Makalah Tunawicara
Makalah Tunawicara
PENDAHULUAN
2.2 Prevalensi
Susenas 2012 mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang
disabilitas sebesar 2,45%. Peningkatan dan penurunan persentase penyandang
disabilitas yang terlihat pada gambar di bawah ini, dipengaruhi adanya perubahan
konsep dan definisi pada Susenas 2003 dan 2009 yang masih menggunakan
konsep kecacatan, sedangkan Susenas 2006 dan 2012 telah memasukkan konsep
disabilitas. Walaupun demikian, jika kita bandingkan antara Susenas 2003 dengan
2009 dan Susenas 2006 dengan 2012 terjadi peningkatan prevalensi.
2.7 Intervensi
a. Terapi Wicara
Ada beragam cara yang dapat dilakukan untuk membantu anak dalam
mengoptimalkan kemampuan berbicaranya, salah satunya melalui terapi
wicara. Terapis wicara melakukan terapi pada masalah di bidang artikulasi;
difluency (ketidaklancaran berbicara); gangguan makan, gangguan bunyi
suara (sengau), serta gangguan bahasa reseptif dan ekspresif. Pada penelitian
yang dilakukan Kurniawati dkk, pertama-tama peneliti melakukan observasi
terhadap kata yang diucapkan oleh subjek. Seperti pada hasil observasi
bahwa subjek masih mengalami keterbatasan dalam berbicara. subjek hanya
mampu berkomunikasi verbal dengan kalimat satu kata, itupun terkadang
hanya terdengar suku kata terakhir dalam kalimat yang diucapkannya.
Kalimat satu kata maksudnya adalah Subjek hanya mampu mengucapkan
satu kata, tapi kata tersebut memiliki banyak makna, seperti saat anak
mengucapkan kata tas, itu dapat berarti jika bekal yang dibawanya ada di
dalam tas atau jika tas miliknya tidak ada di kursi. Setelah itu mengajarkan
anak dengan pengucapan vokal a,i,u,e,o untuk melatihnya dalam berbicara.
Lalu selalu mengajak anak bicara dengan artikulasi dan intonasi yang jelas,
karena anak penyandang tunawicara bicara dengan artikulasi dan intonasi
yang kurang jelas.
b. Terapi Musik
Wagiman (2005:68) menjelaskan ada banyak sekali manfaat terapi musik.
Menurut para pakar terapi musik memiliki beberapa manfaat utama, di
antaranya relaksasi, meningkatkan kecerdasan, meningkatkan motivasi,
pengembangan diri, kesehatan jiwa, mengurangi rasa sakit,
menyeimbangkan tubuh dan meningkatkan olahraga. Menurut Campbel
(2002) ada dua macam metode terapi musik yaitu ;
1. Terapi musik aktif
Dalam terapi musik aktif ini individu diajak bernyanyi belajar main
menggunakan alat musik, menirukan nada-nada, bahkan membuat lagu
singkat. Dengan kata lain individu berinteraksi aktif dengan dunia musik.
Untuk melakukan terapi musik aktif ini di butuhkan bimbingan seorang
pakar terapi musik yang kompeten.
2. Terapi musik pasif
Ini adalah terapi musik yang murah,mudah dan efektif. Pasien
hanya mendengarkan dan menghayati suatu alunan musik tertentu yang di
sesuaikan dengan masalahnya. Hal terpenting dalam terapi musik pasif ini
adalah pemilihan jenis musik harus tepat.
Mekanisme kerja musik klasik menurut penelitian Alfered Tomatis
tahun 2001 menyebutkan musik klasik memberikan energi pada otak dan
membuat jadi lebih tenang. Seperti di kemukakan oleh Campbell (2001)
musik klasik mozart mampu memperbaiki konsentrasi ingatan. Sementara
jenis-jenis musik lain mulai dar Jazz,New Age, Latin, Pop, lagu-lagu
Gregorian bahkan gamelan meningkatkan imajinasi dan kreativitas.
Musik klasik yang mampu menghasilkan gelombang alfa, menenangkan
serta merangsang limbik jaringan otak dan dapat menyatukan neuron
yang terpisah-pisah menjadi bertautan dan mengintegrasikan diri dalam
sirkuit otak, sehingga terjadi perpautan antara neuron otak kanan dan otak
kiri.
Terapi musik tidak selalu membutuhkan kehadiran ahli, walau
mungkin membutuhkan bantuannya saat mengawali terapi musik.
Mekanisme kerja terapi musik klasik Mozart pada anak tunawicara,
pada anak tunawicara terjadi gangguan pada daerah oral motor pada otak
kiri, sedangkan otak kiri berfungsi untuk kemampuan bahasa dan bicara.
