Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah usia lanjut dan osteoporosis semakin menjadi perhatian
dunia hal ini dilator belakangi oleh meningkatnya usia harapan hidup.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan penyakit menua yang menyertainya
diantaranya osteoporosis. Masalah osteoporosis di Indonesia dihubungkan
dengan masalah hormonal pada menopause. Menopause lebih cepat dicapai
wanita Indonesia pada usia 48 tahun dibandingkan wanita barat usia 60 tahun.
Mulai berkurangnya paparan terhadap sinar matahari, kurangnya asupan
kalsium, perubahan gaya hidup seperti merokok, alcohol dan berkurangnya
latihan fisik,penggunaan obat steroid jangka panjang serta risiko osteoporosis
tanpa gejala klinis.
Menurut WHO (1994), angka kejadian patah tulang (fraktur) akibat
osteoporosis di seluruh dunia mencapai angka 1,7 juta orang dan diperkirakan
angka ini akan terus meningkat hingga mencapai 6,3 juta orang pada tahun
2050 dan 71% kejadian ini akan terdapat di negara –negara berkembang. Di
Indonesia 19,7 % dari jumlah lansia atau sekitar 3,6 juta orang diantaranya
menderita osteoporosis (klinik medis, 2008). Lima provisi dengan risiko
osteoporosis lebih tinggia adalah Sumatra selatan (27,7%), jawa tengah
(24,02%), Yogyakarta (23,5%), Sumatra utara (22,82%), jawa timur
(21,42%), Kalimantan timur (10,5%) (depkes,2005). Patah tulang
osteoporosis telah hampir 24% dari lansia yang mengalami patah tulang
pinggul meninggal dunia pada tahun pertama sedangkan 50% mempunyai
risiko tidak bisa melakukan aktivitas seumur hidup dan 25% memerlukan
perawatan jangka panjang dan butuh dana yang besar serta tidak akan bias
hidup tanpa bantuan orang lain (Lane, 2001 dan Yatim 2000).
Osteoporosis sebenarnya dapat dicegah sejak dini atau paling sedikit
ditunda kejadiannya dengan membudayakan perilaku hidup sehat yang
intinya mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang yang memenuhi
kebutuhan nutrisi dengan unsure kaya serat, rendah lemak dan kaya kalsium
(1000-1200 mg kalsium per hari), berolahraga secara teratur, tidak
merokok,dan tidak mengkonsumsi alkohol karena rokok dan alcohol
meningkatkan risiko osteoporosis dua kali lipat, namun kurangnya
pengetahuan masyarakat yang memadai tentang osteoporosis dan
pencegahannya sejak dini cenderung meningkat angka kejadian osteoporosis
(Depkes, 2004).

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Osteoporosis?
2. Bagaimana etiologi dari Osteoporosis?
3. Bagaimana klasifikasi dari Osteoporosis?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari Osteoporosis?
5. Bagaimana patofisiologi dan woc dari Osteoporosis?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Osteoporosis?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari Osteoporosis?
8. Bagaimana asuhan keperawatan dengan Osteoporosis?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan pengertian dari Osteoporosis, senam osteoporosis dan
asuhan keperawatan pada klien dengan Osteoporosis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan definisi dari Osteoporosis.
2. Menjelaskan etiologi dari Osteoporosis.
3. Menjelaskan klasifikasi dari Osteoporosis.
4. Menjelaskan manifestasi klinis dari Osteoporosis.
5. Menjelaskan patofisiologi dan woc dari Osteoporosis.
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang dari Osteoporosis.
7. Menjelaskan penatalaksanaan dari Osteoporosis.
8. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan Osteopo

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Osteoporosis


Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang menurut
WHO adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang
yang rendah dan perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan
akibat meningkatnya fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan
terhadap patah tulang. Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi
penurunan massa tulang total (Lukman dan Nurna Ningsih, 2012).
Osteoporosis adalah suatu keadaan penyakit yang ditandai dngan
rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang,
menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya
fraktur. Keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila
telah terjadi fraktur. Pada osteoporosis, terjadi penurunan kualitas tulang
dan kuantitas kepadatan tulang, padahal keduanya sangat menentukan
kekuatan tulang sehingga penderita Osteoporosis mudah mengalami patah
tulang atau fraktur (Helmi, 2012).
Osteoporosis (pengeroposan tulang) merupakan gangguan metabolic
tulang dengan meningkatkan kecepatan resorpsi tulang tetapi kecepatan
pembentukannya berjalan lambat sehingga terjadi kehilangan massa tulang.
Tulang yang terkena gangguan ini akan kehilangan garam-garan kalsium
serta fosfat dan menjadi porous, rapuh serta secara abnormal rentan terhadap
fraktur (Kowalak, 2011).
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa
tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal,
kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang,
pengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang secara progresif
menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur
dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal
(Brunner & Suddarth, 2000).
2.2. Etiologi Osteoporosis
Osteoporosis postmenopause terjadi karena kekurangan estrogen
(hormone utama pada wanita), yang membantu mengatur pengankutan
kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita
yang berusia dintara 53 – 73 tahun, tetapi bisa muncul lebih cepat ataupun
lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk
menderita osteoporosis postmenopause, pada wanita kulit putih dan daerah
timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada kulit hitam.

