Anda di halaman 1dari 9

PERSPEKTIF DAN RELEVANSI PEMIKIRAN TAN

MALAKA DALAM BIDANG PENDIDIKAN DI


INDONESIA SAAT INI

(Revisi)

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Filsafat Nusantara Modern Kontemporer
Dosen Pengampu : Drs. Budisutrisna, M. Hum.

Disusun Oleh :
Atika Dhea Nurwanda (17/ 414227/ FI/ 04386)

Mitakun Ulfah (17/ 408889/ FI/ 04322)

Althavia Aulifa R. (17/ 408863/ FI/ 04296)

Rodliyah Nur Wulan U. (17/ 408895/ FI/ 04328)

PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT


FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Nama asli Tan Malaka adalah Sutan Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah
nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis turunan ibu. Nama lengkapnya
adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Tanggal kelahirannya masih
diperdebatkan, sedangkan tempat kelahirannya sekarang dikenal dengan nama Nagari
Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Ayah dan Ibunya bernama
HM. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan Rangkayo Sinah, putri orang yang
disegani di desa. Semasa kecilnya, Tan Malaka senang mempelajari ilmu agama dan
berlatih pencak silat. Berbicara soal komunis memang membuat kita merasa ngeri
apalagi dengan masalah keganasan G30S yang pernah terjadi. Namun saat itu, Tan
Malaka murni bertindak demi kesejahteraan rakyat pribumi. Saat memiliki kesempatan
memimpin PKH, Tan Malaka yang memang lebih frontal dengan teran-terangan
menentang Belanda dan membantu melawan penindasan terhadap pekerja. Hal inilah
yang membuatnya ditangkap dan dibuang ke Belanda.
Menurut Tan Malaka, pendidikan untuk rakyat Indonesia harus berakar kepada
budaya Indonesia yang terus digali dan disampaikan dengan Bahasa Indonesia, dimana
prinsip kerakyatan adalah landasan filosofis dalam praksis pendidikan yang sesuai
dengan jati diri bangsa Indonesia. Pendidikan tak dapat terpisah dalam mempelajari
hakekat realita yang merupakan pusat dari setiap konsep pendidikan. Pentingnya hal
tersebut mengingat program pendidikan sekolah didasarkan atas fakta dan realita,
bukan atas keinginan menjadi kaum pemodal dengan proses pendidikan yang
didasarkan kemodalan. Pengisapan sumber-sumber ekonomi di Indonesia berjalan
cukup lama, sumber daya alam dan manusia diperas untuk kepentingan negaranegara
penjajah. Dalam pengamatan Tan Malaka, pemerasan dan penindasan tidak
disebabkan oleh faktor watak manusianya melainkan atas kedudukan dan cara
menjalankan kapitalnya. Sebagai contoh Tan Malaka menunjuk pada Portugis dan
Spanyol ketika memasuki Asia. Kedua negara tersebut menurut Tan Malaka tidak
dapat melepaskan kondisi negara asalnya yang masih bersifat feodal. Pergerakan
ekonomi masih dijalankan secara manual karena industri mesin belum tersedia.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Pendidikan Dalam Perspektif Tan Malaka?
2. Bagaimana Relevansi Pendidikan Menurut Perspektif Tan Malaka di Indonesia
saat ini?

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pendidikan Dalam Perspektif Tan Malaka

