Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia memiliki tiga sifat penting sifat atau tritunggal yaitu mampu
mendengar, mampu berfikir sebagai manusia, dan mampu bercakap-cakap. Ketiga
fungsi itu mempunyai hubungan yang sangat erat antara satu sama lain. Namun di
dunia ini ada segelintir individu yang memiliki keterbatasan dalam fungsi tersebut,
yang biasa disebut penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah mereka
yang mengalami keterbatasan fisik, mental, intelektual ataupun sensorik yang
dimana dalam kehidupannya sehari-hari mengalami hambatan dalam berinteraksi
sosial untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
Terdapat beberapa jenis disabilitas diantaranya tuna rungu, tuna wicara,
tuna netra dan masih banyak lagi. Namun, dalam pembahasan ini akan dijelaskan
sedikti hal mengenai tuna wicara yang mana hal ini sering disandingkan dengan
tuna rungu. Singkatnya, tuna wicara adalah kesulitan individu dalam
berkomunikasi secara lisan, yang disebabkan karena kurangnya sulitnya
mengucapkan kata, bahasa bahkan hingga intonasi suara.
Seperti yang kita ketahui komunikasi adalah kebutuhan manusia sebagai
mahluk sosial dalam berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Banyak cara
yang dapat dilakukan untuk berkomunikasi di antaranya adalah dengan berbicara
melalui bahasa lisan atau dengan tangan melalui bahasa isyarat, serta tulisan.
Dalam masyarakat, terdapat penyandang disabilitas tuna wicara yang karena
keterbatasan indera bicaranya tidak dapat menggunakan bahasa lisan, mereka
hanya dapat mengandalkan komunikasi melalui bahasa isyarat dan atau tulisan.
Penyandang disabilitas tuna wicara memiliki permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari mereka, dimana mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi
secara formal, ini akibat kekurangan dan keterbatasan fisik mereka.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini diharapkan, kami selaku penyusun dan
pembaca dapat menambah pengetahuan mengenai Penyandang Tuna Wicara dari
segi pengertian, penyebab & karkteristik hingga intervensi yang telah dilakukan.

1.3 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari Tuna Wicara ?
2. Berapa Prevalensi tuna wicara di Indonesia ?
3. Apa penyebab dari Tuna Wicara dan bagaimana karakteristiknyaa?
4. Bagaimana mengidentifikasi dan assessmen Tuna Wicara ?
5. Bagaimana pertimbangan pendidikan untuk Tuna Wicara ?
6. Apa saja intervensi yang pernah dilakukan terhadap Tuna Wicara?
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Sejarah dan Definisi


Tunawicara atau kelaianan bicara adalah ketidakmampuan individu dalam
mengkomunikasikan gagasannya kepada orang lain (pendengar). Serta gangguan
pada kemampuan untuk menerima, mengirim, memproses dan memahami konsep
atau symbol. Akibatnya, pesan yang terlihat sederhana ketika disampaikan kepada
lawan bicara sulit dipahami. Kelainan bicara dapat terbukti dalam proses
pendengaran, bahasa, dan / atau ucapan. Tak jarang gangguan bicara (Tunawicara)
sering dikaitkan dengan gangguan pendengaran (tunarungu). Karena apabila
seseorang menglami kesulitan dalam mendengar maka individu tersebut pun akan
kesulitan dalam mengucapkan kata. Gangguan komunikasi dapat berkisar dari
tingkat keparahan mulai dari yang ringan sampai yang sangat berat. Terdapat
beberapa macam gangguan bicara (tunawicara) antara lain :
a. Articulation, kesulitan komunikasi dalam pengucapan
b. Gagap, kesulitan dalam mengucapkan kalimat secara fasih
c. Cerebral-Palsy speech, kelainan bicara akibat adanya kerusakan otak
d. Speech problem due impaired hearing, kelainan bicara akibat gangguan
pendengaran
e. Retarted Speech Development, Kelainan bicara akibat perkembangan bicara
itu sendiri.

