Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah
kesehatan lingkungan yang cenderung meningkat jumlah penderita dan
semakin luas daerah penyebarannya, sejalan dengan meningkatnya mobilitas
dan kepadatan penduduk (Hamzah, E., Basri, S. 2016) . Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 374/Menkes/Per/ III/2010 tentang pengendalian vektor bahwa pen-
gendalian vektor bertujuan untuk menghambat proses penularan penyakit,
mengurangi tempat perindukan vektor, menurunkan kepadatan vektor,
meminimalisir kontak antara manusia dengan sumber penular dapat
dikendalikan secara lebih rasional, efektif dan efisien (Nani, 2017).
Menurut World Health Organisation (WHO), penyakit ini paling banyak
terjadi di daerah tropis dan sub- tropis yang meliputi Asia, Afrika, Amerika
Tengah dan Amerika Selatan. Lebih dari 70% dari populasi penduduk dunia
pada tahun 2013 berisiko terjangkit penyakit DBD dan sekitar 70% terdapat di
Asia Tenggara, termasuk Indonesia (WHO, 2009).
Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), angka kejadian DBD di
Indonesia pada tahun 2014 masih cukup tinggi, sampai pertengahan bulan
Desember tercatat penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668
orang dan 641 diantaranya meninggal dunia (Kemenkes RI, 2016). Hal ini
dirasakan pula oleh masyarakat Sulawesi Tenggara khususnya di kota Kendari
dengan kasus penyakit DBD yang mengalami peningkatan seiring dengan
datangnya musim penghujan. Genangan air yang ada selama musim hujan
merupakan habitat potensial nyamuk A. aegypti L. Berdasarkan data profil
kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014, distribusi DBD tertinggi
terjadi di Kota Kendari sebanyak 114 kasus dari 419 kasus DBD yang tersebar
di dua belas Kabupaten/ Kota (Dinas Kesehatan Prov. Sulawesi Tenggara,
2016).
Untuk penurunan angka kejadian DBD telah dilakukan berbagai upaya,
seperti pengendalian Vektor DBD yang bertujuan untuk memutuskan siklus

1
hidup vektor DBD. Cara mengendalikan Vektor dan kepadatan jentik yang
dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN Plus) antara lain
dapat dilakukang dengan cara Mechanical Control (menutup tempat
penyimpanan air), Environment control (mengubur barang bekas tidak
terpakai), Biological Control (Menyebar predator pemangsa jentik nyamuk),
dan Chemical Control (Pemberian larvisida pada tempat penyimpanan air). Hal
ini dilakukan berupaya untuk menekan angka populasi jentik di tempat
perindukan jentik (breeding place). Diantaranya 4 macam pemberantasan
nyamuk yang cukup sering digunakan adalah Chemical Control yaitu
Larvisida.
Pepaya merupakan salah satu tumbuhan yang banyak terdapat di
Indonesia dan berpotensi sebagai larvasida alami (biolarvasida). Berdasarkan
penelitian Ardianto (2014) ekstrak daun dan kulit buah pepaya (C. papaya L.)
yang mengandung senyawa papain, eugenol, saponin, flavonoid dan tanin
dapat membunuh larva A.aegypti L. Selain itu, kandungan senyawa metabolik
sekunder ternyata juga dimiliki oleh biji buah pepaya. Hasil uji fitokimia
terhadap ekstrak kental metanol biji buah pepaya diketahui mengandung
senyawa metabolik sekunder golongan triterpenoid, flavonoid, alkaloid dan
saponin (Sukadana et al., 2008).
Senyawa metabolik sekunder ini diyakini dapat menghambat pertumbuhan
larva nyamuk A. aegypti L.. Berdasarkan penelitian Wardani et al. (2010),
saponin dan alkaloid dapat bertindak sebagai stomach poisoning atau racun
perut bagi larva A. aegypti L. Selain itu, flavonoid dapat bekerja sebagai
inhibitor kuat pernapasan atau sebagai racun pernapasan larva nyamuk A.
aegypti L. Sedangkan menurut Dinata (2008), senyawa tanin dapat
menurunkan kemampuan larva nyamuk A. aegypti L. Dalam mencerna
makanan dengan cara menurunkan aktivitas enzim pencernaan yaitu protease
dan amilase.
Mengingat masih tingginya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Indonesia , memberi inspirasi penulis sehingga tertarik untuk meneliti lebih
lanjut terkait masalah di atas. Adapun judul yang akan diangkat dalam

