni Wiyanto (2012, hlm. 160) Strafbaar feit
dengan berbagai arti di antaranya, “yaitu: tindak pidana, delik, perbuatan pidana,
peristiwa pidana, maupun perbuatan yang dapat dipidana”, tindak pidana menurut
Simon dikutip dari Andi Hamzah (2008, hlm. 160), didefinisikan sebagai suatu
perundang-undangan pidana yang telah ada”, yang dikenal dengan sebutan asas
legalitas dalam hukum pidana, maksudnya suatu perbuatan dapat disebut sebagai
tindak pidana, jika tindakan tersebut telah dirumuskan terlebih dahulu sebagai
perbuatan pidana.
pidana dan tindak pidana menurut Moeljatno (2000, hal. 54) mempunyai arti yang
sama yaitu "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan
karakteristik daripada hukum pidana, yaitu suatu sarana untuk mempertahankan atau
memulihkan nilai-nilai kemanusiaan dan rasa keadilan”. Hal tersebut berarti bahwa
Di dalam tindak pidana terkait dengan sanksi, bahwa perbuatan yang dilarang
dan larangan tersebut ditujukan kepada perbuatannya, yaitu suatu keadaan atau
pidananya atau sanksinya ditujukan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana
yang biasanya disebut dengan perkataan "barangsiapa" yaitu pelaku perbuatan pidana
sebagai subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban dalam bidang hukum.
Unsur subyektif dalam tindak pidana menurut Roni Wiyanto (2012, hlm. 166) adalah
“unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku (dader) tindak pidana. Unsur subyektif
ini pada dasarnya merupakan hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat ditemukan di
dalam diri si pelaku termasuk ke dalam kategori ini adalah keadaan jiwa atau batin si
pelaku”. Perihal unsur subyektif dalam tindak pidana, Sathohid Kartenegara (1999,
hlm. 86) membedakan menjadi dua macam, yaitu: kemampuan bertanggung jawab
dan kesalahan.
Barangsiapa sebagai pelaku tindak pidana. Pelaku tindak pidana menurut pasal
a. Orang yang melakukan. Orang yang melakukan dalam hal ini adalah seorang
yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala unsur dari peristiwa pidana.
b. Menyuruh melakukan yaitu melakukan perbuatan dengan perantaraan orang
lain, sedang perantaraan ini hanya diumpamakan sebagai alat (mittel) si
pembuat tidak melakukan perbuatan itu sendiri, tetapi menggunakan orang
lain sebagai perantara. Dalam doen plegen ini termasuk 2 pihak, yaitu :
1) Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger, middeldelijkedader,
auctor intellectualis, auctor moralis, manus domina, tangan kuat).
2) Pembuat langsung atau pembuat materiil (anmiddelijkedader, auctor
physicus, manus ministra, tangan yang mengabdi).
Pada orang yang disebut dalam nomor 1, ialah yang menyuruh atau
menghendaki terjadinya delik, terdapat unsur melakukan perbuatan secara
physik, ialah perbuatan pelaksanaan.Jadi yang pokok (yang menjadi tanda
25
ciri) dalam menyuruh melakukan ini ialah bahwa alat (pembuat materiil)
tidak dapat dipertanggungjawabkan atau perbuatannya atau tidak dapat
dipidana.Jika pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan (dalam
hukum pidana) atas perbuatannya atau dapat dipidana, maka hal tersebut
tidak terdapat doen plegen.Hal tersebut yang membedakan menyuruh
melakukan dari pada uitloakken (penganjuran). Pada penganjuran juga ada
dua orang (pihak) ialah penganjur (uitlokker) dan pembuat materiil, akan
tetapi di sini pelaku dan alat (pembuat materiil) keduanya dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
c. Turut serta melakukan adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau
turut serta.
d. Orang yang dengan pemberian. Orang tersebut harus sengaja membujuk orang
lain, sedang membujuknya harus memakai salah satu dari unsur-unsur seperti
apabila dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Sehingga harus
pidana tersebut, yaitu seseorang ingin melakukan suatu tundak pidana, akan
melaksanakannya. dalam penyertaan ini orang yang disuruh tidak akan dipidana,
tindak pidana.
