Tinjauan Pustaka Kejang Demam Khevin P
Tinjauan Pustaka Kejang Demam Khevin P
1. Pendahuluan
7
kecuali untuk mencari penyebab demam atau atas indikasi tertentu.
Penatalaksanaan yang perlu dikerjakan meliputi pengobatan fase akut,
mencari dan mengobati penyebab, dan pengobatan profilaksis terhadap
berulangnya kejang demam.4
Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam
cukup mengkhawatirkan bagi orang tuanya, sehingga sebagai dokter kita
wajib mengatasi kejang dengan tepat dan cepat.Penanganan kejang
demam sampai saat ini masih terjadi kontroversi terutama mengenai
pengobatannya yaitu perlu tidaknya penggunaan obat untuk profilaksis
rumat.4
8
2. Kejang Demam
2.1 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 380 C, dengan metode pengukuran suhu
apa pun) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit
atau metabolic lain. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari
1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam, melainkan termasuk dalam
kejang neonatus.5,6,7
Kejang demam umumnya terjadi pada anak berumur 6 bulan - 5
tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian
kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi
SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. 4,6,7
9
oksigen meningkat, dan (3) predisposisi genetic, >7 lokus kromosom
(poligenik, autosomal dominan).6
2.2 Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok:
KD KD
No Klinis kompleks
sederhana
1. Durasi < 15 menit >15 menit
2. Tipe kejang Umum umum/fokal
3. Berulang dalam satu episode 1 kali > 1 kali
4. Defisit neurologis - +
5. Riwayat keluarga kejang demam - +
6. Riwayat keluarga kejang tanpa demam - +
7. Abnormalitasneurologis sebelumnya - +
10
Tabel 2.2 Perbedaan kejang sederhana dan kompleks.2
2.3 Epidemiologi
Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering
pada anak.Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi
bangkitan kejang demam tidak sama. Pendapat para ahli terbanyak
kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai dengan 5 tahun. 1
Sedangkan menurut American Academy of Pediatrics (AAP) usia
termuda bangkitan kejang demam adalah 6 bulan.4
Berkisar 2% - 5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi
pada anak berusia di bawah 5 tahun.Terbanyak bangkitan kejang demam
terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22
bulan.Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2-5%.
Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila
dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang
demam berkisar 8,3% - 9,9%. Bahkan di Guam insiden kejang demam
mencapai 14%.2
2.4 Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan
muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan
fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun
anatomi.9
Secara umum, terdapat beberapa teori mengenai mekanisme
terjadinya kejang:9
1. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan
pompa Na-K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia.
Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan
11
terjadi hipoksemia.
2. Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya
hipokalsemia dan hipomagnesemia.
3. Perubahan relatif pada neurotransmiter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmiter yang bersifat inhibisi dapat
menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidak-
seimbangan antara GABA dan glutamat akan menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam belum diketahui secara pasti, namun
diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi
kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat
dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan
hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga
Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan
potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf
meningkat. 3
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi
di otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu.
Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga
kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi
perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan
mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel
yang belum matang/immatur.
2. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel.
3. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan
asam laktat danCO2 yang akan merusak neuron. Setiap kenaikan suhu
1oC meningkatan metabolisme basal 10-20% dan kebutuhan oksigen
meningkat 20%.
4. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta
12
meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan
gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.3
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan
tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak yang
menderita pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang
kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38oC, sedangkan
pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada
suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa
terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang
lebih rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada
tingkat suhu berapa penderita kejang. 10
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umu mnya
tidak berbahaya dan tidak akan meninggalkan gejala sisa. Pada
kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit) biasanya diikuti dengan
apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat
(disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea, hipoksi
arterial, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan peredaran darah di
otak, sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi
kerusakan sel neuron.3
Kerusakan daerah mesial lobus temporalis setelah mendapatkan
serangan kejang yang berlangsung lama, dapat menjadi matang
dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.Jadi
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis sehingga terjadi epilepsi. 10
13
kehamilan, partus lama, cara lahir), faktor paskanatal (kejang akibat
toksik, trauma kepala), dan jenis kelamin. 2
14
tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun dan rentan terhadap
bangkitan kejang. Pada masa ini, otak yang belum matang mempunyai
eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah
matang. Eksitator (CRH) lebih dominan dibanding inhibitor (GABA),
sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitatordan inhibitor. Anak
mendapat serangan bangkitan kejang demam pada usia awal masa
developmental window mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas
neural dibanding anak yang mendapat serangan kejang demam pada
usia akhir masa developmental window.2
15
trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat
menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan
dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan
asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya
fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai.2
16
mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau
mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang.Merokokdapat
mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin serta terjadinya
placenta previa. Placenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat
pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang
sehinggadiperlukan seksio sesaria. Keadaan ini dapat menyebabkan
trauma lahir yang berakibat teriadinya kejang.2
17
sebelum 37 minggu dari hari pertama menstruasi terakhir. Pada
bayi prematur, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna
sehingga sebelum berfungsi dengan baik. Perdarahan intraventikuler terjadi
pada 50% bayi prematur. Hal ini disebabkan karena bayi
prematurseringkali menderita apnea, asfiksia berat dan sindrom
gangguanpernapasan yang menyebabkan hipoksia. Bila keadaan ini
sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka, kemungkinan
timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar. Daerah yang
rentan terhadap kerusakan antara lain di hipokampus. Oleh karena itu
setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas
neuron, serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas.2
Bayi yang dilahirkan lewat waktu yaitu lebih dan 42 minggu
merupakan bayi postmatur.Pada keadaan ini akan terjadi proses penuaan
plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun.
Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah
suhu yang takstabil, hipoglikemia dan kelainan neurologik. Gawat
janin terutama terjadi pada persalinan, bila terjadi kelainan obstetrik
seperti : berat bayi lebih dari 4000 gram, kelainan posisi, partus > 13
jam, perlu dilakukan tindakan seksio sesaria.Kelainan tersebut dapat
menyebabkan trauma perinatal (cedera mekanik) dan hipoksia janin
yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak janin. Manifestasi klinis
dari keadaan ini dapat berupa kejang.2
18
2.5.5.5 Persalinan dengan alat
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat
dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik
pada kepala bayi. Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan subdural,
subaraknoid dan perdarahan intraventrikuler. Persalinan yang sulit
terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat
menyebabkan perdarahan subdural. Perdarahan subaraknoid dapat
terjadi pada bayi prematur dan bayi cukup bulan karena trauma.
Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan
kejang.Cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibatdistorsi dan
kompresi otak, sehingga terjadi perdarahan atau oedem otak; keadaan ini
dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan kejang sebagai manifestasi
klinisnya.2
19
kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan
dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus
berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat
penyebab yang paling umum adalah virus Herpes simplex (tipe 1) yang
menyerang lobus temporalis. Kejang yang timbul berbentuk serangan
parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan
biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan
gangguan daya ingat yang berat dan kejang dengan kerusakan otak
dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi sekuele yang secara
langsung menimbulkan cacat berupa cerebal palsy, retardasi mental,
hidrosefalus dan defisit nervus kranialis serta kejang. Dapat pula cacad
yang terjadi sangat ringan berupa sikatriks pada sekelompok neuron
atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah fokus epilepsi, yang
dalam kurun waktu 2 - 3 tahun kemudian menimbulkan kejang.2
20
menyebabkan kejang.2
2.6 Diagnosis4,5,6
2.6.1 Anamnesis
Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu
sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, pasca kejang,
penyebab kejang di luar SSP (ISPA/ISK/OMA, dll).
Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
Riwayat kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam
keluarga, epilepsi dalam keluarga (kakak-adik, orangtua).
Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lain
(misalnya diare/muntah yang mengakibatkan gangguan elektrolit,
sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat
menyebabkan hipoglikemia).
21
(apakah terdapat demam), tanda rangsang meningeal, tanda
peningkatan tekanan intrakranial (UUB membonjol, papil edema), dan
tanda infeksi di luar SSP. Pada umumnya tidak dijumpai adanya kelainan
neurologis, termasuk tidak ada kelumpuhan nervi kranialis.
Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan
atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak
jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan.
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin.
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan
pungsi lumbal.
Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi
pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih
22
dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography
scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis).