2.2 Prevalensi
Susenas 2012 mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang
disabilitas sebesar 2,45%. Peningkatan dan penurunan persentase penyandang
disabilitas yang terlihat pada gambar di bawah ini, dipengaruhi adanya perubahan
konsep dan definisi pada Susenas 2003 dan 2009 yang masih menggunakan
konsep kecacatan, sedangkan Susenas 2006 dan 2012 telah memasukkan konsep
disabilitas. Walaupun demikian, jika kita bandingkan antara Susenas 2003 dengan
2009 dan Susenas 2006 dengan 2012 terjadi peningkatan prevalensi.

Persentase Penduduk Penyandang Disabilitas Berdasarkan Data Susenas


2003, 2006, 2009, dan 2012 Sumber: BPS Berdasarkan data Susenas tahun 2012
penyandang disabilitas terbanyak adalah penyandang yang mengalami lebih dari
satu jenis keterbatasan, yaitu sebesar 39,97%, diikuti keterbatasan melihat, dan
berjalan atau naik tangga seperti pada gambar di bawah ini.

Dari grafik tersebut dapat diketahui penyandang tunawicara berjumalah 2.74%


dari total penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 2.45% dengan jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2012.
2.3 Penyebab
Menurut Drs. Sarjono faktor penyebab tuna wicara adalah sebagai berikut:
a. Gangguan Prenatal
1. Hereditas (keturunan)
Apabila diantara keluarga terdapat tuna wicara atau membawa gen tuna
wicara maka pada saat lahir anak akan memiliki gangguan tuna wicara.
2. Anoxia
Kekurangan oksigen pada janin dapat menyebabkan kerusakan pada otak
dan saraf yang menyebabkan ketidak sempurnaan organ salah satu organ
bicara, seperti pita suara, tenggorokan, lidah dan mulut.
b. Gangguan neonatal
1. Prematur
Bayi prematur yang lahir dengan berat badan tidak normal dan lahir
dengan organ tubuh yang belum sempurna dapat mengakibatkan kebisuan
yang kadang-kadang di sertai ketulian, kurangnya berat badan ketika lahir
juga menyebabkan kerusakan jaringan-jaringan.
c. Gangguan pos natal
1. Infeksi
Sesudah lahir anak menderita infeksi misalnya campak yang
menyebabkan tuli, virus akan menyerang cairan koklea, menyebabkan
anak menderita otitis media.
2. Meningitis (radang selaput otak)
Penderita akan mengalami kelainan pada pusat syaraf pendengaran dan
akan mengalami ketulian perseptif.
3. Infeksi alat pernafasan
Seseorang dapat menjadi tunawicara apabila terjadi gangguan pada organ
pernafasan seperti paru-paru, laring atau gangguan pada mulut dan lidah.
2.4 Karakteristik psikologis dan Perilaku
Menurut Heri Purwanto dalam Ortopedagogik umum yang merupakan
karakterisktik anak tunawicara adalah : 
1. Karakteristik bahasa dan wicara
Pada umumnya anak tunawicara  memiliki kelambatan dalam perkembangan
bahasa wicara bila dibandingkan dengan perkembangan bicara anak-anak
normal.
2. Kemampuan intelegensi
Kemamapuan intelegensi (IQ) tidak berbeda dengan anak-anak normal, hanya
pada skor IQ verbalnya akan lebih rendah dari IQ performanya
3. Penyesuaian emosi,sosial dan perilaku
Dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat banyak mengandalkan
komunikasi verbal, hal ini yang menyebabkan tuna wicara mengalami
kesulitan dalam penyesuaian sosialnya.Sehingga anak tunawicara terkesan
agak eksklusif atau terisolasi dari kehidupan masyarakat normal.
Sedangkan yang  merupakan ciri-ciri fisik dan psikis anak tunawicara adalah,
Sebagai Berikut :
1. Berbicara keras dan tidak jelas
2. Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya
3. Telinga mengeluarkan cairan
4. Biasanya Menggunakan alat bantu dengar
5. Bibir sumbing
6. Suka melakukan gerakan tubuh
7. Cenderung pendiam
8. Suara sengau
9. Cadel