Filsafat Pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang


fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan
(emosional), menuju tabiat manusia (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2007: 20). Substansi
pemikiran Tan Malaka secara makro cenderung pada aliran progresivisme dan
rekonstruksionisme. Namun, secara mikro khususnya metode pembelajaran, Tan
Malaka berada pada keempat aliran filsafat pendidikan yaitu, perenialisme,
esensialisme, rekonstruksionisme, dan progresivisme (Syaifudin, 2016: 198).
Rekonstruksionisme adalah bahwa Tan Malaka melihat pendidikan dan sekolah bukan
sebatas ruang memproduksi kecerdasan intelektual semata, melainkan juga kecerdasan
sosial. Sekolah ideal menurutnya melahirkan para manusia yang tidak semata untuk
kepentingan diri, tetapi juga berguna bagi masyarakat. Ruang sekolah bukan tempat
satu-satunya peserta didik belajar. Bagi Tan Malaka, realitas sosial adalah tempat
belajar yang sesungguhnya. Progresivisme menurut Tan Malaka bahwa peserta didik
bukanlah subjek pasif, peserta didik adalah subjek aktif yang berpikir. Oleh karena itu,
Tan Malaka memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengembangkan
segala potensi yang dimilikinya (Syaifudin, 2016: 200). Progresivisme berpendapat
bahwa karena adanya peranan sebagai pembawa kemajuan, beberapa ilmu modern
adalah inti kebudayaan. Sedanglan, dalam merintis dan mengalami kemajuan manusia
di bantu oleh jiwa dan akalnya (Barnadib, 1982: 80)
Adapun sudut pandang perenialisme dan esensialisme secara makro. Esensialisme
menghendaki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai-nilai yang esensial, yaitu
yang telah teuji oleh waktu, bersifat menuntun dan telah turun-temurun dari zaman ke
zaman, dengan mengambil zaman Renainsans sebagai permulaan (Barnadib, 1982:
81). Dan Perenalisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman
yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingunangan, dan
kesimpangsiuran. Berhubungan dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan
usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural
yang lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah
tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan
pangkalan yang demikian ini memerlukan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan
filsafat pendidikan (Barnadib, 1982: 59). Kembali pada nilai-nilai kebudayaan lama
menurut Tan Malaka hanya membuat peserta didik menjadi mistikus dan ini bentuk
domestifikasi. Sebab, Tan Malaka meyakini dalam masyarakat akan selalu mengalami
perkembangan dan perubahan karena masyarakat itu dinamis dan animal rational. Tan
Malaka menuliskan,
“Dalam suasana Republik Indonesia merdeka, tenaga-tenaga intelek dan sosial
akan berkembang lebih cepat dan lebih baik. Kekayaan yang maha besar yang
diperoleh dengan pekerjaan Indonesia akan tinggal di negeri sendiri. Ilmu
pengetahuan yang dikendalikan dan diperkosa yang sekarang
dipergunakan
untuk keuntungan lintah-lintah darat…..nanti akan dapat berkembang dan akan dapar
dipergunakan bagi kepentingan masyarakat Indonesia. Kesenian dan
perpustakaan akan baru mendapatkan tanah untuk bertumbuh. Lebih pasti dan
lebih cepat Indonesia akan bangkait di lapangan ekonomi, sosial, intelek, dan
kebudayaan”. (Tan Malaka, 1987; 25-26).

