Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan
pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal
ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi,
maupun persatuan dan kesatuan. Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang
direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik. Dalam rangka
membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik
belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam
ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak
meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan
agama, dan sifat-sifat luhur lainnya (SUITO,2006)
.Dewasa ini, sumber daya manusia (SDM) menjadi hal yang begitu penting. Zaman
yang penuh dengan persaingan yang sarat kebebasan, memaksa umat manusia terus selalu
bersaing menjadi yang terbaik. Hal ini terjadi di berbagai belahan dunia,di negara-nagara
berkembang maupun negara-negara maju tak terkcuali Indonesia.
klasifikasi dan telaah, mulai muncul istilah masyarakat madani. Istilah ini menjadi
bentuk standar bagi kualitas sebuah komunitas yang pada kelanjutannya, masyarakat madani
dipandang sebagai “sisi positif” bentuk peradaban dunia yang diimpikasikan, khususnya umat
muslim yang mengimpikasikan sistem pemerintahan zaman Rasulullah SAW yakni di kota
Madina. Dimana sistem pemerintahan dewasa ini khusunya di negara-negara yang
penduduknya bermayoritas muslim atau di negara-negara Timur Tengah kerap kali tidak
mengedepankan kemaslahatan umat atau sering kali masyarakat kalangan menengah
kebawah atau lebih dikenal miskin seringkali mengalami penindasan-penindasan maupun
konflik horisontal di akibatkan karena bagaimana rakyat miskin untuk saling bersaing untuk
mempertahankan hidup. Tidak kalah penting juga bahwa pemerintah, kaum konglomerat,
pengusaha, bankir internasional, meletakan kaum miskin sebagai tempat memperkaya diri,
keluarga dan golongan-golongan elit terpandang di mata mereka. Dalam hal ini Penulis
mengangkat judul makalah “MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT”
sebagai bentuk usaha dan perjuangan meletakan dasar-dasar nilai pergerakan membangun
kesadaran diri sendiri, umat muslim sedunia maupun masyarakat dunia untuk

1
mengedepankan kemaslahatan umat  sebagai  misi atau cita-cita bersama membentuk
peradaban bangsa-bangsa yang beradab, makmur dan sejahtera

1.2. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang diangkat oleh penyusun adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimanakah konsep masyarakat madani?
2.    Bagaimanakah peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani?
3.    Bagaimanakah sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat?
4.    Bagaimanakah konsep zakat dan wakaf menurut ekonomi islam

1.3 TUJUAN
1.      Untuk mengetahui Pengertian Masyarakat Madani
2.      Untuk mengetahui Konsep Masyarakat Madani
3.      Untuk mengetahui Karakteristik Masyarakat Madani
4.      Untu mengathui Bagaimana Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
5.      Untuk mengetahui bagaimana Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umum

2
BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Masyarakat Madani                 


Kata madani sendiri berasal dari bahasa Inggris yang artinya civil atau civilized (beradab).
Istilah masyarakat madani adalah terjemahan dari civil atau civilized society, yang berarti
masyarakat yang berperadaban. Untuk pertama kali istilah Masyarakat Madani dimunculkan
oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil perdana menteri Malaysia. Menurut Anwar Ibrahim,
masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang
menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif
dari individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang
berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.
Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban
yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Dawam menjelaskan, dasar utama dari
masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu
pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan
perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan. Masyarakat Madani pada prinsipnya
memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika dan
moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten
memiliki bandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral, mengakui,
emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis.
Masyarakat madani adalah kelembagaan sosial yang akan melindungi warga negara dari
perwujudan kekuasaan negara yang berlebihan. Bahkan Masyarakat madani tiang utama
kehidupan politik yang demokratis. Sebab masyarakat madani tidak saja melindungi warga
negara dalam berhadapan dengan negara, tetapi juga merumuskan dan menyuarakan aspirasi
masyarakat.
Gambaran Masyarakat madani yang dijelaskan dalam Dalam Al Qur’an Surat  Saba’ ayat 15:
َ ٌ‫ق َربِّ ُك ْم َوا ْش ُكرُوا لَهُ بَ ْل َدة‬
)١٥( ‫طيِّبَةٌ َو َربٌّ َغفُو ٌر‬ ِ ‫لَقَ ْد َكانَ لِ َسبَإ ٍ فِي َم ْس َكنِ ِه ْم آيَةٌ َجنَّتَا ِن ع َْن يَ ِمي ٍن َو ِش َما ٍل ُكلُوا ِم ْن ِر ْز‬
            “Sesungguhnya bagi kaum Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka
dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah
kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang
Maha Pengampun".
2.1 Konsep Masyarakat Madani