2.5 Identifikasi dan assesmen


Identifikasi anak berkebutuhan khusus dimaksdukan sebagai usaha
sesorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk
mengetahui apakah seseorang anak mengalami kelainan atau penyimpangan
(fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis) dalam
pertumbuhan dan perkembangannya dibandingakan dengan anak-anak lain
seusianya. Jadi identifikasi anak berkebutuhan khusus merupakan upaya
mengenali anak berkebutuhan khusus,dalam hal ini anak berkelainan dengan
berbagai gejala-gejala yang menyertainya dapat berupa gejala fisik, gejala
perilaku, dan gejala hasil belajar. Identifikasi anak berkebutuhan khusus tidak
hanya sebagai suatu kegiatan dalam upaya menemukan anak yang diduga
berkelainan, tetapi juga sekaligus mengenali gejala-gejala perilaku yang
menyimpang dari kebiasaan perilaku pada umumnya. Identifikasi perlu dilakukan
dengan cermat agar tidak terjadi penafsiran yang salah tentang kondisi objek
perilaku anak sehingga dapat menetukan tindak lanjut yang tepat.
Pengamatan yang seksama mengenai kondisi dan perkembangan anak
sanga diperlukan dalam melakukan identifikasi anak berkebutuhan khusus di
sekolah oleh guru, dan ini dapat dilakukan guru setiap saat (Suparno, 2008 dalam
Dianasari, 2019). Dengan demikian, untuk dapat memperoleh informasi yang
lebih lengkap, maka usaha identifikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara,
selain melakukan pengamatan secara seksama, perlu juga dilakukan wawancara
dengan orang tua ataupun lainnya. Informasi yang telah diperoleh selanjutnya
dapat digunakan untuk menentukan anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Identifikasi bertujuan untuk menandai gejala-gejala berkaitan kelainan
atau penyimpangan perilaku yang mengakibatkan kesulitan atau hambatan dalam
belajar di sekolah yang dapat dilakukan oleh guru.
1. Teknik assessment
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mengidentifikasi
keberadaan anak berkebutuhan khusus. Beberapa teknik khusus akan sangat
diperlukan untuk mengenali anak berkebuthan khusus, di antaranya sebagai
berikut (Suparno, 2008 dalam Dianasari, 2019):
a. Observasi
Observasi digunakan untuk melakukan identifikasi yaitu dengan cara
mengamati kondisi atau keberadaan individu tunawicara. Observasi
dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Observasi
langsung yaitu melakukan observasi secara langsung terhadap subjek
terhadap lingkungan yang wajar, adanya dalam aktivitas kesehariannya.
Observasi secara tidak langsung yaitu dilakukan dengan menciptakan
kondisi yang diinginkan untuk observasi.
b. Wawancara
Wawanacar merupakan salah satu teknik untuk memperoleh informasi
mengenai keberadaan individu tunawicara, dalam upaya melakukan
identifikasi apabila data atau informasi yang diperoleh melalui observasi
kurang memadai, maka guru dapat melakukan wawancara terhadap
siswa, orang tua, keluarga, ataupun teman sepermainan yang
dimungkinkan dapat memberikan informasi tambahan mengenai
keberadaan anak tersebut.
c. Tes
Tes merupakan suatu cara untuk melakukan penilaian yang berupa suatu
tugas atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan, yang akan
menghasilkan suatu nilai tentang kemampuan atau perilaku individu
yang bersangkutan.
d. Tes psikologi
Tes psikologi memiliki akurasi yang lebih baik dari tes yang lainya.
Selain waktu pelaksaan yang lebih singkat, melalui tes psikologi juga
dapat diprediksikan apa yang akan terjadi dalam belajar atau ditahap
berikutnya. Untuk melihat tingkat kecerdasan seorang anak tes psikologi
merupakan instrumen yang lebih objektif dan validitasnya telah teruji.
Selain untuk melihat kecerdasan, tes psikologi dapat digunakan untuk
melihat aspek kepribadian dan perilaku seseorang.