Agar kemungkinan terjadinya perubahan di dalam masyarakat, bagi Tan Malaka


yang menjadi persoalan bukanlah kembali kepada nilai-nilai kebudayaan yang sudah
ada, melainkan bagaimana masyarakat (peserta didik) diberikan modal hidup untuk
dapat survive dan menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia dan warga negara.
Penanaman nilai-nilai baru sebagai bentuk penyadaran kritis sesuatu yang harus
dilakukan. Dengan penyadaran itu, manusia akan melakukan tindakan yang sifatnya
transformatif. Tata nilai lama dan spiritual tidak ekstrem dilupakan bahkan
dihilangkan
Tan Malaka. Tata nilai lama bagi Tan Malaka sebagai reflektor dalam mengonstruksi
nilai-nilai baru secara kritis. Guna menciptakan tatanan kehidupan yang lebih baik
lagi. Sedangkan spiritual, diposisikan sebagai filter dari tindakan manusia. Kedua hal
ini kemudian menjadi produksi rekonstruksi yang memiliki nilai progresif dan bukan
regresif atau stagnan (Syaifudin, 2016: 201).
Kontekstualisasi pemikiran pendidikan Tan Malaka dengan pendidikan
progresifnya merumuskan pendidikan untuk membangun kesadaran kritis dan
revolusioner bagi bangsa yang terjajah mendesain bentuk dan ide pendidikan secara
sitematis, kultural, progresif, nasionalis, dan kerakyatan. Tan Malaka jauh sebelum
Indonesia merdeka sudah mengingatkan bahwa salah satu program nasional Indonesia
merdeka adalah merakyatkan pendidikan sehingga dapat dinikmati oleh seluruh rakyat
Indonesia (atau istilahnya pelaksanaan wajib belajar) (Syaifudin, 2016: 241). Menurut
Tan Malaka, pendidikan yang berbasis kerakyatan adalah harga mati, yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Dengan tegas ia mengatakan, “Jalankan Keadilan Meskipun Langit
Akan Runtuh” (Tan Malaka, 2008: 69). Pendidikan berbasis realitas sosial yang
dimaksudkan Tan Malaka adalah praktik pendidikan yang berusaha mendekatkan
peserta didik pada pemahaman realitas yang sebenarnya melalui penyadaran kritis dan
transformatif. Bentuk konkritnya, yaitu peserta didik terjun untuk mengamati secara
langsung realitas yang ada dan kemudian dielaborasi melalui diskusi kritis sehingga
membentuk kesadaran kritisnya, dan tahapan tertingginya adalah bagaimana cara
menyelesaikan masalah tersebut dalam bentuk tindakan nyata (Syaifudin, 2016: 261).
Manusia dibentuk untuk memiliki sikap mau bekerja keras, menghormati
perbedaan, empatif-humanis dengan sesama, serta mengonstruksi mentalitas sosial
dalam diri peserta didik. Pembangunan karakter bangsa yang bermental sosial kiranya
menjadi salah satu upaya dalam menengarai masalah regresi mentalitas sosial yang
kini sedang dihadapi bangsa ini dengan kemelut era demokrasi dan globalisasi. Untuk
itu, pendidikan partisipatoris yang berbasis realitas soal kiranya perlu diagendakan dan
diimplementasikan dalam pendidikan nasional sebagai upaya peningkatan kesadaran
tentang perlunya mentalitas sosial. Dengan demikian, upaya ini membimbing peserta
didik dalam memahami berbagai perkembangan yang terjadi di lingkungannya, dengan
disertai kepekaan sosial (Syaifudin, 2016: 262-263).
Sementara dalam aspek mikro, Tan Malaka merumuskan. Pertama, memberi
senjata cukup, bagi pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis,
ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dan sebagainya). Dalam bahasa lebih
sederhana, pendidikan harus mampu menciptakan manusia yang profesional, terampil,
dan capable sesuai dengan bidang keilmuan yang digeluti. Peningkatan kemampuan
bahasa asing namun tetap tidak memarjinalkan bahasa ibu sebagai modal menghadapi
era globalisasi. Kedua, memberi hak anak didik yakni kesukaaan hidup dengan jalan
pergaulan. Maksudnya, memfasilitasi anak didik agar berkembang sesuai dengan
potensi dan bakat yang dimilikinya melalui organisasi ekstrakurikuler sekolah yang
sesuai dengan bakat dan minatnya. Ketiga, menunjukkan kewajiban kelak, terhadap
berjuta-juta rakyat jelata. Pendidikan, dalam pengertian Tan Malaka, tidak sekadar
untuk mendapatkan
pengetahuan dan kepandaian otak saja, tetapi juga harus mampu memberikan bekal
kepada peserta didik untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat. Dengan kata
lain, pendidikan harus mengonstruksi mentalitas sosial peserta didik (Syaifudin, 2016:
272-273).
Konsep pendidikan Tan Malaka merupakan pendidikan kerakyatan dengan
landasan sosialisme. Pendidikan harus bersifat merakyat dan tidak diskriminatif dalam
hal pemenuhan akses keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Orientasi pendidikan
juga mengarah pada proses mendidik manusia untuk memiliki jiwa revolusioner dalam
kerangka berpikir yang progresif, kritis, dan semangat kebersamaan dalam tatanan
hidup bermasyarakat atau terwujudnya masyarakat sosialistis (Syaifudin, 2016: 276).