2
penelitian ini adalah, “UJI EFEKTIVITAS BIJI BUAH PEPAYA (Carica
papaya L.) UNTUK MEMBUNUH LARVA Aedes aegypti.

1.2 Rumusan masalah


Bagaimana ektrak biji buah pepaya dapat memberikan efek pada larva Aedes
aegypti

1.3 Tujuan penelitian


Untuk mengetahui ektrak biji buah pepaya pada larva Aedes aegypti

1.4 manfaat penelitian


a. Manfaat teoritis
Secara teoritis ,proposal karya tulis ilmiah ini dapat menambah wawasan
keilmuan teknologi laboraturium tentang ektrak biji buah papaya sebagai
larvasida pada larva aedes aegypti.
b. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari proposal karya tulis ilmiah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagi masyarakat
Penelitian ini dapat membantu masyarakat tentang bagaimana cara
membasmi larva Aedes aegypti yang apabila tumbuh menjadi nyamuk
dewasa akan menjadi vector penyebab penyakit DBD dengan ektrak
biji buah papaya
2. Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang pembelajaran dalam
praktikum mengenai ektrak biji buah papaya pada larva Aedes
aegypti .

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aedes Aegypti
1. Penyakit demam berdarah adalah penyakit infeksi oleh virus yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Infeksi yang ringan
hanya menimbulkan bercak-bercak pada badan dan gejala flu ringan.
Anak-anak bisa terkena penyakit demam berdarah yang sangat parah
yang bisa menyebabkan perdarahan dan shok (Krishna, 2013 : 38).
Virus penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan
jenis virus yang dapat diwariskan kepada generasi nyamuk
selanjutnya. Larva nyamuk yang berasal dari induk yang positif
terinfeksi dengan dua serotype virus akan mewariskan dua serotype
virus juga sehingga larva juga akan berperan sebagai vektor virus saat
sudah mencapai tahap dewasa yang dapat menginfeksi inangnya dan
menimbulkan penyakit (Rosa, et al., 2015)
2. Klasifikasi nyamuk Aedes Aegypti
Larva Aedes aegypti L. diklasifikasikan ilmiah (taksonomi) sebagai
berikut:
 Kingdom : Animalia
 Subkingdom : Bilateria
 Phylum : Arthropoda
 Subphylum : Hexapoda
 Class : Insecta
 Subclass : Pterygota
 Order : Diptera
 Suborder : Nematocera
 Family : Culicidae
 Subfamily : Culicinae
 Genus : Aedes
 Species : Aedes aegypti L. (ITIS, 2015)
3. Morfologi nyamuk Aedes Aegypti
a) Nyamuk Aedes Aegypti
Nyamuk Aedes aegypti L. dikenal dengan sebutan Black White
Mosquito atau Tiger Mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang
khas yaitu adanya garisgaris dan bercak-bercak putih keperakan di atas
dasar warna hitam, sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah

4
ada dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi
lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median dari
punggungnya yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking)
(Palgunadi, 2011).
Nyamuk Aedes aegypti L. dewasa lebih kecil jika dibandingkan
dengan ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai
warna dasar yang hitam dengan bintik putih pada bagian badannya
terutama pada bagian kakinya (Depkes RI, 2007).
Tubuh nyamuk Aedes aegypti L. dewasa dibagi menjadi kepala
(caput), dada (thoraks) dan perut (abdomen) yaitu :
1) Kepala (caput) berbentuk seperti bola dan tertutup oleh sepasang
mata faset dan tidak mempunyai mata oselus dan mata biasa. Kepala
nyamuk juga tersusun atas antena yang panjangnya melebihi panjang
dari palpus maksila, alat mulut nyamuk betina tipe penusuk penghisap
terdiri dari labium bagian bawah yang mempunyai saluran dan bagian
atas labrum epipharynk, hypopharynk, sepasang mandibular serupa
pisau dan maxilia yang bergerigi sedangkan jantan bagian mulutnya
lebih lemah tidak mampu menembus kulit manusia sehingga
digolongkan kedalam pemakan tumbuh-tumbuhan atau cairan
tanaman, mata majemuk menyolok.
2) Dada (thoraks), terdapat sepasang sayap tanpa noda-noda hitam.
Bagian punggung (mesonotum) ada gambaran garis-garis putih yang
dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran
punggung nyamuk Aedes aegypti L. berupa sepasang garis lengkung
putih pada tepinya dan sepasang garis sub median ditengahnya.
Pasangan kaki ada yang panjang dan pendek. Femur bersisik putih
pada permukaan posterior dan setengah basal, anterior dan tengah
bersisik putih memanjang. Tibia semuanya hitam dan tarsi belakang
berlingkaran putih pada segmen basal kesatu sampai keempat dan
segmen kelima berwarna putih. Sayap berukuran 2,5-3,0 mm bersisik
hitam.

5
3) Perut (abdomen), tersusun atas 8 segmen, segmen VIII nyamuk
jantan lebar dan berbentuk kerucut sedang pada nyamuk betina segmen
VIII agak meruncing dengan sersi menonjol. Waktu istirahat posisi
nyamuk Aedes aegypti L. ini tubuhnya sejajar dengan bidang
permukaan yang dihinggapinya (Fajri, 2010:12)
b) Telur nyamuk aedes Aegypti
Perkembangan dari telur sampai menjadi nyamuk kurang lebih 9-10
hari. Setiap kali bertelur, nyamuk betina dapat mengeluarkan sebanyak
100 butir. Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan ukuran
kurang lebih 0,80 mm. Telur nyamuk Aedes aegypti biasanya
diletakkan di tempat kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan.
Telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu kurang lebih 2 hari
setelah terendam air. Kemudian jentik kecil yang menetas dari telur
akan tumbuh menjadi besar dengan ukuran panjang 0,5 cm-1 cm
(Fadila, 2015).
4. Siklus Hidup Aedes Aegypti

Dalam perkembangannya nyamuk mengalami metamorfosis


sempurna (holometabola) yang diawali dengan stadium telur, larva
(jentik), pupa, dan dewasa (imago) (Gambar 2). Air merupakan faktor
terpenting dalam perkembangan nyamuk, karena proses perkembangan
pradewasa terjadi di dalam air (Clements 2000).

6
Aedes aegypti mengalami metamorfosis lengkap/metamorfosis
sempurna (holometabola) yaitu siklus hidup berupa telur, larva (beberapa
instar), pupa dan nyamuk dewasa (James MT and Harwood RF, 1969)
Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam, berbentuk oval,
mengapung pada permukaan air jernih, atau menempel pada bagian
dinding tempat penampung air. Telur dapat bertahan sampai ± 6 bulan di
tempat kering, dan jika tempat tersebut tergenang air atau terjadi
peningkatan kelembaban maka telur akan menetas lebih cepat (DepKes RI,
2007; DepKes RI, 2011). Pada umumnya telur akan menetas menjadi
jentik/larva dalam waktu ±2 hari. Telur yang menetas kemudian menjadi
larva (jentik) dan akan mengalami 4 fase instar (DepKes RI, 2011).
Telur
Telur-telur nyamuk subfamili Culicinae tidak memiliki pelampung
seperti telur nyamuk subfamili Anophelinae. Telur nyamuk Culex sp.
tampak pada Gambar dibawah, berukuran 0,735 mm berkelompok
membentuk rakit sehingga terlihat mengapung pada permukaan genangan
air (Chadee & Tikasings 1986). Telur nyamuk Aedes sp. berbentuk oval,
tunggal, berwarna hitam, dan berukuran 0,664 mm seperti yang terlihat
pada Gambar 3b (Christophers 1960). Pada keadaan kering, telur nyamuk
Aedes sp. dapat bertahan hingga enam bulan.