2.6 Pertimbangan Pendidikan


Anak tuna wicara perlu di tampung dan diberi pendidikan seperlunya
disesuaikan dengan ketunaannya. Sekolah yang khusus menanpung anak tuna
wicara disebut sekolah luar biasa bagian B. (SLB B). Berpangkal pada ketentuan-
ketentuan bahwa : 
1. Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahaan…….. (pasal 27 ayat 1 UUD 45).
2. Tiap-tiap arga Negara berhak mendapatkan pengajaran ( pasal 31 ayat 1
UUD 45)
3. Juga dalam uu no.12 tahun 1954 sebagai undang-undang pokok
pendidikan, menetapkan antara lain sebagai berikut :
a. Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas asas-asas yang termaktub
dalam pancasila, undang-undang dasar nedara republic Indonesia dan
atas kebudayaan kebangsaan (bab III, pasal 4 )
b. Pendidikan dan pengajar luar biasa di berikan dengan khusus untuk
mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2)
c. Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud pada orang-orang
yang dalam keadaan kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya,
supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir batin yang layak (pasal
7 ayat 5)
Berdasarkan pedoman pelaksanaan kurikulum SLB untuk tuna rungu
wicara bagian B tahun 1977 buku III A 1 dijelaskan kurikulum SLB /
B 1976 mengarahkan pada suatu pengajaran bahasa untuk membentuk
tuna rungu wicara yang memiliki sikap dan bagian mata, dimana
diperhatikan ke seluruhan hidup manusia yang cacat pendengaran
dengan segala akibatnya dan kekhasannya sebagai manusia “Pemata”
dan diusahakan menyusun hubungan pengertian yang akumulatif
dengan keadaan hidup sesengguhnya, yang mencakup kenyataan dan 
lingkunagan sekitar, tetapi tugas – tugas sosial, budaya dana politik
dalam masyarakat.
Adapun tujuan pendidikan bagi tuna wicara agar anak dalam proses belajar
mengajar dapat secara langsung berhadapan secara tatap muka agar siswa dapat :
a. Menangkap bentuk ucapan dana pembendahraan kata.
b. Menambah bentuk ucapan ungkapan.
c. Menambah ucapan kalimat.
d. Menambah keseluruhan isi cakapan.
e. Memanfaat sisa pendengaran

Dalam proses pembelajaran metode yang dapat digunakan adalah sebagai


berikut:
1. Metode auditory oral
Metode ini menggunakan bantuan bunyi untuk mengembangkan
kemampuan mendengar dan bertutur kata, membutuhkan latihan
pendengaran yang dapat melatih anak-anak untuk mendengar bunyi dan
mengklasifikasikan bunyi-bunyi yang berbeda. Metode ini tidak
menggunakan gerakan jari tetapi lebih menekankan pada metode
pembacaan gerak bibir.
2. Metode membaca bibir
Komunikasi dengan metode ini baik untuk mereka yang mampu
berkonsentrasi tinggi pada bibir dan penglihatan yang baik. Dalam metode
ini anak-anak diharuskan untuk selalu melihat gerakan bibir penutur bahasa
dengan tepat dan penutur bahasa harus berada di temapat yang terang dan
dapat terlihat dengan jelas.
3. Metode bahasa isyarat
Bahasa isyarat yang digunakan secara mudah dengan menggabungkan
perkataan dengan makna dasar.
4. Metode komunikasi universal
Metode ini menggabungkan gerakan tangan, isyarat, pembacaan gerak
bibir, dan penuturan. Melalui metode ini anak-anak dapat memahami hal
yang disampaikan menurut kemampuan masing-masing.
5. Penuturan Isyarat (cued speech)
Metode ini menggunakan simbol-simbol tangan untuk memandu bunyi-
bunyian. Simbol-simbol tangan yang ditentukan dengan bentuk-bentuk
tangan yang menentukan maksud perkataan. Terdapat delapan simbol
tangan tangan yang ditentukan menurut konsonan yang berbeda dan empat
simbol tangan untuk menentukan huruf vokal.