2. Paresis nervus VI.
3. Papil edema.
4. Kesadaran menurun.
5. Muntah berulang.
6. UUB membonjol.
2.7 Tatalaksana
2.7.1 Berdasarkan pedoman pelayanan medis IDAI6,7
2.7.1.1 Tatalaksana penghentian kejang akut dilaksanakan sebagai
berikut:
Di rumah / prehospital
Penanganan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orang tua
dengan pemberian diazepam per rectal dengan dosis 0.5 – 0.75 mg/kg
atau secara sederhana bila berat badan < 12 kg : 5 mg sedangkan berat
badan > 12 kg : 10 mg. Pemberian di rumah maksimum 2 kali dengan
interval 5 menit. Bila kejang masih berlangsung bawalah pasien ke klinik
atau rumah sakit terdekat.
Di rumah sakit
Saat tiba di klinik atau rumah sakit, bila belum terpasang cairan
intravena dapat diberikan per rectal ulangan 1 kali sambil mencari akses
vena. Sebelum dipasang cairan intravena, sebaiknya dilakukan
pengambilan darah untuk pemeriksaan darah tepi, elektrolit, dan gula
darah sesuai indikasi.
23
Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin IV dengan dosis 20
mg/kg dilarutkan dalam NaCl 0.9% diberikan perlahan lahan dengan
kecepatan pemberian 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi, dapat
diberikan tambahan fenitoin IV 10 mg/kg. Bila kejang teratasi, lanjutkan
pemberian fenitoin IV setelah 12 jam kemudian dengan rumatan 5-7
mg/kg.
Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital IV dengan dosis
maksimum 15 – 20 mg/kg dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit.
Awasi dan atasi kelainan metabolic yang ada. Bila kejang berhenti,
lanjutkan dengan pemberian fenobarbital IV rumatan 4-5 mg/kg setelah 12
jam kemudian.
24
Jangan diencerkan dengan cairan yang mengandung dextrose
karena akan menggumpal.
Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah
pemberian. Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial.
Efek samping: aritmia, hipotensi, kolaps kardiovaskuler pada
pemberian IV yang terlalu cepat.
Fenobarbital
Sudah ada sediaan IV, sediaan IM tidak boleh diberikan IV. Dosis
inisial maksimum 600 mg (20 mg/kgBB). Kecepatan pemberian 1
mg/kg/menit, maksimum 100 mg/menit. Dosis rumat: 12-24 jam setelah
dosis inisial.
Efek samping: hipotensi dan depresi napas, terutama jika diberikan
setelah obat golongan benzodiazepin.
b) Terapi rumatan
Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan
diazepam, tergantung dari etiologi. Jika penyebab kejang suatu hal yang
dapat dikoreksi secara cepat (hipokalemia, kelainan elektrolit, hipoksia)
mungkin tidak diperlukan terapi rumatan selama pasien dirawat.
Jika penyebab infeksi SSP (ensefalitis, meningitis), perdarahan
intracranial, mungkin diperlukan terapi rumat selama perawatan. Dapat
diberikan fenobarbital dengan dosis awal 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam
2 dosis selama 2 hari, dilanjutkan dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari sampai
risiko untuk berulangnya kejang tidak ada.
25
Jika etiologi adalah epilepsy, lanjutkan obat antiepilepsi dengan
menaikkan dosis.
Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan fenitoin,
lanjutkan rumatan dengan dosis 5-7 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan
fenobarbital, lanjutkan rumatan dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis.
26
Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat
bahwa antipiretik tetap diberikan yaitu, Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali atau ibuprofen 5-10
mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.
Antikejang
Diazepam oral dengan dosis 0.3 mg/kgBB/kali setiap 8 jam atau
diazepam rectal dosis 0.5 mg/kgBB/kali setiap 8 jam (dosis maksimal 7.5
mg/kali) pada saat suhu tubuh > 38.5 derajat celcius, pada kondisi
neurologis berat (serebral palsi), berulang 4 kali atau lebih dalam setahun.
Terdapat efek samping berupa ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup
berat pada 25-39% kasus.
27
2.7.1.3 Obat untuk pengobatan jangka panjang:
Fenobarbital (dosis 3-4 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis) atau asam
valproat (dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis). Pemberian obat ini
efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Pengobatan
diberikan selama 1 tahun bebas kejang, penghentian pengobatan rumat
untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan
pada saat anak tidak sedang demam.
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Pada sebagian kecil
kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati.
28
*Gunakan Fenobarbital (larutan 200 mg/ml) dalam dosis 20
mg/kgBB untuk menanggulangi kejang pada bayi berumur < 2 minggu:
Berat badan 2 kg - dosis awal: 0.2 ml, ulangi 0.1 ml setelah 30
menit bila kejang berlanjut.