melakukan kesalahan, Perihal kesalahan dapat dilakukan atas dasar kesengajaan dan
kesalahan, terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu
untuk melakukan suatu kejahatan tertentu, yang dimaksud dengan yang dikehendaki
dan diketahui” adalah: Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja
harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta menginsyafi atau mengerti (weten)
Unsur obyektif dalam tindak pidana menurut Lamintang (2003, hlm. 194)
adalah “unsur-unsur yang berasal dari luar diri si pelaku, sebagaimana halnya pada
luar diri si pelaku berbeda-beda”. Selanjutnya Lamintang (2003, hlm. 194) merinci
hukum maupun bukan badan hukum. Setiap orang dalam hukum pidana
sebagai unsur subyektif menurut Roni Wiyanto (2012, hlm. 166) adalah
“unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku (dader) tindak pidana. Unsur
dapat ditemukan di dalam diri si pelaku termasuk ke dalam kategori ini adalah
keadaan jiwa atau batin si pelaku”. Setiap orang atau korporasi sebagai pelaku
menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan
hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah, sebagai unsur obyektif,
menurut Lamintang (2003, hlm. 194) adalah “unsur-unsur yang berasal dari
uang.
c. hasil hutan kayu, menurut Pasal 1 angka 13 UU No. 18 Tahun 2013 adalah
hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu olahan, atau
e. diambil atau dipungut secara tidak sah, maksudnya kayu yang diambil dari
BAB 3
Perusakan hutan terjadi dan disangkakan kepada SU, ketika itu tepatnya pada
bulan Desember 2016 mendapat telepon dari RA, isi telepon mengabarkan kalau RA
akan menjual kayu jenis sengon sebanyak 8 (delapan) potong, berbagai macam
ukuran dengan panjang kurang lebih 135 cm. SU menanyakan kepada RA mengenai
kepemilikan kayu tersebut dan dijawab oleh RA bahwa kayu yang ditawarkan untuk
kemudian menawar kayu dengan harga Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan
disetujui oleh RA. SU bersedia membayar setelah kayu tersebut dijual lagi dan
PT. TH di Desa Pondok labu. Setelah SU sampai di lokasi, bertemu RA, SN dan IN
yang langsung menaikkan kayu sengon tersebut ke atas mobil pick up yang
dikendarai oleh SU. Setelah kayu telah dinaikan ke mobil SU kemudian pergi
30
31
menanyakan asal usul kayu yang berada di mobil SU, dan mengaku bahwa kayu
sengon tersebut dibeli dari RA, SN, IN dan SU juga tidak bisa menunjukkan izin
untuk mengangkut kayu hasil hutan tersebut. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, SU
beserta barang bukti berupa kayu sengon 8 (delapan) potong di bawa ke Polsek
Tenggarong.
pidana dalam Pasal 480 ke 1 KUHP, dalam dakwaan tunggal. Pasal 480 ke-1 KUHP,
menentukan:
Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah. Barang siapa membeli, menyewa, menukar,
menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, meyimpan atau
menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga
bahwa diperoleh dari kejahatan.
2) Menjatuhkan pidana kepada SU oleh karena itu dengan pidana penjara selama
yang menjual kayu sengon hasil kejahatan atau tindak pidana dapat dikatakan sebagai
telah melakukan penadahan, sehingga telah tepat dakwaan, tuntutan dan putusan
Pengadilan Negeri Tenggarong. Namun di sisi yang lain, bahwa kayu sengon yang
dijadikan obyek jual beli diambil dari hutan secara tidak sah, sehingga dapat
dikatakan telah menjual atau membeli kayu sengon yang diperoleh dari hasil
kejahatan.