2.7 Intervensi
a. Terapi Wicara
Ada beragam cara yang dapat dilakukan untuk membantu anak dalam
mengoptimalkan kemampuan berbicaranya, salah satunya melalui terapi
wicara. Terapis wicara melakukan terapi pada masalah di bidang artikulasi;
difluency (ketidaklancaran berbicara); gangguan makan, gangguan bunyi
suara (sengau), serta gangguan bahasa reseptif dan ekspresif. Pada penelitian
yang dilakukan Kurniawati dkk, pertama-tama peneliti melakukan observasi
terhadap kata yang diucapkan oleh subjek. Seperti pada hasil observasi
bahwa subjek masih mengalami keterbatasan dalam berbicara. subjek hanya
mampu berkomunikasi verbal dengan kalimat satu kata, itupun terkadang
hanya terdengar suku kata terakhir dalam kalimat yang diucapkannya.
Kalimat satu kata maksudnya adalah Subjek hanya mampu mengucapkan
satu kata, tapi kata tersebut memiliki banyak makna, seperti saat anak
mengucapkan kata tas, itu dapat berarti jika bekal yang dibawanya ada di
dalam tas atau jika tas miliknya tidak ada di kursi. Setelah itu mengajarkan
anak dengan pengucapan vokal a,i,u,e,o untuk melatihnya dalam berbicara.
Lalu selalu mengajak anak bicara dengan artikulasi dan intonasi yang jelas,
karena anak penyandang tunawicara bicara dengan artikulasi dan intonasi
yang kurang jelas.
b. Terapi Musik
Wagiman (2005:68) menjelaskan ada banyak sekali manfaat terapi musik.
Menurut para pakar terapi musik memiliki beberapa manfaat utama, di
antaranya relaksasi, meningkatkan kecerdasan, meningkatkan motivasi,
pengembangan diri, kesehatan jiwa, mengurangi rasa sakit,
menyeimbangkan tubuh dan meningkatkan olahraga. Menurut Campbel
(2002) ada dua macam metode terapi musik yaitu ;
1. Terapi musik aktif
Dalam terapi musik aktif ini individu diajak bernyanyi belajar main
menggunakan alat musik, menirukan nada-nada, bahkan membuat lagu
singkat. Dengan kata lain individu berinteraksi aktif dengan dunia musik.
Untuk melakukan terapi musik aktif ini di butuhkan bimbingan seorang
pakar terapi musik yang kompeten.
2. Terapi musik pasif
Ini adalah terapi musik yang murah,mudah dan efektif. Pasien
hanya mendengarkan dan menghayati suatu alunan musik tertentu yang di
sesuaikan dengan masalahnya. Hal terpenting dalam terapi musik pasif ini
adalah pemilihan jenis musik harus tepat.
Mekanisme kerja musik klasik menurut penelitian Alfered Tomatis
tahun 2001 menyebutkan musik klasik memberikan energi pada otak dan
membuat jadi lebih tenang. Seperti di kemukakan oleh Campbell (2001)
musik klasik mozart mampu memperbaiki konsentrasi ingatan. Sementara
jenis-jenis musik lain mulai dar Jazz,New Age, Latin, Pop, lagu-lagu
Gregorian bahkan gamelan meningkatkan imajinasi dan kreativitas.
Musik klasik yang mampu menghasilkan gelombang alfa, menenangkan
serta merangsang limbik jaringan otak dan dapat menyatukan neuron
yang terpisah-pisah menjadi bertautan dan mengintegrasikan diri dalam
sirkuit otak, sehingga terjadi perpautan antara neuron otak kanan dan otak
kiri.
Terapi musik tidak selalu membutuhkan kehadiran ahli, walau
mungkin membutuhkan bantuannya saat mengawali terapi musik.
Mekanisme kerja terapi musik klasik Mozart pada anak tunawicara,
pada anak tunawicara terjadi gangguan pada daerah oral motor pada otak
kiri, sedangkan otak kiri berfungsi untuk kemampuan bahasa dan bicara.
Sedangkan fungsi musik klasik Mozart dapat menyeimbangkan otak kiri
dan otak kanan, pada saat di beri latihan terapi musik klasik anak disuruh
untuk bernyanyi sehingga bisa mengaktifkan kemampuan otak kanan dan
mengurangi ketergantungan pada otak kiri yang mengatur kemampuan
bahasa dan bicara
Seorang dokter dari Prancis menyebutkan bahwa musik klasik Mozart
memberikan energi pada otak dan membuatnya menjadi lebih santai.
Sedangkan Grace Sudargo seorang musisi dan pendidik mengatakan,