Gambar 2.1 Telur Culex sp. (a) dan Telur Aedes sp. (b) Sumber:
McCafferty & Patrick 2010.
Telur-telur nyamuk ini biasanya ditemukan pada tempat-tempat
yang berisi genangan air jernih yang tidak beralaskan tanah, seperti
gentong air, bak mandi, vas bunga, drum, barang bekas, lipatan daun yang
menampung air, dan sebagainya di daerah urban dan suburban. Telur
menetas antara dua sampai tiga hari pada suhu 30 °C, tetapi membutuhkan
tujuh hari pada suhu 16 °C (Hadi & Soviana 2010).
Larva
Larva memiliki kepala yang cukup besar serta thorax dan abdomen yang
cukup jelas. Larva biasanya kerap berada di permukaan air untuk mendapatkan
oksigen dari udara serta menyaring mikroorganisme dan partikel - partikel
lainnya dalam air. Larva melakukan pergantian kulit sebanyak empat kali dan
berubah menjadi pupa sesudah tujuh hari. (Harwood RF and James MT, 1979).
Pupa nyamuk berbentuk seperti „koma‟ dan dua atau tiga hari setelahnya

7
perkembangan pupa sudah sempurna, maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa
muda segera keluar dan terbang (Sembel DT, 2009; DepKes RI, 2011).

Gambar 2.2 Larva Aedes aegypti (Sumber : Dept. Entomology ICPMR


2002)
Pupa
Pupa Pupa (kepompong) merupakan stadium terakhir yang berada
di dalam air. Pupa nyamuk berbentuk seperti koma, kepala dan dada
bersatu dilengkapi dengan sepasang terompet pernapasan, sebagaimana
terlihat pada gambar 2.3. Stadium ini disebut juga stadium inaktif dan
tidak memerlukan makanan. Tetapi tetap ada proses pernapasan melalui
sifon yang menempel pada permukaan air. Bentuk sifon pada stadium
pupa, menyerupai sifon pada stadium larva dan bervariasi bergantung pada
jenis spesies nyamuk (Clements 2000). Pada fase ini pupa membutuhkan
dua sampai tiga hari untuk menjadi nyamuk dewasa, namun fase ini dapat
menjadi lebih lama hingga sepuluh hari pada suhu rendah (< 25 °C). Pada
suhu lingkungan dibawah 10 °C tidak akan terjadi perkembangan menjadi
dewasa (Hadi & Soviana 2010).

Gambar 2.3 Pupa Culex sp. (a) dan Pupa Aedes sp. (b) Sumber:
McCafferty & Patrick 2010
5. Pencegahan Penyakit Demam Berdarah
Dengue Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian
vektornya, yaitu nyamuk Aedes Aegypti. Sukohar (2014 : 12-13)
mengemukakan pengendalian nyamuk dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :
a. Lingkungan Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk
tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN),
pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan

8
nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah.
Sebagai contoh :
1) Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali
seminggu.
2) Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung
seminggu sekali.
3) Menutup dengan rapat tempat penampungan air.
4) Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas, dan ban bekas di
sekitar rumah.
b. Biologis Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan
pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang).
c. Kimiawi Cara pengendalian ini antara lain dengan :
1) Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan
fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan
sampai batas waktu tertentu.
2) Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat
penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam dan lain-
lain. Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD
adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut
dengan “3M Plus”, yaitu menutup, menguras dan menimbun.
Selain itu juga melakukan beberapa 18 plus seperti memelihara
ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu
pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan inseksida,
menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik
berkala dan disesuaikan dengan kondisi setempat.
B. PEPAYA
1. Taksonomi
Menurut United States Department Of Agriculture (2014),
kedudukan tanaman Carica papaya L. atau lebih dikenal di
Indonesia dengan sebutan pohon pepaya dalam sistematika
tumbuhan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae

9
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Caricalis
Suku : Caricaceae
Marga : Carica
Jenis : Carica papaya L. L.
2. Deskripsi
Pepaya merupakan tanaman buah dari famili caricaceae yang
berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan kawasan
Meksiko dan Koasta Rica. Tanaman pepaya banyak ditanam di
daerah tropis maupun sub tropis, dapat tumbuh di tempat basah
maupun kering atau dataran dan pegunungan (sampai 1.000 m dari
permukaan laut). Buah pepaya merupakan buah meja yang bermutu
dan bergizi tinggi (Nurviani, 2014).
Pohon pepaya memiliki tinggi sekitar 8-10 m. Akar tanaman
pepaya tidak mengayu, oleh karena itu tanaman ini membutuhkan
tanah yang gembur dengan air yang cukup pada musim kemarau dan
sedikit air pada musim hujan. Batang tumbuh lurus ke atas dan tidak
bercabang, berbatang basah dengan bentuk silindrik. Diameter 10-30
cm dan tinggi 3-10 m, tidak mengayu, berongga di tengah, lunak,
mengandung banyak air dan terdapat getah di dalamnya (Agromedia,
2009).
Tangkai daunnya bulat silindris dengan panjang 25-100 cm, bentuk
daun bulat atau bulat telur, bertulang daun menjari, tepi bercangap
manjari berbagi menjari, ujung runcing berdiametar 25-75 cm
dengan pangkal daun berbentuk jantung, sebelah atas berwarna hijau
tua, sebelah bawah hijau muda, memiliki permukaan daun yang licin
(Steenis, 2008).
Buah berbentuk oval besar menyerupai melon dengan memiliki
rongga benih pusat. Buah berada pada batang utama, biasanya
tunggal tapi kadangkadang banyak kecil kecil. Buah memiliki berat
dari 0,5 hingga 20 kg, dan hijau sampai matang, berubah kuning atau

10
merah-oranye. Daging berwarna kuning oranye seperti salmon
(merah muda-oranye) pada saat jatuh tempo. Itu bagian yang dapat
dimakan mengelilingi rongga biji besar, pusat. Pohon dapat berbuah
pada 5-9 bulan, tergantung pada kultivar dan suhu. Tanaman mulai
berbuah di 6 - 12 bulan (Sujiprihati, 2012)
Biji pepaya terletak dalam rongga buah yang terdiri dari lima
lapisan. Banyaknya biji tergantung dari ukuran buah. Bentuk biji
agak bulat atau bulat panjang dan kecil serta bagian luarnya
dibungkus oleh selaput yang berisi cairan. Biji berwarna putih jika
masih muda dan berwarna hitam setelah tua. Permukaan biji agak
keriput dan dibungkus oleh kulit ari yang sifatnya seperti agar serta
transparan (BPOM RI, 2010).
3. Nama Lokal
Pepaya (Indonesia); gedang (Bali); betik, kates, telo gantung (Jawa);
peute, betik, ralempaya, punti kayu (Sumatera); pisang malaka,
bandas, manjan (Kalimantan); kalujawa, padu (Nusa Tenggara);
kapalay, kaliki, unti jawa (Sulawesi); dan betik (Melayu) (BPOM RI,
2010).
4. Manfaat Biji papaya
Pepaya popular sebagai buah meja bagi masyarakat Indonesia
(Agromedia, 2009). Semua bagian dari papaya memiliki khasiatnya
masingmasing. Biji pepaya yang berwarna hitam memiliki rasa yang
tajam dan agak pedas, biasanya dapat digunakan sebagai pengganti
lada hitam (Peter, 2014). Biji pepaya dapat pula dimanfaatkan sebagai
larvasida nabati. Penelitian yang dilakukan oleh Amin (2010), biji
buah pepaya (Carica papaya L.) dengan konsentrasi 2%, 4% dan 5%
memberikan pengaruh dalam mengendalikan serangan netamdoa pada
tanaman tomat.
Menurut penelitian Margo Utomo (2010), biji pepaya mengandung
mengandung glucoside caricin dan karpain yang merupakan satu
alkaloid yang terkandung dalam pepaya. Alkaloid karpaina bersifat
toksik dan apabila digunakan dalam jumlah besar dapat menyebabkan