Nomor 89/Pid.B/2017/ PN. TRG., amarnya menyatakan SU telah terbukti secara sah
asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa: “Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Berdasarkan uraian tersebut
di atas, maka dapat dipahami bahwa asas legalitas merupakan asas yang fundamental
dalam hukum pidana sebab untuk menentukan apakah suatu perbuatan merupakan
perbuatan pidana atau tidak. Mengetahui hal ini, dalam hukum pidana dianut asas
legalitas yaitu asas yang menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan perbuatan
pidana apabila terdapat suatu aturan yang mengatur hal tersebut yang telah ada
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”.
daripada hukum pidana, yaitu suatu sarana untuk mempertahankan atau memulihkan
nilai-nilai kemanusiaan dan rasa keadilan”. Hal tersebut berarti bahwa perbuatan
480 ke 1 KUHP sebagaimana tersebut di atas, barang yang ditadah berupa kayu yang
diambil dari hutan secara tidak sah karena tanpa izin. Kayu tersebut diambil dari
hutan, sehingga yang terjadi adalah adanya perusakan hutan, sehingga melanggar
liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan
dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah
ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh
Pemerintah”.
34
Hutan mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi negara dan dipergunakan untuk
lestari dan adanya suatu larangan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan
berakibat rusaknya hutan sesuai dengan Pasal 12 UU No. 18 Tahun 2013, yang
menentukan:
Perbuatan SU yang menjual kayu sengon yang diambil dari hutan secara tidak sah
dengan cara membeli dari RA untuk dijual kembali, namun setelah SU menaikkan
kayu ke mobil miliknya dan pergi membawa kayu tersebut ke Palarang Kota
yang sedang berpatroli. Petugas tersebut menanyakan asal usul kayu yang berada di
36
mobil SU, dan mengaku bahwa kayu sengon tersebut dibeli dari RA, SN dan IN dan
SU juga tidak bisa menunjukkan izin untuk mengangkut kayu hasil hutan tersebut.
Untuk pemeriksaan lebih lanjut, SU beserta barang bukti berupa kayu sengon 8
Perbuatan yang dilakukan oleh SU, yaitu menjual kayu sengon yang diambil
dari hutan secara tidak sah, merpakan perbuatan yang dilarang sebagaimana Pasal 87
Ketentuan Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013, di dalamnya terkandung
hukum maupun bukan badan hukum. Setiap orang termasuk sebagai unsur
37
subyektif perbuatan pidana, menurut Roni Wiyanto (2012, hlm. 160) adalah
unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku (dader) tindak pidana. Unsur
dapat ditemukan di dalam diri si pelaku termasuk ke dalam kategori ini adalah
keadaan jiwa atau batin si pelaku. Setiap orang atau korporasi sebagai pelaku
Feit” yang dalam bahasa Inggris dari kata “Criminal Act” = Offense. Roni
38
bahwa tindak pidana berasal dari istilah “strafbaar feit” merupakan istilah
menurut Simon dikutip dari Andi Hamzah (2008, hlm. 97), didefinisikan
pidana, diartikan oleh Moeljatno (2000, hlm. 54) sebagai "perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut".
SU menjual kayu sengon yang diambil dari hutan secara tidak sah, menjual
kayu tidak sah merupakan suatu perbuatan melanggar hukum sebagai suatu
perbuatan yang kepada pelukunya dalam hal ini SU dapat dihukum, sehingga
menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan
hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah, sebagai unsur obyektif,
menurut Lamintang (2003, hlm. 194) adalah “unsur-unsur yang berasal dari
berikut:
dalam melakukan tindak pidana menjual kayu sengon dari hasil hutan
dalam memperoleh kayu sengon tersebut tidak bisa bisa menunjukkan izin
uang.