dasar-dasar musik klasik secara umum berasal dari ritme denyutan nadi
manusia sehingga dia berperan besar dalam perkembangan otak,
pembentukan jiwa, karakter bahkan raga manusia. Alfa Handayani dalam
Hidayat (2003) mengatakan bahwa musik mampu neningkatkan
pertumbuhan otak anak karena musik itu sendiri meransang pertumbuhan
sel otak. Musik bisa membuat kita rileks dan senang, yang merupakan
emosi positif inilah membuat fungsi berfikir seseorang menjadi maksimal.
c. Metode ABA
Metode ABA adalah metode yang terstruktur dan mudah
diukur hasilnya, sebagaimana metode ABA. Dengan demikian
metode ini dapat dengan mudah di ajarkan kepada para calon
pasien terapi. Prinsip dasar metode ABA merupakan cara pendekatan dan
penyampaian materi kepada anak yang harus dilakukan seperti berikut ini:
1. Kehangatan yang berdasarkan kasih sayang yang tulus,
untuk menjaga kontak mata yang lama dan konsisten
2. Tegas (tidak dapat ditawar-tawar anak)
3. Tanpa kekerasan dan tanpa marah
4. Prompt (Bantuan, arahan) secara tegas tapi lembut.
5. Apresiasi anak dengan imbalan yang efektif, sebagai
motivasi agar selalu bergairah.
Dalam menciptakan suasanan yang kondusif dalam mendidik individu,
terapis menggunakan prinsip menciptakan suasana yang penuh kehangatan
dan kedamaian. Diusahakan terapis tidak melibatkan emosi marah/jengkel
dan kasihan sewaktu mengajar anak. Dengan begitu nantinya dengan
sendirinya tidak menyukai kekerasan dalam bersosialisasi dengan yang lain.
Selain itu anak akan berkembang menjadi individu yang toleran terhadap
perbedaan pendapat dan sekaligus kreatif. ABA itu sendiri terdiri dari tiga
kata, yaitu Applied yang berarti terapan,
Behavior yang berarti perilaku sedangkan Analysis memiliki
pengertian: mengurai/memecah menjadi bagian-bagian kecil,
mempelajari bagian-bagian tersebut, melakukan dan memodifikasi. Dari tiga
kata tersebut ABA dapat diartikan sebagai ilmu terapan yang mengurai,
mempelajari dan memodifikasi perilaku.
1. Adapun teknik ABA menurut Handojo sebagai berikut:
DTT (Discrete Trial Training). Adalah salah satu tehnik utama dari
ABA, sehingga kadang ABA disebut juga DTT.
Arti harfiah dari DTT adalah latihan uji coba yang jelas/nyata.
DTT terdiri dari “siklus” yang dimulai dengan intruksi,
prompt, dan di akhiri dengan imbalan.
2. Discrimination Training atau Discriminating. Teknik membedakan ini
dipakai untuk melabel atau identifikasi. Tahap kognitif atau kemmapuan
reseptif ini digunakan untuk menamai atau mengenal hal-hal seperti
huruf, warna, bentuk, tempat, orang dan sebagainya. Untuk meyakinkan
bahwa individu benar-benar memahami/mengenali hal secara konsisten,
diperlukan pembanding. Apabila individu tetap dapat mengidentifikasi
hat tersebut tanpa ragu, maka ia telah benar-benar mengenalnya.
3. Matching atau Mencocokkan. Teknik ini dapat dipakai sebagai
pemantap identifikasi maupun sebagai permulaan latihan identifikasi.
Mencocokkan dapat dipakai juga untuk melatih ketelitian, yaitu dengan
memberikan beberapa/banyak hal yang dicocokkan.
4. Fading berarti meluntur. Yang dilunturkan adalah prompt kepada anak.
Dari prompt penuh kemudian dikurangi secara
bertahap sampai individu berhasil melakukan tanpa prompt lagi.
5. Shaping berarti pembentukan. Teknik ini biasanya dipakai
saat mengajarkan kata-kata verbal.
6. Chaining adalah menguraikan perilaku kompleks menjadi
beberapa mata rantai perilaku yang paling sederhana. Tiap
mata rantai diajarkan tersendiri dengan siklus DTT. Apabila
individu menguasai tiap mata rantai, maka diadakan penggabungan
kembali sehingga menjadi perilaku yang utuh. Teknik ini dipakai
sewaktu terapis mengajarkan memasang kaos kaki, melepaskan kaos
kaki, memakai baju kaos, melepaskan baju kaos dan sebagainya.