3
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil
society”. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan
bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah
dianggap sebagai legitimasi historis ketidak bersalahan pembentukan civil society dalam
masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society adalah “Masyarakat sipil”. Konsep civil society lahir dan berkembang
dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali
menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama
kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir
Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu
bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut
dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,
masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar
menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan
masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di
masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara
keduanya.  
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan
buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans, (gerakan
masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan), sehingga civil society mempunyai moral-
transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir
dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan
masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas
landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii
Maarif, 2004: 84).

2.1 Masyarakat Madani Dalam Sejarah


Ada dua masyarakat dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakt madani, yaitu :
1.      Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman. Nama Saba’ yang terdapat
dalam Al Qur’an itu bahkan dijadikan nama salah satu surat Al Qur’an, yaitu surat ke-34.
Keadaan masyarakat Saba’ yang dikisahkan dalam Al Qur’an itu mendiami negeri yang baik,
yang subur dan nyaman. Di tempat itu terdapat kebun dengan tanamannya yang subur, yang
menyediakan rizki, memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Negeri yang indah itu

4
merupakan wujud dari kasih sayang Allah yang disediakan bagi masyarakat Saba’. Allah juga
Maha Pengampun apabila terjadi kealpaan pada masyarakat tersebut. Karena itu, Allah
memerintahkan masyarakat Saba’ untuk bersyukur kepada Allah yang telah menyediakan
kebutuhan hidup mereka. Kisah keadaan masyarakat Saba’ ini sangat populer dengan
ungkapan Al Qur’an Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur.
2.      Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjian Rasulullah SAW beserta umat
Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum
Aus dan Khazraj. Madinah adalah nama kota di Negara Arab Saudi , tempat yanag didiami
Rasulullah SAW sampai akhir hayat beliau sesudah hijrah. Kota itu sangat populer, karena
menjadi pusat lahir dan berkembangnya agama Islam setelah Mekkah. Di kota itu pertama
kali Rasulullah SAW membangun masjid yang dikenal dengan nama masjid Nabawi.
Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ke tiga unsure masyarakat untuk saling tolong-
menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al Qur’an sebagai
konstitusi, menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk memeluk
agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

2.3 Karakteristik Masyarakat Madani


Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1.      Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang
mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur
kehidupan sosial.
2.      Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam
masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
3.      Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam
masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
4.      Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
5.      Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-
keputusan pemerintah.
6.      Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim
totaliter.

5
7.      Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu
mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
8.      Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan
berbagai ragam perspektif.
9.      Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara
kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10.  Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat
mengurangi kebebasannya.
11.  Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh
Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang
berbeda tersebut.
12.  Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13.  Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap
ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14.  Berakhlak mulia.

2.4 Syarat – Syarat  Masyarakat Madani sbb:


1.      Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2.      Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang
kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya
kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3.      Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4.      Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga
swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan
kebijakan publik dapat dikembangkan.
5.      Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6.      Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga
ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7.      Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan
yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur,
terbuka dan terpercaya.

6
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.
Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak
ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi
manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses
mewujudkan masyarakat madani. Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang
menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat
negara-bangsa, Adapun rambu – rambunya antara lain:
1.      Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti proto tipe
pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah
terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa
memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2.      Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara
berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas
dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa
prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis,
pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari
penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan
terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.” Sebaliknya,
rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu
terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu
ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi
ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu,
diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi
ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan
kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu
lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap
lembaga lainnya.
3.      Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan
terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang
atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak
menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai
kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
2.4 Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani      