sengon tersebut sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan akan
dibayarkan setelah kayu itu laku dijual. Saat SU membawa kayu yang
telah dibeli dari RA, diberhentikan oleh petugas kepolisian yang sedang
adalah hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu olahan,
atau kayu pacakan yang berasal dari kawasan hutan. Kayu sengon yang
dibeli oleh SU dari RA merupakan hasil hutan. Oleh karena itu, setiap
kayu yang diperoleh dari hasil hutan memeiliki surat izin dari pihak yang
dilengkapi surat izin untuk mengangkut kayu hasil hutan, sehingga unsur
5) Diambil atau dipungut secara tidak sah, maksudnya kayu yang diambil
hutan. Kayu sengon yang diambil oleh RA dipungut dari kawasan hutan
secara tidak sah, dengan bukti bahwa RA juga tidak bisa menunjukkan
surat izin dalam memperoleh kayu hasil hutan, sehingga unsur diambil
melanggar Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013. Atas terpenuhinya
keseluruhan unsur tersebut, sehingga SU dapat dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit
(dua miliar lima ratus juta rupiah). Hal sebagaimana tersebut di atas menunjukan
2) Menjatuhkan pidana kepada SU oleh karena itu dengan pidana penjara selama
Pasal 480 ke 1 KUHP, namun karena barang yang ditadah atau diterima, dijual ,
disimpan dan/atau dimiliki tersebut berupa kayu yang diambil dari hutan tanpa izin
keseluruhan unsur Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013. SU yang
melakukan satu perbuatan yakni melakukan penadahan kayu dari hasil hutan yang
melakukan perbuatan melanggar Pasal 480 ke 1 KUHP sebagai aturan yang bersifat
43
umum dan melakukan pula perbuatan melanggar Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18
Tahun 2013 sebagai aturan yang bersifat khusus. Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat
(2) KUHP, yang menentukan: “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana
yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang diterapkan”. Ketentuan Pasal 480 ke 1 KUHP dengan ancaman pidana
berupa pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah, sebagai aturan yang bersifat umum dan melanggar ketentuan
Pasal 87 ayat (1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013 sebagai aturan bersifat khusus
dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
amarnya menjatuhkan pidana kepada SU oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan, jika didasarkan atas ketentuan Pasal 87 ayat
(1) huruf c UU No. 18 Tahun 2013 ancaman pidananya penjara paling singkat 1
(satu) tahun.
44
SKRIPSI
Oleh :
ERFAN MIRZA AULIA RACHMAN
120115159
DAFTAR PUSTAKA
Wiyanto, Roni, 2012, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
46
penumpukan kayu di pinggir jalan houling PT. TH di Desa Pondok labu. SN bertemu
RA, SU dan IN yang langsung menaikkan kayu sengon tersebut ke atas mobil pick
up. Setelah kayu sudah berada di atas mobil SN, SN pergi membawa kayu tersebut ke
Palarang Kota Samarinda, namun di perjalanan mobil SN diberhentikan oleh petugas
Kepolisian yang sedang berpatroli. Petugas tersebut menanyakan asal usul kayu yang
berada di mobil SN, SN mengaku bahwa kayu sengon tersebut dibeli dari RA, SU
dan ID dan SN juga tidak bisa menunjukkan izin untuk mengangkut kayu hasil hutan
tersebut.
3. Bagaimana SU dibohongi berarti SU tidak mengetahui kayu tersebut illegal
Sesuai dengan ketentuan Pasal 12 huruf d UU No 18 Tahun 2013 dilarang
memuat/mengangkut kayu hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin SU
melakukan perbuatan tersebut yakni mengangkut kayu hasil penebangan di kawasan
hutan tanpa izin.
48
PERUSAKAN HUTAN
120115159
1) Izin yang tidak dipenuhi yakni izin pemanfaatan hutan sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 UU No. 18 Tahun 2013
2) Pengaturan pengambilan hasil hutan yang sah yakni melakukan penebangan
pohon dalam kawasan hutan yang sesuai dengan izin pemanfaatan hutan ;
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan memiliki izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; melakukan penebangan pohon
dalam kawasan hutan secara sah sebagaimana Pasal 12 UU No. 18 Tahun 2013
3) Bukti pengambilan hasil hutan yang sah menunjukan Izin Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu adalah izin usaha yang diberikan oleh Menteri untuk
memanfaatkan hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan
pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran
sebagaimana Pasal 1 angka 11 UU No. 18 Tahun 2013.