3
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari
kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan
diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru.
Senilis yaitu keadaan penurunan massa tulang yang hanya terjadi pada usia
lanjut. Penyakit ini biasnya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya
terjadi pada usia diatas 70 tahun dan dua kali lebih sering menyerang
wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis postmenopause dan
senilis.
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga menngalami
osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau
oleh obat-obatan. Penyakit ini bisa diakibatkan oleh gagal ginjal kronik dan
kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat-obatan
(misalnya kortikosteroid, barbiturate, antikejang, dan hormone tiroid yang
berlebihan). Pemakaian alcohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok
bisa memperburuk keadaan ini.
Osteoporosis juvenile idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
tidak diketahui penyebabnya. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda yang memiliki kadar dan fungsi hormone yang normal, kadar vitamin
yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang
(Lukman dan Nurna Ningsih, 2012). Faktor resiko terjadinya osteoporosis:
1. Wanita
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan
pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh
sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang
dapat terjadi pada usia 45 tahun.
2. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru
menurun. Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat
dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan
tulang trabekular karena proses penuaan, penyerapan kalsium
menurun dan fungsi hormon paratiroid meningkat.
3. Ras/Suku
Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan
asia memiliki risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum konsumsi
kalsium wanita asia rendah. Salah satu alasannya adalah sekitar 90%
intoleransi laktosa dan menghindari produk dari hewan. Pria dan wanita
kulit hitam dan hispanik memiliki risiko yang signifikan meskipun
rendah.
4. Keturunan Penderita Osteoporosis

4
Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka
berhati-hatilah. Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik
tulang tertentu. Seperti kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu
artinya dalam garis keluarga pasti punya struktur genetik tulang yang
sama.
5. Gaya Hidup Kurang Baik
a. Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya
mengandung fosfor yang merangsang pembentukan horman
parathyroid, penyebab pelepasan kalsium dari dalam darah.
b. Minuman berkafein dan beralkohol.
Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat
menimbulkan tulang keropos, rapuh dan rusak. Hal ini dipertegas oleh
Dr.Robert Heany dan Dr. Karen Rafferty dari creighton University
Osteoporosis Research Centre di Nebraska yang menemukan
hubungan antara minuman berkafein dengan keroposnya tulang.
Hasilnya adalah bahwa air seni peminum kafein lebih banyak
mengandung kalsium, dan kalsium itu berasal dari proses
pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat toksin yang
menghambat proses pembentukan massa tulang (osteoblas).
c. Malas Olahraga
Mereka yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat proses
osteoblasnya (proses pembentukan massa tulang). Selain itu
kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak dan
olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa.
d. Merokok
Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis.
Perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di
dalamnya mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan tulang,
nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam
tubuh berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat
dalam menghadapi proses pelapukan. Disamping itu, rokok juga
membuat penghisapnya bisa mengalami hipertensi, penyakit jantung,
dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Kalau darah sudah
tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin
jelas menyebabkan osteoporosis baik secara langsung tidak langsung.
Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan
terasa karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun,
saat melewati umur 35, efek rokok pada tulang akan mulai terasa,
karena proses pembentukan pada umur tersebut sudah berhenti.
e. Kurang Kalsium