7
Dalam kontek masyarakat Indonesia, dimana umat islam adalah mayoritas, peranan umat
islam untuk mewujudkan masyarakat madani sangat menentukan. Kondisi masyarakat
Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh umat islam. Peranan umat
islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain.
Sistem hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain di Indonesia, memberikan ruang untuk
menyalurkan aspirasinya secara kontruktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi
umat islam Indonesia terhadap karakter dasarnya untuk mengimplementasikan ajaran islam
dalam kehidupan berbansga dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun umat Islam
secara kuantitatif mayoritas, tetapi secara kualitatif masih rendah sehingga perlu
pemberdayaan secara sistematis.Sikap amar ma’ruf nahi munkar juga masih sangat lemah.
Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena sosial yang bertentangan di semua sektor,
kurangnya rasa aman, dan lain sebagainya. Bila umat islam Indonesia benar-benar
mencerminkan sikap hidup yang Islami, pasti bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat
dan sejahtera.
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada
masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan
seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-
bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama
ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali,
al-Farabi, dan yang lain.
1.      Kualitas SDM Umat Islam
Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110
ۚ ‫رًا لَهُ ْم‬ƒ‫انَ خَ ْي‬ƒƒ‫ب لَ َك‬ ِ ‫اس تَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ا‬ƒƒَ‫ ُل ْال ِكت‬ƒ‫وْ آ َمنَ أَ ْه‬ƒƒَ‫ونَ بِاهَّلل ِ ۗ َول‬ƒƒُ‫ُوف َوتَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوتُ ْؤ ِمن‬ ْ ‫ُك ْنتُ ْم َخ ْي َر أُ َّم ٍة أُ ْخ ِر َج‬
ِ َّ‫ت لِلن‬
َ‫اسقُون‬ِ َ‫ِم ْنهُ ُم ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َوأَ ْكثَ ُرهُ ُم ْالف‬
Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang
terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat
Islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnya dibanding umat non Islam. Keunggulan

8
kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan
riil.
2.      Posisi Umat Islam
SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu
dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan
dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah
umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu
memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum
Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan
tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.

2.6 Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umum


Menurut ajaran Islam, semua kegiatan umat Islam, termasuk kegiatan sosial ekonominya
harus berlandaskan pada tauhid (Keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan antara
seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid,
adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian, realitas dari adanya hak
milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal ini berarti mengingkari tauhid.
Menurut ajaran Islam, hak milik mutlak hanya ada pada Allah saja. Hal ini berarti bahwa, hak
milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi atau relative
e. Menurut ajaran Islam, setiap individu bisa menjadi pemilik apa yang diperolehnya melalui
bekerja dalam arti yang seluas-luasnya. Manusia berhak untuk mempertukarkan hak itu
dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus dalam hukum Islam. Persyaratan-
persyaratan dan batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri,
yaitu dengan system keadilan dan dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Hak milik perorangan didasarkan atas kebebasan individu yang wajar dan kodrati, sedangkan
kerjasama didasarkan atas kebutuhan dan kepentingan bersama. Menurut ajaran Islam,
manfaat dan kebutuhan akan materi adalah untuk kesejahteraan seluruh umat manusia, bukan
hanya sekelompok manusia saja.
Dalam ajaran Islam terdapat pula prinsip utama, yaitu :
a.       Tidak seorangpun ataupun sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang
lain
b.      Tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan
untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi dikalangan mereka saja.

9
Dengan demikian, seorang muslim harus mempunyai keyakinan, bahwa perekonomian suatu
kelompok, bangsa maupun individu pada akhirnya kembali berada di tangan Allah. Jika
seseorang memiliki keyakinan yang demikian, dirinya tidak akan diperbudak oleh keduniaan.
Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama
derajatnya di mata Allah dan di depan hokum yang diwahyukannya. Untuk merealisasi
kekeluargaan dan kebersamaan tersebut, harus ada kerjasama dan tolong-menolong. Konsep
persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum
tidaklah ada artinya, kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan
setiap orang memperoleh hak atas sumbangannya terhadap masyarakat. Agar supaya tidak
ada eksploitasi yang dilakukan sesorang terhadap orang lain, maka Allah melarang umat
Islam memakan hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam QS. 26 (al-Syu’ara) : 183.