11
paralisa, sistem saraf terhenti, dan depresi jantung. Carica papaya L.
L. daun dan biji diketahui mengandung enzim proteolitik (papain,
chymopapain), alkaloid (Carpain, carpasemine), senyawa belerang
(benzil iso- tiosianat), flavonoid, triterpen, asam organik, dan minyak
(Cha vez, 2011)
5. Kandungan Kimia
Menurut penelitian Franco et al. 2006, biji Carica pepaya memiliki
kegiatan insektisida walaupun dengan toksisitas rendah dari ekstrak,
namun sudah dapat mengontrol serangga. Selain itu, pengembangan
insektisida berdasarkan biji pepaya, yang secara tradisional telah
dianggap sebagai produk limbah, bisa memiliki manfaat komersial.
Mengevaluasi efek insektisida benih bubuk yang berbeda terhadap
serangga ini, dan menemukan bahwa benih C. papaya menyebabkan
tingginya tingkat kematian larva.
Biji pepaya dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri karena biji
pepaya diketahui mengandung senyawa kimia seperti golongan fenol,
alkaloid, dan saponin (Warisno, 2003).
Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kental metanol biji pepaya
diketahui mengandung senyawa metabolit sekunder golongan
triterpenoid, flavonoid, alkaloid, dan saponin. Secara kualitatif,
berdasarkan terbentuknya endapan atau intensitas warna yang
dihasilkan dengan pereaksi uji fitokimia, diketahui bahwa kandungan
senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid merupakan
komponen utama biji pepaya (Sukadana, 2007).
6. Uraian Kandungan Kimia
a. Papain
Papain adalah enzim proteolitik yang kita kenal untuk melunakkan
daging. Zat tersebut berproses dalam pemecahan jaringan ikat,
yang disebut proses proteolitik. Papain mempunyai sifat sebagai
anti toksik walaupun dalam dosis rendah yaitu sebesar 14,54%
dari 5g ekstrak biji papaya (Hayatie, 2015). Apabila masuk ke
dalam tubuh larva nyamuk Aedes aegypti, akan menimbulkan

12
reaksi kimia dalam proses metabolisme tubuh yang dapat
menyebabkan terhambatnya hormon pertumbuhan sehingga larva
tidak bisa tumbuh menjadi instar IV.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Chavez (2011), papain
merupakan senyawa terendah dalam biji pepaya dan merupakan
senyawa tertinggi dalam kulit pepaya.
b. Saponin
Merupakan glikosida dalam tanaman yang sifatnya
menyerupai sabun dan dapat larut dalam air. Istilah saponin
diturunkan dari bahasa Latin „sapo‟ yang berarti sabun, diambil
dari kata Saponaria vaccaria, suatu tanaman yang mengandung
saponin digunakan sebagai sabun untuk mencuci (Suparjo, 2008).
Pengaruh saponin terlihat pada gangguan fisik serangga bagian
luar (kutikula), yakni mencuci lapisan lilin yang melindungi tubuh
serangga dan menyebabkan kematian karena kehilangan banyak
cairan tubuh.
Saponin juga dapat masuk melalui organ pernapasan dan
menyebabkan membran sel rusak atau proses metabolisme
terganggu (Novizan, 2002). Saponin adalah racun yang polar, larut
dalam air, dan ketika memasuki tubuh dalam larva bisa
mengakibatkan hemolisis dalam pembuluh darah. Asam lemak
organik terkandung dalam ekstrak biji pepaya dan menghambat
proses metamorfosis, menghambat pembentukan kulit larva,
sehingga mengakibatkan kematian larva (Suirta, IWNM, et al.,
2007). Penelitian yang dilakukan oleh Chavez 2011 melalui studi
kualitatif fitokimia biji dan daun pepaya, biji pepaya memiliki
saponin yang “melimpah” dibandingkan dengan daunnya
“langka”, selain itu saponin berada di posisi tertinggi
dibandingkan dengan senyawa golongan alkaloid, flavonoid, dan
triterpeneid.
Studi yang dilakukan oleh Hayati dkk tahun 2015,
konstituen fitokimia pertama dalam biji dan kulit dari C. papaya