5
Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan hormon
yang akanmengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang
ada di tulang.
6. Mengkonsumsi Obat
Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan
pada penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan risiko penyakit
osteoporosis. Jika sering dikonsumsi dalam jumlah tinggi akan
mengurangi massa tulang. Sebab, kortikosteroid menghambat proses
osteoblas. Selain itu, obat heparin dan anti kejang juga menyebabkan
penyakit osteoporosis. Konsultasikan ke dokter sebelum mengkonsumsi
obat jenis ini agar dosisnya tepat dan tidak merugikan tulang.
Tulang adalah jaringan dinamis yang diatur oleh faktor endokrin,
nutrisi, dan aktivitas fisik. Biasanya penanganan gangguan tulang
terutama osteoporosis hanya fokus pada masalah hormon dan kalsium,
jarang dikaitkan dengan olahraga. Padahal, Wolff sejak 1892
menyarankan bahwa olahraga sangatlah penting.
Osteoporosis (kekeroposan tulang) adalah proses degenerasi pada
tulang. Mereka yang sudah terkena perlu berolahraga atau beraktivitas
fisik sebagai bagian dari pengobatan. Olahraga teratur dan cukup
takarannya tidak hanya membentuk otot, melainkan juga memelihara dan
meningkatkan kekuatan tulang. Dengan demikian, latihan olahraga dapat
mengurangi risiko jatuh yang dapat memicu fraktur (patah tulang)
(Mulyaningsih, 2008).
2.3. Klasifikasi Osteoporosis
Menurut Farida Mulyaningsih (2008), osteoporosis diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Osteoporosis Postmenopausal
Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita),
yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada
wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-
75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat.
Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita
osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih
mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.
2. Osteoporosis Senilis
Merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan
dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya
tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa
keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi

6
pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita.
Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan postmenopausal.
3. Osteoporosis Sekunder
Dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang disebabkan
oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit
osteoporosis bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan
hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan
(misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang
berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa
memperburuk keadaan osteoporosis.
4. Osteoporosis Juvenil Idiopatik
Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya belum diketahui.
Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar
dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak
memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Mulyaningsih,
2008)
2.4. Manifestasi Klinis Osteoporosis
1. Patah tulang
2. Punggung yang semakin membungkuk
3. Penurunan tinggi badan
4. Postur tubuh kelihatan memendek akibat dari Deformitas vertebra
thorakalis
5. Nyeri punggung
6. Nyeri tulang akut. Nyeri terutama terasa pada tulang belakang, nyeri
dapat dengan atau tanpa fraktur yang nyata dan nyeri timbul mendadak
7. Nyeri berkurang pada saat beristirahat di tempat tidur
8. Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah bila
melakukan aktivitas
9. Deformitas tulang. Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan
menyebabkan kifosis angular yang menyebabkan medulla spinalis
tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis
10. Gambaran klinis sebelum patah tulang, klien (terutama wanita tua)
biasanya datang dengan nyeri tulang belakang, bungkuk dan sudah
menopause sedangkan gambaran klinis setelah terjadi patah tulang,
klien biasanya datang dengan keluhan punggung terasa sangat nyeri
(nyeri punggung akut), sakit pada pangkal paha, atau bengkak pada
pergelangan tangan setelah jatuh.
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada
penderitaosteoporosissenilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak
menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika kepadatan tulang

7
sangat berkurang yang memnyebabkan tulang menjadi kolaps atau
hancur, maka akan tibul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-
tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis adalah radius
distal, kaput vertebra terutama mengenai T8-L4, dan kollum femoris
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun.
Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau
karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan
dirasaklan di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri
jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan
terasa sakit.
tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap
setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang
belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal
dari tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan terjadinya
ketegangan otot dan rasa sakit.
Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh
tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang
paling serius adalah patah tulang panggul. Selain itu yang juga sering
terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungan
dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada penderita
osteoporosis, patah tulang cenderung mengalami penyembuhan secara
perlahan (Lukman dan Nurna Ningsih, 2012).
Osteoporosis mengakibatkan patah tulang yang paling sering
adalah pada punggung, paha, dan lengan bawah. Menurut Susan J. G
dialihbahasakan oleh Anton C. W (2001: 205-206), tulang yang
pertama kali terkena osteoporosis biasanya pada vertebra spinalis dan
tipikalnya mengenai vertebra torakalis bawah dan vertebra lumbalis
atas. Vertebra torakalis menyokong terjadinya fraktur berbentuk baji,
sedangkan fraktur yang remuk sering mengenai vertebra lumbalis.
Fraktur baji vertebra torakalis membentuk punuk wanita tua
(dowager’s hump). Proporsi lengan dan tungkai terhadap kerangka
aksial tubuh tidak normal dan tampak lebih panjang. Penurunan tinggi
badan karena osteoporosis bisa mencapai 5 sampai 8 inchi. Keadaan ini
dapat berlangsung terus, sehingga rongga rusuk bagian bawah
menyentuh crista iliaca anterior.

