Anda di halaman 1dari 3

Radikalisme adalah suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin

melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara
kekerasan/ekstrim. Menurut Nafi (2017) bahaya radikalisme dalam kehidupan
beragama antara lain :
1. Mengabaikan pesan terpenting agama-agama yang mengajarkan keluhuran dan
kerukunan.
2. Merusak persatuan sesama warga negara bahkan juga merusak persatuan sesama
umat beragama.
3. Membenihkan budaya kekerasan, padahal agama mengajarkan cinta kasih.
4. Membuka peluang bagi orang-orang yang tidak paham jadi menertawakan ajaran
agama.
5. Menjebak pelakunya ke dalam pemikiran sempit di dalam beragama, sehingga
bersikap berlebih-lebihan di dalam agama.
6. Penganut paham radikal dan pelaku tindak pidana terorisme tidak dihargai oleh
sesama manusia sampai meninggalnya.
Radikalisme di Indonesia sendiri yang paling menyita perhatian dunia adalah
kasus terorisme yang sering dikait-kaitkan dengan jihad oleh para pelakunya, yang
tentu saja sudah pasti merujuk ke arah umat Islam. Entah mengapa, mungkin mereka
kira Allah menyukai cara yang mereka anggap jihad fisabilillah tersebut dengan cara
membunuh diri mereka dan membunuh orang-orang di sekitar mereka yang bahkan
tak bersalah sama sekali terhadap mereka. Ideologi yang dibawa kelompok semacam
ini memang baik pada dasarnya, namun tidak di-backing oleh praktik lapangan sebaik
ideologi awalnya. (M. Zaki Mubarak, 2008).
Umat Islam semakin kehilangan orientasi dengan semakin kuatnya serbuan
budaya Barat. Ikatan-ikatan sosial yang sebelumnya cukup kuat menyatukan
kelompok-kelompok Muslim kemudian tercerai berai akibat jebolnya pertahanan
budaya yang dimiliki umat Islam. Budaya Islam menjadi tersingkir dan terasing
dengan kedatangan budaya Barat yang memberi dan menawarkan kebebasan dengan
sebebas-bebasnya bagi manusia. Faktor budaya ini memiliki andil yang cukup besar
atas terlahirnya radikalisme Islam. Hal ini wajar karena memang secara budaya di
dalam kehidupan masyarakat selalu ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari
jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Keberadaan
faktor budaya di sini adalah sebagai antitesa terhadap budaya sekularisme. Budaya
Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggap sebagai musuh yang harus
dihilangkan dari bumi. Dalam suasana yang seperti itulah Islam radikal mencoba
melakukan perlawanan. Perlawanan itu muncul dalam bentuk melawan kembali
kelompok yang mengancam keberadaan mereka. Mereka tidak akan segan untuk
melakukan perlawanan jika memang ada kelompok lain yang menurut mereka
menyimpang dari “ajaran” Islam. Kemunculan gerakan radikalisme Islam ini
kebanyakan terjadi di negara-negara yang pemerintahannya otoriter, di negara atau
wilayah yang dijajah dan diduduki kekuatan asing, dan di negara yang kebijakan
pemerintahannya dipandang terlampau memihak pada Barat.
Para radikalis menyempal dan berafiliasi ke jaringan Islam aliran keras. Mereka
yang setuju dengan penggantian Pancasila dan UUD 45 bergabungdan membuat
kelompok ekslusif yang dibungkus dengan agama, sehingga terkesan menarik bagi
orang-orang awam yang tidak paham dengan politik. Orang awan ini merasa
terakomodasi ide-idenya, sebagai orang yang marginal atau termarginalkan, mereka
sama-sama tidak puas dengan pengelolaan negara yang ada sekarang ini. Sehingga
mereka berbondong-bondong bergabung dan mendukung ide penggantian ideologi
Pancasila yang sudah menjadi kesepakatan bersama bangsa Indonesia.
Apabila ada organisasi mengganggu ketertiban umum, memecah belahumat dan
NKRI, bertentangan dengan ideologi Pancasila, maka Pemerintah harus campur
tangan. Pemerintah untuk tidak sekadar berwacana dalam menangkal perkembangan
radikalisme di Indonesia, namun harus berupa tindakan reaktif cepat dan tepat
sasaran. Pemerintah agar menegakan undang-undang terorisme secara maksimal
sehingga terorisme tidak berkembang di Indonesia
Indonesia telah dimasuki isu-isu radikalisme di antaranya adalah kelompok
yang mengklaim dirinya Al-Qaeda dan ISIS, dimana keduanya menjadi isu global.
Munculnya kelompok ini merupakan format perlawanan global kelompok radikal
Islam terhadap ketidakadilan dunia. Hal ini dikaitkan dengan kebijakan miring
pemimpin dunia terhadap Palestina, kesenjangan sosial-ekonomi di negara-negara
muslim bahkan ekspansi budaya Barat yang dianggap merusak nilai-nilai Islam
seperti hedonisme dan materialisme. Para pemimpin dunia Islam dianggap tidak
berdaya dan tunduk pada kemauan Barat. Isu tersebut dengan cepat menyebar ke
seluruh penjuru dunia melalui jaringan maya, bukan saja di negara-negara Islam,
tetapi juga di negara-negara Barat sebagai akibat kebijakan banyak negara yang
memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok perlawanan yang lari dari
negara masing-masing.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal
Suhardi Alius menegaskan bahwa radikalisme saat ini sudah masuk ke ruang-ruang
intelektualitas seperti para mahasiswa. Radikalisme dapat terjadi karena beberapa
faktor, diantaranya:
1. Faktor Pemikiran
Radikalisme dapat berkembang karena adanya pemikiran bahwa segala sesuatunya
harus dikembalikan ke agama walaupun dengan cara yang kaku dan menggunakan
kekerasan.
2. Faktor Politik
Adanya pemikiran sebagian masyarakat bahwa seorang pemimpin negara hanya
berpihak pada pihak tertentu, mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok
masyarakat yang terlihat ingin menegakkan keadilan.Kelompok-kelompok tersebut
bisa dari kelompok sosial, agama, maupun politik. Alih-alih menegakkan keadilan,
kelompok-kelompok ini seringkali justru memperparah keadaan.
3. Faktor Sosial
Sebagian masyarakat kelas ekonomi lemah umumnya berpikiran sempit sehingga
mudah percaya kepada tokoh-tokoh yang radikal karena dianggap dapat membawa
perubahan drastis pada hidup mereka.
4. Faktor Pendidikan
Tenaga pendidik yang memberikan ajaran dengan cara yang salah dapat menimbulkan
radikalisme di dalam diri seseorang.
Agar mahasiswa terhindar dari radikalisme tentunya masyarakat harus selalu
kritis dan aktif untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang paham
radikalisme nanti mahasiswa bisa menangkal paham tersebut bila sewaktu-waktu
muncul serta mampu menyebarkannya pengetahuan anti-radikalisme semaksimal
mungkin sebagai bentuk mahasiswa sebagai agent of change.

Anda mungkin juga menyukai