2.8 Transisi
Individu tunawicara merupakan anak yang memiliki keterbatasan dan
gangguan dalam komunikasi. Keterbatasan ini yang membuat proses
penyampaian dan pemaknaan pesat sulit dipahami oleh orang lain. Santrock
(2002) mengatakan masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-
kanak menuju masa dewasa. Hurlock (1980) membagi masa remaja awal dan
masa remaja akhir. Kisaran usia remaja awal ± 13-16 tahun dan masa remaja
akhir ± 16-19 tahun. Erikson (dalam Alwisol, 2009) mengatakan bahwa masa
remaja merupakan masa kritis. Hal ini dikarenakan pada masa ini remaja
berusaha untuk menemukan identitas dirinya. Kekacauan identitas
kemungkinan akan terjadi, seperti adanya pembagian gambaran akan diri,
ketidakmampuan membina hubungan interpersonal yang baik, dan lain
sebagainya. Kekacauan identitas yang berlebih dapat mengakibatkan
penyesuaian diri yang patologis dalam bentuk regresi ke perkembangan
sebelumnya.
Menurut Frieda Mangunsong dalam psikologi dan pendidikan anak luar
biasa, tuna wicara atau kehilangan berbicara adalah hambatan dalam
berkomunikasi verbal yang efektif. Sedangkan Abdurrachman dan Sudjadi
(1994: 78) dalam pendidikan luar biasa umum menyatakan bahwa gangguan
wicara atau tuna wicara adalah suatu kerusakan atau gangguan suara, artikulasi
dari bunyi bicara, dan atau kelancaran berbicara. William Kay, sebagaimana
dikutip Yudrik Jahja mengemukakan tugas-tugas perkembangan masa remaja sebagai
berikut:
1. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.
2. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang
mempunyai otoritas.
3. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan bergaul dengan
teman sebaya, baik secara individual maupun kelompok.
4. Menemukan manusia model yang dijadikan identitas pribadinya.
5. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya
sendiri.
6. Memperkuat self-control atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah
hidup.
7. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri kekanak-kanakan.
Pada sebuah penelitan, dikatakan apabila berdasarkan hasil wawancara
dengan para orangtua, diketahui bahwa banyak remaja
penyandang disabilitas intelektual yang putus terapi karena
masalah biaya yang tinggi, ketersediaan akses untuk terapi,
ketersediaan waktu, dan juga pribadi para remaja yang mulai
merasa malu saat harus terapi tatap muka dengan terapis. Bisa dilihat bahwa
remaja tuna wicara mengalami kesulitan untuk berkembang seperti remaja
lainnya. Karena keterbatasan mereka dalam berkomunikasi, remaja tuna wicara
mengalami kesulitan dalam menyampaikan atau berbicara dengan orang lain.
Sehingga untuk membangun hubungan interpersonal yang baik dengan orang
lain, cenderung sulit. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa remaja tuna
wicara juga dapat bergaul dengan remaja normal.