2.5. Patofisiologi Osteoporosis


Didalam kehidupan, tulang akan selalu mengalami proses
perbaharuan. Tulang memiliki2 sel, yaitu osteoklas (bekerja untukmenyerap
danmenghancurkan/merusak tulang) dan osteoblas (sel yang bekerja untuk

8
membentuk tulang). (Compston, 2002). Tulang yang sudah tua dan pernah
mengalami keretakan, akan dibentuk kembali. Tulang yang sudah rusak
tersebut akan diidentifikasi oleh sel osteosit (sel osteoblas menyatu dengan
matriks tulang). (Cosman, 2009) Kemudian terjadi penyerapan kembali
yang dilakukan oleh sel osteoklas dan nantinya akan menghancurkan
kolagen dan mengeluarkan asam. (Tandra, 2009) Dengan demikian, tulang
yang sudah diserap osteoklas akan dibentuk bagian tulang yang baru yang
dilakukan oleh osteoblas yang berasal dari sel prekursor di sumsum tulang
belakang setelah sel osteoklas hilang. (Cosman, 2009) Proses remodelling
tulang tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Dalam pembentukan massa tulang tersebut tulang akan mengalami
perubahan selama kehidupan melalui tiga fase: Fase pertumbuhan, fase
konsolodasi dan fase involusi. Pada fase pertumbuhan sebanyak 90% dari
massa tulang dan akan berakhir pada saat epifisi tertutup. Sedangkan pada
tahap konsolidasi yang terjadi usia 10-15 tahun. Pada saat ini massa tulang
bertambah dan mencapai puncak ( peak bone mass ) pada pertengahan umur
tiga puluhan. Serta terdapat dugaan bahwa pada fase involusi massa tulang
berkrang ( bone Loss ) sebanyak 35-50 tahun
Secara garis besar patofisiologi osteoporosis berawal dari Adanya
massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang.
Massa puncak tulang yang rendah ini diduga berkaitan dengan faktor
genetic, sedangkan faktor yang menyebabkan penurunan massa tulang
adalah proses ketuaan, menopause, faktor lain seperi obat obatan atau
aktifitas fisik yang kurang serta faktor genetik. Akibat massa puncak tulang
yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang menyebabkan Densitas
tulang menurun yang merupakan faktor resiko terjadinya fraktur.

WOC

Wanita, usia, ras/suku, keturunan


Gaya hidup kurang baik, kurang
kalsium

Osteoporosis

9
Tulang menjadi rapuh dan Kolaps bertahap tulang
mudah patah

Fraktur Fraktur Fraktur kompresi Fraktur kompresi


colles femur lumbalis vertebra torakalis Kifosis progres

Gangguan fungsi Perubahan


Kompresi saraf
ekstremitas atas bawah, postural
pencernaan ileus
pergerakan fragmen
paralitik
tulang, spasme otot

2.6. Pemeriksaan Penunjang


1. Densitometri DXA (dual-energy x-ray absorptiometry)
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang paling tepat dan
mahal. Orang yang melakukan pemeriksaan ini tidak akan merasakan
nyeri dan hanya dilakukan sekitar 5 - 15 menit. Menurut Putri, DXA
dapat digunakan pada wanita yang mempunyai peluang untuk mengalami
osteoporosis, seseorang yang memiliki ketidakpastian dalam diagnosa,
dan penderita yang memerlukan keakuratan dalam hasil pengobatan
osteoporosis. (Putri, 2009).
Keuntungan yang didapatkan jika melakukan pemeriksaan ini
yaitu dapat menentukan kepadatan tulang dengan baik (memprediksi
resiko patah tulang pinggul) dan mempunyai paparan radiasi yang sangat
rendah. Akan tetapi alat ini memiliki kelemahan yaitu membutuhkan
koreksi berdasarkan volume tulang (secara bersamaan hanya menghitung
2 dimensi yaitu tinggi dan lebar) dan jika pada saat seseorang melakukan
pengukuran dalam posisi yang tidak benar, maka akan mempengaruhi
hasil pemeriksaan tersebut. (Cosman, 2009)
2. Densitometri US (ultrasound)
Kerusakan yang terjadi pada tulang dapat didiagnosis dengan
pengukuran ultrsound, yaitu dengan mengunakan alat quantitative