2. Relevansi Pendidikan Menurut Perspektif Tan Malaka Saat Ini di Indonesia

Pendidikan yang sampai saat ini relevan dengan perspektif menurut Tan Malaka
adalah metode pembelajaran kritis dan humanis di level metode pendidikan
kontemporer saat ini di Indonesia. Ada 4 metode menurut Tan Malaka, Pertama,
metode dialogis, hal ini dapat dilihat saat Tan Malaka memberikan hak kepada peserta
didik untuk mengkritik dirinya dalam memberika pelajaran dan orang-orang Belanda
yang dinilai menindas bangsa saat ia menjadi guru di Deli pada 1919-1921. Kedua,
metode “Jembatan Keledai” (Contextual Teaching and Learning), Tan Malaka
menggunakan suatu metode yang meningkatkan kemampuan membaca dan penalaran
kritis yang prinsipnya menekankan proses berpikir dan pemahaman pada suatu
masalah dengan menghafal teks serta memahami melalui “dialogis intrapersonal”.
Ketiga, Metode Diskusi Kritis, suatu cara menggali pikiran (pengetahuan) peserta
didik dalam memandang suatu masalah secara kritis, melalui diskusi kritis dicari solusi
permasalahannya. Keempat, metode sosiodrama, Tan Malaka sangat menyenangi
kegiatan bermain peran guna memberikan pemahaman dan penghayatan peserta didik
terhadap masalah-masalah sosial dan memecahkan masalah itu melalui bermain peran.
Tan Malaka mengingatkan pada intinya pendidikan bermuara kepada konsientisasi dan
transformasi ketidakadilan sosial. Bahwa penerapan metode ini pada zaman
kontemporer maupun sekarang sangat membantu dalam pencapaian perkembangan
pendidikan yang progesif di Indonesia (Syaifudin, 2016: 221-235).

Pemerintah sedang mencanangkan dan menerapkan beberapa program nasional,


seperti program industri ekonomi kreatif, visi Indonesia Maju 2030, serta program
pengentasan kemiskinan tahun 2015. Terkait dengan visi dan misi pendidikan
Indonesia kiranya perlu direformasi dan diorientasikan kembali. Melihat urgensi
tersebut, maka tidak salah kita berefleksi atas manifesto pendidikan Tan Malaka
sebagai sebuah wacana dan referensi atas praktik pendidikan kontemporer di
Indonesia. Adapun manifesto pendidikan Tan Malaka meliputi aspek makro dan mikro
(didaktik). Dalam aspek makro, pertama, pendidikan harus bersifat merakyat atau
sosialistis. Artinya, dunia pendidikan mudah diakses bagi semua kalangan
masyarakat, khususnya masyarakat
yang miskin dan terpencil di daerah pedalaman, baik dari segi biaya, fasilitas, dan
lokasi. Kedua, kebijakan pendidikan yang tepat dan konstruktif, guna terciptanya
pendidikan yang efektif, relevan, dan progresif. Ketiga, pendidikan harus dijadikam
prioritas utama yang bersifat elaboratif. Sebab, sesuatu yang dikerjakan secara
setengah-tengah maka hasilnya pun tidak optimal. Keempat, metode didaktik yang
dapat meningkatkan kesadaran kritis dan transformatif anak didik atas realitasnya.
Untuk itu, kemerdekaan pendidikan Indonesia harus menjadi prioritas dalam
pembangunan Indonesia ke depan. Pendidikan adalah harga mati yang tidak bisa
ditawar lagi. Karena pendidikan adalah transportasi menuju peradaban dan bangsa
Indonesia yang sejahtera, berkualitas, dan mampu keluar dari belenggu lingkaran
kemiskinan. Education for all merupakan sejahtera dalam menghadapi era globalisasi
yang menuntut manusia homeostatis (Syaifudin, 2016: 271-273).