13
adalah flavonoid. Flavonoid didistribusikan secara luas pada
tanaman dan memiliki banyak fungsi seperti memproduksi
pigmentasi di bunga dan perlindungan dari mikroba dan serangan
serangga. Biji papaya yang sudah matang memiliki kandungan
saponin yang lebih banyak daripada biji papaya yang mentah (Cha
vez, 2011). Ekstrak etanol carica biji pepaya mengandung saponin,
tanin, flavonoid, alkaloid, karbohidrat, senyawa fenolik, dan
karotenoid. Pentingnya alkaloid, saponin, dan tanin dalam
berbagai antibiotik yang digunakan dalam patogen pada umumnya
dan penerapan larvasida (Delphin, et al. 2014)
c. Flavonoid
Flavonoid adalah salah satu jenis senyawa yang bersifat
racun/aleopati, merupakan persenyawaan dari gula yang terikat
dengan flavon. Flavonoid mempunyai sifat khas yaitu bau yang
sangat tajam rasanya pahit, dapat larut dalam air dan pelarut
organik, serta mudah terurai pada temperatur tinggi (Suyanto,
2009). Flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang
dapat bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat
toksik.
Flavonoid punya sejumlah kegunaan. Pertama, terhadap
tumbuhan, yaitu sebagai pengatur tumbuhan, pengatur fotosintesis,
kerja antimiroba, dan antivirus. Kedua, terhadap manusia, yaitu
sebagai antibiotik terhadap penyakit kanker dan ginjal,
menghambat perdarahan. Ketiga, terhadap serangga, yaitu sebagai
daya tarik serangga untuk melakukan penyerbukan. Keempat,
kegunaan lainnya adalah sebagai bahan aktif dalam pembuatan
insektisida nabati (Dinata, 2009). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Hayatie et.al 2015 melalui studi fitokimia biji
Carica papaya L. 10 gr/100 ml papaya mengandung senyawa
flavonoid sebanyak 0,9 %.
d. Tanin

14
Tanin merupakan polifenol tanaman yang larut dalam air dan
dapat menggumpalkan protein (Westerdarp, 2006). Apabila tannin
kontak dengan lidah, maka reaksi pengendapan protein ditandai
dengan rasa sepat atau astringen. Tanin terdapat pada berbagai
tumbuhan berkayu dan herba, berperan sebagai pertahanan
tumbuhan dengan cara menghalangi serangga dalam mencerna
makanan. Berdasarkan metode pengukuran Van-Burden and
Robinson, terdapat kandungan tanin sebesar 0,78% pada biji
papaya dan 0,63% pada kulit papaya (Hayatie, 2015). Tanin dapat
menurunkan kemampuan mencerna makanan dengan cara
menurunkan aktivitas enzim pencernaan (protease dan amilase)
serta mengganggu aktivitas protein usus. Serangga yang memakan
tumbuhan dengan kandungan tanin tinggi akan memperoleh
sedikit makanan, akibatnya akan terjadi penurunan pertumbuhan.
Respon jentik terhadap senyawa ini adalah menurunnya
laju pertumbuhan dan gangguan nutrisi (Dinata, 2008; Suyanto,
2009)
Efek larvasida senyawa saponin, flavonoid, dan tanin, yaitu
sebagai stomach poisoning atau racun perut. Senyawa-senyawa
tersebut larut di dalam air dan akhirnya masuk sistem pencernaan
serta mengakibatkan gangguan sistem pencernaan larva Aedes
aegypti, sehingga larva gagal tumbuh dan akhirnya mati (Suyanto,
2009).

15
16

Anda mungkin juga menyukai