10
ultrasound (QUS). Hasil pemeriksaan ini ditentukan dengan gelombang
suara, karena cepat atau tidaknya gelombang suara yang bergerak pada
tulang dapat terdeteksi dengan alat QUS. Jika suara terasa lambat, berarti
tulang yang dimiliki padat. Akan tetapi, jika suara cepat, maka tulang
kortikal luar dan trabekular interior tipis. Pada beberapa
penelitian,menyatakan bahwa dengan QUS dapat mengetahui kualitas
tulang, akan tetapi QUS dan DXA sama-sama dapat memperkirakan
patah tulang . (Lane, 2003)
Dengan alat ini, seseorang tidak akan terpapar radiasi karena
tidak menggunakan sinar X. Kelemahan alat ini, yaitu tidak memiliki
ketelitian yang baik (saat dilakukan pengukuran ulang sering terjadi
kesalahan), tidak baik dalam mengawasi pengobatan (perubahan massa
tulang) (Cosman, 2009).
3. Pemeriksaan CT (computed tomography)
Pemeriksaan CT merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan dengan memeriksa biokimia CTx (C-Telopeptide). Dengan
pemeriksaan ini dapat menilai kecepatan pada proses pengeroposan tulang
dan pengobatan antiesorpsi oral pun dapat dipantau. (Putri, 2009)
Kelebihan yang didapatkan jika menggunakan alat ini yaitu kepadatan
tulang belakang dan tempat biasanya terjadi patah tulang dapat diukur
dengan akurat. Akan tetapi pada tulang yang lain sulit diukur
kepadatannya dan ketelitian yang dimiliki tidak baik serta tingginya
paparan radiasi. (Cosman, 2009) (Agustin, 2009).
Penilaian langsung densitas tulang untuk memngetahui ada
tidaknya osteoporosis dapat dilakukan secara:
1. Radiologic
2. Radioisotope
3. QCT (Quantitative Computerized Tomography)
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
5. Densitometer (X-ray absorpmetry)
2.7. Penatalaksanaan Osteoporosis
1. Pengobatan
Pengobatan osteoporosis di fokus kan kepada memperlambat atau
menghentikan kehilangan mineral, meningkatkan kepadatan tulang, dan
mengontrol nyeri sesuai dengan penyakitnya. Tujuan dari pengobatan
ini adalah mencegah terjadinya fraktur (patah tulang).
Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara
menghambat kerja osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblas.
Akan tetapi saat ini obat-obat yang beredar pada umumnya bersifat anti
resorpsi. Yang termasuk obat antiresorpsi misalnya: estrogen,

11
kalsitonin, bisfosfonat. Sedangkan Kalsium dan Vitamin D tidak
mempunyai efek antiresorpsi maupun stimulator tulang, tetapi
diperlukan untuk optimalisasi meneralisasi osteoid setelah proses
pembentukan tulang oleh sel osteoblas.
a. Estrogen
Mekanisme estrogen sebagai antiresorpsi, mempengaruhi
aktivitas sel osteoblas maupun sel osteoklas, telah dibicarakan diatas.
Pemberian terapi estrogen dalam pencegahan dan pengobatan
osteoporosis dikenal sebagai Terapi Sulih Hormon (TSH). Estrogen
sangat baik diabsorbsi melalui kulit, mukosa vagina, dan saluran cerna.
Efek samping estrogen meliputi nyeri payudara (mastalgia), retensi
cairan, peningkatan berat badan, tromboembolisme, dan pada
pemakaian jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker payudara.
Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah: kanker payudara,
kanker endometrium, hiperplasi endometrium, perdarahan uterus
disfungsional, hipertensi, penyakit tromboembolik, karsinoma ovarium,
dan penyakit hait yang berat Beberapa preparat estrogen yang dapat
dipakai dengan dosis untuk anti resorpsi, adalah estrogen terkonyugasi
0,625 mg/hari, 17-estradiol oral 1 Ð 2mg/ hari, 17-estradiol perkutan
1,5 mg/hari, dan 17-estradiol subkutan 25 Ð 50 mg setiap 6 bulan.46
Kombinasi estrogen dengan progesteron akan menurunkan risiko
kanker endometrium dan harus diberikan pada setiap wanita yang
mendapatkan TSH, kecuali yang telah menjalani histerektomi.
Saat ini pemakaian fitoestrogen (isoflavon) sebagai suplemen
mulai digalakkan pemakaiannya sebagai TSH. Beberapa penelitian
menyatakan memberikan hasil yang baik untuk keluhan defisiensi
estrogen, atau mencegah osteoporosis.34 Fitoestrogen terdapat banyak
dalam kacang kedelai, daun semanggi.
Ada golongan preparat yang mempunyai efek seperti estrogen
yaitu golongan Raloksifen yang disebut juga Selective Estrogen
Receptor Modulators (SERM). Golongan ini bekerja pada reseptor
estrogen-b sehingga tidak menyebabkan perdarahan dan kejadian
keganasan payudara. Mekanisme kerja Raloksifen terhadap tulang
diduga melibatkan TGF yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi
menghambat diferensiasi sel osteoklas.
b. Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan
osteoporosis. Bifosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari
2 asam fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom karbon.
Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh sel osteoklas dengan