Aliran rekonstruksionisme adalah aliran yang menghendaki agar anak didik dapat
dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan
tuntutan perubahan dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan penyesuaian seperti
ini anak didik akan tetap berada dalam suasana aman dan bebas (Bernadib, 1982: 25-
26). Hal itu sejalan dengan pernyataan Tan Malaka, bahwa pendidikan ada bukan
hanyak untuk kepentingan diri sendiri melainkan untuk kesejahteraan bersama dalam
bermasyarakat. Dan aliran inilah yang sebenarnya lebih tepat untuk menunjang visi
Indonesia Maju 2030, karena aliran ini mencoba untuk membenahi cara penyampaian
pendidikan sehingga siswa dituntun untuk mengikuti perkembangan ilmu baik
akademik maupun sosial tanpa beban namun tetap dengan rasa tanggung jawab.

Selain itu untuk mendukung aliran rekontruksionisme perlu juga di barengi dengan
aliran progresivisme yang menghendaki pendidikan yang pada hakekatnya progrefis.
Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekontruksi pengalaman yang terus-
menerus (Barnadib, 1982: 25). Maka tahap selanjutnya dalam membenahi pendidikan
dengan rekontruksionisme lalu di lanjukan dengan seberapa progresifnya pendidikan itu
memberi..pengaruh..terhadap..pembangunan.
BAB III
KESIMPULAN

Menurut Tan Malaka, pendidikan untuk rakyat Indonesia harus berakar kepada
budaya Indonesia yang terus digali dan disampaikan dengan Bahasa Indonesia, dimana
prinsip kerakyatan adalah landasan filosofis dalam praksis pendidikan yang sesuai
dengan jati diri bangsa Indonesia. Pendidikan tak dapat terpisah dalam mempelajari
hakekat realita yang merupakan pusat dari setiap konsep pendidikan. Pentingnya hal
tersebut mengingat program pendidikan sekolah didasarkan atas fakta dan realita,
bukan atas keinginan menjadi kaum pemodal dengan proses pendidikan yang
didasarkan kemodalan.

Rekonstruksionisme adalah bahwa Tan Malaka melihat pendidikan dan sekolah


bukan sebatas ruang memproduksi kecerdasan intelektual semata, melainkan juga
kecerdasan sosial. Sekolah ideal menurutnya melahirkan para manusia yang tidak
semata untuk kepentingan diri, tetapi juga berguna bagi masyarakat. Ruang sekolah
bukan tempat satu-satunya peserta didik belajar. Bagi Tan Malaka, realitas sosial
adalah tempat belajar yang sesungguhnya.

Pendidikan yang sampai saat ini relevan dengan perspektif menurut Tan
Malaka adalah metode pembelajaran kritis dan humanis di level metode pendidikan
kontemporer saat ini di Indonesia. Ada 4 metode menurut Tan Malaka, Pertama,
metode dialogis, Kedua, metode “Jembatan Keledai” (Contextual Teaching and
Learning), Ketiga, Metode Diskusi Kritis, Keempat, metode sosiodrama. Tan Malaka
mengingatkan pada intinya pendidikan bermuara kepada konsientisasi dan
transformasi ketidakadilan sosial. Bahwa penerapan metode ini pada zaman
kontemporer maupun sekarang sangat membantu dalam pencapaian perkembangan
pendidikan yang progesif di Indonesia.

Visi Indonesia Maju 2030 dapat didukung dengan pembenahan pendidikan di


Indonesia melalui aliran rekontrusianisme yang memberikan cara membangkitkan
kemampuan sumber daya manusia baik ilmu akademik atau formal maupun sosial
masyarakat tanpa mengekang anak didik. Maka dari itu rekontruksionisme lebih tepat
untuk membantu keberlangsungan pembangunan Indonesia terutama dalam
pendidikan. Kemudian dilanjutkan dengan aliran progresif sebagai lanjutan dan
penyempurna agar program pendidikan tetap berjalan dengan baik dan tidak mati di
tengah jalan
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat,


dan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rambe, Safrizal. 2003. Pemikiran Politik Tan Malaka (Kajian Terhadap Perjuangan
Sang Kiri Nasionalis). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syaifudin. 2016. Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang
Sosialistis. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Tan Malaka. 1987. Naar de Republiek Indonesia: Menuju Republik Indonesia. Jakarta:
Yayasan Massa.
.2008. Aksi Massa.Yogyakarta: Narasi.

Anda mungkin juga menyukai