Sedangkan fungsi musik klasik Mozart dapat menyeimbangkan otak kiri
dan otak kanan, pada saat di beri latihan terapi musik klasik anak disuruh
untuk bernyanyi sehingga bisa mengaktifkan kemampuan otak kanan dan
mengurangi ketergantungan pada otak kiri yang mengatur kemampuan
bahasa dan bicara
Seorang dokter dari Prancis menyebutkan bahwa musik klasik Mozart
memberikan energi pada otak dan membuatnya menjadi lebih santai.
Sedangkan Grace Sudargo seorang musisi dan pendidik mengatakan,
dasar-dasar musik klasik secara umum berasal dari ritme denyutan nadi
manusia sehingga dia berperan besar dalam perkembangan otak,
pembentukan jiwa, karakter bahkan raga manusia. Alfa Handayani dalam
Hidayat (2003) mengatakan bahwa musik mampu neningkatkan
pertumbuhan otak anak karena musik itu sendiri meransang pertumbuhan
sel otak. Musik bisa membuat kita rileks dan senang, yang merupakan
emosi positif inilah membuat fungsi berfikir seseorang menjadi maksimal.
c. Metode ABA
Metode ABA adalah metode yang terstruktur dan mudah
diukur hasilnya, sebagaimana metode ABA. Dengan demikian
metode ini dapat dengan mudah di ajarkan kepada para calon
pasien terapi. Prinsip dasar metode ABA merupakan cara pendekatan dan
penyampaian materi kepada anak yang harus dilakukan seperti berikut ini:
1. Kehangatan yang berdasarkan kasih sayang yang tulus,
untuk menjaga kontak mata yang lama dan konsisten
2. Tegas (tidak dapat ditawar-tawar anak)
3. Tanpa kekerasan dan tanpa marah
4. Prompt (Bantuan, arahan) secara tegas tapi lembut.
5. Apresiasi anak dengan imbalan yang efektif, sebagai
motivasi agar selalu bergairah.
Dalam menciptakan suasanan yang kondusif dalam mendidik individu,
terapis menggunakan prinsip menciptakan suasana yang penuh kehangatan
dan kedamaian. Diusahakan terapis tidak melibatkan emosi marah/jengkel
dan kasihan sewaktu mengajar anak. Dengan begitu nantinya dengan
sendirinya tidak menyukai kekerasan dalam bersosialisasi dengan yang lain.
Selain itu anak akan berkembang menjadi individu yang toleran terhadap
perbedaan pendapat dan sekaligus kreatif. ABA itu sendiri terdiri dari tiga
kata, yaitu Applied yang berarti terapan,
Behavior yang berarti perilaku sedangkan Analysis memiliki
pengertian: mengurai/memecah menjadi bagian-bagian kecil,
mempelajari bagian-bagian tersebut, melakukan dan memodifikasi. Dari tiga
kata tersebut ABA dapat diartikan sebagai ilmu terapan yang mengurai,
mempelajari dan memodifikasi perilaku.
1. Adapun teknik ABA menurut Handojo sebagai berikut:
DTT (Discrete Trial Training). Adalah salah satu tehnik utama dari
ABA, sehingga kadang ABA disebut juga DTT.
Arti harfiah dari DTT adalah latihan uji coba yang jelas/nyata.
DTT terdiri dari “siklus” yang dimulai dengan intruksi,
prompt, dan di akhiri dengan imbalan.
2. Discrimination Training atau Discriminating. Teknik membedakan ini
dipakai untuk melabel atau identifikasi. Tahap kognitif atau kemmapuan
reseptif ini digunakan untuk menamai atau mengenal hal-hal seperti
huruf, warna, bentuk, tempat, orang dan sebagainya. Untuk meyakinkan
bahwa individu benar-benar memahami/mengenali hal secara konsisten,
diperlukan pembanding. Apabila individu tetap dapat mengidentifikasi
hat tersebut tanpa ragu, maka ia telah benar-benar mengenalnya.
3. Matching atau Mencocokkan. Teknik ini dapat dipakai sebagai
pemantap identifikasi maupun sebagai permulaan latihan identifikasi.
Mencocokkan dapat dipakai juga untuk melatih ketelitian, yaitu dengan
memberikan beberapa/banyak hal yang dicocokkan.
4. Fading berarti meluntur. Yang dilunturkan adalah prompt kepada anak.
Dari prompt penuh kemudian dikurangi secara
bertahap sampai individu berhasil melakukan tanpa prompt lagi.