12
cara berikatan dengan permukaan tulang dan menghambat kerja
osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal
di bawah osteoklas. Pemberian bisfosfonat secara oral akan diabsorpsi
di usus halus dan absorpsinya sangat buruk (kurang dari 55 dari dosis
yang diminum). Absorpsi juga akan terhambat bila diberikan bersama-
sama dengan kalsium, kation divalen lainnya, dan berbagai minuman
lain kecuali air. Idealnya diminum pada pagi hari dalam keadaan perut
kosong. Setelah itu penderita tidak diperkenankan makan apapun
minimal selama 30 menit, dan selama itu penderita harus dalam posisi
tegak, tidak boleh berbaring. Sekitar 20 Ð 50% bisfosfonat yang
diabsorpsi, akan melekat pada permukaan tulang setelah 12 Ð 24 jam.
Setelah berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas,
bisfosfonat akan tetap berada di dalam tulang selama berbulan-bulan
bahkan bertahuntahun, tetapi tidak aktif lagi. Bisfosfonat yang tidak
melekat pada tulang, tidak akan mengalami metabolism di dalam tubuh
dan akan diekresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga harus
hati-hati pemberiannya pada penderita gagal ginjal..
Generasi Bisfosfonat adalah sebagai berikut:
1) Generasi I : Etidronat, Klodronat
2) Generasi II: Tiludronat, Pamidronat, Alendronat
3) Generasi III: Risedronat, Ibandronat, Zoledronat

Hormon lain: hormon-hormon ini akan membatu meregulasi


kalsium dan fosfat dalam tubuh dan mencegah kehilangan jarungan
tulang.
1. Kalsitonin
2. Teriparatide
2. Pencegahan
 Peningkatan konsumsi buah dan sayuran
Penelitian telah menunjukkan bahwa diet kaya buah-buahan dan
sayur-sayuran berkaitan dengan kepadatan mineral tulang lebih tinggi
pada pria dan wanita. Asosiasi ini mungkin karena kalium, magnesium,
dan vitamin K dalam buah-buahan dan sayuran.
 Mengurangi asupan natrium
Beberapa studi telah menemukan bahwa asupan tinggi natrium
menyebabkan hilangnya kalsium dari tubuh. Namun, efek dari
pembatasan natrium terhadap integritas tulang jangka panjang dan
risiko patah tulang masih belum jelas dan memerlukan penelitian lebih
lanjut.
 Pola makan rendah lemak

13
Studi telah menemukan bahwa asupan lemak yang lebih tinggi
dikaitkan dengan kehilangan tulang yang lebih besar dan risiko patah
tulang lebih besar. Mekanisme yang mungkin meliputi kecenderungan
asupan lemak yang berlebihan mengurangi penyerapan kalsium dan
mempengaruhi produksi hormon. Secara khusus, asam lemak omega-6
dapat menyebabkan hilangnya tulang dengan mengorbankan
pembentukan tulang baru.
 Moderasi dalam penggunaan kafein
Penelitian telah menemukan bahwa perempuan yang
mengkonsumsi paling banyak kafein telah mempercepat kehilangan
tulang belakang dan hampir tiga kali lipat risiko terkena patah tulang
pinggul. Resiko kehilangan tulang tampak tertinggi pada wanita yang
mengkonsumsi lebih dari 18 ons kopi per hari, atau 300 mg kafein dari
sumber lain.
 Membatasi suplemen vitamin A
Penelitian telah menunjukkan bahwa asupan vitamin A yang
terlalu tinggi, baik dengan makanan atau suplemen, dapat menyebabkan
penurunan kepadatan tulang dan peningkatan risiko fraktur pinggul.
Asupan sehat dan cukup vitamin A dapat dipastikan dengan beta-
karoten dari sumber tanaman, sayuran terutama oranye dan kuning.
 Kombinasi suplemen vitamin D dan kalsium
Suplemen vitamin D (500 sampai 800 IU/hari) dan kalsium
(1200-1300 mg/hari) juga telah ditemukan meningkatkan kepadatan
tulang dan penurunan kehilangan tulang dan risiko patah tulang pada
wanita dewasa yang lebih tua. Pasien wanita dengan diagnosa
osteoporosis harus mendapatkan asupan kalsium total dari pola makan
dan suplemen sekitar 1500 mg/hari dalam dosis terbagi tiga atau lebih,
ditambah sedikitnya 400 sampai 800 IU vitamin D setiap hari. Namun,
pasien yang tidak berisiko tinggi untuk osteoporosis mungkin tidak
memerlukan suplemen kalsium.