ِ ْ‫اس أَ ْشيَا َءهُ ْم َواَل تَ ْعثَوْ ا فِي اأْل َر‬


َ‫ض ُم ْف ِس ِدين‬ َ َّ‫َواَل تَبْخَ سُوا الن‬
Artinya: Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;
Dengan kominten Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi
dan sosial, maka ketidak adilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam.
Akan tetapi, konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta
konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut   bahwa semua orang harus mendapat
upah yang sama tanpa memandang kontribusinya dalam masyarakat. Islam meberikan
toleransi ketidak samaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah
sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Disebutkan dalam QS. 16 (Al-
Nahl) : 71.
ِ ‫ة هَّللا‬ƒِ ƒ‫ َوا ٌء ۚ أَفَبِنِ ْع َم‬ƒ‫ ِه َس‬ƒ‫انُهُ ْم فَهُ ْم فِي‬ƒ‫ت أَ ْي َم‬
ْ ‫ق ۚ فَ َما الَّ ِذينَ فُضِّ لُوا بِ َرادِّي ِر ْزقِ ِه ْم َعلَ ٰى َما َملَ َك‬
ِ ‫ْض فِي ال ِّر ْز‬
ٍ ‫ض ُك ْم َعلَ ٰى بَع‬ َّ َ‫َوهَّللا ُ ف‬
َ ‫ض َل بَ ْع‬
َ‫يَجْ َح ُدون‬
Artinya: Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki,
tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka
kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka
mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?
Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan
kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah
karena Allah, atau diinvestasikan kembali dalam suatu usaha yang akan mendatangkan
keuntungan, lapangan kerja dan penghasilan bagi orang lain. Sedekah sudah ada sepanjang
sejarah kehidupan umat manusia. Semua agama dan sistem etika memandang amal itu
sebagai suatu amal yang tinggi, dan Islam melanjutkan tradisi tersebut. Banyak ayat Al

10
Qur’an yang mendorong manusia untuk beramal sedekah, antara lain adalah QS. 4 (Al-Nisa’)
: 114.
َ‫وْ ف‬ƒ ‫ت هَّللا ِ فَ َس‬ َ ِ‫اس ۚ َو َم ْنيَ ْف َعلْ ٰ َذل‬
َ ْ‫ك ا ْبتِغَا َء َمر‬
ِ ‫ا‬ƒ ‫ض‬ ٍ ‫ُوف أَوْ إِصْ اَل‬
ِ َّ‫ح بَ ْينَ الن‬ ٍ ‫ص َدقَ ٍة أَوْ َم ْعر‬
َ ِ‫ير ِم ْن نَجْ َواهُ ْم إِاَّل َم ْن أَ َم َر ب‬
ٍ ِ‫اَل َخي َْر فِي َكث‬
ِ ‫نُ ْؤتِي ِه أَجْ رًا ع‬
‫َظي ًما‬
Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-
bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian
karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Selain sedekah dalam ajaran Islam masih ada bebrapa lembaga yang dapat dipergunakan
untuk menyalurkan harta kekayaan seseorang, yakni infak, hibah, zakat, dan wakaf.
Dalam ajaran Islam, ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan
manusia dengan Allah, dan hubungan manusia dengan manusia lain serta makhluk lain.
Kedua hubungan itu harus berjalan serentak. Menurut ajaran Islam, dengan melaksanakan
kedua hubungan itu hidup manusia akan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Lembaga-lembaga ekonomi Islam, zakat, infak, sedekah, hibah, dan wakaf, dimaksudkan
untuk menjembatani dan memperdekat hubungan sesame manusia, terutama hubungan antara
kelompok yang kuat dengan kelompok yang lemah, antara yang kaya dan yang miskin.

11
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan                                               
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita
sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu,
kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat
sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun
beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi yang ada di bab II ialah
bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat
akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat
madani itu dan bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut, serta
ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman
Rasullullah.
Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia
yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia
sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar
potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin
baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang kurang
di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu,

12
marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan
spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.

3.2 SARAN
               Kesejahteraan merupakan keinginan bagi setiap manusia maka hendaknya setiap
orang berusaha untuk mewujudkan masyarakat madani sehingga kesejahteraan akan tercipta
pula.

DAFTAR PUSTAKA

- Manan Abdul dan Qulub Syifaul, A 2010, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum,
Perum Agung Blok G2 – 12: Sidorjo
- Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia:
Jakarta.
- Bakhtiar Nurhasanah 2013, Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Negeri, Aswaja Pressindo:
Yogyakarta
- Jurnal Masyarakat Madani
- Jurnal Sistem Ekonomi dan Kesejahteraan Umum
- https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat_madani
- http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/ (16 November 2011
- Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
-   http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/ (16-11-2011)

13

Anda mungkin juga menyukai