BAB III

KESIMPULAN

Tunawicara atau kelaianan bicara adalah ketidakmampuan individu dalam


mengkomunikasikan gagasannya kepada orang lain (pendengar). Serta gangguan
pada kemampuan untuk menerima, mengirim, memproses dan memahami konsep
atau symbol. Susenas 2012 mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang
disabilitas sebesar 2,45%. Gangguan yang dapat mengakibatkan tunawicara karena
adanya gangguan saat fase prenatal, neonatal, dan pos natal. Penderita tunawicara pun
memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang berbeda dengan individu normal. Langkah-
langkah yang harus dilakukan untuk menetapkan perlakuan yang tepat terhadap
individu tunawicara perlu adanya identifikasi dan assesment terlebih dahulu.

Individu tunawicara pun berhak mendapatkan pendidikan seperti orang


normal pada umumnya, hal tersebut telah dijelaskan pada undang-undang. Intervensi
pun digunakan pada individu tunawicara agar lebih berkomunikasi dengan individu
yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Dianasari, E. L. (2019). Implementasi Identifikasi dan Asesmen ABK di Sekolah


Inklusif SDN 003 Tebing Kabupaten Karimun. Khazanah Ilmu Berazam, 107.

Gusti, N. (2017). Pengaruh Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Kemampuan


Bahasa dan Bicara Pada Anak Tunawicara Di SLB Peduli Anak Bangsa
Payakumbuh. Padang: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan.

Gusti, N. (2018). Pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap kemampuan bahasa
dan bicara pada anak tunawicara di SLB Peduli anak bangsa payakumbuh
tahun 2017 . Padang: Stikes perintis.

Kementerian Kesehatan, R. (2014). Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan :


Situasi Penyandang disabilitas. Jakarta.

Kurniawati, L., Alimin, Z., & Asri, P. (n.d.). Program intervensi pengembangan
kecakapan berbicaraanak Down Syndrome. Pedagogia, 288 - 295.

Purwanto, H. (1988). Ortopedagogik Umum. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.

Putro, K. Z. (2017). Memahami Ciri dan Tugas Perkembangan Remaja. APLIKASIA :


Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, 25-32.

Rahmawati, A., Juhaeni, Aisah, S., Kinasih, A., & Shibyany, N. (2019). Pengelolaan
Kelas Terhadap Siswa Tuna Rungu-Wicara di Kelompok A1 PGRA
Mamba'ul Hisan. Journal Of Early Chilhood Education And Development,
98-103.
Sunanik. (2013). Pelaksanaan Terapi Wicara dan Terapi Sensori Integrasi pada Anak
Terlambat Bicara. Jurnal Pendidikan Islam, 19-44.

Wardani, D. (2011). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: UT.

Anda mungkin juga menyukai