14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu
dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan klien,
mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan klien yang dapat diperoleh
melalui anamnese, pemeriksaan fisik dan riwayat psikososial.
a) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama,
pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register,
diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut
untuk menentukan tindakan selanjutnya.
b) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan
dan jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul
meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan
alamat.
c) Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan. Dalam pengkajian riwayat kesehatan, perawat
perlu mengidentifikasi :
 Rasa nyeri atau sakit tulang punggung (bagian bawah), leher,dan
pinggang
 Berat badan menurun
 Biasanya diatas 45 tahun
 Jenis kelamin sering pada wanita
 Pola latihan dan aktivitas
 Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga,
pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, makan, mandi,
dan toilet. Olahraga dapat membentuk pribadi yang baik dan
individu akan merasa lebih baik. Selain itu, olahraga dapat
mempertahankan tonus otot dan gerakan sendi. Lansia memerlukan
aktifitas yang adekuat untuk mempertahankan fungsi tubuh.
Aktifitas tubuh memerlukan interaksi yang kompleks antara saraf
dan muskuloskeletal. Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan
dengan menurunnya gerak persendian adalah agility ( kemampuan
gerak cepat dan lancar ) menurun, dan stamina menurun.
d) Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing).

15
Inspeksi : Ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang
belakang.
Palpasi : Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri.
Perkusi : Cuaca resonan pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : Pada kasus lanjut usia, biasanya didapatkan suara ronki.

b. B2 ( Blood).
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik, sering terjadi keringat
dingin dan pusing. Adanya pulsus perifer memberi makna terjadi
gangguan pembuluh darah atau edema yang berkaitan dengan efek
obat.
c. B3 ( Brain).
Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih
parah, klien dapat mengeluh pusing dan gelisah.
 Kepala dan wajah: ada sianosis
 Mata: Sklera biasanya tidak ikterik, konjungtiva tidak
anemis.
 Leher: Biasanya JVP dalam normal
Nyeri punggung yang disertai pembatasan pergerakan
spinal yang disadari dan halus merupakan indikasi adanya satu
fraktur atau lebih, fraktur kompresi vertebra
d. B4 (Bladder).
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada
keluhan pada sistem perkemihan.
e. B5 ( Bowel).
Untuk kasus osteoporosis, tidak ada gangguan eliminasi
namun perlu di kaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.
f. B6 ( Bone).
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis.
Klien osteoporosis sering menunjukan kifosis atau gibbus
(dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan dan berat badan.
Ada perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length
inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang sering terjadi
adalah antara vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur, spasme otot,
deformitas tulang
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat
perubahan skeletal (kifosis), nyeri sekunder atau fraktur baru.

16
3. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan perubahan dan
ketergantungan fisik serta psikologis yang disebabkan oleh penyakit atau
terapi ditandai dengan klien mengatakan membatasi pergaulan dan
tampak menggunakan penyangga tulang belakang (spinal brace).
3.3 Intervensi Keperawatan

N Diagnosa NOC NIC RASIONAL


o Keperawatan
1. Nyeri Tujuan :           1. Pantau 1. Tulang
berhubungan Setelah dilakukan tingkat dalam
dengan tindakan keperawatan nyeri pada peningkat
dampak diharapkan nyeri punggung, an
sekunder berkurang. nyeri jumlah
dari fraktur, terlokalisa trabekula
spasme otot, Kriteria Hasil : si atau r,
deformitas 1. Klien akan menyebar pembatas
tulang mengekspresi pada an gerak
kan nyerinya, abdomen spinal.
2. klien dapat atau 2. Alternatif
tenang dan pinggang. lain
istirahat yang 2. Ajarkan untuk
cukup pada klien mengatas
3. klien dapat tentang i nyeri,
mandiri alternative pengatura
dalam lain untuk n posisi,
perawatan mengatasi kompres
dan dan hangat
penanganann menguran dan
ya secara gi rasa sebagain
sederhana. nyerinya. ya.
3. Kaji obat- 3. Keyakina
obatan n klien
untuk tidak
mengatasi dapat
nyeri. menolera
4. Rencanaka nsi obat
n pada yang
klien adekuat
tentang atau tidak
periode adekuat

17
istirahat untuk
adekuat mengatas
dengan i
berbaring nyerinya.
dalam 4. Kelelaha
posisi n dan
telentang keletihan
selama dapat
kurang menurun
lebih 15 kan
menit minat
untuk
aktivitas
sehari-
hari.
2. Hambatan Tujuan : 1. Kaji 1. Dasar
mobilitas Setelah dilakukan tingkat untuk
fisik tindakan kemampua memberi
berhubungan keperawatan, n klien kan
dengan disfu diharapkan klien yang alternati
ngsi mampu melakukan masih ada. ve dan
sekunder mobilitas fisik 2. Rencanaka latihan
akibat n tentang gerak
perubahan Kriteria hasil : pemberian yang
skeletal 1. Klien dapat program sesuai
(kifosis), meningkatan latihan: dengan
nyeri mobilitas 3.  Bantu kemapua
sekunder fisik klien jika nnya.
atau fraktur 2. klien mampu diperlukan 2. Latihan
baru. melakukan latihan akan
aktivitas 4. Ajarkan meningk
hidup sehari klien atkan
hari secara tentang pergerak
mandiri aktivitas an otot
hidup dan
sehari hari stimulasi
yang dapat sirkulasi
dikerjakan darah
5. Ajarkan 3. Aktifitas
pentingny hidup