Berat badan 3 kg - dosis awal: 0.3 ml, ulangi 0.15 ml setelah
30 menit bila kejang berlanjut.
29
2.7.3 Rekomendasi dari updated guidelines WHO 13
Pada anak-anak dengan status epileptikus, yaitu kejang yang
bertahan setelah dua dosis benzodiazepine, asam valproat IV,
fenobarbital IV, atau fenitoin IV dapat digunakan, dengan pemantauan
yang tepat. Pemilihan pengobatan dipengaruhi oleh sejumlah factor,
termasuk ketersediaan, biaya, dan efek samping.
Keuntungan dari asam valproat: termasuk obat dengan resiko yang
lebih kecil untuk efek samping ke kardiorespirasi. Obat ini juga merupakan
obat spectrum luas yang aktif terhadap semua jenis kejang, karenanya
mungkin berguna untuk terapi pemeliharaan setelah kontrol kejang akut
pada epilepsy umum idiopatik atau ketika jenis kejang atau sindrom
epilepsy tidak jelas. Disini asam valproat berhubungan dengan resiko
hepatotoksisitas dan pancreatitis.
Sedangkan pada fenobarbital dapat menyebabkan sedasi dan
depresi pernafasan, dan resiko dapat meningkat jika penggunaannya
setelah obat golongan benzodiazepine.
Fenitoin dikaitkan dengan resiko aritmia dan hipotensi.
Jika tersedia, asam valproat IV lebih disukai (disarankan) daripada
fenitoin IV atau fenobarbital IV karena profil manfaat-risiko yang lebih
unggul.
Fenobarbital IM tetap menjadi pilihan dalam pengaturan di mana
infus intravena atau pemantauan tidak layak. Fenitoin dan asam valproat
seharusnya tidak diberikan secara IM.
Pengobatan profilaksis dengan antipiretik intermiten, obat
intermiten antikonvulsan (diazepam atau clobazam) atau obat
antikonvulsan terus menerus (fenobarbital atau asam valproik) tidak boleh
digunakan dalam kejang demam.
Kebanyakan kejang demam merupakan "jinak". Sementara kejang
demam berulang menjadi perhatian, pendidikan dalam mengenali kejang
dan manajemen kekambuhan dapat meningkatkan hasilnya.
30
Penggunaan terapi profilaksis kejang demam berulang memiliki
efek samping yang lebih daripada manfaat dan dengan demikian tidak
dibenarkan (disarankan) dalam sebagian besar kasus.
Faktor risiko untuk status epileptikus dengan demam dapat
mencakup usia muda saat onset (<1 tahun) dan suhu rendah pada saat
kejang demam. Kelompok populasi ini juga cenderung memiliki lebih
banyak kekambuhan kejang demam. Ini harus dijelaskan kepada orang
tua dan administrasi non-IV dari benzodiazepine disarankan dalam kasus
anak mengalami kejang demam di rumah.
Sedang dalam prioritas penelitian untuk menentukan faktor risiko
dan karakteristik dari subkelompok anak-anak yang berada pada risiko
tinggi untuk kejang demam berulang, yang mungkin mendapat manfaat
dari terapi antikonvulsan profilaksis.
2.8 Prognosis
Prognosis kejang demam baik, angka kematian hanya 0,64-
0,75%. Sebagian besar penderita kejang demamsembuh sempurna,
2-7% berkembang menjadi epilepsi, 4% mengalami gangguan motorik,
gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi secara
bermakna.2
Di Indonesia, kematian karena kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak
pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap
normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara
retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus,
dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau
kejang berulang baik umum atau fokal.4
Apabila tidak ditangani dengan baik, makan kejang demam dapat
berkembang menjadi:4,5
1. Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus.
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga.
31
b. Usia kurang dari 12 bulan.
c. Temperatur yang rendah saat kejang.
d. Cepatnya kejang setelah demam.
3. Kelainan motorik.
2.9 Tambahan7
2.9.1 Edukasi pada orang tua
32
bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi
dengan cara diantaranya:
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya
mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang
memang efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
2.9.3 Vaksinasi
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi
pada anak dengan riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena
vaksinasi sangat jarang.
33