5. Shaping berarti pembentukan. Teknik ini biasanya dipakai
saat mengajarkan kata-kata verbal.
6. Chaining adalah menguraikan perilaku kompleks menjadi
beberapa mata rantai perilaku yang paling sederhana. Tiap
mata rantai diajarkan tersendiri dengan siklus DTT. Apabila
individu menguasai tiap mata rantai, maka diadakan penggabungan
kembali sehingga menjadi perilaku yang utuh. Teknik ini dipakai
sewaktu terapis mengajarkan memasang kaos kaki, melepaskan kaos
kaki, memakai baju kaos, melepaskan baju kaos dan sebagainya.
2.8 Transisi
Individu tunawicara merupakan anak yang memiliki keterbatasan dan
gangguan dalam komunikasi. Keterbatasan ini yang membuat proses
penyampaian dan pemaknaan pesat sulit dipahami oleh orang lain. Santrock
(2002) mengatakan masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-
kanak menuju masa dewasa. Hurlock (1980) membagi masa remaja awal dan
masa remaja akhir. Kisaran usia remaja awal ± 13-16 tahun dan masa remaja
akhir ± 16-19 tahun. Erikson (dalam Alwisol, 2009) mengatakan bahwa masa
remaja merupakan masa kritis. Hal ini dikarenakan pada masa ini remaja
berusaha untuk menemukan identitas dirinya. Kekacauan identitas
kemungkinan akan terjadi, seperti adanya pembagian gambaran akan diri,
ketidakmampuan membina hubungan interpersonal yang baik, dan lain
sebagainya. Kekacauan identitas yang berlebih dapat mengakibatkan
penyesuaian diri yang patologis dalam bentuk regresi ke perkembangan
sebelumnya.
Menurut Frieda Mangunsong dalam psikologi dan pendidikan anak luar
biasa, tuna wicara atau kehilangan berbicara adalah hambatan dalam
berkomunikasi verbal yang efektif. Sedangkan Abdurrachman dan Sudjadi
(1994: 78) dalam pendidikan luar biasa umum menyatakan bahwa gangguan
wicara atau tuna wicara adalah suatu kerusakan atau gangguan suara, artikulasi
dari bunyi bicara, dan atau kelancaran berbicara. William Kay, sebagaimana
dikutip Yudrik Jahja mengemukakan tugas-tugas perkembangan masa remaja sebagai
berikut:
1. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.
2. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang
mempunyai otoritas.
3. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan bergaul dengan
teman sebaya, baik secara individual maupun kelompok.
4. Menemukan manusia model yang dijadikan identitas pribadinya.
5. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya
sendiri.
6. Memperkuat self-control atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah
hidup.
7. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri kekanak-kanakan.
Pada sebuah penelitan, dikatakan apabila berdasarkan hasil wawancara
dengan para orangtua, diketahui bahwa banyak remaja
penyandang disabilitas intelektual yang putus terapi karena
masalah biaya yang tinggi, ketersediaan akses untuk terapi,
ketersediaan waktu, dan juga pribadi para remaja yang mulai
merasa malu saat harus terapi tatap muka dengan terapis. Bisa dilihat bahwa
remaja tuna wicara mengalami kesulitan untuk berkembang seperti remaja
lainnya. Karena keterbatasan mereka dalam berkomunikasi, remaja tuna wicara
mengalami kesulitan dalam menyampaikan atau berbicara dengan orang lain.
Sehingga untuk membangun hubungan interpersonal yang baik dengan orang
lain, cenderung sulit. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa remaja tuna
wicara juga dapat bergaul dengan remaja normal.
BAB III
KESIMPULAN
Gusti, N. (2018). Pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap kemampuan bahasa
dan bicara pada anak tunawicara di SLB Peduli anak bangsa payakumbuh
tahun 2017 . Padang: Stikes perintis.
Kurniawati, L., Alimin, Z., & Asri, P. (n.d.). Program intervensi pengembangan
kecakapan berbicaraanak Down Syndrome. Pedagogia, 288 - 295.
Rahmawati, A., Juhaeni, Aisah, S., Kinasih, A., & Shibyany, N. (2019). Pengelolaan
Kelas Terhadap Siswa Tuna Rungu-Wicara di Kelompok A1 PGRA
Mamba'ul Hisan. Journal Of Early Chilhood Education And Development,
98-103.
Sunanik. (2013). Pelaksanaan Terapi Wicara dan Terapi Sensori Integrasi pada Anak
Terlambat Bicara. Jurnal Pendidikan Islam, 19-44.