18
a latihan. sehari-
6. Bantu hari
kebutuhan secara
untuk mandiri
beradaptas 4. Dengan
i dan latihan
melakukan fisik
aktivitas 5. Masa
hidup otot
sehari lebih
hari, besar
rencana sehingga
okupasi memberi
7. Peningkat kan
an latihan perlindu
fisik ngan
secara pada
adekuat osteopor
osis
6. Program
latihan
merangs
ang
pembent
ukan
tulang
7. Gerakan
menimb
ulkan
kompresi
vertical
dan
fraktur
vertebra.
3. Gangguan Tujuan :     1. Dorong 1. Ekspresi
citra diri setelah diberikan klien emosi
yang tindakan keperawatan mengekspr membant
berhubungan diharapkan klien esikan u klien
dengan dapat perasaann mulai
perubahan menunjukkan     adap ya meneeri

19
dan tasi dan menyatakan khususnya ma
ketergantung penerimaan pada mengenai kenyataa
an fisik serta situasi diri. bagaimana n.
psikologis klien 2. Kritik
yang Kriteria hasil :  merasakan negative
disebabkan 1. klien , akan
oleh mengenali memikirka membuat
penyakit atau dan menyatu n dan klien
terapi dengan memandan merasa
ditandai perubahan g dirinya. semakin
dengan klien dalam konsep 2.  Hindari rendah
mengatakan diri yang kritik diri.
membatasi akurat tanpa negative. 3. Dukunga
pergaulan harga diri 3. Kaji n yang
dan tampak negative, derajat cukup
menggunaka 2. mengungkapk dukungan dari
n penyangga an dan yang ada orang
tulang mendemonstr untuk terdekat
belakang asikan klien dan
(spinal peningkatan teman
brace). perasaan dapat
positif. membant
u proses
adaptasi

20
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Osteoporosis adalah suatu keadaan penyakit yang ditandai dngan
rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang,
menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya
fraktur. Keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila
telah terjadi fraktur. Pada osteoporosis, terjadi penurunan kualitas tulang dan
kuantitas kepadatan tulang, padahal keduanya sangat menentukan kekuatan
tulang sehingga penderita Osteoporosis mudah mengalami patah tulang atau
fraktur (Helmi, 2012).
Faktor resiko terjadinya osteoporosis: Wanita, Usia, Ras/Suku,
Keturunan Penderita, Osteoporosis, Gaya Hidup Kurang Baik,
Mengkonsumsi Obat. Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung
menahun. Osteoporosis mengakibatkan patah tulang yang paling sering
adalah pada punggung, paha, dan lengan bawah. Fraktur baji vertebra
torakalis membentuk punuk wanita tua (dowager’s hump).
Pengobatan osteoporosis di fokus kan kepada memperlambat atau
menghentikan kehilangan mineral, meningkatkan kepadatan tulang, dan
mengontrol nyeri sesuai dengan penyakitnya. tujuan dari pengobatan ini
adalah mencegah terjadinya fraktur (patah tulang).Pengobatannya bisa dengan
pemberian estrogen, bisfosfonat, latihan pembebanan (olahraga). Untuk
pencegahannya, dapat dilakukan dengan mengurangi asupan protein hewani:
Protein hewani meningkatkan kehilangan kalsium, peningkatan konsumsi
buah dan sayuran, mengurangi asupan natrium, pola makan rendah lemak,
moderasi dalam penggunaan kafein, membatasi suplemen vitamin A,
kombinasi suplemen vitamin D dan kalsium.
4.2 Saran
Sebagai seorang perawat hendaknya kita mampu memahami dengan
baik tentang penyakit osteoporosis mulai dari pengertian hingga
penatalaksanaannya hingga mampu menerapkan asuhan keperawatan secara
langsung kepada pasien yang menderita osteoporosis.

21
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan-Medikal Bedah, Edisi 8


Volume 3, Jakarta: EGC
Cosman, Felicia. 2009. Osteoporosis. Jogjakarta: B First
Helmi, Zairin. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jarkarta: Salemba
Medika

22

Anda mungkin juga menyukai